Ini adalah novel kedua.
Baca juga novel pertama ya, Semburat Jingga.
Tokoh dan cerita adalah fiktif, tidak berhubungan dengan siapapun
Jangan lupa like, comment & vote 🤗😙
Bau yang dihasilkan dari proses pengerjaan kain panjang dengan berbagai motif itu sangat khas.
Bagi mereka yang bekerja di situ sudah sangat terbiasa dengan baunya tapi bagi Laras baunya sangat asing. Mungkin kelak ia menjadi terbiasa dengan semua itu setelah ia menjalani hari-
harinya di rumah itu.
"Ini lima macam Bu Rani. Sekalian bahan dasarnya saya ambil, boleh Bu?"
"Boleh. Tentu saja."
Bu Maharani mengambilkan Bu Ati bahan polos tanpa motif beserta perlengkapan untuk melukis kain itu dan menyerahkan kepada Bu Ati. Selesai dengan urusannya, Bu Ati pamit pada pemilik rumah dan tempat usaha itu. Tinggal Laras bersama Ibu Maharani.
"Nak Laras ada perlu apa?"
"Ini Bu saya diminta Ibu mengantarkan ini."
Laras menyerahkan barang yang dibawanya. Sama seperti Ibu Ati, Ibunya Laras juga bekerja dengan Ibu Maharani. Hanya saja mereka tidak datang ke tempat si pemilik usaha melainkan hanya datang mengambil bahan dan di rumah mengerjakannya. Bila telah diberi motif diserahkan kembali kepada Ibu Maharani untuk dijual.
"Oiya, letakkan di sini saja. Sekalian mau ambil bahan kan?"
"Iya bu. Kata Ibu dua saja dulu."
"Baiklah. Ini bahannya. Hmmm Laras, kamu tidak menyambung sekolah lagi?"
Laras menggeleng. Keadaan ekonomi orang tuanya tidak memungkinkan Laras melanjutkan ke perguruan tinggi.
"Tidak bu, ayah tidak ada biaya."
"Jangan terlalu bersedih ya Laras. Memang kadang-kadang apa yang kita inginkan tidak selalu menjadi kenyataan, tapi kita tetap harus bersemangat."
"Iya Bu. Saya permisi dulu Bu."
Ibu Maharani menganggukkan kepala dan memperhatikan punggung Laras. Laras yang membuat Ibu Maharani tertarik untuk menjadikannya anak perempuan dalam rumah itu karena Ibu Maharani memiliki
tiga orang anak laki-laki, tidak satupun anak perempuan.
Apa yang Ibu Maharani inginkan kini tercapai. Laras sudah tinggal menetap di rumah pengusaha di kotanya itu sesuai permintaan Ibu Maharani.
Baginya cita-cita untuk bersekolah tinggi haruslah dikesampingkan demi melihat kedua orang tuanya bahagia. Terutama ayah, ayah sangat mendorong Laras agar mau menerima ajakan Ibu Maharani untuk tinggal bersama beliau dan menjadi anak angkatnya. Kata ayahnya di sana Laras akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan bisa melanjutkan kuliah dengam bantuan Ibu Maharani. Toh rumah mereka juga tidak berjarak jauh, hanya lima ratus meter pulang pergi.
Laras dibolehkan mengunjungi kedua orangtuanya kapanpun ia mau, tapi Laras sangat tahu diri sehingga ia memilih ujung minggu saja sebagai hari baginya pulang ke rumah.
"Catat saja yang menyerahkan kain dan yang mengambil kain polos. Ini buku-bukunya. Kamu mengerti Laras?"
"Mengerti Ibu."
"Dan satu lagi, mami minta tolong kamar yang itu dibersihkan kalau Vim tidak ada. Oiya jangan panggil Ibu tapi panggil saja mami sama seperti kakak-kakakmu yang lain."
"Baik mi."
"Nah ini kamarmu. Letakkan barang-barangmu pada tempatnya."
Ibu Maharani mengajak Laras masuk ke kamar yang lumayan besar di bagian tengah rumah tersebut.
"Anggap seperti rumahmu sendiri, mulai sekarang kamu seperti anak mami yang lainnya."
"Terima kasih mami.Laras tidak tahu mau mengucapkan apa lagi sama mami. Mami sudah baik sama Laras, jadikan Laras anak asuh mami."
"Mi..Mi! Mami di mana?!"
"Mami di sini Vim."
"Di Mana?!"
"Di kamar ini. Ada apa?"
"Huuhh mami ngapain di situ. Di sini kan kos_mengapa dia di sini?"
Anak Ibu Maharani yang ke tiga itu memperhatikan Laras dari atas sampai ke bawah dengan tatapan penuh kecurigaan. Keangkuhan mewarnai sikapnya. Hidungnya yang tinggi membuat dia semakin kelihatan angkuh dan tidak ramah.
"Mulai hari ini Laras tinggal di sini, dia bagian dari keluarga kita. Anggap dia sebagai adikmu."
"Tidak terlalu penting mi."
Lelaki itu Vim abang dari Vano, tidak menghiraukan ucapan Ibunya.
"Vim, Laras bisa membantu kerjaan mami di sini. Mulai sekarang dia akan membereskan kamarmu. Ingat Vim jangan dimarahi."
"Hah apa mi? Bibik ke mana?"
"Bibik sekarang menyediakan makanan untuk orang kerja, supaya tidak kena semprot sama kamu. Kamu itu bagaimana bibik bisa tahan sama kamu, kalau kamu suka uring-uringan."
"Ya Bibik kok di pindah tugas sih mih. Apa dia bisa bekerja sebersih bibik?"
Telunjuk Vim mengarah ke Laras. Sedari tadi Laras cuma seperti patung, mendengarkan saja percakapan Ibu dan anak itu.
"Ya bisa dong. Kamu meragukan kemampuan Laras?"
"Anak ingusan begitu." Bagian atas bibir Vim terangkat sedikit.
"Eeee Vim, bicaramu..."
"Aku keluar mi, pakai mobil mami."
"Kok pakai mobil mami Vim! Vim!"
Ibu Maharani mengejar Vim tapi yang dipanggil sudah menghilang dengan mobil warna pink milik Ibunya. Ibu Maharani menyesal meletakkan kunci mobil di atas meja kerjanya, sehingga Vim mudah mengambilnya. Biasanya Ibu Maharani meletakkan di kamarnya.
Seenaknya saja ia menyebutku anak ingusan. Apakah tidak aneh, badan dengan body atletis menggunakan mobil warna pink, pikir Laras.
"Ya sudah Laras, kamu bisa istirahat dulu atau berkenalan lebih jauh dengan bibik-bibik di belakang. Sore besok mulai bantu
mami ya."
"Iya mi. Laras mau beresin baju dulu."
"Ya. Setelah ibadah malam, kita makan bersama. Ingat jangan telat ya, yang muda tidak boleh telat."
Laras tidak keberatan sama sekali tinggal dan diberi tugas di situ karena Ibu Maharani yang baik hati. Sangat berbeda dengan anaknya yang tadi sempat menebarkan aroma keangkuhan.
...~~...
Saatnya makan malam tiba, semua sudah menempati posisi di kursi masing-masing, ada papi, mami, Vim dan Vano. Vim kelihatan resah dan Vano sibuk dengan gadget di tangan. Lama sekali anak itu, perutku sudah tidak bisa diajak kompromi batin Vim.
Vim mulai memainkan sendoknya tanda kebosanan melanda, sejurus kemudian kursi yang diduduki telah bergeser ke belakang dan Vim berdiri. Papi memperhatikan melalui ekor matanya dan mami menggelengkan kepala.
"Lambat banget keluarnya, cepatan semua sudah menunggu."
Pintu kamar terkuak lebar. Di dalam ruangan kamar, Laras meringis memegang perutnya yang sakit.
"Maaf. Katakan pada semua aku tidak ikut makan malam. Perutku sakit."
Vim memperhatikan dengan seksama sesungguhnya Laras benar-benar sakit atau hanya berpura-pura. Hatinya tergerak ingin menolong dan menawarkan obat tapi memorinya bertindak lebih cepat menampilkan rekaman beberapa bulan lalu tentang kekasihnya yang memilih orang lain daripada Vim.
Menolehkan luka dan bekas yang belum kering sampai-sampai Vim menjadi sangat mengutuk wanita.
Ia mulai membenci wanita sejak saat itu.
"Berikan perutmu minyak angin."
Intonasi suara Vim sedikit lebih rendah daripada sebelumnya, masih ada sisa kelembutan untuk makhluk yang disebut wanita. Dirinya iba melihat wajah Laras agak pias.
"Aku tidak punya minyak angin."
Demi mengingat orangtua dan adiknya yang sedang menunggu di meja makan, Vim meninggalkan Laras. Makan malam sudah lewat dari jam semula.
"Dia sakit perut. Mengapa tidak mengatakan sebelumnya. Kita menunggu lama."
"Sakit perut? Kau tanyakan karena apa?"
"Tidak mi. Buat apa ditanyakan."
"Dan kau tidak memberinya obat Vim?"
"Aku terlalu lapar malam ini mi. Mami bisa memberinya obat nanti."
Keheningan di meja makan kembali terasa, dentingan sendok dan garpu sama sekali tidak terdengar.
"Aku duluan. Ada tugas yang harus kuselesaikan."
Vano lebih dulu menyelesaikan makan malam diikuti papi dan mami. Vim paling akhir karena tadi menambah porsi makannya.
"Vim, ke sini tolong sebentar."
Hampir saja Vim melewati pintu kamarnya sendiri tatkala Vim mendengar namanya dipanggil mami. Kamar Vim dan Laras bersebelahan.
"Ada apa mi."
"Vim tolong naikkan Laras supaya bisa berbaring di kasur. Kasihan sekali adikmu. Mami mau ambilkan minyak angin."
Dia bukan adikku, darah kami berbeda, Vim berkata di dalam hati. Dari garis keturunan sama sekali tidak ada pertalian darah. Sebaiknya disebut adik ketemu gede saja.
"Dari tadi belum."
"Aku bisa sendiri, tidak perlu dibantu." Laras menolak untuk ditolong.
Sebisa mungkin Laras bangkit tapi baru mencoba mengangkat badannya untuk berdiri, sakit yang Laras rasakan pada perutnya bertambah hebat hingga membuat Laras hampir hilang keseimbangan.
Tangan Vim yang kekar menahan tubuh Laras dan punggung Laras bersandar di dada Vim. Keharuman rambut Laras yang terurai mengalirkan desiran halus di dada Vim. Dia segera mengangkat Laras dengan kedua tangannya dan meletakkan Laras
di atas pembaringan.
"Mana yang sakit Laras. Mami olesi minyak angin."
"Laras bisa sendiri mi."
"Ya, ambillah minyak ini."
Minyak angin sudah diberikan oleh mami tapi Laras urung mengusapkannya pada perut sebab dilihatnya Vim masih berdiri di hadapannya. Mata Laras mengarah pada Vim.
"Pergilah aku segera mengoleskan obat ini. Apa kau ingin melihat perutku?" Laras bertanya pada dirinya sendiri, tanpa berani mengutarakan pada Vim.
"Ada apa dengan Laras mi. Kenapa dia?"
Vano datang dengan kecemasan di raut wajahnya.
"Laras sakit perut. Mungkin Laras masuk angin."
"Aku ambilkan air teh hangat dan makanan."
"Jangan. Jangan mas, aku bisa makan di dapur nanti."
"Kamu pasti tidak akan melakukannya. Minum teh hangat dan roti ya. Aku ambilkan."
Kesempatan bermain bersama yang telah terbentuk sejak mereka masih kanak-kanak tak membuat mereka berjarak sebagai teman, Laras dan Vano sangat dekat. Bahkan Vano terlihat lebih melindungi Laras apabila ada teman-teman mereka yang membuat Laras menangis.
"Manja sekali. Sebentar lagi kau suapi dia Van hhhh...Letakkan saja nampan itu di sebelahnya."
"Vim biarkan saja Vano menolong Laras."Ibu Maharani menyela.
Sepertinya mami dan Vano sudah tersihir oleh Laras, pikir Vim. Perhatian mereka tercurah buat Laras, perempuan yang mau tidak mau harus dianggap sebagai adik oleh mereka.
Senyum Vano mengembang melihat Laras menghabiskan makanannya. Nampan di sebelah Laras diambil kembali oleh Vano menjadikan Vim semakin tidak suka.
"Laras, istirahatlah nak. Vim, Vano ayo keluar."
"Ya mi."Laras menjawab ucapan Ibu angkatnya itu.
Pandangan Laras mengikuti mereka bertiga meninggalkan Laras dalam kesendirian. Untuk saat ini Laras merasa bersyukur berada di antara mereka meskipun sikap Vim pada Laras tidak seramah Vano.
...~~...
Laras mulai disibukkan dengan kegiatan di rumah barunya. Membersihkan kamar Vim setelah kamar itu kosong ditinggal pemiliknya pergi bekerja, menyiapkan makanan para pekerja di meja setelah dimasak oleh tukang masak dan menerima hasil pekerjaan Ibu-ibu yang telah selesai menuntaskan melukis kain panjang mereka. Untuk barang dagangan yang siap dipasarkan tidak setiap hari para Ibu rumah tangga itu mengantarkan ke rumah Ibu Maharani.
Semua itu tidak melelahkan bagi Laras. Kamar Vim tidak terlalu kotor dengan sampah, Laras hanya perlu merapikan tempat tidur, menggantung pakaian yang diletakkan secara acak di sofa atau di tempat tidur, kemudian membawa baju kotor ke belakang.
Laras meluruskan badannya setelah mengambil handuk dan celana pendek yang tergeletak di pinggir tempat tidur ketika suara Vim membuat Laras berjengit kaget.
"Berapa lama kau membereskan
kamar ini. Aku mau istirahat. Minggir."
Suara Vim ketus. Laras menggantungkan handuk pada tempatnya dan juga celana yang sedang dipegang Laras.
"Aku sudah selesai. Tidak bisakah mas berkata dengan volume rendah."
"Tidak bisa. Ini masih volume rendah. Sebaiknya kau cepat keluar, aku sudah mengantuk."
Tapi Vim memperhatikan Laras tidak berjalan keluar kamarnya melainkan berjalan mendekati nakas.
"Aku memintamu keluar. Mau apa ke situ?"
"Maaf aku ambil ini."
"Ya sudah, cepat keluar. Kau menggangguku."
Ikat rambut Laras hampir saja tertinggal dan bisa menjadi penghuni keranjang sampah milik Vim jika Vim membuangnya ke situ. Secara Vim suka senewen sama Laras tanpa alasan yang jelas. Bila berbicara pada Laras sering dengan nada tinggi.
"Lama banget jalannya.Keong!"
"Jika aku keong, mas_.."
"Berani kau.."
Laras buru-buru menutup pintu kamar Vim sebelum kata-kata Vim yang pahit menghujani Laras lagi.
Tidak penting Vim menyukainya atau tidak, Laras tidak terlalu memikirkan itu. Menurut Laras
ucapan Vim padanya hanyalah kalimat-kalimat biasa yang tak perlu dihiraukan dan dimasukkan ke dalam hati.
Laras tidak merasa rendah diri dengan pekerjaan yang diberikan padanya. Selain Laras sudah dianggap sebagai bagian dari rumah itu, Laras pun diberikan uang setiap bulan dari hasil keringatnya bekerja di situ. Di luar dari uang saku yang diberikan setiap hari oleh Pak Dewantara suami dari Ibu Maharani.
Dari situ Laras bisa menabung uangnya sendiri setelah sebagian ia berikan kepada ibunya. Di satu sisi Laras senang menghasilkan uang dengan hasil keringatnya sendiri namun di sisi lain Laras merasa kehilangan masa muda
nya terutama kesempatan untuk menuntut ilmu.
"Non Laras, mas Vim ada di dalam?"
"Ada Pak, kenapa Pak? Kelihatannya mau tidur."
"Ada tamu ini non. Bagaimana ya."
"Bapak coba saja bangunkan. Saya tidak berani."
"Baiklah non."
Laras memilih berlalu dari ruang keluarga yang sangat luas dan mencari tahu siapa tamu Vim.
Di dekat sofa ruangan tamu Laras mendapati seseorang berdiri sedang menunggu.
Baru saja Laras menganggukkan kepala kepada tamu dan sang tamu juga melakukan hal yang sama dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya. Akan tetapi Vim yang telah muncul mengarahkan Laras tidak berada di situ.
"Masuk Laras. Biarkan kami berdua. Mami mencarimu di dalam."
"Oh mami sudah pulang mas."
"Ya. Pergilah. Kapan kau datang Ed. Tidak memberi kabar sebelumnya?"
Barangkali kehadiran Edo yang memaksa Vim berbicara sedikit lunak pada Laras untuk menjaga martabatnya. Kedua lelaki dewasa itu saling berangkulan.
"Kemarin siang. Kau sehat?"
"Sehat. Kau juga sehat?"
"Beginilah. Berarti kau tidak ke Jepang lagi?"
"Masih, untuk liburan saja. Sepertinya aku memilih gadis sini saja."
"Hei mau kau kemana kan gadismu di sana."
"Ahh hatiku tidak terikat di sana. Naluriku memanggilku untuk kembali dan Tuhan memberikan jalan melalui perusahaan yang mengirimku kembali ke sini."
Laras kembali dengan baki berisi minuman buat Vim dan temannya.
Minuman diletakkan dengan sangat hati-hati. Edo mencuri pandang ke wajah Laras dan Vim memperhatikan Edo.
"Di mana Bibik?"
"Bibik di dapur mas, kebetulan ketemu aku dan memberikan minuman ini."
"Ya sudah kalau begitu."
Pandangan Edo tak pernah lepas dari Laras yang kembali masuk ke ruangan keluarga, sampai Laras tidak kelihatan lagi.
"Woiii..ckck matamu."
"Siapa dia? Pembantu?" Tanya Edo
"Bukan. Dia adikku. Jaga pandanganmu darinya."
"Adik? Setahuku adikmu cuma Vano."
"Ini adikku juga.Titik. Jangan coba-coba dekati dia."
Mata Edo membelalak.
"Kau tidak percaya padaku. Titip salamku padanya ya."
"Tidak. Tidak ada titip salam segala."
"Busyettt..Gimana laki-laki mau mendekat jika belum-belum sudah kau cekal begitu. Yang benar saja."
"Aku beneran ini. Jangan dekati dia, jika kau langgar kau berhadapan denganku."
"Waduh. Benar-benar memang."
"Bagaimana jadi kau merayakan kepulanganmu? Dimana?"
"Tempat kita biasa ke sana. Besok malam saja. Aku akan menghubungi Dion."
"Minumlah. Dari tadi kau hanya berbicara. Tidak kering tenggorokanmu."
"Hahaha..Iya aku haus. Hmmm ini pasti manis seperti yang membawanya tadi."
"Ya..ya.. dan kau harus puas hanya memandangnya saja ya. Selebihnya tidak."
"Haha..jika takdir membuatku memilikinya kau mau bilang apa. Siapa namanya?"
"Laras. Dia adikku. Awas jika kau berani mendekatinya."
"Hai bro. Aku temanmu. Percayalah."
"Omong kosong apa ini. Kau cuma mau membahas hal itu saja? Buang-buang waktu."
"Hei aku baru datang dan ingin bertemu denganmu. Sorry aku mengganggu istirahatmu. Jadi berikan aku kesempatan mendekati Laras ya."
"Kau serius?"
Kepala Edo mengangguk.
Vim jadi heran dengan Edo yang bersemangat membicarakan Laras. Padahal Edo baru kali ini bertemu dengan Laras. Terselip rasa khawatir di sanubari Vim seandainya Edo berhasil menarik perhatian Laras, kemudian Laras menyukai Edo. Hatinya tidak rela untuk itu meskipun Edo adalah salah satu sahabatnya.
"Kau sendiri bertahan begini terus. Sampai kapan kau hanya memberi harapan palsu pada gadis-gadis itu. Waktunya memikirkan dirimu sebelum kau dilangkahi Vano."
"Mereka yang datang padaku. Aku tidak pernah memulai duluan."
"Tapi kau menanggapi mereka, hingga mereka bergantung padamu dan akhirnya kau tinggalkan begitu saja."
"Hanya itu dan tidak lebih." Vim mencoba menepis ucapan Edo.
Edo menarik nafas panjang dan menghembuskan kembali. Meluruskan punggung menjadi sembilan puluh derajat dengan pahanya.
" Aku pulang dulu Vim. Sambung nanti malam."
Mesin mobil milik Edo telah menyala tanda sebentar lagi akan dibawa pemiliknya meninggalkan halaman rumah temannya. Senyumnya merebak manakala matanya menangkap pergerakan Laras dari kaca mobil. Vim bisa melihat itu dan segera melambaikan lima jari sebagai kode agar Edo segera pergi.
"Ras ngapain di situ?"
Vim bertanya pada Laras yang berdiri di samping kolam ikan.
"Sepertinya ikan-ikan lapar, aku ingin memberinya makan."
"Kau tanya dulu Pak Is, sudah diberi makan atau belum."
"Ya mas tapi aku tidak melihat Pak Is dari tadi."
"Buatkan aku kopi susu saja dan bawa ke kamar."
"Ya sebentar, aku buatkan."
Vim membalikkan badan meninggalkan Laras. Aneh dia merasakan gemuruh di dadanya barusan. Laras anak kemarin sore itu yang masih berumur sembilan belas tahun mengguncang hatinya.
Gerak-gerik Laras, rambutnya yang tergerai dan pipi Laras yang kemerahan terkena pantulan sinar matahari mampu membuat Vim terpana dan tak mau memalingkan wajahnya dari Laras Sesungguhnya Laras itu cantik alami.Vim enggan mengakuinya.
"Siapa yang membuat ini. Kau atau bibik?"
"Aku mas. Nikmat bukan? Karena aku membuatnya dengan tulus ikhlas."
Vim berdehem beberapa kali, menetralkan tenggorokan yang terasa tercekat mendengar penuturan Laras. Kopi susu buatan Laras memang pas di lidah tapi Vim tidak akan mau mengakui
secara langsung. Menunjukkan pada Laras membuat harga dirinya jatuh.
"Tidak, ini kebanyakan susu. Kau mau membuatku sakit dengan rasa manisnya heh."
"Tidak itu sudah pas antara kopi dan susu.
'
"Bawa ke belakang. Buat lagi yang enak."
"Hah?? Aku tidak mau."
Buang-buang minuman saja. Mana sudah disruput. Coba belum dirasa, pasti kuhabiskan. Laras menggerutu di dalam hati.
"Apa susahnya sih bikin kopi dicampur susu. Sekalian bawa potongan buah ke sini."
"Sangat mudah. Nanti mas katakan lagi oh ini kebanyakan kopi, kurang susu atau ini cair."
"Jadi kau mau atau tidak. Aku bisa ngomong ke papi ya supaya uang jajanmu dipangkas karena tidak menuruti perintah."
"Katakan saja. Sekarang aku mau ke belakang."
"Bawa buah-buahan kemari. Aku tunggu."
Sabar adalah tindakan yang tepat untuk menghadapi Vim, menuruti kemauannya dengan menyuguh-
kan buah-buahan yang telah dibersihkan dan dipotong ke hadapannya.
"Ini buahnya. Ada yang harus kulakukan lagi?"
Laras dengan sengaja tidak membawa kopi susu ke hadapan Vim lagi. Cukup buah saja.
"Tidak ada. Kau boleh duduk di situ."
"Jika tidak ada lagi aku akan ke kamarku. Hari sudah sore, waktunya untuk mandi."
"Baru jam lima. Waktu masih panjang, tidur juga boleh di kasurku itu."
"Sebaiknya aku kembali ke kamarku."
"Kau senang membangkang.
Menurut kenapa sih?"
Laras mulai kesal dengan tingkah Vim. Baru setengah jam berada di dekat Vim, rasanya seperti berjam-jam. Laras layaknya robot yang dikendalikan oleh Vim untuk
melakukan ini dan itu.
"Katakan mengapa kau mau tinggal di rumah ini."
Ucapan Vim membuat Laras mengangkat dagunya. Menelisik wajah di depannya yang sedang memegang hp di tangan kiri dan potongan apel di tangan kanan.
"Jawab saja. Tak perlu mengamati
wajahku. Kau baru sadar kalau aku tampan bukan."
"Karena aku senang bila ayah dan Ibuku merasa senang. Dengan menuruti mereka, aku sudah membuat mereka bahagia. Kedua orang tuaku percaya pada mami dan papi tidak akan pernah menyia-nyiakanku. Nyatanya aku mendapatkan kasih sayang mereka, sama seperti mas Vim dan Vano." Urai Laras dengan cara berpikirnya sendiri.
Vim memaklumi maminya yang sejak dulu sangat ingin memiliki anak perempuan. Vim bersaudara adalah laki-laki semuanya. Terbayang oleh Vim saat ia dan Vano masih kecil diajak membeli pakaian oleh mami dan mami selalu tertarik untuk membeli pakaian anak cewek yang terpajang dengan potongan dan hiasan pita dan renda yang indah.
...~~...
Laras bernasib baik mami mengangkatnya sebagai anak. Laras kecil selalu mengikuti Ibunya sesekali bertandang ke rumah Vim untuk mengantarkan hasil pekerjaan Ibunya atau menyelesaikan sedikit pekerjaan yang sama di rumah itu. Ketika itulah Laras dan Vano bermain bersama hingga terjalin keakraban diantara mereka.
Kedekatan itu menimbulkan keinginan mami untuk menjodohkan mereka. Perjodohan terjadi dan siapa yang tidak akan bangga memenuhi permintaan keluarga terpandang seperti Pak Dewantara dan Ibu Maharani.
Sebelum Laras tinggal bersama mereka, Vim pernah tanpa sengaja mendengar perbincangan papi dan mami di ruang tengah. Vim melangkah surut ke belakang dan menajamkan pendengarannya akan percakapan kedua orangtuanya.
" Tahun depan kita bisa laksanakan pih supaya Laras tidak keburu dilamar orang. Buat Vano saja lebih baik." Mami berkata.
"Sebaiknya untuk Vim. Coba pikirkan umur Vim sekarang."
"Dua puluh tujuh tahun. Vim sangat susah disadarkan. Semua gara-gara pacarnya. Karena dia Vim sekarang masa bodoh sama kehidupannya. Waktunya terbuang begitu saja. Bekerja saja asal-asalan."
"Siapa tahu bersama Laras nanti dia bisa berubah."
"Kasihan Laras papi."
"Vim harus berubah dan aku ingin Laras bisa membuat Vim berubah lebih baik. Laras pasti bisa mengalah dengan Vim karena usia mereka berbeda jauh."
"Mami maunya Laras sama Vano Pih, biar mereka tetap tinggal di sini bersama kita."
Ya Vim sadar dirinya terlalu masa bodoh dengan semua nasehat orangtuanya agar ia segera mencari pendamping. Supaya hidupnya lebih terarah karena saat ini Vim suka berbuat sesuka hatinya saja. Pekerjaan tidak dilakoni dengan tekun. Seandainya ia serius dengan pekerjaannya pasti Vim sudah lebih mapan.
Namun sebrengseknya Vim masih bisa berpikir jernih untuk tidak menyia-nyiakan hasil jerih payahnya. Walaupun kesuksesan Vim tidak selevel kedua kakaknya di luar negri, Vim masih bisa berpikiran jernih memanfaatkan gajinya, mengumpulkan uang dan membangun sebuah rumah di atas tanah yang diperuntukkan dirinya.
Kelak ia melepas masa lajangnya Vim sudah bertekad untuk membangun kehidupannya sendiri keluar dari rumah orang tuanya. Rumah yang ditempati oleh mereka sekarang nantinya akan menjadi milik Vano. Semua sudah diatur oleh Pak Dewantara dan tercatat atas nama masing-
masing Vadli, Viky, Vim dan Vano.
Gelak tawa di halaman belakang mengusik sanubari Vim. Di sana di lapangan yang disiapkan untuk mereka bermain bulu tangkis Vim melihat Vano dan Laras bersuka cita dalam kebersamaan. Ayunan raket mereka berlomba bergantian mengembalikan shuttle cock yang mereka berdua arahkan.
Vim memperhatikan dari jendela dapur. Ia akan mengambil minuman di lemari es saat suara tawa itu singgah di telinga Vim. Bahagia sekali Laras dan Vano.
Ada rasa yang menyentuh hati Vim. Entah apa namanya. Rambut Laras yang terikat dan bergerak ke ke kanan dan ke kiri laksana bandul jam itu membuat Vim tersenyum.
"Hah.. hah.. hah..kau selalu memberiku bola tinggi mas. Haahh..aku kesusahan meraih hah.. hah.."
Laras berhenti mengejar shuttle cock dan mengatur nafas.
Keringat bercucuran di wajah Laras. Kedua telapak tangannya bertumpu pada dengkul kaki.
"Hahaha supaya kau sering melompat dan badanmu lebih cepat tinggi!" Teriak Vano.
"Aku tidak mau bermain lagi. Aku lelah. Huuh aku lelah."
Laras duduk meluruskan kedua kakinya di lapangan. Nafasnya masih naik turun. Vim mengamati mereka dari kejauhan. Laras andai saja..
"Lap keringatmu. Bagaimana, kau masih mau main lagi atau tidak?"
"Cukup. Aku capek." Rengek Laras.
Wajahnya meminta belas kasihan.
Vano mengelap keringatnya dengan handuk kecil. Dia mendekatkan handuk tersebut ke penciuman Laras.
"Aaahhh bau tahu!"
"Hahahahaha...enakkan baunya."
Vano melarikan diri dari Laras menjauh mengitari lapangan. Laras berusaha mengejar Vano. meskipun tangannya tidak bisa menjangkau Vano. Tawa Vano lepas begitu saja berhasil mengerjai Laras.
"Awas..a..was..aku akan mendapatkanmu huuuh... Berhenti mas!"
Tapi Vano tetap berlari. Baru setengah lapangan Laras berhenti mengejar Vano. Laras terengah-
engah kembali. Wajahnya mulai cemberut menahan kesal dan matanya mulai merah menahan air mata. Vano mendapati perubahan wajah Laras lalu mendekati Laras.
"Uuuh gitu saja ngambek. Sudah jangan nangis. Dilap keringatnya.'
Vano meraih handuk kecil Laras dan menolong Laras mengeringkan keringat di wajahnya. Vim menarik nafas dalam. Seketika wajah Aurora muncul di benak Vim. Rasa itu selalu hadir bila Vim tiba-tiba mengingatnya. Rasa nyeri akibat ulah Aurora yang lebih memilih perjodohan dari orangtuanya daripada Vim. Vim beranjak pergi meninggalkan botol minumannya di meja.
...~~...
Masing-masing menuntaskan makan malamnya tak terkecuali Laras. Paling akhir adalah Laras dan ia akan membantu bibik membereskan meja makan setelahnya.
"Jadi minggu depan kita ke rumah Laras ya. Mengantar lamaran secara resmi. Vano sudah siap untuk bekerja."
"Mi sebaiknya aku menunggu mas Vim saja. Mas Vim duluan nikahnya." Vano mengutarakan
keinginannya.
"Bagaimana Vim? Sudah ada calonmu, biar papi dan mami melamar buatmu?"
"Vano saja duluan." Vim menjawab singkat.
Tak mengapa apabila Vano menikah terlebih dulu mendahului Vim. Bukan suatu masalah bagi Vim. Suatu saat cinta itu menyapa kembali, Vim akan menikah meskipun Vim merasa tak pasti menemukan pujaan hati yang bisa menyalakan lagi api cintanya.
"Katakan pada mami bila kau sudah memiliki calon istri. Mami dengan semangat akan membantu kalian."
"Belum mi. Lupakan saja. Vano duluan."
"Masih ada waktu mas. Dalam setahun ini kau bisa mencarinya."
Vano memberi semangat.
Busyet. Memangnya mudah menemukan calon istri dalam setahun, gerutu Vim dalam hati.
Seandainya calonnya adalah Laras masih mungkin. Siapa dan bagaimana Laras, Vim dan keluarga sudah mengetahui. Tapi sudahlah Laras sudah dijodohkan dengan Vano.
"Ras, lusa bantu aku di kamar membereskan barang-barang lama."
"Baik mas."
"Tunggu aku bangun tidur saja."
Laras menganggukkan kepala. Vim membersihkan mulutnya dengan tisu lalu pamit dari tempat itu. Menoleh sesaat kala namanya dipanggil oleh papi barusan.
"Vim papi mau bicara. Sebentar saja di ruang kerja."
"Ya pi."
Kedua lelaki itu berjalan menuju ruang kerja papi, sedangkan mami dan Laras membersihkan meja makan. Vano juga berlalu ke kamarnya.
"Sudah lama papi tidak mendengar ceritamu, bagaimana perkembangan di tempatmu bekerja."
"Oya pi lancar. Semua baik-baik saja. Papi jangan khawatir."
"Itu yang papi harapkan. Tidak terlalu mengecewakan. Papi harap ke depan ada kenaikan yang lebih baik lagi."
"Aku masih bertanggung jawab pi."
"Harus. Anak papi semuanya harus bisa. Mulai bulan depan ada Vano yang akan membantumu. Ajari dan bimbing adikmu untuk mengenal perusahaan."
"Tentu. Tiga bulan ke depan aku mengajari Vano. Aku menargetkan Vano harus bisa karena setelah itu aku akan menyusul mas Vadli."
"Kau mau bekerja dengan Vadli?"
" Bukan. Memulai usahaku di sana. Do'a kan aku pi."
"Tentu saja. Do'a papi bersama kalian semua. Kau butuh bantuan papi?"
"Sedikit tambahan dana pi."
"Boleh. Dengan perjanjian kau kembalikan sedikit demi sedikit seiring perkembangan usahamu. Bagaimana?"
"Setuju pi. Terima kasih pi."
"Papi harap di sana kau menemukan pendamping masa depanmu."
Vim tergelak menanggapi ucapan papi. Sebuah pengharapan yang Vim tidak tahu kapan bisa memenuhinya.
"Papi tahu kau bisa lebih hebat dari Vadli dan Viky. Ayolah bangkit dan raih masa depanmu. Lupakan masa lalumu. Di sekelilingmu banyak kok wanita-wanita cantik. Kau tinggal pilih atau mau papi jodohkan dengan anak perempuan kenalan papi?"
"Tidak perlu. Aku bisa mencari sendiri. Oya pi jangan cerita dulu sama mami kalau aku mau ke Australia."
"Ya tidak akan. Kau boleh pergi sekarang."
Malam belum terlalu pekat. Vim memutuskan untuk menemui teman-temannya. Janjian di club malam tempat mereka biasa berkumpul.
Di kamarnya Laras sedang menelpon orangtuanya.
"Besok Laras ke rumah ya Bu. Laras kangen masakan Ibu."
"Datanglah Laras. Bukankah Ibu Maharani memberikan izin padamu."
"Mami Maharani tidak keberatan kalau Laras tiap hari ke rumah. Cuma Laras harus kerjakan tugas kan bu."
"Iya nak. Besok jika waktu Laras longgar, Laras pulang sebentar ya."
"Iya bu. Ibu sudah makan? Ayah ada di rumah kan?"
"Ayahmu ada di rumah. Kami sudah selesai makan. Larita ada di kamarnya sedang belajar.
"Begitu. Ya sudah sekarang Ibu istirahat ya bu. Laras sayang sama Ibu."
"Iya nak Ibu juga sayang sama Laras. Baik-baik di sana ya."
"Iya bu. Daa Ibu..muaaah."
Laras tersenyum puas bisa berbicara dengan Ibunya. Waktu masih sangat panjang. Mata Laras belum merasakan kantuk. Menghabiskan waktu dengan membaca novel mungkin lebih baik daripada hanya berdiam diri.
Akhirnya cerita novel jua yang menemani Laras menghabiskan malam yang panjang. Berjam-jam Laras membaca novel itu hingga kuping Laras menangkap suara sedikit berisik di luar dekat jendela kamar Laras.
Laras menajamkan indera pendengarannya. Suara pintu dibuka dan suara seseorang seperti mengigau mengucapkan beberapa kata yang tidak teratur.
Kamar dengan pintu di luar itu adalah kamar Vim. Berarti Vim yang masuk ke kamarnya sendiri. Rasa penasaran menghinggapi
benak Laras. Laras keluar dari kamarnya dan melangkahkan kaki ke kamar Vim. Kamar Laras dan Vim memang berbatasan.
Pintu kamar Vim jarang ditutup. Hanya kain gorden yang menjadi penutupnya sehari-hari. Tangan Laras menyibakkan gorden sedikit, cukup buatnya mencari tahu apa yang terjadi di dalam.
Mata Laras menyaksikan Satpam sedang memapah Vim ke sofa dan membuka kancing baju Vim. Laras memberanikan diri masuk ke kamar Vim. Bau yang menyengat membuat Laras ingin muntah. Vim mabuk.
"Pak mabuk ya?" Tanya Laras setengah berbisik.
"Iya non."
Pak Satpam menggeleng-
gelengkan kepala memandang Vim. Kemudian menaikkan tubuh Vim ke atas ranjang. Vim terus meracau. Sebentar menyebut nama Aurora, sebentar kemudian memaki dan berkata-kata sendiri sampai akhirnya diam dalam tidur.
"Pak apakah sering Mas Vim begini?"
"Tidak juga non tapi dalam sebulan pasti ada seperti ini."
"Pak, Aurora itu.."
"Bekas pacarnya non. Mas Vim di tinggal nikah."
"Oo begitu. Ini pelariannya."
"Iya non. Kasihan mas Vim padahal mas Vim orangnya baik, pintar lagi. Karena itu saja dia jadi begini."
Pakaian Vim yang berbau alkohol dan rokok telah dilepaskan oleh Pak Satpam. Lalu celananya hanya dibuka kancingnya saja.
"Hidupkan AC non dan non tidurlah. Ini sudah sangat larut malam."
"Iya pak. Saya ke kamar lagi."
Sekali lagi Laras menatap wajah Vim. Kusut dan penuh derita di mata Laras. Betapa besar cintamu padanya hingga kau seperti ini. Tidak bisakah hatimu kau berikan pada yang lain yang lebih perduli padamu, Laras bergumam.
...~~...
Pagi menjelang, Laras berniat menjenguk keluarganya. Walaupun jarak mereka tidak terlalu jauh tetapi Laras jarang pulang. Bukan berarti ia melupakan kedua orang tuanya. Laras sadar diri ia hanya tinggal bersama keluarga Pak Dewantara. Untuk itu Laras harus bisa membawa diri di sana.
Melewati pintu pagar belakang, Laras mendapat banyak sapaan dari mereka yang bekerja dengan Ibu Maharani. Dari mereka ada yang sedang memberi cap kain polos, ada yang sedang mencuci kain-kain itu. Juga ada yang menjemur dan pada tahap akhir seseorang memasukkan kain yang sudah rapi ke dalam plastik.
"Laras mau kemana."
Itu adalah suara Pak Wido yang bertugas mencuci bahan-bahan jadi.
"Ke rumah Ibu, Pak. Mari Pak."
"Iya neng. Silahkan."
"Wah non Laras sudah cantik sepagi ini. Tidak diantar non?"
Giliran Bu Narti yang bertanya. Laras menggeleng dengan senyum simpul.
"Tidak bu. Saya sendiri saja. Mari Bu."
"Iya nak Laras. Hati-hati ya."
"Terima kasih bu."
Kendaraan yang lewat di jalan depan kediaman Pak Dewantara belum terlalu ramai. Sebentar lagi biasanya turis-turis lokal melalui jalan itu menuju lokasi pariwisata di daerahnya itu.
Kaki Laras mengayuh sepeda sejauh lima ratus meter hingga sampai di rumahnya. Meskipun disediakan sepeda motor Laras memilih menaiki sepeda dengan hiasan keranjang di depannya.
Rambutnya yang tergerai sepunggung menari-nari karena gerakan Laras.
Hatinya sudah tidak sabar menemui Ibu. Laras memanggil-
manggil Ibu hingga ke dapur.
"Ibu Laras pulang. Taraaaa.."
"Laras kamu mengagetkan Ibu.
Kamu dengan siapa nak."
"Laras sendiri bu. Kemarin Laras sudah minta izin sama Bu Maharani."
"Anak Ibu, kamu sudah sarapan belum. Itu Ibu sudah siapkan makan pagi. Ayah sudah keluar dari tadi. Larita masih tidur."
"Belum. Laras mau makan."
"Ya ambillah sesukamu. Bagaimana enak tinggal di rumah Ibu Maharani?"
"Enak Bu. Semuanya baik, kecuali.." Laras menggantung kalimatnya.
"Kecuali apa?"
"Hmmm..tidak ada bu. Semua baik kok sama Laras."
"Benarkah. Syukurlah kalau begitu."
Hampir dua jam setengah Laras menemani Ibunya di dapur. Kemudian Laras pamit kembali ke rumah orang tua angkatnya. Tak lupa ibu membekali Laras ikan Gurame goreng beserta sambal terasi untuk keluarga angkatnya.
Menyusuri jalan tadi yang dilalui Laras mengayuh sepedanya, Akan tetapi Laras merasakan sesuatu yang aneh dengan sepedanya yang tidak mau direm. Wajah Laras mendadak takut.
Jika Laras melewati pintu pagar belakang Laras akan bertemu dengan semua yang sedang bekerja. Yang Laras khawatirkan sepedanya bisa menabrak apa saja di depannya karena rem nya blong.
Jalan utama di pilih Laras. Kebetulan pagarnya kalau pagi masih terbuka lebar. Sepeda diarahkan Laras ke sebelah kanan rumah di mana ada kolam renang di situ. Seandainya jatuh masih aman kalau di kolam renang.
Laras membawa sepedanya ke kiri
kolam renang. Di pinggiran kolam renang Laras menurunkan kakinya untuk menghentikan sepeda. Sepeda oleng ke kiri.
Guuubraakkk.
Sepeda dan Laras membentur pintu di samping Laras. Tubuh Laras tergolek begitu pintu kaca itu terbuka. Laras Mengaduh dan memegang lengan kirinya yang sakit.
"Kau ngapain pagi-pagi berisik!"
Vim berdiri tegak mengamati Laras dengan wajah bangun tidur.
"Maaf, aku jatuh mas."
"Bangun! Kau tidak apa-apa kan.
Mengganggu saja!"
Vim meninggalkan Laras. Laras mencoba bangkit. Bukannya menolong malah dimarahin batin Laras.
"Apa yang sakit. Dioles minyak ini."
"Tidak..tidak ada yang sakit. Maafkan mengganggu tidurmu."
"Eee berikan obat ini dulu pada tanganmu baru kau bisa pergi."
"Tidak apa-apa kok mas. Nggak sakit."
"Sekarang tidak terasa sakit. Besok kau bangun tidur akan terasa sakitnya. Kemarikan lenganmu."
Laras takut Vim akan marah. Laras memajukan lengan tangan kirinya.
"Aku mengoleskan sendiri. Tolong tuangkan minyak itu ke telapak tanganku."
Vim menuangkan minyak tawon ke tangan Laras. Sesaat Vim menyaksikan lengan atas Laras yang terbuka. Itu saja sudah membuat Vim menelan salivanya. Sialan calon adik ipar gue cantik dan bening, ucapnya pada diri sendiri.
"Sudah mas. Terimakasih minyaknya mas."
Laras melihat senyum samar milik Vim. Ia pun melangkah keluar mengambil sepedanya.
Pintu kamar Vim untungnya terbuat dari kaca yang tebal dan tidak mudah pecah sehingga tidak hancur terdorong dan tertekan oleh Laras dan sepedanya yang oleng. Laras menutup pintu itu kembali dan berjalan memutar ke halaman belakang sambil menuntun sepedanya.
Selesai meletakkan sepeda di gudang sepeda, Laras menemui bibik tukang masak. Bibik dibantu oleh dua orang anak buahnya.
Laras menyusun piring untuk mereka yang bekerja di situ. Dengan begitu nanti ia hanya mengangkat nasi, sayur dan lauknya saja ke meja makan khusus untuk para pekerja.
Mengisi waktu kosong yang ada Laras melanjutkan pekerjaannya melukis kain seperti yang ibunya lakukan. Laras berkreasi sendiri mengikuti imajinasinya. Motif flora dan fauna dituangkan Laras pada kain itu. Sengaja Laras
membawanya dari rumah karena belum selesai dan sekarang tinggal seperempat bagian lagi yang harus diisi dengan motif.
Vano yang mendapati Laras di depan paviliun menghampirinya.
Memperhatikan sejenak lalu menyapa Laras.
"Kau berbakat sekali mengerjakan ini."
Laras sedikit terkejut mendapati Vano berada di sampingnya.
"Aku suka melakukannya."
"Aku bahkan dua jam duduk di depan peralatan itu, tidak menemukan ide apapun."
"Kau kan laki-laki mas dan bakatmu ya bukutangkis, bukan melukis seperti aku."
"Mungkin juga. Mami pasti senang mengetahui ini. Kau sangat cocok meneruskan usaha mami."
"Aku senang dibutuhan di sini.
Bisa membantu saja sudah cukup menambah ilmu dan kemampuan
ku."
"Bagaimana dengan kuliah?"
"Kalau ada rezeki mas tapi tahun depan."
"Tahun depan mami akan membantumu. Tenang saja."
Kali ini Vano sudah duduk berjongkok di sebelah Laras. Laras merasa kurang enak sebab di sekitar mereka banyak orang yang sedang bekerja di rumah itu.
Laras merasa sungkan meskipun bukan rahasia lagi bila Laras dan Vano sudah dijodohkan sedari kecil.
"Ikut aku yuk ke rumah temanku sekalian kita putar-putar."
"Aku masih ada kerja membantu bibik menyiapkan hidangan. Lain kali saja mas."
"Ya sudah kalau begitu. Ras bikinkan aku sketsa ya, potoku di nakas kamar. Ambil ya yang."
Tangan Vano menyentuh paha Laras. Ada sengatan hangat terasa di sana bagi mereka berdua. Pipi Laras merah merona. Hitungan detik saja lalu Vano berdiri lagi meninggalkan Laras.
Adegan itu tertangkap oleh Vim yang berjalan melalui paviliun hendak menemui bibik. Vim segera mengalihkan pandangan sekaligus menepis rasa yang mampir di relung hatinya. Entah rasa apa namanya.
"Laras kau masih ada kerja? Kapan mau membantuku membereskan barang?" panggil Vim dengan suara baritonnya.
"Masih mas, nanti siang jam dua ya."
"Ya aku tunggu."
Laras mendongakkan kepala melihat jam dinding. Sudah hampir pukul dua belas kurang tiga puluh menit. Ia membereskan peraralatanya dan meletakkan di meja yang biasa Laras gunakan menerima dan mencatat setoran kain panjang.
Bergegas menghampiri Bibik dan mendengar instruksi bibik makanan mana saja yang harus Laras susun di atas meja makan para pekerja.
Setelah selesai Laras memasuki kamar Vano. Sesuai perintah empunya untuk mengambil poto Vano di nakas. Laras memandang sekeliling. Dibandingkan dengan kamar Vim, kamar tidur Vano lebih cerah dengan polesan cat biru tua dan biru muda. Sedangkan kamar Vim terdiri dari warna hitam dan putih.
Tidak ada yang perlu Laras kerjakan lagi. Sekarang Laras mendatangi Vim yang memerlukan bantuannya.
Laras mengetuk pintu kamar meminta izin.
"Mas Vim aku masuk."
"Masuklah."
"Apa yang bisa kubantu mas?"
"Kotak itu dekatkan ke sini."
Perintah Vim sambil menunjuk kardus bekas berukuran sedang di sebelah pintu kamar mandi. Laras melaksanakan perintah. Dia tidak ingin berkata-kata agar pekerjaan itu cepat selesai nantinya.
"Ini kamu masukkan ke dalam kardus. Pakai disusun biar muatnya banyak."
Laras menurut saja. Gampang cuma memasukkan ke dalam kardus saja. Apa susahnya.
Vim mengeluarkan pakaian lamanya yang sudah tidak muat dan yang tak ingin dipakai lagi. Lumayan bagus menurut Laras. Seandainya saja Laras punya adik lelaki, pasti Laras akan meminta pakaian-pakaian itu untuk adiknya.
"Mau dikemanakan semua ini mas?"
"Bukan urusanmu. Kerjakan saja sampai selesai."
Laras menarik nafas dalam. Ketus amat sih.
" Sepedamu siapa yang perbaiki?"
"Belum ada mas. Laras letakkan di gudang."
"Ya biarkan saja. Kau bisa menggunakan motor."
Handphone Vim berdering dan Vim mengangkatnya.
"Hallo. Oke aku ke sana. Uangnya aku transfer nanti."
Vim memasukkan hp ke dalam saku celananya.
"Kau lanjutkan isi kardus yang satunya dengan barang-barang di laci itu yang paling bawah. Aku mau menemui seseorang sebentar. Kau tidak perlu mengangkat kotak itu. Mengerti?"
" Aku mengerti. Lanjutkan saja urusan mas."
Ketiadaan Vim di situ membuat Laras lebih leluasa bekerja. Laci yang disebut Vim tadi telah dibuka Laras. Terdapat barang-barang lama di situ. Semua barang khas lelaki kecuali satu barang yang menghentikan tangan Laras dari memindahkan barang-barang itu.
Kertas kusut dan lusuh menarik perhatian Laras. Ia membuka gumpalan kertas itu dan terlihat oleh penglihatan Laras sebuah poto dengan tulisan menggunakan spidol. Brengsek Aurora dalam bahasa asing. Laras tahu artinya.
Jadi inilah Aurora yang pernah disebut Pak Satpam malam itu. Bekas pacar Vim. Sangat cantik wajar saja jika Vim kesulitan melupakannya.
Laras berhenti sebentar dan lanjut mengeluarkan semua isinya, memindahkan ke dalam kardus. Laci telah bersih dan Laras mulai merasakan ngantuk. Ia menguap beberapa kali. Saat ini memang waktunya tidur siang. Laras merasakan AC ruangan tidak cukup membuat Laras nyaman. Panas terasa di ruangan itu. Suhu ruangan ditambahkan menjadi lebih dingin lagi.
Sepertinya tempat tidur Vim empuk sekali. Laras ingin mencoba mendudukinya. Empuk mana dengan kasur Laras di kamar sebelah. Ternyata lebih empuk punya Vim. Laras memang belum sempat membersihkan kamar itu, masih berserakan di sana sini.
Suhu kamar menjadi lebih nyaman sekarang. Keringat Laras sudah tidak ada lagi. Kini Laras sudah membaringkan tubuhnya di kasur dengan maksud untuk membebas
kan tubuhnya dari rasa pegal. Kenyamanan membuat mata Laras meredup dan semakin berat untuk dibuka. Laras terlelap di situ.
Kehadiran Vim tidak disadari oleh Laras. Vim terkejut dan menutup pintu dengan pelan tapi ia tidak sampai hati membangunkan Laras. Pasti Laras kecapean.
Vim mendekati Laras. Dia memperhatikan wajah tanpa beban itu. Seketika hasrat Vim muncul. Sudah terlalu lama hati Vim dingin dengan perempuan. Baru Laras yang bisa menghangat
kan jiwanya kembali.
Dia membenarkan posisi Laras agar kedua kaki Laras tidak menggantung. Bukannya tersadar Laras malah semakin pulas.
Rok Laras tersingkap akibat Vim membetulkan posisi tidur Laras.
Hanya memperlihatkan sepertiga bagian paha kanan Laras.
Vim menelan ludah, dadanya mulai bergejolak. Paha Laras yang putih mulus membangkitkan gairah Vim. Dia lelaki normal.
Vim mengelus paha itu tapi pikiran sehatnya tetap bekerja. Sebatas mengelus, Vim menekan hasrat
nya dalam-dalam. Laras milik Vano adiknya. Vim disadarkan
dengan realita. Izinkan aku menciummu Laras, bisik Vim sangat pelan hampir tanpa bersuara. Kemudian hidung Vim menyentuh kening Laras dan bibirnya mengecup bibir Laras dengan lembut dan cepat.
...~~...
Malam harinya Laras memulai menggambar sketsa Vano. Dia kelak yang akan menjadi pemimpin buat Laras. Vano tidak jelek, tidak kalah dari Vim. Hanya saja Vano mewarisi warna kulit papinya yang agak gelap.
Kegiatannya terhenti manakala Laras ingat bahwa ia tadi siang tertidur di kamar Vim. Haruskah ia meminta maaf. Bukankah Vim belum datang sampai saat Laras terjaga dari tidurnya di kamar Vim.
Rasanya tidak perlu meminta maaf pikir Laras.
Tangannya terus memainkan goresan-goresan tinta membentuk wajah Vano tatkala hp Laras berbunyi.
"Ada apa mas?"
"Ras keluarlah. Ke kolam renang ya. Aku di sini." Ajak Vano pada Laras.
"Baiklah mas."
Vano sudah menunggu Laras di dalam kolam renang. Dilihatnya Laras berjalan menggunakan kaos you can see dan celana pendek di atas dengkul.
"Laras ayo berenang. Turun."
"Aahh aku nggak bisa berenang mas."
"Sebesar itu nggak bisa berenang sih. Memalukan. Sini aku ajari."
Laras masih menolak. Lagi-lagi Vim harus menikmati romantis
nya Vano dan Laras yang sedang berada di kolam renang.
Jangan lupa tinggalkan jejak di sini. 🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!