Bagian 01.
Oleh : Surya Panuntun.
Matahari terlihat mulai merambat condong kearah barat. Sinarnya yang tidak seterik beberapa saat sebelumnya terlihat mulai kesulitan menembus kelebatan hutan di kaki Gunung Lawu itu.
Samar samar di kejauhan, terlihat dua orang berjalan beriringan keluar dari dalam kelebatan hutan yang tidak terlalu besar itu.
Kedua orang tersebut nampaknya baru saja menempuh perjalanan panjang dengan melintasi jalan yang membelah hutan tersebut.
Keduanya tidak berjalan dengan tergesa gesa meskipun matahari semakin terlihat mulai tenggelam diufuk barat sebagai pertanda bahwa senja sebentar lagi tiba.
Beberapa saat kemudian keduanya mulai menyusuri jalan yang berada ditepian hutan itu. Mereka telah mengetahui bahwa jalan yang dilaluinya tersebut akan membawanya menuju ke sebuah padukuhan yang berada tidak jauh lagi dari ujung hutan.
“Kalau kita menjumpai parit kecil atau sumber mata air yang bersih, kita akan berhenti untuk membersikan diri dulu paman,” berkata salah satu dari kedua orang yang berusia muda.
“Apakah tidak lebih baik kita membersihkan diri dipadukuhan yang akan kita singgahi nanti ngger, bukankah sebentar lagi kita akan memasuki padukuhan diujung hutan ini,” jawab orang yang dipanggil paman.
“Kita tidak akan sengaja untuk mencari mata air paman, namun kalau disepanjang perjalanan menuju padukuhan kita menemukan mata air yang bersih, kita akan berhenti sejenak untuk sekedar membersihkan diri,” jawab orang yang berusia muda.
“Baiklah ngger marilah kita bergegas, akan lebih baik kalau kita memasuki padukuhan itu sebelum malam tiba. Kita tidak tahu, bagaimanakah tanggapan penduduk ataupun bebahu di padukuhan tersebut dengan maksud dan kedatangan kita,” berkata orang yang dipanggil paman itu.
“Kita tidak akan kemalaman untuk sampai dipadukuhan itu, bahkan seandainya kita menemukan mata air dan kita memutuskan berhenti untuk sekedar membersihkan diri sekalipun,” berkata orang yang berusia muda.
Lalu terdengar orang yang berusia muda itu telah melanjutkan perkataannya kembali.
“Bukankah padukuhan iu berada diujung hutan yang baru saja kita lalui. Selepas dari tepian hutan ini, kita akan melalui sebuah bulakkan yang pendek saja. Dan diujung bulak itulah pintu gerbang dari padukuhan tersebut.”
Orang yang dipanggil paman itu hanya menganggukkan kepalanya untuk menjawab perkataan orang yang berusia muda.
Lalu terdengar orang yang berusia muda itu bertanya kepada orang yang dipanggilnya paman.
“Apakah menurut paman bebahu padukuhan itu akan mempersoalkan atau bahkan menolak kedatangan kita,” tanya orang yang berusia muda.
Untuk sejenak, orang yang dipanggil Paman itu hanya terdiam seolah ada sesuatu yang sedang dipikirkan didalam hatinya.
Dengan sudut matanya, dilihatnya anak muda yang berjalan disisinya. Lalu dengan menghela nafas, orang yang dipanggil dengan sebutan Paman itu berdesis lirih.
“Semoga bebahu dipadukuhan itu tidak berkeberatan menerima kedatangan kita. Tidak ada yang pantas untuk dicurigai dengan keadaan kita saat ini.”
Mendengar perkataan dari orang yang dipanggilnya paman itu, terlihat anak muda itu mengerutkan dahinya.
Ia bermaksud mengatakan sesuatu, tetapi tiba tiba ditahannya kembali sehingga tak sepatah katapun terlontar dari bibir anak muda itu.
Anak muda itu justru hanya terdiam saja, bahkan dengan bergegas terlihat anak muda itu mulai mempercepat langkah kakinya.
------
Kedua orang tersebut nampaknya sedang melakukan sebuah perjalanan panjang atau mungkin juga keduanya adalah seseorang yang sedang melakukan perjalanan pengembaraannya.
Dari sebutan yang terdengar dalam percakapan yang terjadi diantara mereka, nampaknya keduanya mempunyai keterkaitan dalam satu ikatan keluarga dalam hubungannya antara seorang paman dengan kemenakkannya.
Orang yang dipanggil dengan sebutan paman, adalah seorang yang berusia menjelang pertengahan abad, sementara yang berusia muda umurnya tak lebih dari duapuluh tujuh tahun.
Meskipun pakaian yang melekat pada kedua orang itu sudah mulai terlihat lusuh dan kotor oleh debu yang bercampur keringat, namun tak menghilangkan satu kesan bahwa kedua orang itu nampaknya adalah orang orang yang mempunyai latar belakang kehidupan yang mapan baik ditilik dari tataran ekonomi maupun tataran kehidupan sosialnya.
Kalau keduanya adalah dua orang pengembara, maka keduanya nampaknya bukanlah pengembara kebanyakkan.
Orang yang dipanggil Paman, meskipun tidak mempunyai ciri ciri yang khusus, namun wajahnya begitu bersih dan segar serta memancarkan wibawa yang tersirat dari sorot matanya.
Rambutnya yang dibeberapa bagian telah terlihat memutih nampak terikat rapi. Kumis tipisnya yang juga beberapa helainya telah terlihat memutih, semakin menambah kesan kewibawaan pada diri orang tersebut.
Sementara anak muda yang mungkin saja adalah kemenakkan dari orang yang dipanggilnya paman tersebut, mempunyai tubuh yang tegap dan kokoh dengan dada yang bidang.
Wajahnya yang cerah seolah merupakan gambaran dari pancaran semangat hidupnya yang penuh dan dengan kesungguhan.
Sorot matanya pun begitu tajam sebagai ungkapan atas keteguhan hati dan rasa percaya dirinya yang tinggi dalam menghadapi gejolak kehidupannnya.
Meskipun pada raut wajahnya menyiratkan perasaan penat dan lelah karena perjalanan panjang yang telah ditempuhnya, namun tetap saja tidak bisa disembunyikan, bahwa anak muda itu adalah seorang anak muda yang mempunyai wajah yang tampan secara kewadagan.
Pada keduanya, tidak terlihat sesuatu apapun yang dianggap dapat mencurigakan. Keduanya hanya membawa satu bungkusan kecil yang disangkutkan pada pundaknya masing masing.
Bungkusan yang mungkin hanyalah selembar atau dua lembar pakaian yang dipersiapkan sebagai ganti selama dalam perjalanannya.
Bahkan kedua orang tersebut tidak membawa senjata dalam ujud apapun. Keris yang biasanya menjadi kewajaran sebagai piandel sekaligus pusaka bagi siapapun yang sedang melakukan perjalanan jauh ataupun melakukan pengembaraan juga tidak terlihat terselip pada pinggang kedua orang itu.
Demikianlah selanjutnya, kedua orang itu terlihat terus melangkahkan kakinya mengarah ke padukuhan yang berada diujung hutan.
Sementara matahari semakin merangkak ke barat meskipun senja masih datang untuk beberapa saat lagi.
--------
Dawungan, adalah sebuah padukuhan atau lebih tepatnya sebuah Kademangan yang berada dikaki Gunung Lawu sebelah utara.
Meskipun Kademangan Dawungan adalah kademangan yang tidak terlalu besar ditilik dari luas wilayahnya, namun Kademangan Dawungan dikenal sebagai Kademangan yang subur serta mempunyai hasil bumi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan penghuninya.
Pemimpin Kademangan Dawungan adalah seorang Demang yang berusia belumlah terlalu tua meskipun juga tidak bisa disebut berusia muda.
Demang Dawungan adalah seorang Demang yang dikenal cakap dalam memimpin kademangannya. Dengan kecakapan yang dimilikkinya itulah, Ki Demang mampu menjadikan wilayah kekuasaannya menjadi sebuah kademangan yang subur maju.
Selain itu, Ki Demang pun ternyata juga mampu menjaga dan menciptakan wilayah kademangan yang di pimpinnnya menjadi satu wilayah yang aman dan tentram.
Hampir jarang terjadi gangguan keamanan diwilayah Kademangan Dawungan.
Sekali dua kali memang pernah muncul gangguan keamanan yang ditimbulkan oleh para perampok ataupun para gegedug yang mencoba berniat menggaggu ketentraman di Kademangan Dawungan.
Namun dengan kemampuan yang dimilikkinya, Ki Demang Dawungan berhasil mengusir para perampok ataupun gegedug tersebut, bahkan beberapa perusuh diantaranya telah dibuat menjadi jera.
Nama Ki Demang Dawungan sendiri memanglah telah dikenal secara luas di beberapa wilayah yang berada di sekitar kaki gunung Lawu.
Selain dikenal sebagai seorang Demang yang dianggap berhasil memimpin wilayahnya menjadi sebuah Kademangan yang subur, Ki Demang juga dikenal karena memilikki kelebihan ilmu kanuragan yang pilih tanding.
Konon kabarnya, pada masa mudanya Ki Demang pernah menjadi murid disalah satu padepokan yang berada di lereng Gunung Lawu. Sebuah padepokan besar dan berkembang di masa masa awal pemerintahan Demak.
Bekal Ilmu yang pernah disadapnya dari perguruan di lereng Lawu itulah yang nampaknya telah menjadikan Ki Demang Dawungan seseorang yang dikabarkan menyimpan ilmu tiada duanya.
Atas kenyataan seperti itulah yang nampaknya telah membuat kademangan Dawungan cukup disegani oleh daerah daerah disekitarnya sekaligus ditakuti oleh orang orang yang mempunyai niat untuk membuat kerusuhan di kademangan Dawungan.
Sementara itu, meskipun beberapa bebahu di kademangan Dawungan bukanlah orang orang yang dianggap mempunyai nama dalam dunia kanuragan, tetapi setidaknya Ki Bekel dan Ki Jagabaya adalah dua bebahu kademangan yang dianggap mempunyai bekal yang cukup untuk menjalankan tugasnya membantu Ki Demang dalam menjaga ketentraman dan ketertiban di kademangan Dawungan.
Demikianlah keadaan di Kademangan Dawungan. Tata kehidupan sehari hari berjalan dan mengalir dengan aman dan tentram.
Dihari hari hari tertentu, pasar induk kademangan selalu terlihat ramai dan sibuk. Bermacam macam jenis kebutuhan sehari hari ataupun kebutuhan tertentu lainnya tersedia di pasar kademangan.
Beberapa kebutuhan yang belum dapat di cukupi dan dihasilkan sendiri oleh penghuni kademangan biasanya telah dibawa oleh pedagang yang datang dari luar kademangan Dawungan.
Penghuni kademangan yang kebetulan mempunyai keahlian sebagai pandai besi telah membuka usaha untuk membuat bermacam peralatan sehingga kebutuhan alat alat pertanian, pertukangan maupun peralatan lainnya tidak perlu harus mendatangkan dari luar kademangan.
Lahan pertanian dan perkebunan terhampar dan membentang luas dengan suburnya karena tergarap dengan baik. Parit dan susukan terlihat bersih dan terawat sehingga air dapat mengalir dengan lancar.
Setiap musim panen tiba, padi dan hasil bumi lainnya selalu melimpah dalam jumlah yang lebih dari mencukupi untuk sekedar memenuhi kebutuhan bagi penghuni kademangan.
Pun demikian suasana di kademangan Dawungan ketika malam menjelang. Terlihat anak anak bermain dengan riangnya dihalaman rumahnya.
Beberapa penghuni kademangan lainnya terlihat berkumpul dengan tetangga terdekatnya untuk sekedar berbincang sambil menikmati keindahan dan kesegaran udara di malam hari.
Dan disaat waktu sudah wayah sepi uwong, beberapa penghuni kademangan yang kebetulan mendapat giliran untuk meakukan tugas ronda, terlihat mulai berdatangan di gardu gardu perondaan.
Bahkan tak jarang beberapa orang yang meskipun tidak sedang dalam tugas ronda telah menyempatkan datang di gardu gardu perondan untuk sekedar berbincang dengan kawan kawannya.
Di banjar kademangan pun juga selalu ramai dimalam hari. Penghuni kademangan yang kebetulan sedang bertugas ronda terlihat berkumpul dan saling berbincang dengan beberapa penghuni kademangan lainnya.
-----
Bersambung bagian 02.
Bagian 02.
Oleh : Surya Panuntun
Ketika itu, senja mulai merambat perlahan menuju malam. Meskipun gelap belum sepenuhnya datang, terlihat beberapa penduduk kademangan Dawungan mulai menyalakan lampu dirumahnya masing masing.
Di beberapa rumah bahkan terlihat obor obor biji jarak terpasang di kedua sisi pintu regol sebagai penerangan tepi jalan. Pada saat malam benar benar telah datang, obor obor tersebut akan mulai dinyalakan untuk menerangi jalan jalan induk kademangan.
Tak jauh dari pintu gerbang kademangan, terlihat dua orang berjalan memasuki padukuhan induk. Kedua orang tersebut terus melangkahkan kakinya menyusuri jalan utama padukuhan.
Satu dua orang penghuni padukuhan yang kebetulan melihat kedua orang yang belum dikenalnya tersebut terlihat telah memandangi sekilas, namun sekejap kemudian orang orang itu tidak memperdulikannya lagi.
Bagi mereka bukanlah sesuatu hal yang aneh kalau ada orang asing yang belum dikenalnya memasuki kademangannya. Dan hal yang demikian memang sudah sering terjadi.
Mungkin mereka adalah pedagang yang berasal dari luar kademangan yang sedang kemalaman dalam perjalanannya atau mungkin juga seseorang yang kebetulan ingin berkunjung ketempat saudaranya yang kebetulan saudaranya tinggal di kademangan Dawungan atau bahkan mungkin juga orang tersebut hanya sekedar melintas saja dijalanan induk Kademangan.
Ketika kedua orang itu melewati sebuah rumah yang kebetulan dihalaman rumah itu ada seseorang yang sedang menyiapkan lampu untuk dinyalakan dipendapa rumahnya, kedua orang tersebut telah berhenti sejenak.
Salah satu dari kedua orang itu terlihat memasuki halaman rumah dan mendekat kearah orang yang sedang bersiap menyalakan lampu yang berada di pendapa rumah.
“Maaf Kyai, dimanakah rumah dari pemimpin kademangan ini, atau barangkali rumah dari salah satu bebahu padukuhan ini,” bertanya salah satu dari kedua orang asing itu.
Sejenak penghuni rumah itu terdiam, dipandanginya orang yang berada dihadapannya. Sekilas terlihat penghuni rumah itu melemparkan pandangannya kearah orang yang berdiri ditepi jalan.
Masih sambil memegangi lampu yang belum sempat dinyalakannya, orang itu berkata
“Maaf, siapakah kisanak?, dan apakah orang yang berdiri ditepi jalan itu adalah kawan dari kisanak juga.” berkata penghuni rumah sambil matanya menatap kearah orang yang berdiri ditepi jalan.
“Benar Kyai, orang itu adalah kawan seperjalananku, atau lebih tepatnya kawanku itu adalah kemenakanku.”
Sambil menganggukan kepalanya, penghuni rumah itu berkata lebih lanjut.
“Kalau kisanak tidak berkeberatan aku mengetahuinya, siapakah kisanak dan orang yang kisanak sebut sebagai kemenakan kisanak itu serta apa tujuan dan keperluan kisanak menanyakan rumah pemimpin kademangan atau rumah bebahu dari kademangan ini”.
“Namaku Wilaga Kyai, sedang kemenakanku itu adalah Jatmika. Kami berdua sedang kemalaman dalam perjalanan. Kami bermaksud untuk sekedar singgah di banjar padukuhan agar kami bisa menumpang istirahat malam ini. Untuk keperluan itulah maka Kami berniat menemui bebahu kademangan untuk meminta ijinnya, itupun kalau pemimpin kademangan ini tidak berkeberatan menerima kami untuk beristirahat dibanjar”.
Sambil menarik nafas lega penghuni rumah itu berkata.
“Maafkan sebelumnya kisanak, aku mungkin terlalu banyak bertanya. Kalau keperluan kisanak seperti yang kisanak sampaikan itu, marilah.., biar aku sendiri yang mengantar kisanak menemui bebahu kademangan.”
Untuk sesaat pemilik rumah itu menghentikan perkataannya. Lalu sambil memperlihatkan lampu dlupak yang masih belum dinyalakannya orang itu melanjutkan kata katanya.
“Tapi tunggulah sebentar. Biarlah aku menyelesaikan pekerjaanku ini terlebih dahulu. Panggilah kemenakanmu itu kesini dan naiklah ke pendapa sementara aku akan meneruskan pekerjaanku untuk menyalakan lampu.”
“Terima kasih Kyai, atas kesediaan Kyai mengantarkan kami berdua menemui bebahu kademangan”, berkata orang itu sambil memberi isyarat kepada orang yang disebutnya sebagai kemenakannya itu untuk memasuki halaman rumah.
Untuk selanjutnya terlihat kedua orang itu telah menaiki pendapa. Sementara penghuni rumah itu telah melanjutkan kembali kesibukkannya untuk menyalakan lampu yang ada dipendapa serta beberapa lampu yang ada didalam rumahnya.
Beberapa saat kemudian, terlihat penghuni rumah itu telah keluar kembali dari dalam rumahnya dan berjalan menuju pendapa untuk menemui kedua orang yang sedang duduk menunggunya.
“Marilah Ki Wilaga dan juga angger Jatmika, sesuai janjiku, aku akan mengantarkan kalian berdua menemui salah satu bebahu kademangan. Kebetulan rumahnya tidak terlalu jauh dari sini.” berkata penghuni rumah itu kapada dua orang yang sedang duduk dipendapa rumahnya.
“Maaf Kyai, kami berdua belum mengetahui nama atau barangkali sebutan dari Kyai.”
“Oo maaf Ki Wilaga..., Aku sampai lupa memperkenalkan diriku sendiri.”
Lalu sambil duduk dihadapan kedua orang tamunya, penghuni rumah itu telah memperkenalkan dirinya.
“Orang orang dikademangan ini mengenalku dengan nama Bahuwirya. Mereka memanggilku Kyai Bahuwirya.”
“Sekali lagi kami berdua mengucapkan terima kasih atas kesediaan Kyai Bahuwirya mengantarkan kami menemui bebahu kademangan,“ berkata Ki Wilaga.
Sambil menganggukan kepalanya, penghuni rumah yang ternyata bernama Kyai Bahuwirya itu berkata.
“Ki Bekel tentu tidak akan berkeberatan dengan maksud kisanak berdua. Di banjar padukuhan ada beberapa bilik yang cukup layak untuk sekedar beristirahat dan bilik bilik tersebut memang dipersiapkan bagi orang orang yang kebetulan ingin menginap karena kemalaman di perjalanan.”
“Terima kasih Kyai. Kami hanya akan menumpang istirahat untuk satu malam saja karena di kesokkan harinya kami harus melanjutkan perjalan kami.”
“Kalau Aku boleh mengetahuinya kemanakah sebenarnya Ki Wilaga dan angger Jatmika bepergian.” tanya Kyai Bahuwirya.
Untuk sesaat orang yang disebut dengan Ki Wilaga itu terdiam. Namun sesaat kemudian terdengar perkataannya.
“Perjalananku sebenarnya tidak mempunyai tujuan yang pasti Kyai. Aku hanya sekedar menuruti kemanapun kaki ini melangkah.”
Terlihat Kyai Bahuwirya mengerutkan keningnya mendengar keterangan dari Ki Wilaga. Namun sebelum Kyai Bahuwirya memberikan tanggapannya terdengar orang yang disebut dengan Ki Wilaga itu telah menyambung kembali keterangannya.
“Aku melakukan perjalanan karena sedang menemani kemenakkanku. Nampaknya kemenakkanku mempunyai keinginan untuk dapat mengetahui betapa luasnya negeri ini.”
Sambil menggukkan kepalanya Kyai Bahuwirya berkata.
“Nampaknya kisanak berdua sedang melakukan sebuah perjalanan pengembaraan.”
“Mungkin semacam itulah Kyai meskipun pengembaraan yang sedang aku lakukan saat ini hanyalah untuk sekedar menambah pengetahuan bagi kemenakkanku. Ia ingin meluaskan cakrawala berpikirnya.” jawab orang yang bernama Ki Wilaga.
Kyai Bahuwirya hanya terdiam sambil mengangguk anggukkan kepalanya.
Bagaimanapun Kyai Bahuwirya mengetahui bahwa pada kebanyakkannya, orang yang sedang melakukan sebuah perjalanan pengembaraan biasanya dilandasi oleh satu keinginan terhadap maksud maksud khusus yang ingin dicapainya.
Mungkin seseorang tersebut sedang menjalani sebuah laku yang berkaitan dengan ilmu kanuragan yang dimilikkinya atau mungkin juga berkaitan dengan ilmu ilmu lainnya.
Untuk sekilas Kyai Bahuwirya memandang ke arah Ki Wilaga dan Jatmika. Kyai Bahuwirya mulai dapat merasakan bahwa kedua tamunya nampaknya bukanlah orang orang kebanyakkan.
Bahkan ketika Kyai Bahuwirya memandang ke arah anak muda yang bernama Jatmika, Kyai Bahuwirya mulai menyadari bahwa anak muda tersebut nampaknya menyimpan sesuatu didalam dirinya.
Beberapa saat kemudian terdengar Kyai Bahuwirya berkata.
“Baiklah kisanak, marilah... Aku akan mengantar kalian berdua menemui salah satu bebahu kademangan.”
Demikianlah untuk selanjutnya, ketiga orang itu akhirnya berjalan beriringan menuju kerumah salah satu bebahu kademangan.
Perjalanan itu hanyalah perjalanan yang pendek saja karena rumah bebahu kademangan memanglah tidak terlalu jauh dengan rumah dari Kyai Bahuwirya.
Sesaat kemudian ketika ketiganya sampai didepan regol sebuah rumah yang tidak terlalu besar terdengar Kyai Bahuwirya berkata.
“Inilah rumah dari salah satu bebahu kademangan. Ia seorang bekel. Tunggulah disini, biar aku yang memanggilnya kedalam rumahnya“.
Tanpa menunggu jawaban, Kyai Bahuwirya melangkah menaikki pendapa dan berjalan menuju kearah pintu rumah Ki Bekel. Namun sebelum Kyai Bahuwirya mengetuk pintu terlihat pintu telah terbuka dan Ki Bekellah yang justru telah keluar dari dalam rumahnya.
-----
Bersambung Bagian 03
Bagian 03.
Oleh : Surya Panuntun.
“Selamat malam Kyai. Siapakah dua orang yang Kyai bawa itu.”
berkata Ki Bekel sambil menyapukan pandangan matanya kepada dua orang yang sedang berdiri dibawah pendapa.
“Aku membawa dua orang tamu yang ingin bertemu dengan Ki Bekel. Untuk lebih jelasnya silahkan Ki Bekel sendiri yang menanyakan keperluan dari tamu tamu tersebut,” berkata Kyai Bahuwirya kepada Ki Bekel.
“Baiklah Kyai, marilah kita bersama sama menemui tamu tamu itu,” jawab Ki Bekel sambil melangkahkan kakinya kearah pendapa untuk menemui dua orang yang belum dikenalnya.
Demikianlah selanjutnya, setelah mempersilahkan kedua tamunya naik ke pendapa, Ki Bekel yang ditemani oleh Kyai Bahuwirya telah menemui dua orang tamunya.
Setelah saling berbasa basi, Ki Bekel telah menanyakan keperluan dari dua tamunya tersebut serta keterangan lain yang sekiranya perlu diketahui oleh Ki Bekel.
Beberapa saat kemudian terdengar Ki Bekel itu berkata.
“Ki Wilaga dan Jatmika, pada dasarnya Kademangan ini selalu terbuka menerima siapa saja apalagi kepada orang orang yang memang perlu mendapatkan pertolongan. Untuk keperluan kalian, dibanjar padukuhan ada beberapa bilik yang pantas kalian pergunakan untuk bermalam barang satu atau dua malam. Bilik itu memang disediakan untuk orang orang yang sedang melakukan perjalanan jauh dan kebetulan ingin singgah dan beristirahat dikademangan ini. Kami tidak mempersoalkan asal usul mereka, apakah keperluan mereka, apakah mereka itu pengembara atau bukan yang penting mereka itu bersikap baik dan berunggah ungguh serta tidak berniat untuk membuat persoalan apalagi sengaja membuat keributan.”
“Terima kasih Ki Bekel, kami berdua hanya ingin menumpang istirahat untuk satu malam ini saja karena besok pagi pagi sekali kami harus meneruskan perjalanan,” berkata Ki Wilaga.
“Baiklak, banjar kademangan berada diujung jalan ini. Atau biarlah kalian diantar sekalian oleh Kyai Bahuwirya menuju Banjar.”
Lalu Ki Bekel berkata kepada Kyai Bahuwirya, “Kyai.., tolong antarkan sekalian tamu tamu ini menuju Banjar”.
“Baiklak Ki Bekel”, berkata Kyai Bahuwirya.
Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih, akhirnya kedua tamu Ki Bekel dan Kyai Bahuwirya meninggalkan rumah Ki Bekel menuju banjar Kademangan.
Sesampainya di banjar, terlihat keadaan banjar kademangan masih terlihat sepi meskipun lampu yang ada dibanjar itu telah dinyalakan seluruhnya.
Banjar Kademangan biasanya memang baru ramai setelah wayah sepi uwong. Orang orang yang datang di banjar biasanya hanya sekedar bercanda ataupun saling bercerita tentang bermacam persoalan.
Bahkan beberapa diantaranya datang ke banjar hanya sekedar untuk pindah tidur dari rumahnya karena orang tersebut sedang bertengkar dengan istrinya atau mungkin karena udara didalam rumah terasa panas sehingga mereka memilih untuk tidur di bajar.
Kepada dua tamunya, Kyai Bahuwirya menunjukan letak bilik yang ada dibagian belakang banjar serta memberikan beberapa penjelasan lain seperlunya.
“Kalau Kisanak berdua memerlukan untuk membersihkan diri serta keperluan sesuci lainnya, ada sumur dihalaman belakang banjar ini,” berkata Kyai Bahuwirya.
“Terima kasih Kyai, kami berdua kebetulan sudah menyempatkan diri terlebih dulu untuk membersihkan diri dibelik yang ada diujung bulak ketika kami mau memasuki kademangan ini.” jawab Ki Wilaga.
“Maaf Kyai..,” tiba tiba saja kemenakan Ki Wilaga yang selama ini tidak terlalu banyak bicara itu telah menyela.
“Apakah Kyai merupakan salah satu bebahu dari kademangan ini. Maksudku apakah Kyai adalah orang yang diserahi tanggung jawab untuk merawat dan mengurus kebersihan dari banjar ini?”
Sambil memandang kearah anak muda yang bernama Jatmika itu Kyai Bahuwirya menjawab.
“Bukan ngger. Aku bukan salah satu dari bebahu dari kademanagan ini. Akupun bukan orang yang diserahi tanggung jawab untuk merawat dan mengurus banjar kademangan ini.”
“Nampaknya Kyai dikenal dekat atau bahkan dipercayai oleh para bebahu kademangan ini.” anak muda bernama Jatmika itu bertanya lebih lanjut.
Sambil tersenyum Kyai Bahuwirya menjawab.
“Angger Jatmika. Setiap orang yang tinggal di Kademangan ini hampir seluruhnya saling mengenal satu dan yang lainnya dengan baik. Bukankah itu hal yang wajar. Selebihnya, mungkin karena pekerjaankulah sehingga para bebahu atau bahkan Ki Demang sendiri mengenalku dengan baik.” Jawab Kyai Bahuwirya.
“Apakah pekerjaan Kyai,” terdengar pertanyaan Ki Wilaga dan Jatmika hampir bersamaan.
“Ah.., bukanlah satu pekerjaan yang luar biasa. Aku sebenarnya justru merasa kurang mapan dikenal karena kebiasaanku ini meskipun kenyataannya banyak orang yang membutuhkan pertolonganku.”
“Dan apakah pekerjaan atau kebiasaan dari Kyai itu,” sela Jatmika yang nampaknya merasa panasaran.
Sambil memandangi Ki Wilaga dan Jatmika, Kyai Bahuwirya berkata.
“Aku sering dimintai pertolongan oleh orang orang yang rajakaya nya susah melahirkan karena sungsang atau disebabkan oleh gangguan lainnya. Beberapa diantaranya memintaku untuk membuatkan reramuan agar ternak sapi atau kerbaunya menjadi sehat dan gemuk. Sebagiannya lagi meminta bantuanku untuk dibuatkan semacam reramuan karena ternaknya telah menjadi majer dan sama sekali tidak ada tanda tanda bisa mempunyai keturunan. Dan beberapa lainnya justru hanya sekedar meminta pendapatku untuk membuat sebuah penilaian apakah sapi atau kerbau yang akan dibelinya itu lebih cocok untuk dijadikan penarik bajak disawah, penarik gerobak atau justru lebih cocok untuk diambil hasil keturunannya. Termasuk juga penilaianku apakah ternak ternak itu merupakan ternak yang bagus baik ditilik dari hasil keturunannya maupun kesehatannya”.
“Dukun hewan,“ desis Jatmika tanpa sesadarnya.
Sementara Ki Wilaga hanya mengangguk angguk sambil berkata.
“Pekerjaan yang aneh meskipun usaha yang seperti itu sudah terbiasa dilakukan oleh siapapun juga.”
“Benar Ki Wilaga, sebenarnya banyak orang yang mempunyai kelebihan dan kemampuan seperti apa yang aku kerjakan ini. Tapi ternyata tetap saja banyak orang yang memilih untuk datang kepadaku. Bahkan beberapa pekan sekali aku harus pergi keluar kademangan karena ada saja orang yang tinggal di luar kademangan ini telah meminta pertolonganku terkait dengan keahlianku.
“Maaf Kyai, nampaknya keahlian Kyai ini adalah keahlian yang memerlukan pengetahuan tentang obat obatan meskipun peruntukannya berbeda dengan pengobatan untuk manusia. Apakah keahlian Kyai ini merupakan sejenis ilmu yang turun temurun atau barangkali Kyai pernah berguru secara khusus tentang keahlian ini.” tanya Ki Wilaga.
“Tidak Ki Wilaga, aku tidak pernah berguru secara khusus terkait dengan kamampuanku ini. Bukan pula ilmu yang temurun dari leluhurku”.
“Dan Kyai nampaknya benar benar berhasil dengan keahlian Kyai ini.” desis Jatmika.
“Maksud angger Jatmika.” berkata Kyai Bahuwirya.
“Maaf Kyai, maksudku adalah kemampuan Kyai ini ternyata telah membuat Kyai menjadi orang yang dikenal luas di kademangan ini bahkan sampai ke tempat yang jauh diluar kademangan.”
“Demikianlah ngger.., aku bersyukur karena aku bisa membantu orang lain dengan keahlian yang aku milikki.” jawab Kyai Bahuwirya.
“Apakah ada anak atau keluarga Kyai yang kelak bisa mewarisi keahlian Kyai ini.” berkata Ki Wilaga.
“Aku tidak mempunyai keluarga Ki Wilaga. Istriku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Sementara aku juga tidak mempunyai anak. Ada dua kemenakanku tapi kemenakanku itu tidak tinggal dikademangan ini. Dirumah aku tinggal sendirian. Aku memelihara beberapa ekor kambing yang terbiasa aku gembalakan sendiri untuk kesibukanku ketika tenagaku tidak sedang diperlukan oleh orang lain.”
“Oh.., maaf Kyai bukan maksudku untuk menyentuh kenangan dan masa lalu Kyai.” desis Ki Wilaga perlahan.
“Jangan hiraukan Ki Wilaga, aku bahkan sudah melupakan keadaanku ini. Aku bersyukur karena dimasa tuaku ternyata tenagaku masih dibutuhkan oleh orang lain.” jawab Kyai Bahuwirya.
Sesaat Kyai Bahuwirya menghentikan kata katanya. Namun sesaat kemudian terdengar Ia telah kembali berkata.
“Baiklah Ki Wilaga dan juga angger Jatmika, silahkan beristirahat. Meskipun nanti dibanjar itu akan sedikit riuh karena kehadiran orang orang kademangan yang ingin sekedar bercengkerama atau bersendau gurau tetapi keriuhan mereka tidak akan sampai terdengar kedalam bilik ini. Jadi kalian berdua tidak akan terganggu karenanya,” berkata Kyai Bahuwirya sambil berpamitan untuk pulang.
“Baiklah Kyai, dalam keadaan lelah dan tertidur biasanya kami berdua tidak akan terganggu meskipun ada petir yang menyambar didekat telinga.” kelakar Ki Wilaga sambil sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada Kyai Bahuwirya.
-----
Bersambung Bagian 03
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!