Istituto Marangoni, Milano, Italia.
Seorang gadis keluar dari pelataran kampusnya dengan langkah lesu dan wajah yang tampak murung, sangat kontras dengan apa yang ia dapatkan di ruangan wisuda tadi.
Dua piagam penghargaan berhasil ia bawa pulang. Sebagai wisudawan terbaik Program Studi Fashion Business, dan sebagai lulusan terbaik jenjang sarjana pada wisuda tahun ini.
Nadira Indriani Tengker nama gadis ini, biasa di panggil Rara. Gadis cantik dengan postur tubuh ideal ini biasanya selalu ceria.
Namun, kali ini Rara terlihat meratap. Sebabnya tak lain adalah ketidakhadiran orangtuanya di hari yang sangat penting ini, padahal Rara sudah menghubungi keluarganya sejak dua minggu sebelum hari wisuda.
Pada saat itu sang ibunda berjanji akan datang ke Milan untuk hadir merayakan kelulusan Rara. Namun, beberapa hari sebelum hari-H, sang ibunda tercinta kembali menelpon dan memberitahu bahwa ia berhalangan untuk hadir.
'Mengapa tidak ada yang datang untuk merayakan kelulusanku?' lirih Rara sedih.
Rara berjalan dengan langkah gontai menuju parkiran, sambil sesekali menghela napas berat. Bukan hanya orang tuanya yang tidak hadir di hari wisuda ini, kekasih yang selama dua tahun kebelakang ini menemani hari-harinya juga tidak hadir dengan alasan yang tak masuk di akal.
Rara melajukan mobilnya meninggalkan kawasan kampus, ia menuju sebuah gedung apartemen. Saat tiba di depan apartemen tersebut, mulai tampak secercah senyum dari bibir Rara.
Yang Rara bayangkan saat ini, meskipun orang tuanya tidak jadi datang, setidaknya ia masih dapat merayakan hari bersejarah ini bersama kekasihnya.
Rara memasukkan password smart lock dengan penuh semangat, dan langsung menuju kamar kekasihnya.
Cklek!
Ketika pintu kamar terbuka, dua orang yang sedang memadu kasih di dalamnya tersentak kaget, begitu juga dengan Rara yang tak kalah terkejut.
Sungguh pemandangan yang sulit dipercaya, kedatangan Rara ke apartemen ini, malah disambut bukti perselingkuhan kekasihnya.
Rara menggelengkan kepala dan terdiam mematung. Air mata pun tak lagi terbendung, dan mengalir deras di pipinya.
Pria yang tak lain adalah kekasih Rara turun dari ranjang dengan gelagapan, dia melilitkan handuk ke tubuh dengan tergesa-gesa lalu menghampiri Rara. "Ra ... Aku bisa jelasin!"
"Apa lagi? Apa semua ini kurang jelas?" desis Rara dengan suara serak.
Plaak ... plaak!
Dua tamparan mendarat mulus di pipi pria durjana, yang selama ini dianggap Rara sebagai malaikat di hidupnya.
"Harusnya dari dulu aku percaya sama Luna, tapi aku buta! Aku lebih percaya sama bajingan macam kamu!" geram Rara seraya berjalan mendekati ranjang.
Di sana seorang wanita dengan tubuh yang hanya berbalut selimut, menatap Rara dengan tubuh gemetar.
"Tega kamu!" hardik Rara seraya melayangkan tamparan.
Sungguh sakit rasanya, wanita yang menjadi selingkuhan kekasihnya, tak lain adalah sepupunya sendiri. Padahal selama ini keluarga Rara lah menanggung semua biaya pendidikan sepupunya itu, hingga bisa bersekolah di luar negri.
Dengan tangis tersedu Rara pergi meninggalkan apartemen tersebut. Dia tak lagi menghiraukan pria bajingan yang berusaha untuk mencegahnya pergi.
Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia bagi Rara, kini telah berganti menjadi hari yang penuh duka cita.
Rara kembali ke apartemennya dengan perasaan hancur. Rara menghempaskan tubuhnya di sofa.
"Luna!" Untuk saat ini hanya nama itu yang ada di pikiran Rara, yaitu sosok sahabat yang selalu ada untuk Rara.
Selanjutnya Rara mengeluarkan ponsel dari dalam tas, kemudian menelpon sahabat karibnya tersebut.
"Lun ...." Tangis Rara kembali pecah, saat sahabatnya itu menjawab panggilan.
"Rara ... kamu kenapa?" tanya Luna khawatir.
Rara tidak menjawab, dia terus menangis terisak, bibirnya gemetaran. Yang Rara tahu saat ini hanyalah menangis sekeras mungkin, agar bisa terlepas dari rasa sesak yang memenuhi dadanya.
Di seberang sana, Luna menghela napas panjang, ia dapat memahami sesuatu yang buruk sedang menimpa sahabatnya, meskipun Rara belum menceritakan apa pun.
"Yang tenang, Ra. Kamu nangis aja sepuasnya, aku bakal dengerin, kok. Setelah itu baru cerita," ujar Luna mencoba menenangkan sahabatnya.
"Dia, Lun ... harusnya aku percaya kalau dia itu bajingan," ucap Rara yang masih diiringi tangisan.
"Yang sabar ya, Ra. Yang penting sekarang, kamu sudah tahu yang sebenarnya. Aku yakin, kamu pasti bisa melewati ini semua. Percaya deh." Luna terus berusaha menyemangati Rara.
"Kamu bisa ke sini nggak, Lun? Aku butuh kamu di sini," pinta Rara penuh harap.
"Maafin aku, Ra. Bukannya aku gak mau ada pas kamu butuh, tapi aku juga sedang ada masalah keluarga, Ra," kata Luna merasa bersalah.
Sebenarnya Luna sangat ingin berada di samping Rara saat ini untuk menghibur sahabatnya, hanya saja ia juga sedang menghadapi masalah yang sangat pelik pada saat bersamaan.
Rara terdiam sejenak, setelah itu keduanya saling menceritakan keluh kesah masing-masing. Rara memang membutuhkan Luna saat ini, tapi Rara juga harus mengerti keadaan sahabatnya itu.
Setelah puas berbagi cerita, meraka pun memutuskan sambungan telpon. Rara mengurung diri di apartemen, berusaha menenangkan hatinya seorang diri.
Namun, dikarenakan rasa sesak itu tidak mau pergi begitu saja, Rara pun memutuskan untuk pergi berkeliling kota Milan, sambil berharap dapat merefresh suasana hatinya yang sedang kacau.
***
Night Club, Milano.
Milan adalah kota favorit Sean, dengan sejuta kemegahan arsitektur kuno dan modern yang berbaur menjadi satu.
Setidaknya dalam satu tahun sekali, Sean pasti datang berlibur ke Kota Milan, sekalian untuk mengunjungi keluarga ontynya di sini.
Setiap kali berkunjung ke kota Milan. Sean Richard selalu menyempatkan diri berkunjung ke sebuah club paling terkenal, menghabiskan malam bersama wanita penghibur adalah hobinya.
Dulu Sean Richard adalah seorang pria baik hati, memiliki mata teduh, dan senyum yang menyejukkan hati.
Namun, semua itu kini sudah menghilang. Bermula saat wanita yang sangat ia cintai bermain gila pria kaya, hingga membuat Sean tidak ingin percaya lagi pada yang namanya cinta.
Sebenarnya kekayaan yang dimiliki Sean jauh lebih besar daripada selingkuhan mantannya itu. Hanya saja pada saat itu Sean memang tidak menunjukkan siapa dia sebenarnya, karena ia berharap dapat menemukan cinta yang tidak memandang kekayaannya.
Sejak mengalami patah hati, Sean berubah menjadi seorang casanova, dan tak pernah lagi membuka hatinya untuk wanita yang lain.
Sudah tak terhitung banyaknya wanita yang datang untuk mencoba mengisi kekosongan di hati Sean, tapi selalu mendapatkan penolakan dari Sean.
Bagi Sean, menghabiskan malam bersama wanita yang sedang kesepian, atau bersama wanita penghibur adalah pilihan terbaik untuk memenuhi kebutuhan biologisnya.
"Tuan aku rindu untuk menghabiskan malam yang panjang denganmu, kau satu-satunya pelanggan yang bisa membuatku seperti melayang di atas tempat tidur," goda seorang wanita penghibur, jari-jari lentiknya bergerilya menelusuri dada bidang milik Sean.
Sean menatap tajam ke arah wanita penghibur yang duduk manja di sebelahnya. Mulanya gadis itu membalas tatapan Sean dengan tatapan nakalnya, tapi sesaat kemudian tubuh gadis itu langsung gemetar ketakutan, karena menyadari tatapan membunuh Sean.
"Pergilah, murahan! Dasar menjijikkan!" geram Sean dengan suara menggelegar.
Dengan cepat gadis seksi khas eropa itu berdiri, dan menjauh dari tempat duduk Sean.
Sementara itu tak jauh dari tempat duduk Sean. Rara terus meneguk gelas demi gelas wine yang diberikan bar tender.
Saat isi botol winenya habis, Rara kembali memanggil bar tender dengan suara yang terdengar meracau, "Un altro, per favore ...." (Satu lagi, pliiss!)
Sebenarnya bar tender tersebut ingin menolak, karena menyadari Rara yang mulai mabuk, tapi Rara seolah memaksa bar tender tersebut dengan tatapannya yang menghunus.
Di sisi lain, Sean terus memperhatikan Rara dari kejauhan. Lalu dengan langkah pasti ia berjalan menghampiri Rara.
"Haii, cantik!" sapa Sean penuh percaya diri sembari duduk di bar stool yang bersebelahan dengan Rara.
"Hai!"
"Sendirian?"
"Ya, seperti yang kau lihat!" sahut Rara acuh tak acuh.
Bersambung.
Ini karya pertama aku, mohon dimaklumi jika banyak kekurangan ya ....
Terima kasih!
Sean memesan minumannya kepada bar tender, yang ia pikirkan saat ini hanya satu, yaitu menikmati one night stand bersama wanita patah hati yang ada di sebelahnya.
Meskipun Rara belum menceritakan apa-apa kepada Sean. Namun Sean sangat yakin dengan feeling'nya. Ya, melihat kondisi Rara terus meneguk gelas demi gelas minuman, tanpa mempedulikan kondisinya yang sudah mabuk, tentu dapat dipastikan bahwa ia sedang memiliki masalah dengan hati.
Mungkin bisa saja masalah keluarga, pekerjaan atau semacamnya. Tapi Sean tidak peduli, jika ternyata nanti tebakannya itu salah.
"Mengapa di dunia ini masih ada pria bodoh, yang mau meninggalkan wanita secantik kamu ...," ucap Sean seraya menyesap minuman yang baru saja diberikan bar tender.
Rara menyipitkan matanya sembari tersenyum heran, Rara menopang dagu dengan sebelah tangan, matanya menatap Sean penuh telisik. "Kau seorang peramal?"
Sean menaikkan alis matanya sebelah yang diiringi senyum tipis. "Kamu percaya peramal? Aku hanya menebak, karena hanya wanita yang sedang patah hati, yang mau meminum anggur, sebanyak dirimu."
"Kamu pintar menebak, tapi tebakanmu tidak sepenuhnya benar," ujar Rara.
"Di bagian yang mana?" tanya Sean, matanya menyorot jauh ke dalam mata bulat berwarna coklat milik Rara yang begitu indah.
Rara membalas tatapan Sean penuh rasa, Rara seperti terhipnotis oleh mata biru milik Sean, entah karena efek patah hati, atau mungkin hanyalah efek dari alkohol yang ia minum. Namun, malam ini Rara begitu mudah terbuai oleh lelaki asing kini duduk di depannya. "Dia tidak bodoh, dia meninggalkanku karena memilih wanita yang lebih muda dan tentunya lebih cantik dariku."
"Pilihan yang bodoh pastinya, dia pasti sudah membuang berlian, dan mengantinya dengan perunggu." Jemari sean mulai membelai wajah Rara, lalu berhenti di tepat di bibir indah milik Rara.
Seperti benar-benar terhipnotis, Rara membiarkan dirinya terhanyut, entah bagaimana mulanya, kini bibir mereka sudah saling berpaut, ciuman itu semakin menuntut, Rara merasa seperti ada sengatan listrik yang kini mengalir di tubuhnya.
Saat kecupan panas itu terlepas. Rara pun berusaha mengatur napasnya. "Kamu pandai merayu, dan juga sangat pandai memulai, benar-benar sebuah tuntutan profesi."
Sean mengernyitkan dahinya, ia tidak mengerti, sebisa mungkin ia mencoba untuk mencerna maksud dari ucapan Rara.
"Temani aku malam ini! Aku akan memberikan seribu euro untukmu," Rara turun dari bar stool dengan tubuh sempoyongan, untung saja Sean dengan cepat menangkap tubuh Rara. Jika tidak, Rara mungkin akan tersadar sesaat dari mabuknya, karena lututnya akan mencium lantai.
'Sial, wanita ini berpikir aku adalah lelaki bayaran,' umpat Sean kesal, tapi terbesit senyum kemenangan di bibirnya. Malam ini ia sukses lagi membuat wanita yang sedang patah hati menjadi mainannya.
Di lantai bawah ada sebuah hotel, yang juga merupakan bagian dari night club, mereka pun sepakat untuk cek in di hotel tersebut.
Sean memapah Rara masuk ke kamar hotel, Sean menuntun Rara dengan susah payah, Rara sudah mabuk berat, ia merasa kepalanya berputar-putar, sedangkan keadaan Sean juga tak jauh berbeda dengan Rara.
Sean merebahkan tubuh Rara di atas kasur, sesaat kemudian ia mulai mencium wajah Rara, dimulai dari kening, mata, pipi, lalu berlabuh di bibir sensual milik Rara.
Kedua bibir itu saling berpaut, manisnya bibir Rara membuat Sean semakin terbakar gairah, Sean melepaskan pautan bibir mereka, ia dengan cekatan melepaskan pakaian yang menempel di tubuhnya, begitu juga dengan Rara, ia pun melakukan hal yang sama pada dirinya.
Sean kembali mendekatkan bibirnya ke arah bibir Rara yang merekah indah, dua bibir itu kembali saling mengecup. Sean merasa hasratnya sudah tak tertahan, ia pun segera melakukan penyatuan.
'Shit ... gadis ini masih perawan,' umpat Sean dalam hati, Sean merasa ada batas yang menghalangi dorongannya, Sean melakukannya dengan sabar, sampai akhirnya ia berhasil menembus pembatas yang menghambat lajunya.
Karena sadar akan akan kondisi Rara yang belum sepenuhnya menerima dirinya, Sean pun melakukannya dengan perlahan, sehingga membuat Rara yang mulanya meringis kesakitan, kini mulai menikmati setiap gerakan Sean.
Rara mulai merasa nyaman, ia kini mengikuti irama dari gerakan Sean, deru napas mereka mulai saling bersahutan di dalam kamar tersebut.
Sean dan Rara sama-sama mengerang panjang, saat gelombang cinta itu mencapai puncak, Sean mengatur napasnya yang masih tersengal, ia merebahkan tubuhnya ke samping, tanpa melepaskan Rara dari pelukannya.
Sean mencium kening Rara, sementara tangannya mengusap lembut wajah cantik, gadis yang baru saja menyerahkan mahkotanya secara suka rela. Setelah sekian lama, ini adalah kali pertama Sean kembali memperlakukan wanita dengan lembut.
Mereka beristirahat sebentar, lalu memulai kembali adegan panasnya, mereka melewati malam panjang yang penuh cinta. Sampai akhirnya, mereka kelelahan lalu tertidur pulas.
Rara terbangun lebih awal, kepalanya masih terasa berat, ia mengerjapkan mata perlahan, alangkah terkejutnya Rara, ia mendapati seorang pria tengah tertidur lelap, di ranjang dan selimut yang sama dengannya. Apalagi tubuh mereka sama-sama polos dan hanya berbalut selimut saja.
Rara tertengun sejenak, dengan tangan memegangi bibir bawahnya, dengan cepat ia menyadari, apa yang sebenarnya terjadi tadi malam.
Rara segera turun dari tempat tidur, ia ingin ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya, ia melangkah perlahan, tubuh bagian bawahnya terasa perih, ditambah seperti ada yang mengganjal di bagian tersebut.
Setelah selesai membersihkan dirinya, Rara segera memungut pakaian yang berseleparan di lantai, lalu mengenakannya.
Mata Rara kini tertuju pada pria yang masih tertidur lelap di atas ranjang, sungguh wajah yang sangat indah untuk dikagumi, ingin rasanya Rara menyetuh wajah tampan, yang terlihat nyaman berada di alam mimpi tersebut, tapi ia menahannya, Rara tidak ingin membuat pria tersebut terbangun.
'Enak sekali hidupmu, bisa hidup hanya dengan mengandalkan tampang,' gumam Rara, ia membuka dompet lalu mengambil beberapa lembar uang berjumlah seribu euro, lalu meletakkannya di atas meja nakas, setelah itu ia pun bergegas meninggalkan kamar tersebut.
Sean terbangun dari tidurnya, ia segera turun dari tempat tidur, karena tidak melihat keberadaan wanita yang semalam bersamanya. Sean memeriksa kamar mandi, tapi tidak menemukan keberadaan wanita yang ia cari.
Sean kembali mendudukan dirinya di sudut ranjang, Sean tersenyum bangga saat melihat ada bercak darah, yang menodai tempat tidur mereka semalam. Namun, raut wajah Sean langsung berubah, saat melihat lembaran uang yang berada di atas meja nakas.
"Sial ... wanita itu benar-benar mengira aku ini lelaki bayaran!" umpat sean sembari memegangi kepalanya.
***
Rara kini sudah berada di mobilnya, ia segera melajukan mobilnya kembali ke apartemen.
Rara tiba di depan apartemen, matanya menatap tajam pada orang sedang menunggu tepat di pintu apartemennya.
"Mau apa kamu ke sini lagi?" tanya Rara, wajahnya menyiratkan aura tidak suka, dengan keberadaan orang tersebut.
Bersambung.
Haii kakak-kakak semua, selain di kolom review, boleh kritik dan saran di:
Ig @poel_story27.
Terima kasih sudah membaca.
Wanita tersebut menyambut kedatangan Rara dengan senyum sinis. "Kamu nggak perlu khawatir, aku nggak lama kok. Cuma mau ambil pakaianku aja."
Wanita ini bernama Vita, ia tak lain adalah adik sepupu Rara, Wanita yang kemarin tertangkap basah sedang ***-*** bersama kekasih Rara, mantan lebih tepatnya. Selama ini Vita menumpang tinggal di apartemen milik Rara, sungguh tidak tahu di untung, semua kebaikan Rara di balas sepupunya itu dengan pengkhiatan yang sadis.
Andai mampu melihat sisi baiknya, Rara patut bersukur, karena kejadian kemarin sudah membongkar kebusukan sepupunya itu, dan juga kubusukan pria bajingan yang selama ini dipuja-puja oleh Rara.
Tapi Rara juga adalah wanita seperti pada umumnya, yang lebih mengedepankan perasaan ketimbang logika, dikhianati dua orang terdekat sekaligus, tentu sangatlah menyakitkan untuk seorang Rara.
Rara kini benar-benar benci dan merasa jijik melihat adik sepupunya itu. "Tunggu di sini, jangan masuk ke apartemenku. Aku tidak sudi, pengkhianat sepetimu menginjakkan kaki di apartemenku lagi."
"Cihh, jangan kepedean deh, siapa juga yang masih mau tinggal di apartemen kamu ini. Asal kamu tahu, sekarang ini, aku sudah tinggal di apartemen yang jauh lebih mewah, apartemen pacar kamu itu! Eh, salah! Maksudnya mantan kamu yang sekarang berpindah tangan ke aku. Kedatanganku ke sini, cuma mau ambil barang-barangku, cuma itu aja," ujar Vita dengan nada yang sangat mengesalkan untuk didengar. "Eh, bentar ... bentar! pengkhianat kamu bilang?"
"Tentu saja pengkhianat, memangnya ada kata yang lebih tepat, selain pengkhianat?" Rara mulai tersulut emosinya, ucapan Vita yang terdengar sangat menusuk di telinga Rara.
"Rara ... Rara ...." Adik sepupunya itu menggeleng, dengan mimik wajah mencemo'oh. "Sungguh tidak sadar diri, kok malah menyalahkan orang lain, sih. aku rasa kamu harus membeli cermin yang lebih besar lagi, deh. Agar kamu sadar ... mengapa pacarmu itu berpaling? Kamu harus lebih sering bercermin, Rara! Supaya kamu sadar, bahwa kamu itu, tidak ada apa-apanya dibandingkan aku. Coba Lihat! Soal wajah, aku lebih cantik, soal body apa lagi, tentu saja aku lebih sexy." ujar Vita, disusul tawanya yang terdengar sangat menyakitkan bagi Rara.
Rara hanya diam dan berusaha meredam amarah, meskipun sebenarnya perkataan Vita sudah sangat menguras emosinya.
"Jangan tanya soal servis di ranjang! Jelas, aku menang segalanya. Aku bisa memenuhi semua keinginananya, mau gaya apa aja, aku bisa, aku selalu membuatnya bertekuk lutut di ranjang. Sedangkan kamu bisa apa? Gadis yang sok suci! Sok-sok'an nolak diajak making love. Padahal, belum tentu juga benaran suci. Jangan-jangan, cuma topeng aja," celoteh Vita, yang tidak merasa malu membanggakan perbuatannya.
Oh ... Tuhan, iblis macam apa wanita ini, yang dengan lantang membanggakan perbuatan kotornya, ditambah lagi ia merendahkan Rara. Apakah pantas ia berucap seperti itu kepada Rara? Jangan lupakan, Rara adalah tempat Vita menumpang selama tinggal di Italia.
Selama menumpang di apartemen Rara, Vita selalu membuatnya susah, jangan kan untuk membantu Rara membersihkan apartemen, Vita selalu bersikap seolah ia adalah ratu, dan Rara adalah pelayannya. Tapi Rara selalu sabar. Sebagai kakak, Rara merasa, mengalah kepada adik adalah hal wajar. Selama ini Rara memang selalu memanjakan Vita, karena Rara tidak mempunyai adik ataupun kakak. Rara adalah anak tunggal.
Pernah sekali Rara benar-benar marah. Saat itu Vita kedapatan membawa laki-laki untuk berbuat tidak senonoh di apartemennya, Rara sudah ingin mengusir Vita pada waktu itu, tapi Vita mengiba kepada Rara dan berjanji tidak mengulanginya lagi.
Sebagai kakak, Rara pun akhirnya luluh, ia memaafkan Vita, Rara berharap bisa mendidik Vita untuk jadi perempuan baik. Namun, kenyataannya Rara sedang memelihara ular berkepala dua, dan kini ular berbisa itu sudah menggigit pengasuhnya.
Wajah Rara sudah memerah menahan emosi, Rara menghela napas berat, perkataan Vita seolah mengandung racun yang membuat dadanya terasa sesak, dengan cepat Rara memasukkan pasword smart lock apartemen, lalu masuk dan meninggalkan Vita di luar.
Sebelum pergi kemarin, Rara memang sengaja mengubah pasword pintu apartemennya, itulah sebabnya Vita tidak bisa masuk ke dalam, dan terpaksa Vita harus menunggu Rara di luar.
Rara mengumpulkan semua barang milik Vita, lalu membawanya keluar.
"Ini semua barang-barang kamu, bawa jauh dari sini," Rara melemparkan barang-barang tersebut ke arah Vita.
Vita memungut barang-barang miliknya, bibir atasnya menyungingkan senyum culas, entah gadis macam apa yang selama ini di sayangi Rara seperti adik kandungnya ini, setelah selesai mengemasi barangnya, Vita berlalu meninggalkan apartemen Rara.
Setelah Vita pergi, Rara kembali masuk ke dalam apartemennya, ia menghempaskan tubuhnya di atasnya sofa, sesaat kemudian tangisan Rara kembali pecah. Sangat menyakitkan bagi Rara. Ia dikhianati dengan kejam dan dihina habis-habisan oleh orang selama ini begitu ia sayangi.
Rara sudah tidak tahan berlama-lama berada di italia, ia segera memesan tiket pesawat untuk pulang ke indonesia. Rara juga menghubungi Luna sahabatnya, Rara mempercayakan apartemen, termasuk kendaraannya kepada Luna, untuk dijual.
***
Pesawat yang di tumpangi Rara mendarat di jakarta, Sembari menunggu boarding untuk keberangkatan ke Manado, Rara pun menghubungi keluarga, untuk memberi kabar kepulangannya, sekalian agar ada yang menjemputnya, saat tiba di bandara nanti.
Tapi aneh, ponsel milik mamanya tidak aktif, Rara mencoba untuk menghubungi telpon rumahnya, tapi tidak ada jawaban. Terakhir Rara menghubungi nomor papanya berkali-kali. Terhubung, tapi tidak ada jawaban dari papanya.
Rara sangat heran, berkali-kali keluh-kesah keluar sendiri dari bibirnya. Bahkan saat pesawat yang ia tumpangi sudah landing di Manado, keadaan masih tetap sama. Akhirnya dengan terpaksa sembari menahan rasa kesal. Rara pulang dengan menggunakan taksi.
Taksi yang rara tumpangi tiba di depan rumahnya, supir taksi turun untuk membantu Rara mengeluarkan barang-barangnya. Rara membayar ongkos taksi, lalu menyeret barang bawaannya untuk masuk ke dalam rumah.
"Bibi mau ke mana?" tanya Rara heran, tepat saat ia akan membuka pintu rumah. Bi' Eni, asisten rumah tangga yang sudah puluhan tahun bekerja di rumahnya, keluar dari rumah tersebut, dengan membawa tas kecil yang berisi pakaiannya.
"Kamu sudah pulang, Non ...." Bi' Eni langsung memeluk Rara, di saat yang sama air mata mengalir deras di pipi perempuan setengah baya tersebut.
Meskipun hanya asisten rumah tangga, kedekatan Rara dan bi' Eni sudah sudah seperti ibu dan anak, bi' Eni sudah bekerja di rumah keluarga Rara sebelum ia lahir.
"Bibi, ada apa ini? Kenapa Bibi nangis?" tanya Rara yang benar-benar keheranan.
"Ceritanya nanti aja, Non! Di jalan, itu taksinya udah datang," kata bibi Eni terisak, ia membantu Rara memasukkan barang bawaanya ke rumah, setelah itu mereka segera masuk ke dalam taksi yang sudah menunggu mereka.
Bersambung.
Bantu like, vote, coment ya!
terima kasih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!