NovelToon NovelToon

MY BOSS, MY HONEY

TEMAN KARIB AWAL BENCANA

Tyas dan Tania, dua sahabat karib dari SMP sampai masa kuliah. Saat ini mereka sedang bekerja dalam satu manajemen perusahaan yang sama, setelah setahun terakhir Tania ikut bergabung dalam tim advertising dalam perusahaan tersebut.

Hari ini, mereka sedang menapaki trotoar menuju halte, sesekali terdengar tawa saling mengejek. Mereka akan pulang ke indekos, yang lumayan jauh jarak tempuhnya dari tempat kerja.

Malam ini adalah hari terakhir mereka lembur, karena dikejar deadline. Letih dan kusut terlihat dari raut muka mereka. Beberapa kali Tania membetulkan anak rambut yang menutupi wajah, saat angin malam berembus. Tyas, si sahabat berhenti sejenak, untuk melepas sepatu high heels sepuluh senti, yang berasa memberatkan kedua kakinya.

“Etdah ... ngapain lu lepas? Malu-maluin tahu!” teriak Tania demi melihat si sahabat dengan santainya jongkok di tengah trotoar.

“Capek tahu, kaki gua kayak ketimpa batu, berat banget,” jawab Tyas tanpa menoleh ke arah Tania, berjalan santai sembari menenteng sepatu high heelsnya.

Akhirnya mereka sampai juga di halte. Malam ini halte tak seramai saat pulang sore hari, hanya ada beberapa karyawan dari perkantoran sekitar halte. Beberapa saat duduk di halte, gawai Tyas berdering.

“Met malam Dylan, apa kabar?” suara Tyas centil menjawab telepon.

“Oh ya? Jemput gua dong di halte dekat kantor!”

Tyas mengerlingkan mata sesaat pada Tania, yang cemberut demi mendengar Tyas akan dijemput kenalannya. Tania hanya punya dua pilihan, ikut gabung dengan Tyas, tanpa menghiraukan lelah yang mendera atau pulang sendiri naik bus kota demi mengistirahatkan tubuh.

“Gila ya, lu! Baru tadi pagi kenalan, sekarang mau cabut?” protes Tania sembari pasang muka kesal.

“Ayolah, temani gua! Kita hang out bentar, biar pikiran fresh.” Tyas merajuk.

“Gua nggak mau, gua capek, mau tidur!”

Perdebatan di antara mereka belum selesai, sebuah mobil CRV sudah menepi di samping mereka. Seorang pria perlente berkaca mata menurunkan kaca mobil, melongok ke arah mereka.

“Hai Tyas, Hai Tania ... ayo masuk!” sapa pria tersebut, yang tak lain adalah Dylan.

“Hai Dylan,” jawab Tyas dan Tania, tak sengaja berbarengan.

Tyas segera membuka pintu depan, Tania hanya terdiam melihat si sahabat masuk mobil.

“Dylan, maaf ya ... gua nggak bisa gabung, kepala pening nih.”

“Ayo, masuk aja! Gua antar pulang.”

“Thanks, nggak usah ... gua bisa naik bus, santai aja!”

Bus datang di saat yang tepat, siap-siap Tania menghampiri bus.

“Gua duluan ya, selamat bersenang-senang!”

Tania bergegas memasuki bus, tak lama kemudian bus melaju diikuti mobil Dylan.

************************************************

Bus berhenti tepat di depan gerbang indekos berlantai dua. Tania turun dari bus. Suasana indekos terlihat sepi, maklum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, apalagi malam minggu seperti saat ini. Penghuninya yang sebagaian adalah anak muda,pasti sudah pergi menghabiskan malam minggu.

“Hai, Tania!” sapa salah satu penghuni kos, saat berpapasan dengannya di pintu gerbang.

“Hai, Gus ... Met malam minggu ya,” balasnya.

“Tumben sendiri, mana Tyas?”

“Tyas dijemput teman tadi.”

“Ikut keluar, yuk!” ajak Bagus sembari mematikan mesin motor.

“Gua capek, habis lembur, thanks ya.” Tania tersenyum sambil berlalu memasuki halaman kos, Bagus segera menghidupkan motor sportnya, berlalu ke arah jalan raya.

************************************************

Jam menunjukkan pukul dua dini hari, saat terdengar suara seseorang sedang membuka pintu kamar. Tania terbangun, mempertajam pendengaran. Suara seorang laki-laki pamit pada seorang wanita yang tak lain, Tyas.

Agak lama pintu baru bisa terbuka, tiba-tiba Tyas terjerembab di atas lantai.

“Hoek ... hoek ... hoek.”

“Tania, maaf ... gua telat, kepala gua berat.” Tyas merancau tak karuan.

“Tyas, jam berapa nih? Lu mabuk?” tanya Tania khawatir, sembari menghidupkan sakelar lampu. Betapa kaget dirinya, mendapati Tyas telungkup di atas lantai berlumur muntahan.

“Sini, lu! Harus diguyur air nih, biar otak lu encer!”ucap Tania agak emosi, seumur hidup baru kali ini lihat sahabatnya mabuk. Tania memapah Tyas masuk kamar mandi, mengguyurkan dengan kucuran air shower.

“Ngapain lu segila ini, Tyas? Lu terusin mandi, gua mau bersihin lantai.” Tania menutup pintu kamar mandi, bersiap mengepel lantai. Mata yang masih mengantuk, membuat mulutnya menguap berulang kali. Lantai sudah bersih, lalu mengambil sebuah handuk dan sebuah baju dari lemari Tyas.

‘Tok ... tok ... tok’

“Nih ... baju, lu,” ucap Tania sembari ketuk pintu. Beberapa saat pintu terbuka sedikit, Tyas meraih baju dari tangan Tania.

“Gua kedinginan nih,” ucap Tyas dari dalam.

“Siapa suruh lu mabuk, bikin kotor lantai, sekujur tubuh lu ... bau nggak jelas, tau!” jawab Tania emosi sambil menutup pintu kembali.

Sebuah susu hangat telah disiapkan Tania.

Beberapa saat kemudian, Tyas keluar dari kamar mandi buru-buru ke ranjang langsung rebahan. Tania yang lihat kelakuan Tyas, langsung membangunkannya.

“Minum susu dulu, biar kepala lu kaga pengar, nih!” ucap Tania sambil menyodorkan gelas susu. Tyas agak malas-malasan meminumnya, tapi demi agar kepalanya nggak puyeng kelamaan, makanya diminum sampai habis.

************************************************

Malam ini, sebulan setelah kejadian Tyas pulang mabuk, Tania melihat lihat Tyas pulang hang out bukan dengan Dylan lagi. Seorang pria setengah baya, membukakan pintu mobil untuk Tyas. Mereka berciuman mesra di depan gerbang indekos. Tania melihat mereka dari teras kamar, kebetulan malam itu ia sedang ingin nongkrong cari angin sembari mengerjakaan tugas kantor yang belum selesai. Tyas melangkah ke arah Tania.

“Gila lu, mesra-mesraan di jalan, tuh bukan Dylan, kan? Kayak Om-om ... Dylan, lu ke manain?” Tania makin penasaran lihat tingkah Tyas yang asik senyum-senyum.

“Dylan dah gua jeburin ke laut. Yang ada sekarang cinta gua untuk Om Prast. Udah ganteng, tajir, royal lagi ma gua. Liat ni, gua barusan dibeliin gelang ma Om ganteng.” Tyas sibuk pamer gelang emas bermata berlian. Tania penasaran juga dengan gelangnya, ikut memegang serta mengamati itu gelang.

“Gila, ini berapa duit Tyas? Gede juga. Kayaknya Om Past udah berumur ya? Kaga punya bini dia?” Rasa penasaran Tania makin menjadi. Tyas tertawa lebar demi mendengar pertanyaan sahabatnya.

“Lu tuh ya, polos amat jadi orang ... Cint. Ngapain pula mikirin bini Om Prast, selagi dia mau keluar duit ma gua, ngapain mikirin yang lain. Kekepin aja,” sahut Tyas seenaknya sembari merebahkan diri di kasur.

Malam itu Tania tidur dengan tanda tanya besar di otak. Sulit otaknya untuk memikirkan apa yang telah dilakukan oleh sahabatnya. Begitu gampang mendapat cinta, begitu gampang pula dilepas. Duit memberi peran penting dalam kisah cinta Tyas dan Tania tak tahu dengan pasti, apa saja yang dilakukan Tyas untuk mendapatkan gelang tersebut.

PESTA TEMAN LAMA

Hari minggu yang cerah, Tania dan Tyas sedang libur. Mereka sedang nongkrong di warung bakso, tempat langganan mereka. Tiba-tiba gawai Tyas berdering.

“Hallo, yups. Ada apa? Bisa, hmm .... sekarang? Ok, tunggu ya.” Tyas segera memasukkan gawai ke dalam saku celana pendeknya. Ia memandang Tania.

“Lu bisa pulang sendiri, kan? Gua harus segera pergi ke suatu tempat. Maaf ya,” kata Tyas sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada. Tatapan Tyas mengiba, membuat hati Tania tak tega.

“Ok, it’s fine. Gua bisa pulang sendiri. Lu ada yang jemput?” tanya Tania penasaran.

“Nggak, gua naik taksi aja. Ok, gua pergi dulu kalau gitu. Papay Tania. Take care yah.”

Tyas cium pipi kanan cium pipi kiri Tania, lalu melangkah ke arah kasir membayar bakso mereka berdua, lalu memberi kode ke Tania, kasih tahu kalau bakso sudah ia bayar, kemudian melangkah keluar warung. Tak butuh waktu lama, ia sudah mendapat taksi. Tania memandang kepergian Tyas dari balik kaca jendela warung, sampai tubuh sahabatnya menghilang dibawa taksi.

Tania jalan kaki ke indekos, tak sampai sepuluh menit sudah sampai kamar kos. Sendirian di dalam kamar kos berteman televisi, Tania tertidur. Entah sudah berapa lama, ia tertidur, terbangun gara-gara terganggu oleh gawai yang berdering. Tania agak malas mengangkat panggilan telepon. Agak malas-malasan pula, ia menggeser gambar berlogo telepon, tanpa melihat nama si penelepon

“Ya, hallo. Lu ... Tyas, kenapa? Kapan? Beneran ... Ok, gua siap-siap juga. Bye byee.”

Tania menutup telepon, segera bergegas mandi. Beberapa saat kemudian, ia sudah siap dengan gaun pesta. Tak berapa lama, Tyas sudah datang diantar mobil mewah, ia turun dari mobil. Rupanya sengaja mobil parkir di pinggir jalan, menunggu.

Tania melihat kedatangan Tyas dengan keheranan. Perasaan baru sekali ini lihat mobil tersebut. Tyas masuk kamar, sembari meletakkan tas di atas nakas.

“Tuh mobil siapa, Tyas?”

“Mobil Om Fried, Papa Yura. Suruh anter gua sekalian jemput lu,” jawab Tyas sembari masuk kamar mandi, sesaat kemudian terdengar kran dihidupkan.

Beberapa saat kemudian Tyas sudah keluar memakai gaun pesta warna merah maroon. Berhias depan cermin, membubuhkan bedak tipis-tipis, memoles blush on seperlunya serta memoles bibirnya dengan lipstik warna senada dengan gaun. Paripurna penampilannya sekarang.

“Yuk, kita pergi! Kasihan pak sopir udah lama nunggu, “ kata Tyas sembari memakai sepatu high hells dari deretan rak sepatu.

“Kita ntar mampir ke butik ya, aku mau beli untuk kado Yura,” kata Tania saat mereka melangkah mendekati mobil. Dia tak enak hati datang ke pesta ultah Yura--dulu teman kuliah mereka--tanpa membawa kado.

“Ngapain juga beli kado. Kaga usah, Yura dah banyak baju bermerek. Mana mau dia baju murahan. Kata keluarganya, asal kita mau datang aja, Yura dah senang,” ucap Tyas sembari membuka pintu mobil.

Tania hanya mampu percaya saja oleh omongan Tyas. Hampir setahun ini ia tak bertemu Yura, hanya dari omongan Tyas dirinya tahu bahwa Yura sudah pulang ke Indonesia dan sering pergi ke kelab malam bareng Tyas. Nomor telepon Yura yang lama tak aktif lagi setelah ia pergi kerja ke Jerman.

Akhirnya mobil yang mereka tumpangi sampai pada halaman sebuah rumah mewah. Tania merasa ini bukanlah rumah Yura. Apakah ini rumah Yura yang baru? Seribu tanya ada dalam benak Tania.

“Tyas, benar ini rumah Yura? Sejak kapan dia pindah rumah?” tanyanya keheranan.

“Yups, ntar deh ketemu Yura di dalam. Kita masuk yuk!” ajak Tyas masuk ke dalam sembari menggandeng tangan Tania.

Tampak di pintu masuk berdiri rapi pria-pria berperawakan tegap sangar berpakaian layaknya bodyguard. Tyas tersenyum pada mereka lalu memberikan sebuah kartu pada salah satu pria penerima tamu, yang berperawakan tak jauh beda dari yang lain, hanya saja dua pria penerima tamu memakai kemeja batik.

Tania semakin dibuat keheranan, dengan pengamanan rumah Yura yang ekstra ketat seperti layaknya sebuah wilayah terlarang. Ia menyingkirkan semua prasangka buruk, hanya fokus akan menghadiri undangan pesta Yura.

Mereka memasuki rumah mewah dengan diantar salah satu pria perpawakan tegap. Saat di dalam rumah Tania tak mengenali siapa pun para undangan yang berada dalam ruangan tersebut. Tyas sibuk menyapa satu persatu undangan yang kebetulan berpapasan dengan mereka. Tania terheran-heran dengan situasi seperti itu, dilihatnya Tyas tak ada sikap canggung sedikitpun, seakan sudah biasa berkunjung ke rumah ini.

Hampir semua undangan mengenal Tyas, bahkan beberapa dari mereka tersenyum genit ke arah Tania. Kebanyakan para undangan adalah pria asing, undangan wanita bisa dihitung jari dan kesemuanya memakai pakaian seronok tak sepantasnya dipakai ke sebuah pesta ulang tahun anak pemilik rumah. Tingkah polah wanita-wanita tersebut layaknya seorang wanita penghibur, tak terlihat seperti para undangan pesta ulang tahun.

"Tyas, benar ini ulang tahun Yura? Gua liat kaga ada sama sekali keluarganya. Orang tua Yura ke mana? Tuh, para undangan kaya pengunjung night club. Lu, kaga boong, kan?!"

"Kaga lah, ngapai gua boong. Ngapain juga gua ngikut pesta kalo boong, buat apa? Udah, tenang aja, habis ini yang punya pesta pasti keluar. Gua ambil minum dulu." Tyas meninggalkan Tania yang bengong. Sesaat kembali sambil membawa dua gelas minuman.

"Nih minum dulu!"

"Kaga ada alkoholnya, kan?!" tanya Tania sembari mengendus pinggir gelas minuman berwarna merah di tangannya. Tercium bau anggur dan serupa peppermint yang sangat menyengat. Tyas tertawa sambil menatap lekat-lekat pada sahabatnya.

"Kaga ada alkohol, tau sendiri, pesta ulang tahun mana ada minuman gituan. Cobain dah!"

Tania pun mencoba mencicip minuman di genggaman, terasa manis anggur sedikit ada rasa pahit dan isis. Tyas menyibir ke arah, lalu menghabiskan minumannya.

"Nih liat, tak mabuk, kan? Masih kaga percaya, dibilang gua boongin, lu?"

Melihat si sahabat telah menghabiskan minumannya, Tania akhirnya ikut-ikutan menghabiskan minumannya. Tyas tersenyum puas ke arah si sahabat, lalu beranjak lagi ke arah bar, kembali dengan membawa dua gelas berwarna putih bening. segelas disodorkan ke Tania.

"Cobain rasa baru, ini guna netralkan rasa pahit yang tersisa di lidah, habis ini kita ke tempat pastry. Kamu paling doyan tuh soal begituan."

Tania mencicip minuman, mencecap rasanya perlahan, terasa lebih manis daripada minuman sebelumnya, tapi ia rasakan kepala mulai berat, mata mulai tak fokus. Tania merasa tubuhnya seperti melayang, suara Tyas terdengar jauh. Nampak si sahabat berjalan menjauhi dirinya, menghampiri seseorang yang barusan masuk ke tempat pesta. Seorang pria berparas oriental.

AWAL KISAH KASIH SEMALAM

Seorang gadis muda bergaun malam selutut, berlari ke arah taman kota. Terlihat cemas dan ketakutan. Tubuh sempoyongan, segelas minuman beralkohol beraroma lemon telah menghilangkan separuh kesadarannya.

Sungguh tak menyangka teman karibnya tega menjual dirinya pada seorang boss besar dari Taiwan. Sebuah pesta perpisahan hanyalah sebuah kedok semata.

Tyas, adalah teman akrabnya dari kecil, mengajaknya pergi ke sebuah pesta perpisahan seorang teman. Dirinya tak menyadari ada seseorang berhati iblis mengamati setiap gerak-geriknya.

Saat ia terhuyung karena mabuk, sepasang tangan dengan sigap menggapai tubuh, serta membopongnya ke dalam sebuah kamar dalam rumah mewah tersebut. Saat sang pria pembopong akan mengunci kamar, dirinya berusaha sekuat tenaga menyerobot keluar.

Terdengar suara Tyas dan suara berat milik si pria pembopong, berteriak memanggil namanya. Gadis muda terus berlari sekuat tenaga, berakhir di pangkuan seorang pria muda di taman kota.

****

Hampir kehabisan napas, seorang pria muda bertubuh jangkung menurunkan tubuh lunglai si gadis muda. Dari mulutnya yang merancu tidak karuan, tercium bau alkohol yang sangat menyengat.

“Lu bajingan, Tyas … tega lu, gue temen lu … hiks … hiks.” Si gadis menangis sesengukan, badannya terbaring tak berdaya di atas ranjang.

Si pria muda hanya memandangi si gadis dengan tersenyum, entah apa yang ada di benaknya saat itu. Si gadis berusaha berdiri, membuka ritsleting belakang baju, namun terjatuh lagi di atas pembaringan.

“Mau, ngapain? Tidur aja, biar nggak puyeng,” ucap pria muda berusaha memegang tubuh si gadis, saat akan bangkit lagi. Tubuh si gadis jatuh dalam pelukan pria muda.

Sangat hati-hati si pria membaringkan tubuh si gadis di atas pembaringan, melepaskan sepatu high heels, lalu meletakkan di bawah ranjang.

Kasihan gadis ini, apa yang terjadi dengan dirinya? Kacau banget sepertinya, pikir si pria muda.

‘Bodo amat, bukan urusan gua. Ngapain tadi gua bawa pulang, kenal kagak.’

Si pria muda sibuk mengumpat, mengutuk kebodohannya sendiri, di sisi lain ada rasa iba pada si gadis muda. Ia bingung karena selama ini tak ada satu pun wanita yang pernah masuk rumahnya, selain mamanya dan Bik Inah, seorang asisten rumah tangga.

Tangannya sibuk merapikan anak rambut yang menutupi raut muka si gadis. Ada genangan buliran air bening di kedua sudut matanya, diusapnya lembut. Dipandangi wajah si gadis dengan seksama, ada getaran aneh yang dirasakan.

“Lu tega ma gua, Tyas … lu jahat, lu… lu serigala,” Tangan si gadis menggapai, seakan ingin menarik sesuatu, akhirnya jatuh terkulai di atas pembaringan.

Si pria muda ingat sesuatu, diambilnya sebuah tas kecil milik si gadis. Ada sebuah kartu identitas di dalamnya, tercantum sebuah nama di sana.

“Tania Kumala,” gumam si pria lirih. Nama yang cantik, secantik orangnya, batin si pria.

Ia mengambil sebuah buku agenda dari laci nakas, sebuah catatan kecil telah dibuat di dalamnya.

Sebuah selimut diambil untuk menutupi tubuh Tania. Begitu damai tidurnya kali ini, sudah usai rasa kesalnya. Ada rasa jengkel campur iba melihat tubuh ramping tergeletak di hadapannya. Ia tak kenal siapa gadis ini, terpaksa membawanya pulang, karena iba itu saja.

Tak mungkin ia tinggalkan Tania di taman kota dalam keadaan tak sadarkan diri karena mabuk berat. Si pria kelimpungan, bingung harus berbuat apa.

Bertahun-tahun hidup tanpa kekasih, setelah sang kekasih ketahuan berkhianat dengan seorang pria bule di sebuah kelab malam. Tak sesenti pun kulit tubuhnya sudi terjamah oleh lawan jenis. Sungguh hatinya telah beku bagai gunung es.

Ada hal aneh yang dia rasakan kali ini, desiran lembut merayap di aliran darah, saat kulit tubuhnya tanpa sengaja bersentuhan dengan kulit Tania. Rasa yang pernah dirasakan waktu dulu.

‘Persetan … gua kaga butuh cinta!’

Dirinya berusaha keras tak terbuai rasa, terlalu terluka hatinya untuk merasakan rasa itu lagi.

Si pria mengambil bantal serta selimut, merebahkan tubuh di atas sofa. Mendongak, menatap plafon kamar. Baru sekejab bisa memejamkan mata, Tania menjerit histeris.

“Lu … pergiiii! Jangan sentuh tubuh gua, pergiii!”

“Menjijikkan, enyah lu!”

Si pria muda segera meloncat, menghampiri tubuh Tania. Tubuh gadis cantik ini meronta-ronta dengan mata masih terpejam.

“Tania, Tania, tenang … tenang, lu aman di sini,” bisik si pria muda ke telinga Tania. Spontan si wanita muda ini memeluk erat tubuh si pria muda.

“Gua takut, sumpah … gua takut, temani gua!” Tangan Tania makin erat memegang tubuh si pria muda. Mendapat serangan pelukan mesra seperti ini, si pria muda menjadi makin tak karu-karuan hatinya.

Tak sengaja embusan napas si wanita saat wajah mereka merapat, terasa panas di pipi Ario. Tangannya perlahan meraba kening si wanita, terasa ada demam di sana. Kasian dia, bisa jadi kejadian yang dialaminya bikin dia trauma, gumamnya. Setelah menenangkan si wanita, Ario melangkah ke luar mengambil air hangat dari dispenser. Dia mengambil sebuah handuk kecil dari dalam lemari, didekatilah tubuh yang sudah terlelap itu, ditempelkan handuk kecil yang sudah direndam air hangat di atas kening si wanita bermuka manis ini

Ario mengambil kursi didekatkan pada pembaringan, dia pun duduk dengan terkantuk-kantuk. Akhirnya terlelap di samping si wanita yang terbaring tak berdaya. Tengah malam tanpa sengaja tangan Tania meraba wajah si pria yang tergeletak di samping tubuhnya. Entah dari mana berawal, akhirnya mereka terbuai dengan irama malam yang dingin, kebetulan hujan turun di luar. Si wanita yang tak mabuk parah terlena oleh belaian si pria. Si pria menikmati dengan separo kesadaran dan si wanita yang tak sadar, berdua menghabiskan malam dengan berpacu dalam perjalanan liar yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya.

Ada rasa penyesalan si pria, saat tubuh mereka sama-sama terkapar kelelahan, kehabisan napas dan kehabisan energi. Tania seketika tertidur lelap kembali, tinggal si pria yang mengutuk diri sendiri, menyesali diri. Ario segera bangkit memakai piyama kembali, lalu mengambil selimut untuk menutupi tubuh si wanita dengan gaun di atas lutut, membuat sebagian pahanya tak tertutup sempurna. Ario sejenak menatap wajah si wanita yang barusan dia ajak berkeliling sebentar ke surga dunia. Timbul rasa iba dalam dadanya pada si wanita yang barusan dia tolong dari sesuatu yang membuatnya berlari ketakutan masuk taman, kini dia yang merusaknya padahal dia tahu betul, si wanita dalam keadaan tak berdaya. Kini dia kebingungan dan meski berkata apa jika esok pagi sama-sama terbangun, mendapati ada sesuatu yang hilang dari tubuhnya. Namun, rasa kantuk dan lunglai mengalahkan pikirannya, si pria pun terlelap di samping tubuh Tania.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!