NovelToon NovelToon

CEO Dan Office Girl

Chapter 1

Semoga pembaca terhibur dengan novel pertama yang saya tulis. Terimakasih.

Selamat Membaca...

***

Delima menatap gundukan tanah didepannya dengan sedih. Ida, nenek kesayangannya baru saja meninggal karena sakit. Umurnya memang sudah tua yaitu 70 tahun. Tiga hari sebelum meninggal, neneknya berkata bahwa dia bukanlah cucu kandungnya. Ia hanyalah gadis yang ditemukan neneknya saat masih bayi di sebuah pos ronda di desa tempatnya tinggal. Delima sangat kaget dan terpukul. Selama ini dia mengira bahwa ia adalah cucu neneknya dan orang tuanya telah meninggal. Memang benar neneknya memiliki seorang putra dan menantu yang telah meninggal, namun ternyata mereka bukanlah orang tua kandungnya.

Neneknya meminta Delima untuk pergi mencari orang tuanya ke Jakarta. Sang nenek memberikan sebuah kalung dan liontin yang berinisial A, foto bayi Delima, beserta sebuah kartu nama. Didalam kartu nama itu tertulis sebuah nama dan alamat perusahaan yang tertera di Kota J. Neneknya berkata bahwa ia menemukan kartu nama itu tak jauh dari tempat dibuangnya Delima. Neneknya berkata bahwa kemungkinan orang itu adalah orang yang membuang Delima. Namun tidak tahu apakah itu orang tuanya atau hanya orang

suruhan.

“Eric Stephenson...”, gumam Delima sambil menatap gundukan tanah di depannya.

“Del, ayo pulang.” Bu Nisa, tetangga Delima mengajaknya untuk pulang dari pemakaman.

“Nggih Bu, sakedap malih. Bu Nisa boleh pulang duluan.”

“Ya. Nanti kalo Delima ada apa-apa bilang saja ke ibu ya?”, Delima mengangguk.

“Nenek, terimakasih. Nenek sudah merawat Delima sampai sebesar ini. Delima sayang nenek. Delima berjanji akan menemukan orang tua Delima. Semoga orang tua Delima masih hidup.”

***

Delima masuk kedalam rumah sederhana yang ditempati selama ini bersama neneknya. Ia masuk ke kamarnya dan neneknya. Selama ini ia dan neneknya selalu tidur bersama karena rumah neneknya hanya ada satu kamar. Ia mengambil sebuah rekening atas nama dirinya yang berisi uang sebanyak sepuluh juta.

‘Delima, cucuku. Dalam laci meja ada rekening isi sepuluh juta. Pakailah untuk pergi ke Kota J. Nenek minta

maaf sudah tidak bisa menjaga Delima. Sekarang waktunya Delima mencari orang tua kandungnya Delima.’ begitulah kira-kira perkataan neneknya sebelum ia kritis dan akhirnya meninggal.

“Nenek..” Delima kembali meneteskan air matanya.

***

Delima menatap takjub bangunan besar dan bertingkat yang terlihat oleh matanya. Baru kali ini ia menginjakkan kaki di kota besar. Sejak dulu ia sangat jarang ke kota di daerahnya karena jaraknya sangat jauh. Delima sudah berjalan kaki selama satu jam semenjak turun dari bus antar provinsi. Ia ingin mencari orang bernama Eric Stephenson, tapi justru dia bingung sekarang ada dimana.

“Lebih baik mencari kontrakan dulu ya..”, batinnya

Delima berjalan sambil sesekali bertanya pada orang-orang di pinggir jalan tentang kontrakan atau kost disekitar sana.

Delima melihat seorang perempuan yang sedang duduk di halte sambil meminum boba-nya.

“Permisi, Kak. Saya lagi cari kontrakan yang murah disini apakah kakak tahu tempatnya?”, tanya Delima

“Ada mbak, mau kuantar? Kontrakannya punya tanteku. Disana aman kok tenang saja. Dekat dengan pasar dan pangkalan ojek online.”

“Ah.. Terimakasih, Kak…”. Delima dan perempuan itu berjalan beriringan masuk kedalam gang kecil.

“Panggil aku Nina saja mbak. Namamu siapa dan dari mana asalmu?”

“Ah,  saya Delima. Saya dari daerah XXX. Mau cari kerja disini.”

“Santai aja, Del. Jangan terlalu formal. Sepertinya kita seumuran.”, kata Nina sambil tersenyum.

Setelah 15 menit berjalan, akhirnya Delima sampai di kost milik tantenya Nina. Setelah bertemu dengan

tantenya Nina dan setuju dengan harganya, Delima mengambil uang dari tasnya dan langsung membayar biaya sewanya selama 3 bulan.

“Tinggal mencari kerja. Dan.. mencari Eric Stepenson. Aku harus bertanya pada orang itu. Mungkinkah dia orang tuaku?”

Tapi jika iya, mengapa orang bernama Eric Stephenson sangat tega membuangnya? Apakah ia adalah anak dari hubungan gelap? Kepala Delima benar-benar pusing dan ia memutuskan untuk tidur. “Beres-beresnya besok saja.”

***

“Delima, mau kerja sama aku nggak? Kebetulan perusahaan tempat kerjaku lagi butuh banyak Office Boy dan Office Girl.”, Nina pagi subuh datang ke kontrakan Delima dan memberitahu pekerjaan pada Delima yang sedang memakan sarapannya. Hanya semangkuk mie dari Nina, karena ia belum belanja. Nina sangat baik dan peduli. Mungkin karena ia tahu jika Delima baru saja datang merantau. Rumah Nina tidak jauh dari tempat Delima. Cukup berjalan kaki selama 5 menit.

“Hah? Benarkah? Aku mau.” Delima menjawab dengan gembira.

“Beneran. Perusahan tempatku bekerja itu baru saja selesai direnovasi dan membutuhkan Office Boy dan Office Girl lebih banyak. Jadi mau ya? Nanti kita kerja bareng deh. Aku akan kasih tau Bu Viana. Berangkat aja dulu. Syaratnya bisa menyusul besok.”

“Terimakasih, Nina. Kamu baik banget.”

“Sama-sama, Del. Aku seneng banget punya teman baru. Ah  btw kamu itu keturunan mana? Wajahmu kayak

bukan orang Indonesia.”

“Kata tetangga di kampung juga gitu. Katanya aku aneh hehe.”

“Kulitmu putih, lho. Wajahmu juga mulus. Pakai skincare apa? ”, Nina bertanya sambil nyengir.

Delima meringis. “Gak pake apapun, Nin. Di kampung mana ada skinker. Cuma pakai air sumur sama sabun mandi. .”

“HAH?” Delima terperanjat karena Nina berteriak. Delima menggelengkan kepalanya.

***

“Terimakasih, Bu Viana. Saya akan berusaha bekerja dengan baik.”

Delima sangat bahagia karena ia merasa beruntung. Baru sampai di Jakarta, ia langsung mendapatkan pekerjaan. Ini semua berkat bantuan dari Nina. Suatu hari ia harus membalas kebaikan Nina.

“Baiklah sudah ya. Syaratnya Ibu tunggu besok. Sekarang kamu mulai membersihkan ruang pimpinan di lantai 15 sebelum pemiliknya datang. Jangan melakukan apapun selain membersihkan tempat itu. Mengerti? Seragamnya bisa ambil di lemari sebelah sana.” Viana menunjuk sebuah lemari di pojok ruangan.

“Iya, Bu.”

“Bekerjalah dengan baik. Jika tidak, kamu akan dipecat.” Viana menatap Delima intens. “Btw, kamu pake skincare apa? Kok wajahmu bisa mulus banget?”, Delima menatap Viana sambil tersenyum kaku. Sudah dua orang yang menanyakan skincare padanya. Padahal ia hanya memakai sabun mandi!

“Skinker apa jal!**?”, seru Delima dalam hati.

***

“Wir!”

“Astaga, jangan panggil aku War Wir seperti itu namaku Wira!”

“Masa bodoh tentang itu! Apakah perekrutan Office Boy dan Office Girl sudah selesai?”

“Tentu saja sudah Tuan Muda Devano Anderson Wijaya.”

“Baiklah. Terimakasih, Wir.”

“Please..” Wira, sang asisten sekaligus sahabatnya sebal dengan nama panggilan dari bosnya.

Sedangkan Devano hanya tersenyum tipis. Tak peduli tentang itu. Ia menatap keluar jendela mobil. Sekarang adalah hari Senin. Ia menghela napasnya. Hari ini ada banyak agenda meeting dengan klien.

“Persiapkan semua jadwalku.”

“Baik, Bos.”

Chapter 2

***

Delima telah sampai di lantai 15 menggunakan lift karyawan. Ia naik bersama Office Girl dan Office Boy yang lain. Sesuai instruksi dari Bu Viana, ia mengambil alat kebersihan di salah satu ruangan khusus di lantai tersebut. Setelah menemukan alat yang dibutuhkannya, ia berjalan menuju ruang pimpinan disana. Satu-satunya ruangan yang paling besar di lantai 15 tentunya.

“Permisi, Bu. Saya izin membersihkan ruangan.” Delima meminta izin kepada seorang perempuan yang sedang duduk di dalam ruangan itu.

“Oh, ya.” Wanita bernama Deby mengamati Delima. Ia belum pernah melihat anak ini. “Kau baru ya? Masuk saja ke ruangan disebelah sana. Ingat, tugasmu hanya membersihkannya saja.”

“Baik, Bu Deby.” Jawab Delima setelah membaca papan nama di meja Deby.

Delima masuk ke ruangan pimpinan dengan hati-hati. Ia takut jika  membuat masalah karena kecerobohannya. Ia mulaimengambil lap dan *****-bengeknya kemudian mulai mebersihkan ruangan itu.

“Padahal ruangannya sudah rapi sekali.”, gumamnya. Delima membaca papan nama yang ada di meja pimpinannya sambil membersihkan dan merapikan meja tersebut.

Devano Anderson Wijaya

“Oh, jadi namanya Pak Devano.”

Dua puluh menit kemudian Delima sudah selesai membersihkan seluruh ruangan. Ia menyeka peluh yang mengalir dari dahi mulusnya. Kemudian meregangkan tubuhnya. “Ruangan ini sangat luas.”

CKLEK

Seorang pria masuk ke dalam ruangannya. Pria itu menatap aneh seorang gadis berseragam Office Girl yang

sedang bergerak-gerak seperti sedang olahraga.

‘Sedang apa gadis ini?’, tatapan pria itu menjadi sangat tajam. Dia berdiri dibelakang Delima yang masih menggerakkan tubuhnya tanpa menyadari seseorang yang telah masuk ke ruangan itu.

“Ada apa, Bos?”, seorang pria lain masuk menyusul. “O..”, pria yang baru datang itu manggut-manggut.

“Sedang apa kau?”, pria itu berkata dengan suara beratnya.

Delima tersentak kaget, ia membalikkan badan dengan cepat. Dan kepalanya membentur dada seseorang.

“Aduh!”, Delima mengelus dahinya sambil meringis. Ia mendongakkan kepalanya dan terpana.

‘Duh Gusti. Siapa ini? Tampan sekali. Astaga apakah dia malaikat?’ Delima menggelengkan kepalanya.

Delima menatap dua pria tinggi didepannya. ‘Gawat. Jangan-jangan dia Pak Devano.’, kemudian Delima menundukkan kepalanya takut.

“Hei kau gadis kecil, kenapa kau tidak menjawab pertanyaan Tuan Devano?!”

“Ah! Ma-maafkan saya. Saya baru saja membersihkan ruangan anda, Pak. Maafkan saya.”

‘Apakah aku akan dipecat? Jangan tolong. Aku baru diterima disini.’

Devano masih menatap tajam gadis didepannya. Ia agak kesal karena biasanya ketika ia masuk ke ruangannya, Office Girl atau Office Boy perusahaannya sudah menyelesaikan tugasnya. Tapi ini? Gadis ini benar-benar merusak moodnya pagi itu.

“Biasanya si gendut yang naik ke lantai ini.”, ucap asistennya heran.

“Seharusnya, kau sudah pergi ketika aku datang.”, Devano mengatakannya dengan kesal. Tatapan tajamnya tak beralih dari gadis berambut hitam legam didepannya yang sedang menunduk dalam.

“Maaf, Pak. Maafkan saya. Tolong jangan pecat saya ya, Pak!”, Delima menangkupkan tangannya didepan dada. Memohon.

Devano menghela napasnya. Ia kesal, tapi ia harus menahannya. Hari ini ada banyak jadwal dan ia tidak mau memperburuk moodnya.

“Keluar sekarang.”

“B-baik, Pak. Terimakasih.”

Dengan tergesa-gesa Delima berjalan keluar ruangan Devano. Kemudian pamit kepada Deby.

“Astaga. Kau bodoh sekali Delima. Untung saja kau tidak dipecat. Hampir saja. Dia sangat menakutkan.”, Delima bergumam sambil berjalan menuju ruangan khusus untuk meletakkan alat kebersihannya.

**

Devano duduk di kursi kebesarannya. Moodnya sedikit buruk pagi itu. Untung saja dia bisa menahannya.

“Sepertinya tadi Office Girl baru. Aku baru melihatnya.” Wira, asisten sekaligus sahabatnya itu berujar. Sebenarnya Wira hanyalah seorang asisten Devano, namun Devano sudah menganggap Wira sebagai sahabatnya sendiri karena dia dulu berteman dengan Wira sejak SMA.

“Hem. Jangan buat moodku makin buruk bodoh!”

“Baiklah-baiklah selesaikan saja pekerjaanmu, Tuan Muda. Jadwal rapat pertama hari ini dimulai pukul sembilan.” Wira memberitahukan jadwal pertamanya pada Devano.

“Siapkan semuanya.”

***

“Del, bisakah kau membantuku?”, seorang gadis bernama Via bertanya.

“Ya? Apa yang harus aku lakukan, Vi?”

“Bantu aku membawakan kopi-kopi ini ke ruang rapat. Ikuti saja aku ya. Kau pasti belum tahu ruangannya.”

Via mengambil salah satu dari dua nampan didepannya. Delima ikut mengambil nampan yang satunya kemudian berjalan menuju ruang rapat.

Setelah sampai ke ruang rapat, ternyata rapat belum dimulai. Ada Devano, Wira dan cukup banyak orang berjas di dalam ruangan itu. Jika dihitung kemungkinan ada sepuluh orang. Delima masih merasa takut dan malu pada Devano hanya berjalan sambil menunduk. Delima meletakkan gelas berisi kopi dengan sopan didepan orang-orang yang mengelilingi meja bundar tersebut. Tak menyadari jika ada sepasang mata yang menatapnya intens.

“Selamat menikmati kopinya, Pak.” Delima berujar sambil tersenyum sopan setiap ia meletakkan kopi didepan pria-pria yang  jauh lebih tua dari Devano.

“Apa-apaan gadis itu?”, Devano berguman. Selama ini tidak pernah ada Office Girl yang melakukan hal itu ketika menghidangkan kopi didepan peserta rapatnya. Menawarkan sambil tersenyum.

“Itu salah satu bentuk kesopanan, Dev. Wah, baru kali ini aku melihat yang seperti itu.”, Wira berujar dengan takjub.

“Diamlah, Wir!”

“Namaku Wira, bukan War Wir seperti itu!”, Wira berujar kesal sambil memutar bola matanya.

‘Dasar bule curut! Seandainya kau bukan bos dan sahabatku sudah kujemur sampai jadi ikan asin!’

Setelah Delima dan Via selesai menghidangkan kopinya, mereka berdua keluar dari ruang rapat.

Delima berjalan kembali menuju ke ruangannya membawa nampan tadi. Via tadi izin ke toilet. Katanya kebelet pipis sehingga Delima kembali sendirian. Dari kejauhan ada seorang pria yang berjalan terburu-buru dan tak sengaja menabrak bahu Delima.

“Aduhh!!” Delima terjatuh dengan tidak elitnya.

Pantatnya sakit!

“Ah, maaf nona. Apakah kau baik-baik saja?”, Ujar pria itu. Delima mendongak menatap pria tampan didepannya.

“Ti-tidak apa-apa, Pak.”, Delima bangkit dari jatuhnya.

“Sekali lagi maaf nona. Saya sedang terburu-buru.”

Kemudian pria itu berjalan tergesa-gesa masuk ke ruang rapat tadi.

‘Aduh sial banget sih hari ini. Bisa-bisa pantatku makin tepos.’

**

Jam istirahat datang. Seluruh karyawan turun ke kantin perusahaan untuk makan siang. Tak terkecuali Delima. Setelah mengambil makanannya, ia duduk bersama temannya barunya yang lain dan makan sambil mengobrol.

“Delima asalnya dari mana?”, Via bertanya.

“Aku dari daerah XXX. Aku diajak Nina bekerja disini.”

“Hah? Beneran? Bukan dari luar negeri, gitu?”, Lea bertanya

terheran-heran.

“Iya. Haha mana mungkin aku dari luar negeri, Le.”

“Tapi kamu kayak bukan orang Indonesia loh, Del.”

“Kemarin Nina juga berkata seperti itu. Tetangga di kampung juga bilang aku aneh. Hehe.”

“Rahasia skincare dong, Del. Aku juga pengen punya wajah mulus kinclong tanpa jerawat dan komedo kayak kamu. Hiks.” Lea berujar sedih. “Iya, Del. Skincaremu apa? Aku juga ingin ngilangin bopengku. Huhuhu.” Via melanjutkan

“Hanya sabun dan air sumur. Di kampung mana ada skinker.”, Delima menjawab santai kemudian menyuapak sesendok nasi ke mulutnya.

“HAH?”

***

“Wira Sentana!”

“Bisakah kau tidak berteriak, Dev! Aku disini selalu bersamamu!”

Devano bergidig. “Bersamamu. Bersamamu. Aku bukan pacarmu bodoh! Dan aku masih normal!”

“Normal katamu? Sungguh aku begitu meragukanmu.”

“Ck. Sialan kau.”

Wira menjatuhkan bokong seksinya di atas sofa ruangan. Sedangkan Devano duduk di kursi kebesarannya. Baru saja ia menyelesaikan seluruh jadwal meetingnya. Tubuhnya lumayan lelah. Dan otaknya sangat panas.

“Suruh Deby membelikanku Ice Coffee Late di depan kantor.”, Ujar Devano.

“Dia tidak ada di ruangannya.”, Jawab Wira.

“Ck. Kemana wanita itu. Kenapa suka sekali keluyuran tidak jelas! Padahal aku belum pulang!”

“Aku akan menyuruh OB atau OG.”

“Hemm..” Devano menyandarkan tubuhnya di kursi dan memejamkan matanya. Sambil menunggu Ice Coffe Lattenya datang.

**

Delima merapikan tasnya. Ia sudah mengganti pakaian kerjanya dengan kaos yang sedikit kebesaran di tubuh mungilnya.

Saat ia akan keluar ruangan, Viana datang menghampiri Delima. Satu-satunya karyawan yang ada di ruangan itu.

“Delima. Tolong belikan dua Ice Coffee Latte di café depan kantor. Dan bawa ke ruangan pimpinan. Hanya tinggal kamu saja disini. Aku harus pulang segera karena anakku sudah menangis di rumah.”

“Ais cofe let. Apa tadi bu? Delima tidak paham.”, Delima

bertanya dengan polosnya.

“I-C-E C-O-F-F-E-E L-A-T-T-E. Bilang saja seperti itu. Mereka pasti paham. Setelah kau mengantar itu, kau boleh pulang.”

“Aaaaa.. Iya bu, baik.”

Delima menerima uang seratus ribuan dari Viana dan meluncur ke café.

Sesampaianya di café, Delima memesan es pesanan bosnya. Ia membaca harga minuman dan makanan disana.

“Astaga mahal sekali padahal cuma es kopi. Seratus ribu cuma dapat dua. Padahal di kampung kalau  beli pecel bisa untuk makan 15 orang.” Delima menggelengkan kepalanya. Ia jadi teringat neneknya. Dulu neneknya juga berjualan pecel.

***

CKLEK

Delima masuk ke ruangan Devano dengan kepala tertunduk. Ia masih malu dengan kejadian tadi pagi. Ia sudah menubruk dada bosnya dengan jidat batunya.

“Em. Pak. Saya mengantar pesanan kopi.”

“Taruh di meja sana.”, Devano berkata tanpa membuka matanya.

“Apa masih ada yang bisa dibantu, Pak?”

Devano membuka matanya. Manik kebiruannya menangkap seorang gadis yang memakai jeans dan kaos hijau yang kebesaran. Gadis yang tadi pagi menubruk dadanya dengan jidatnya. Devano mengeryit dengan style gadis itu yang menurutnya aneh. Kemudian matanya beralih ke rambut gadis itu yang berwarna hitam legam. Rambutnya dikuncir kuda. Sangat cocok dengan gadis itu -menurut Devano-. Kemudian matanya kembali mengamati wajahnya yang polos. Devano mengeryit. Gadis ini seperti bukan orang Indonesia.

“Kau tetap disitu sampai aku pulang.”, Devano berkata sambil menyeringai. Kemudian mengambil salah satu Ice Coffee Lattenya dan menyedot isinya. Sang asisten tadi izin pulang terlebih dahulu karena ada kepentingan dengan keluarganya.

Delima hanya melongo. Ia harus berdiri disini sampai bosnya pulang? Ia kesal. Seharusnya tadi dia langsung pamit saja. Tangannya ia angkat untuk mengetuk-ngetuk kepalanya.

‘Padahal aku mau belanja!’

‘Sial sekali!’  Delima terus mengumpat dalam hati.

**

Delima berbelanja di supermarket sambil menggerutu kesal. Bibirnya manyun sejak ia keluar dari kantornya. Ia dikerjai oleh bosnya. Berdiri selama dua jam di ruangan dan menunggu bosnya yang meminum kopi dan bermain ponselnya.

Delima keluar dari supermarket itu. Ia berjalan menuju tempat duduk yang ada didepan supermarket. Meletakkan belanjaannya di bawah, mengambil air putih botol dari sana dan meminumnya.

“Hah.. Baru hari pertama bekerja kenapa aku sudah sial begini sih. Padahal yang lain kulihat-lihat biasa saja. Tidak ada yang sesial diriku.”

“Halo, Nona..” Seorang pria tiba-tiba datang dan duduk di bangku sebelah Delima.

“Eh?”, Delima terperanjat kaget.

“Kita bertemu lagi, Nona.”

Delima menatap pria tampan didepannya. Wajahnya seperti oppa-oppa Korea. Sangat tampan sekaligus cute.

“Ah, ya?” Delima masih bingung.

“Aku minta maaf karena tadi pagi menabrakmu.”

Delima ingat. Pria yang menabraknya sampai membuat bokongnya menangis terbentur lantai.

“Iya tidak apa-apa, Pak.”, Delima menjawab pria itu kaku. Dia pasti teman Pak Devano. Ia harus bersikap sopan. Pikirnya.

“Aku Marvel. Siapa namamu, nona?”

“Ah? Anu.. itu... Nama saya Delima.”

Pria bernama Marvel tersenyum geli dengan gelagat gadis didepannya. Ia mengamati wajah Delima dan membuat Delima merasa tidak nyaman. Akhirnya Delima menundukkan kepalanya karena risih dan malu.

“Nama yang bagus. Apakah Delima baru saja belanja?”

“Iya, Pak. Saya baru saja belanja.”

“Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Ah. Aku merasa tua sekali.” Marvel mengusap usap dagunya pelan.

‘Lalu aku harus memanggilnya apa? Mas Marvel? Om Marvel?’  Delima membatin aneh.

“Panggil aku Kak Marvel saja.” Marvel berkata sambil tersebyum lebar menatap Delima.

Delima hanya tersenyum kaku.

Marvel mengambil ponselnya, mengetik sesuatu disana.

“Aku harus pergi nona Delima. Sampai bertemu lain waktu.” Marvel tersenyum kemudian pergi dari hadapan Delima.

“Sepertinya, kak Marvel orang baik ya. Tapi sepertinya dia orang kaya.” Delima menghela napasnya. Ia hanyalah seorang Office Girl. Ia tidak boleh bergaul dengan orang kaya seperti Marvel. Ia merasa tidak pantas. Delima menyadi posisinya.

***

Devano masuk ke kamarnya dan duduk di sofa yang ada disana kemudian berpikir sesuatu sambil menatap jendela kamarnya.

Gadis itu…

Devano mengambil ponsel di saku jasnya kemudian memanggil seseorang.

“Wir, cari tahu tentang gadis yang menabrakku tadi pagi! Besok kau harus memberikan informasinya padaku!”

“Apa? Apa maksudmu, Dev? Kau…….”

Devano mematikan ponselnya. Ia berani yakin Wira pasti sedang mengumpatnya diseberang sana.

Devano kembali menyandarkan kepalanya di sofa. Memejamkan matanya dan tersenyum. Senyum yang aneh dan tidak dapat dideskripsikan apa maksudnya.

Chapter 3

Mohon maaf jika alurnya amburadul. Ini pertama kalinya saya menulis.

***

“Selesai!” Delima tersenyum puas melihat hasil kerjanya. Ia sesegera mungkin merapikan peralatan kebersihannya dan keluar dari ruangan bosnya. Ia harus segera pergi sebelum bosnya datang seperti kemarin.

Setelah meletakkan alat kebersihannya, ia segera kembali ke ruangan tempat OG dan OB beristirahat. Delima mengambil berkas-berkas yang harus ia setorkan kepada Bu Viana.

“Bu Viana. Maaf saya terlambat mengumpulkan berkasnya. Tadi saya membersihkan ruangan Pak Devano terlebih dahulu sebelum beliau datang.” Delima memberikan berkas yaang diminta oleh Bu Viana.

“Tidak apa-apa, Del. Terimakasih ya. Kau boleh bekerja lagi.”

“Sama-Sama, Bu Viana. Saya juga berterimakasih. Permisi.” Delima keluar dari ruangan Bu Viana. Kemudian bersiap melakukan pekerjaan lain. Tak lama kemudian Wira mendatangi Viana.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak Wira?”, tanya Viana.

***

“Ini datanya, Dev. Aku memintanya dari kepala OB dan OG disana.”

“Oke..”

“Kenapa tiba-tiba kau meminta data gadis kecil itu, Dev?” Wira bertanya dengan nada heran.

Devano hanya tersenyum misterius. ‘Dasar curut!’' batin Wira

“Aku mau pergi saja dari sini. Suasananya sungguh tidak mengenakkan.” Wira bergidik. Kemudian berjalan keluar. Ia ingin membeli kopi kesukaannya di bawah.

Devano membaca berkas itu satu per satu. “Delima… 20 tahun. Perempuan. WNI ..” gumamnya.

Saat Devano sedang serius membaca berkas milik Delima, Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. “Masuk.”

“Pak Devano. Nona Luna ingin menemui anda.”, Deby sekretaris Devano memberikan informasi kedatangan Luna.

Luna adalah salah seorang  model terkenal yang dikontrak oleh Perusahaan Wijaya dalam bidang busana. Ia sangat cantik, tinggi dan tubuhnya seksi. Semua orang yang bekerja di perusahaan milik keluarga Wijaya tahu jika Luna sangat menyukai bosnya itu. Namun Devano tidak menyukai Luna.

“Suruh dia masuk.”

“Baik, Pak.”

Seorang wanita cantik masuk ke ruangan Devano. Ia berjalan dengan anggun.

“Hai. Dev. Bagaimana kabarmu hari ini?”. Devano melirik Luna sebentar kemudian kembali fokus pada kertas dihadapannya.

“Katakan apa yang ingin kau sampaikan.” Ucap Devano dingin.

“Dev. Kenapa kau tidak bisa menerima cintaku sampai sekarang? Kau masih saja bersikap dingin padaku.”

Devano berhenti membaca dan melihat ke arah Luna. “Sudah selesai? Kau boleh keluar sekarang.”

“Dev? Kau mengsirku?”

“Permisi, Pak. Ini kopi yang anda minta.” Seorang Office Girl tiba-tiba masuk ke dalam ruangan.

Luna diam saja dan melihat seorang Office Girl itu meletakkan secangkir kopi di meja Devano. Luna mendelik tidak suka ketika matanya melihat Devano menatap gadis itu sampai keluar kembali dari ruangannya.

“Dev…”

“Kau sudah selesai kan? Kau boleh pergi, Luna. Aku sedang sibuk. Apa kau tidak bisa melihat?”

“Tapi..”

Devano menatap Luna tajam. “Baiklah aku akan keluar. Lihat saja nanti. Aku akan terus berusaha, Dev.” Kemudian Luna langsung berbalik dan keluar dari ruangan Devano.

Ini masih pagi. Dan Luna sudah menghancurkan moodnya. Ia sungguh tidak menyukai wanita itu. Devano pernah memergoki Luna yang sedang mengobrol dengan kekasihnya di dekat gudang perusahaannya. Tujuan Luna mendekatinya bukanlah tanpa alasan.

“Dev. Kau kenapa?” Wira yang baru datang bertanya kepada Devano yang sedang memijit batang hidungnya.

“Tidak apa-apa.”

Wira hanya mengeryitkan keningnya kemudian duduk di sofa ruangan itu. Menyeruput es nya dengan tenang sambil bermain ponsel.

“Wir. Kapan pesta ulang tahun ibu Marvel diadakan?”

“Bulan depan, Dev. Kau mau datang sendirian? Atau mengajak Luna?” Wira menaik turunkan alisnya menggoda Devano.

“Cih. Lebih baik aku pergi dengan monyet daripada dengannya!”

***

Satu bulan kemudian

Tak terasa sudah satu bulan Delima bekerja di perusahaan Wijaya. Gaji pertamanya sudah ia terima kemarin dari Bu Viana. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Hari ini weekend dan dia libur bekerja tentunya. Weekend seperti ini biasanya ia manfaatkan untuk berjalan-jalan. Hari ini ia pergi tidak ditemani Nina. Nina bilang ia harus mengantar ibunya ke rumah neneknya di luar kota.

Delima memakai celana jeans yang baru dibelinya kemarin sepulang kerja. Ia juga memakai kaos berwarna putih, dan sepatu kets barunya yang berwarna putih. Sangat simple namun Delima terlihat cute dengan rambut hitam sepunggungnya yang digerai. Ia menambahkan jepit rambut warna warni di sisi kiri rambutnya. Ia menyambar tasnya dan kemudian keluar dari kontrakannya dan mulai berjalan kaki menjauh. Entahlah. Dia hanya ingin berkeliling. Ia ingin refreshing!

“Ah segarnya…” Delima duduk di sebuah taman sambil memakan ice creamnya. Sudah sekitar 30 menit ia berjalan dari kontrakannya.

Sebulan di Kota J namun Delima masih bingung. Maka dari itu ia mencoba berjalan-jalan supaya lebih mengenal kota rantaunya. Delima mengambil ponsel yang baru ia beli kemarin. Kata Nina, ponsel lamanya sudah jadul dan Nina menyarankan membeli yang baru. Uangnya tidak cukup untuk membeli yang baru, tapi untung saja uang di rekeningnya masih cukup untuk membeli ponsel second. Delima membuka aplikasi camera dan mencoba mengambil selfie dengan ponsel barunya. Setelah selesai ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas.

Delima menikmati semilir angin di taman itu. Mencoba menghilangkan rasa sebalnya selama sebulan ini pada perlakuan Bosnya kepada dirinya. “Hhh.. Pak Devano itu sangat menyebalkan. Bisa-bisanya dia menyuruhku ini itu. Padahal kan karyawan lainnya juga masih banyak yang menganggur. Seharusnya aku mendapatkan gaji tambahan!” Bibir Delima mengerucut. Delima mengambil tissue dari tasnya namun ada yang terjatuh. Ia memungutnya.

“Eric Stephenson. Aku sampai lupa mencari orang ini karena terlalu sibuk bekerja.”

“Delima?” seorang pria memanggil Delima dari kejauhan.

“Kak Marvel?” gumam Delima. Ia menyimpan kartu nama itu ke dalam tasnya kembali.

Marvel menghampiri Delima yang sedang duduk di kursi taman sendirian. Kemudian ia duduk di samping Delima.

Delima dan Marvel mengobrol banyak. Tapi sepertinya hanya Marvel yang aktif bertanya. Delima hanya menjawab sekenanya.

“Kak Marvel.”

“Ya?” Delima menatap Marvel ragu.

“Bolehkah… Bolehkah aku bertanya?”

“Tentu saja boleh.” Marvel senang karena ini pertama kalinya Delima berinisiatif untuk bertanya.

Delima mengambil sebuah kartu nama dan memberikannya kepada Marvel. Kening Marvel mengeryit membaca kartu nama tersebut. “Apakah kak Marvel mengenal orang bernama Eric Stephenson?”

“Ya, aku mengenalnya, Del. Dulu dia adalah musuh perusahaan keluargaku.”

“Benarkah? Dimana sekarang orangnya kak?” Delima bertanya antusias.

“Sudah lama meninggal, Del. 17 tahun lalu.” Senyum Delima menghilang. Ia menunduk sedih.

“Dia adalah orang yang sangat jahat pada keluarga kami. Namun keluarganya sekarang sudah pindah ke Inggris. Keluarga kami yang menyuruhnya.”

“Oh begitu.. Terimakasih kak.”

“Hemm. Memangnya kenapa kamu tiba-tiba bertanya tentang Eric?”

“Tidak apa-apa kak.” Delima tersenyum kepada Marvel. Marvel mengusap kepala Delima. Usapan itu membuat Delima kaget dan semakin kikuk pada Marvel.

“Marvel?!”

“Lho. Devan? Sedang apa kau disini?”

***

Delima terus saja mengerucutkan bibirnya. Marvel tadi pamit pulang karena ibunya menelpon. Sekarang tinggallah ia dan Devano di taman itu.

“Kenapa kau cemberut seperti itu? Kau tahu tidak? Bibirmu itu sudah seperti mulut bebek.”

Delima mendelik. “Bapak kok bisa disini sih? Menyebalkan sekali.”

“Memangnya kenapa? Tadi aku hanya numpang lewat saja.”

Delima mendengus kesal. Weekendnya hancur total karena kedatangan Devano. Tapi bagaimana lagi. Devano sudah disini. Mau tidak mau.

“Tunggu disini.” Devano pergi ke arah sebuah cafe di seberang jalan. Delima menatap tubuh tegap itu ketika berjalan menuju café. Kalau boleh jujur, sebenarnya Devano sangat tampan. Badannya juga bagus. Sepertinya bosnya itu rajin berolahraga. Kadang Delima ingin sekali menyentuh lengan brotot milik Devano……… “Aaaah tidak- tidak. Apaan sih..” Delima menggelengkan kepalanya. “Dia menyebalkan.” Sepuluh menit kemudian Devano kembali dengan dua gelas es kopi di tangannya.

“Ini untukmu.”

“Tidak usah tadi saya sudah memakan ice cream.” tolak Delima

“Jika tidak mau kau akan kupecat.”

“APA?”

***

Delima menyeruput esnya dengan sebal. Ia menatap Devano dengan tajam. Sedangkan yang ditatap hanya cuek sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling taman. Disana banyak anak-anak yang sedang bermain dengan orang tuanya. Ada juga yang sedang piknik. Weekend memanglah menyenangkan.

“Tadi kalian mengobrol apa?” Devano membuka obrolan.

“Siapa? Aku dan Kak Marvel? Bukan apa-apa. Tidak penting kok, Pak.”

“Kak? Kau memanggil dia Kakak sedangkan kau memanggilku bapak?! Aku seumuran dengannya!” suara Devano meninggi. Ia menatap Delima dengan tatapan tajam.

“Anda terlihat lebih tua dari kak Marvel!”

“Kau sudah berani bicara tidak sopan padaku? Aku bosmu!”

Devano mulai merasa panas. Ia semakin menatap tajam Delima disampingnya yang sedang menatap ke depan. Entah kenapa ia emosi. Hanya karena Marvel mengusap kepala Delima dan Delima memanggil Marvel dengan sebutan Kakak. Devano tiba-tiba berdiri dengan dada yang naik turun karena emosi membuat Delima ikut berdiri karena kaget. Devano menatap Delima tajam membuatnyabergidik. Devano memegang kedua bahu Delima. Ia mendekatkan kepalanya pada Delima.

“Ba-bapak mau apa?” Delima panik. Ia panik karena kepala Devano mendekat ke arahnya. Kepala Devano berhenti sekitar 10 cm dari wajah Delima.

“Kau…..” Setelah mengatakan itu, Devano menghela napasnya kasar. Ia berbalik dan berjalan menjauhi Delima yang masih shock.

“Pak Devano itu aneh.” Delima berujar polos. Ia mengangkat tangannya ke dada. Ia berdebar. Entah karena apa. Delima kemudian pergi dari taman itu untuk kembali berkeliling sambil menyedot es kopi yang dibelikan oleh Devano tadi.

***

Devano menatap kepergian Delima dari mobilnya. Ia masih emosi. Ia mengusap wajahnya kasar. Entah kenapa sejak pertama kali melihat Delima, ada yang aneh dalam dirinya. Ia ingin gadis itu tetap dekat disekitarnya. Tadi dia hanya sedang ingin pergi ke apartemen Wira. Namun ketika perjalanan ia melihat Marvel dan Delima sedang mengobrol di taman. Ia emosi ketika Marvel mengusap kepala Delima.

“Ada apa denganku.”

Devano menyalakan mobilnya dan memutuskan kembali pada tujuan awalnya. Apartemen Wira.

***

“Siap… Hei.. Hei apa-apaan ini?” Wira kaget karena ketika pintu apartemennya terbuka Devano langsung masuk ke dalam.

Devano langsung menjatuhkan bokongnya ke sofa di ruang tamu apartemen Wira. Ia menghela napasnya kasar.

“Kau kenapa, Dev?” Wira bertanya pada Devano karena merasa ada yang aneh dengan sahabatnya.

“Aku tidak tahu..”

“Apa maksudmu? Akhir-akhir ini kau semakin aneh saja.”

“Diam kau.”

Wira menggelengkan kepalanya. Kemudian ia menyalakan televisi yang tergantung di tembok apartemennya.

“Lusa adalah ulang tahun ibunya Marvel. Kau akan mengajak Luna? Dia sudah menawarkan dirinya tadi pagi.” Wira berujar sambil tersenyum geli.

“Berhenti membicarakan wanita ular itu, Wir. Aku sungguh malas jika sudah berhubungan dengan dia.”

“Baiklah. Baiklah. Aku mengajak siapa ya? Hah. Aku sedih sekali jika ada pesta seperti ini. Orang-orang pasti menanyakan pasangan. Apalagi ibuku.” Wira berujar sedih. Ah jadi jomblo tersiksa juga ya.

Devano menatap atap apartemen Wira. Menerawang. Apakah ia akan pergi sendiri lagi? Tapi kenyataannya memang benar kan? Ia tidak memiliki kekasih lagi sejak lulus SMA. Ia terlalu fokus pada sekolah dan pekerjaannya. Sebenarnya Wira pernah berkata bahwa banyak sekali wanita cantik yang menyukai dirinya. Namun dirinya tidak peduli. Ia tidak merasa tertarik pada mereka. Pada akhirnya sampai umur 28 tahun ini dirinya masih jomblo saja.

***

Delima turun dari bus yang ia tumpangi. Ia berjalan dari halte pemberhentian ke tempat kerjanya. Hari ini ia agak kesiangan. Namun masih belum terlambat jika untuk membersihkan ruangan pimpinannya.

Setelah sampai ke ruangan ganti. Delima lekas mengganti baju kasualnya dengan pakaian kerjanya. Teman temannya mungkin sudah melaksanakan pekerjannya masing-masing karena ruang gantinya memang sudah kosong.

Delima bergegas menuju ke lantai 15. Sudah sebulan ini ia selalu mebersihkan ruangan Devano. Devano yang memintanya. Bahkan dia menyuruh Bu Viana supaya Delima yang membersihkan ruangannya setiap hari.

“Selesai juga. Untung saja ruangan Pak Devano selalu rapi jadi tidak pelu susah-susah membersihkannya. Hehe.” Delima terkikik.

Ia keluar dari ruangan Devano dan turun ke lantai 12 untuk membersihkan lantai disana. Sesampainya disana ia melihat keributan di sebuah ruangan pemotretan. Delima tetap fokus mengepel lantai namun suara berisik di ruangan itu sangat keras dan sampai ke telinganya.

“Bagaimana ini? Apa tidak ada model yang bisa menggantikan?” Seorang pria yang kemungkinan mengatur pemotretan bertanya dengan nada khawatir kepada anak buahnya.

“Tidak ada, Pak. Semua model sedang ada jadwal masing-masing!”

“Tolong usahakan cari model yang bisa menyempatkan. Pemotretan harus selesai hari ini juga!”

Delima yang mendengar keributan itu begitu heran. Ternyata bekerja di perusahaan tidaklah mudah. Banyak sekali tantangan. Delima mengira orang-orang yang bekerja di perusahaan sangat menyenangkan. Mendapat gaji yang besar. Seperti yang dikatakan ibu-ibu di kampungnya dulu.

Delima masih megepel lantai sampai tiba-tiba ia ditarik paksa oleh seseorang.

“Eh? Pak kenapa ada apa?” Delima bertanya kaget karena dia ditarik ke dalam ruangan pemotretan.

“Pak. Coba dandani dia!”

Seorang pria menatap Delima dari bawah sampai atas.

“Maksud bapak apa?” Delima masih bingung.

“Lumayan juga. Joe! Coba kau dandani dia. Dia akan jadi model sementara!”

“T-tapi saya harus bekerja pak! Tidaaaak…” Delima tetap ditarik ke sebuah ruangan yang lebih kecil berisi banyak gaun dan alat make up.

“Kau duduk disini! Dan diamlah aku harus fokus dan cepat!” kata pria yang bernama Joe. “Baiklah. Mari ubah bocah ini menjadi angsa yang cantik!”

****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!