Permatasari Anindya, seroang anak perempuan pertama dari Teguh dan Ratih adalah keluarga sederhana yang berasal dari Malang. Sari adalah panggilannya sehari-hari, di rumah, di sekolahnya dulu, bahkan di tempat kerjanya kini. Sari memiliki seorang adik laki-laki berusia 18 tahun yang masih duduk di bangku SMA kelas dua belas.
“Ciye.. yang mau tunangan.” Ledek Ardi, sang adik dengan nama panjang Ardiansyah Nugroho.
Ardi duduk di tepi tempat tidur, sambil menatap sang kaka di balik cermin. Sudah dua hari, Sari lebih sering duduk di depan meja rias kamarnya. Ada saja yang ia gunakan di sana, dari mulai krim pagi, lotion, masker wajah, dan krim malam di malam harinya. Memang kulit Sari tidak putih, tapi juga tidak gelap. Namun, Sari terlihat sangat manis dengan warna kulit eksotiknya. Walau dia tak terlalu putih, tapi karena selalu di rawat dengan baik, sehingga sangat bersih dan segar di pandang.
“Iya, donk. Seneng deh aku, Dek.” Jawab Sari.
“Ya, pasti senenglah. Mau di kawinin pria pujaan,”
“Nikah, Dek. Nikah.”
“Nikah sama kawin sama aja, Mbak.”
“Beda, Dek.”
“Bedanya apa?”
“Nikah tuh, pake ijab qobul, kalau kawin ngga.”
“Maksudnya?” Ardi semakin bingung.
“Ah, udah lah susah ngomong sama kamu, gede badan doank.” Ledek Sari.
Kemudian Sari mendorong sang adik untuk keluar dari kamarnya.
“Aku masih mau ngobrol sama kamu, Mbak.”
“Iya nanti, abis mbak cuci muka.” Pasalnya saat ini, Sari tengah memakai masker wajah yang sudah mengering.
"Eh iya, saran mbak, kamu jangan kuliah di Jakarta. Cowok polos seperti kamu nanti di manfaatin orang.” Ucap Sari, sebelum menutup pintu kamarnya.
Ardi pria yang beranjak dewasa dengan postur tinggi badan 180 cm, tubuhnya pun tidak kurus. Wajahnya pun tampan dengan warna kulit yang sama seperti sang kakak, di tambah lesung di kedua pipinya saat tertawa, membuatnya semakin terlihat manis.
****
Pagi ini, Sari terlihat cantik dengan balutan kebaya putih dan rok batik ala anak muda kekinian dengan tatanan rambut yang di sanggul kecil, serta make up natural yang membuat wajahnya semakin manis dan cantik.
Teguh dan Ratih sudah repot sejak semalam. Ia mempersiapkan kedatangan keluarga Rama, pacar anak gadinya yang saat ini ingin melamar dan bertukar cincin. Teguh hanya seorang Pegawai Negeri Sipil di walikota Malang golongan tiga, sedangkan Ratih hanya ibu rumah tangga biasa.
Sari yang pintar dan gigih, dengan riang menunjukkan sang ayah bahwa dia di terima di Universitas Negeri Jakarta dengan jurusan Tata Busana. Memang jurusan yang sangat ia inginkan. Selama kuliah di Jakarta, Sari tak pernah merepotkan orang tuanya. Ia berusaha mencukupi kehidupannya sendiri sambil ikut mengajarkan matimatika untuk anak-anak Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama di sebuah bimbingan belajar tempat teman-teman kuliahnya yang lain mencari tambahan uang, sesama perantau yang mengenyam pendidikan di kota besar. Terkadang ia pun ikut part time di sebuah event, ketika dirinya sedang libur semester.
Setahun sebelum lulus kuliah, ia magang di Butik Fang dan bertemu Inka. Kemudian mendapatkan tawaran dari Inka untuk bekerja padanya, dan Sari pun langsung menyetujui, karena Inka tak keberatan dengan status Sari yang masih mahasiswa tingkat akhir. Ketika di Butik Fang, Sari dan Inka memang sudah dekat, mereka sering makan siang bersama, bertukar cerita tentang keluarga dan cita-cita. Inka menyukai kinerja Sari yang jujur dan gigih. Sehingga membuat Inka menempatkan Sari sebagai asistennya sekarang.
“Nduk, apa kamu ngga salah pilih? Keluarga pacarmu itu ternyata orang kaya.” Bisik ratih pada Sari yang berdiri persis di sampingnya.
Semua keluarga Sari melihat kedatangan Rama dan keluarganya dengan antusias. Pasalnya Rama membawa lima mobil dengan jenis mobil yang tergolong mobil mewah dan besar.
“Iya, Nduk. Kamu yakin keluarga nak Rama menerimamu?” kali ini Teguh yang bertanya.
Ia hanya tak ingin anak perempuannya di remehkan, jika bersanding dengan anak orang kaya, mengingat dirinya hanya petugas PNS biasa. Walau ia menyukai Rama yang sopan dan mapan. Namun, entah mengapa justru di saat seperti ini, hatinya malah ragu.
“Yakin yah, kalau tidak yakin, ngga mungkin Sari dan mas Rama sudah sampai ke titik ini.” Jawab Sari berbisik, dengan arah pandang yang tersenyum pada keluarga Rama dari kejauhan yang mulai membuka pintu mobilnya dan melangkahkan kaki untuk masuk ke rumah Sari yang luas dengan halaman depan.
Sari bertemu Rama di butik Fang. Kebetulan saat itu, ibunya Rama yang bernama Sofia adalah pelanggan tetap Miss Fang, lalu Rama di minta sang ibu untuk mengambil pakaian pesanannya yang di layani langsung oleh Sari. Kemudian keduanya bertukar nomor ponsel, seringnya komunikasi membuat keduanya akhirnya sering bertemu dan berpacaran. Walau mereka sering putus nyambung. Namun, setelah 3 tahun mengenal Sari, akhirnya Rama bertekad untuk mempersunting gadis manis itu.
Rama adalah seorang pengacara terkenal. Rumah, apartemen, dan mobil mewah sudah ia miliki. Namun, di usianya yang memasuki 27 tahun, ia masih belum ingin memiliki istri, walau sang ibu sering sekali menjodohkannya pada anak teman-temannya. Tapi Rama selalu menolak dengan alasan terlalu glamour, banyak make-up, tidak natural, suka menuntut, dan banyak alasan lainnya. Karena memang wanita seperti Sari yang ia inginkan untuk di jadikan istri. Wajah Sari yang natural, manis, polos dan sederhana, membuatnya terpesona sejak pandangan pertama.
Kini di usia Rama yang menginjak 30 tahun, ia mantap melamar Sari yang saat ini berusia 26 tahun.
“Begini saja sambutan keluarga besan.” Ucap Sofia ketus, saat ia duduk di ruang tamu rumah Sari, sambil mengibaskan kipas kayu di tangannya.
“Mana panas sekali.” Sofia masih saja bergerutu.
Teguh dan Ratih hanya tersenyum dengan saling melempar tatapan.
“Ma..” Rama mengelus lutut sang ibu, agar tak membuatnya malu di hadapan orang tua Sari.
“Oh, ini calonnya Rama.” Rudy mengulurkan tangannya pada Sari, ketika Sari menghampiri orang tua Rama dan keluarga yang mengiringi kedatangannya.
“Iya, Om.” Sari pun menerima uluran tangan itu dan menciumnya. Begitupun kepada Sofia dan keluarganya yang lain, yang ia anggap lebih tua.
“Kamu memang pintar mencari istri, Ram.” Rudy menyenggol lengan Rama, membuatnya tersipu malu.
Sari pun sama, wajahnya sudah memerah seperti tomat.
Berbeda dengan Sofia, ia hanya memalingkan wajahnya ke sembarang arah.
Teguh dan Ratih melihat itu. Ia melihat bagaimana sikap Sofia terhadap anak perempuannya. Sungguh, Teguh dan Ratih sangat khawatir dengan nasib anaknya nanti. Keduanya, mempunyai spekulasi dan pemikiran yang sama. Walau Rama mencintai puterinya, tapi sepertinya Rama pun sangat menyayangi sang ibu, karena Rama hanya memiliki seorang ibu, ayahnya meninggal terkena serangan jantung saat Rama masih kuliah. Saat ini, terlihat jelas bahwa Sofia tak menyukai Sari, Teguh dan Sari khawatir ketika berumah tangga nanti, ibu mertuanya itu akan banyak mendominasi rumah tangga mereka.
Sari pun menyadari sejak awal, bahwa Sofia tak menyukainya. Namun, Rama tetap menguatkan, ia meyakinkan Sari bahwa ibunya baik walau terkadang kata-katanya pedas dan suka menyakitkan.
Rama juga memiliki kakak perempuan yang tengah hamil besar, bernama Sisy. Ia pun ikut datang ke acara ini di temani suaminya. Berbanding terbalik dengan sang ibu, justru Sisy sangat menyukai Sari. Ia suka dengan Sari yang apa adanya, kasih sayang yang tulus dan keramahan yang tak di buat-buat, membuat Sisy setuju dengan keputusan sang adik.
Sari dan Rama resmi bertunangan. Hubungan keduanya semakin dekat. Rama selalu menjemput Sari tiap pulang dari butik, ia mengantarkan persis hingga depan kosan Sari. Tidak jarang Rama pun mengajak Sari untuk mampir ke restoran atau mall hanya untuk menghabiskan waktu bersama.
“Sar, nonton yuk!” Rama langsung menarik tangan Sari, yang masih menyesap ice mocca cino, ketika mereka tengah menikmati makan malam di sebuah restoran mall.
“Tunggu.” Sari masih berdiri menahan tangan Rama, karena ia masih tanggung untuk menghabiskan minuman kesukaannya itu.
“Nanti beli lagi.” Rama menarik tangan Sari lagi.
Sari mengerucutkan bibirnya. “Sayang tau, mubazir, tadi tuh minumannya masih banyak.”
“Tinggal setengah.”
“Iya, tapi kan bayarnya full, sayang kalau minumannya cuma di minum setengah.”
Rama langsung merangkul pundak Sari, membekap mulutnya sambil bercanda.
“Banyak ngomong.” Rama tertawa gemas. Pasalnya Sari wanita yang paling irit dan perhitungan. Ia memaklumi mengingat tunangannya itu memang perjuang sendiri untuk masa depannya, hingga sampai di titik ini.
“Mmm..” Rama melepas telapak tangan yang menutup mulut Sari, lalu keduanya tertawa dan berjalan menuju lantai paling atas mall tersebut.
Rama melingkarkan tangannya di pinggang Sari. Rama menyukai Sari yang ceria dan periang. Gadis itu memang penuh senyum dan canda tawa, belum lagi tingkahnya yang polos, membuat Rama selalu kembali tersenyum jika bertemu dengannya, rasanya semua lelah karena pekerjaan sirna karena tingkah Sari.
“Kamu mau nonton apa?”
“Terserah, Mas. Aku ngikut aja.”
“Yang romantis ya?”
Sari mengangguk sambil menggoyangkan kepalanya, membuat rambut yang ia kuncir kuda pun ikut bergoyang.
Rama tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Ia pun memesan dua tiket film luar bergenre romantis dewasa.
Rama terus menggenggam tangan Sari, hingga masuk ke dalam ruangan yang mulai dimatikkan penerangannya itu.
“Kita duduk di mana?” Tanya Sari yang masih mengikuti langkah kaki Rama dari belakang dengan tangan yang tak di lepaskan oleh Rama.
“Di sana.” Rama menunjuk pada kursi yang terletak di paling pojok dan paling belakang.
“Jauh banget.”
“Ayo duduk!” Kaki Rama terhenti tepat di jejeran bangku yang akan mereka duduki.
Sari menuruti apa yang di perintahkan tunangannya itu. Ia berjalan menuju kursi paling pojok.
Film di mulai, Sari serius menonton film tersebut, sambil tangannya mengambil pop corn yang Rama beli. Ketika ada adegan berciuman, ia langsung memalingkan wajahnya ke arah Rama.
“21 plus.” Kata Sari sambil menutup pandangannya dengan telapak tangan.
“Kita juga pernah melakukannya.” Jawab Rama santai, sambil mengunyah pop corn itu.
“Iya, tapi kan sudah tidak lagi.” Jawab Sari.
Rama hanya tersenyum, mengalihkan lagi pandangannya pada layar lebar di hadapannya.
Ya, Sari dan Rama pernah berciuman dua tahun yang lalu, tepatnya saat mereka baru resmi berpacaran. Rama yang baru dua minggu mengungkapkan cintanya dan di terima Sari. Kemudian, Sari hanyut dalam cumbuan Rama, tepat di saat butik tempat bekerjanya sepi, lalu di buyarkan oleh telepon Mario, yang merupakan suami dari bos nya, yang tengah mencari keberadaan sang istri.
Sejak saat itu, Sari tersadar dan kembali memegang prinsipnya. Ia tak mau lagi hanyut dalam cumbuan Rama. Ia pun memperingatkan Rama untuk tak melakukan itu lagi. Rama pun menuruti keinginan sang kekasih, karena Sari jinak-jinak merpati. Ia ingin menaklukan hati gadis ini, hingga ia sendiri yang menyerahkan dirinya sendiri untuk di sentuh.
Rama kembali memperhatikan wajah Sari dari samping. Ia tak tahan melihat bibir Sari yang tengah menyesap minuman bersoda di tangannya. Rama meraih minuman itu.
Cup
Ia mencium bibir Sari. Menggigitnya pelan, lalu mel*matnya semakin dalam.
“Mmmpphh.. Mas.” Mata Sari membulat, saat Rama melepas pangutannya.
“Maaf, mas ngga tahan.” Ucap Rama tanpa dosa, sementara Sari masih mencibir.
Beberapa menit kemudian, Rama melakukan aksinya kembali. Bibirnya menelusur leher jenjang Sari yang memang terbuka karena sedang di kuncir kuda. Tangan Rama pun tak tinggal diam, tangan itu menggerayangi lekuk tubuh Sari hingga menyentuh bagian sensitifnya.
“Mas..”
“Sebentar, Sayang.”
Sari menggigit bibir bawahnya, sebenarnya ia juga ingin. Namun, ia tersadar oleh perkataan sang ayah.
“Kehormatan seorang gadis ada pada dirinya sendiri.” Kata-kata itu terngiang di kepalanya.
“Mas, jangan! Aku mohon.” Sari menahan tangan Rama yang sudah memasuki area intimnya dari dalam lapisan pakaian dalamnya.
“Kita sudah tunangan.”
“Tapi kita belum menikah.”
Kemudian Rama menatap malas wajah Sari dan menarik tangannya kembali. Setelah itu Rama terlihat dingin. Ia tak lagi menggenggam tangan Sari, setelah film selesai dan keluar dari ruangan itu.
“Mas..” panggil Sari, yang kemudian meraih tangan Rama.
“Kamu marah?”
Rama masih tetap diam.
“Mas, jangan seperti ini.” Rengek sari.
Mereka pun berjalan menuju parkir. Rama langsung melajukan mobilnya ke kosan Sari.
“Mas, bicara donk.” Sari menggoyangkan lengan Rama yang masih berada di setir mobil.
“Hmm..” Jawab Rama singkat dan padat.
“Maaf, Mas.”
“Baiklah, apa yang harus aku lakukan supaya kamu memaafkanku.” Rengek Sari lagi.
Biip. Rama memberhentikan mobilnya di pinggir jalan yang cukup sepi.
“Tidur bersamaku malam ini.” Ucap Rama tegas.
Sari terdiam, wajahnya pucat pasi.
Rama tergelak. Ia justru malah tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi takut Sari.
“Aku tidak akan melakukan itu.” Kata Rama setelah ia selesai tertawa.
Tangannya meraih pucuk kepala Sari, lalu mengecupnya.
“Aku mengerti dengan prinsipmu.”
Sari lega dan tersenyum.
Padahal hati Rama tidak seluas itu. Ia butuh pelampiasan sekarang, karena ia sudah menegang sejak di bioskop bersama Sari tadi.
“Sial.” Batinnya.
Sari sudah di turunkan persis di gerbang pintu kosannya.
“Hati-ha..” ucapan Sari terpotong, karena Rama langsung menggas mobilnya.
Tanpa ba bi bu, Rama langsung tancap gas dan meninggalkan Sari yang masih mematung dan ingin melambaikan tangan ke arahnya. Namun, ia pun tak membuka kaca mobilnya lagi saat meninggalkan Sari. Ia bergegas menghubungi teman, sahabat, sekaligus ‘having s*x’nya itu. Lalu janjian di sebuah hotel untuk melepaskan hasrat yang sudah menjadi kebutuhan.
Rama sampai di hotel XXX, ia berjalan menuju kamar yang tertera pada pesan whatsapp di ponselnya.
Ceklek..
Rama membuka pintu yang tak di kunci itu. Terlihat di sana seorang wanita dengan kulit yang putih bersih dan tinggi semampai tengah duduk di depan cermin, penampilannya sangat sexy, karena wanita itu menggunakan lingeri berwarna merah dengan bagian yang serba menunjukkan kemolekan tubuhnya.
Rama tersenyum dan menghampiri wanita itu.
Cup
Ia langusng mel*mat bibirnya. Wanita itu pun membalas ciuman panas Rama.
“Mmmpphh.. kamu sudah tidak tahan, Ram?”
“Hmm... Sari selalu membuatku menegang. Namun ia tak mau kusentuh.” Rama membuka pakaiannya.
“Bukankah kalian sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah. Apa dia masih belum mau di sentuh.” Wanita itu berdiri di hadapan Rama.
“Begitulah dia.” Rama membuka pakaian wanita itu. Dengan satu kali tarikan di resleting belakang, gaun itu pun langsung jatuh ke lantai.
Wanita itu adalah Anita. Ia pun dari keluarga yang berada. Ayahnya memiliki perusahaan di bidang agrobisnis. Namun, ia tak tertarik dengan itu. Ia bekerja sebagai design interior di sebuah perusahaan terkenal.
Rama dan Anita berteman sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, hingga kuliah. Walau sempat berpisah saat di bangku SMA. Namun, keduanya di satukan kembali pada jenjang Perguruan tinggi. Mereka kuliah di universitas yang sama, walau berbeda fakultas. Mereka kerap di gosipkan sebagai pasangan kekasih, tapi keduanya menolak. Mereka selalu berikrar bahwa kami adalah sahabat.
Keperawanan Anita di luluh lantahkan oleh pacarnya, ketika ia baru memasuki kuliah semester dua. Sedangkan Rama, memang sudah mengenal sex sejak akhir Sekolah Menengah Atas. Ia dan pacarnya yang pada saat itu memang sudah tidak virgin berpesta bersama teman-temannya yang lain dalam acara Prom Night, dan di sanalah Rama merasakan itu hingga akhirnya kini menjadi sebuah kebutuhan. Begitupun dengan Anita, ia pun merasa hasrat ini sebagai sebuah kebutuhan. Lalu, mereka sering melakukannya tanpa ikatan apapun. Hanya sekedar menyalurkan kebutuhan.
Memang Rama tidak pernah mencintai Anita, walau tak di pungkiri sikap peduli dan sayang itu ada, tapi itu hanya sekedar sebagai teman. Ia pun tak pernah merasakan berdesir atau ingin memiliki, ketika sedang melakukan ‘having sex’ bersama Anita. Berbeda dengan Sari, ia akan selalu menegang jika di dekatnya, padahal Sari tak melakukan apapun. Jantung Rama akan berdetak kencang, kala ia menyentuh bagian inti Sari, atau mencumbunya. Walau hal itu hanya ia lakukan dua kali dalam tiga tahun berpacaran.
Rama menelusuri setiap jenjang tubuh Anita. Ia sudah hafal betul bagian tubuh wanita itu. Ia juga hafl titik-titik sensitif yang dapat memuaskannya.
“Aaa...” Keduanya berteriak, setelah dua jam bergelut dalam peluh.
Rama pun ambruk di samping tubuh Anita. Nafas mereka masih terengah-engah, keringat pun masih membasahi kening keduanya.
Rama langsung berdiri, dan melepas pengaman yang ia gunakan tadi. Lalu membuangnya.
“Apa kita masih bisa seperti ini, setelah kamu menikah?” Tanya Anita, yang sudah menyenderkan tubuhnya pada dinding tempat tidur.
“Kenapa tidak? Buktinya, hingga saat ini Sari tak pernah tahu apa yang kita lakukan.” Jawab Rama dengan penuh percaya diri.
“Ya, karena yang dia tahu bahwa aku sahabatmu.” Anita tersenyum dan memeluk dada bidang Rama, saat Rama sudah kembali menuju ranjang itu.
“Tidurlah, An, kamu pasti lelah karena aku langsung memintamu kesini Tadi. Padahal kamu juga sedang lembur.”
“It’s Ok. Kebetulan aku juga ingin melakukannya.”
Rama tersenyum mendengar jawaban Anita. Mereka pun tertidur karena rasa lelah oleh aktifitas yang mereka lakukan tadi.
****
Dret.. Dret.. Dret..
Alarm ponsel Sari berdering. Ia mengerjapkan matanya, rasanya berat sekali untuk bangun dari kasur empuk itu. Namun, ia tetap menuju kamar mandi kecil yang berada dalam kamar itu. Sari menyewa kos di tempat kos khusus wanita. Ia menyalakan kran dan berwudhu. Lalu, menjalankan kewajibannya untuk sholat subuh, setelah itu ia pasti akan tidur lagi dan bangun ketika matahari sudah menampakkan diri.
“Sar, lo ngga kerja.”
Tok.. Tok.. Tok..
“Lo pasti bangun kesiangan lagi, ya.” Ucap salah satu teman kos sari yang berada persis di samping kamar Sari.
Memang Sari terkenal susah bangun pagi, terlebih ketika hari libur, ia tidak akan keluar kamar sebelum waktunya makan siang.
“Jam berapa sekarang?” Gumam Sari terkejut, kala melihat jendelanya yang sudah sangat terang.
Ceklek.
Sari membuka pintu kamarnya. “Hoamm..”
“Dih, udah jam berapa sekarang?”
“Iya, makasih Mil udah bangunin gue.”
“Ya udah cepet, gue tunggu lima belas menit, kalau mau nebeng motor gue.” Kata Mila, teman yang sudah seperti saudara bagi Sari. Karena jika ia sakit, maka Mila lah yang paling repot dan perhatian. Mila akan mengurus Sari sampai sembuh.
“Dua puluh menit deh, Mil.”
“Ngga pake taawar menawar, gue tunggu di bawah lima belas menit.” Teriak Mila.
Sari pun langung menutup pintu kemarnya kembali, dan bergegas bersiap-siap. Karena lebih baik berangkat kerja bareng mila di bandingkan harus berdesak-desakan menaiki angkutan umum.
Mila lulusan pariwisata, ia bekerja di sebuah hotel. Tepatnya di hotel XXX, tempat Rama dan Anita sering menginap, termasuk hotel yang rama dan Anita gunakan tadi malam. Walau Mila pernah mengatakan bahwa ia pernah melihat Rama berjalan dengan wanita, tapi Sari tetap tidak percaya, ia lebih percaya pada Rama yang beralasan bahwa ia ke hotel itu karena sedang menemui klien.
“Thank you, Mil.” Sari melambaikan tangannya saat Mila memberhentikan motornya tepat di butik Inka.
Mila memang selalu melewati butik tempat Sari bekerja untuk sampai ke hotel tempat ia bekerja.
Mila sampai di hotel tempatnya bekerja. Sesaat sebelum ia masuk ke dalam lift, ia melihat Rama yang sedang bergandengan tangan keluar dari lift. Lalu, Mila memfoto Rama dan Anita yang sedang berjalan beriringan dari jarak jauh. Namun, tetap wajah kedaunya dapat etrlihat jika di zoom.
“Rahma, cewek ini semalam check in?” Mila menunjukkan foto wwanita yang bersama Rama tadi ke temannya yang seorang resepsionis. Kebetulan rahma belum bertukar shift.
“Iya semalam dia check in. Emang kenapa?”
“Namanya siapa?” Mila semakin ingin menyelidiki kegajnalan ini.
“Anita Pramudya.”
“Dia nginep di kamar berapa?” Tanya Mila lagi.
“Nomor 316. Kenapa sih?” Tanya Rahma bingung.
“Ngga apa-apa, gue Cuma tanya aja. Soalnya kayanya gue kenal sama cowoknya.” Jawab Mila.
“Oh.”
Kemmudian, Mila langsung menuju lantai tiga ke kamar 316.
Ceklek
Ia membuka kamar itu, aroma parfum wanita dan laki-laki menjadi satu di dalam ruangan ini.
Terlihat juga sprei dan selimut yang berantakan. Lalu, Mila menemukan bekas pengaman yang berisi cairan dalam tong sampah yang masih terlihat bersih itu.
Mila menutup mulutnya, ia terkejut tak percaya dengan apa yang di lihatnya. Ia bingung bagaimana cara menyampaikan hal ini kepada Sari. Mengingat Sari sangat mempercayai tunangannya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!