Seorang CEO Golden Grub, Zello Agra Abraham. Yang biasanya selalu bersikap tenang, kini tengah duduk bersandar di kursi kebesarannya, dengan tangan memijit pelipisnya yang dirasa berdenyut.
Hari ini dia baru saja memenangkan tender besar, namun nyatanya tidak membuat dirinya merasakan 'wah' karena pikirannya condong ke masalah pribadinya.
Zico, asistennya. Sudah sedari tadi di panggil ke ruangannya. Namun Zello belum berucap sedari tadi, yang membuat sang asisten merasa heran.
“Carikan aku perempuan yang bisa dijadikan kekasih bayaran!”
Suara tenang Zello Agra Abraham. Akhirnya kalimat itu bisa ia keluarkan juga dari bibirnya.
Permintaan sang Kakek berulang yang selalu ia tolak, dan minggu lalu kakek mengucapkan permohonan itu lagi. Andai dirinya bisa bernegoisasi kali ini. Namun nyatanya tidak, Kakek sudah memberikan ultimatum akan mencarikan istri untuk dirinya bila ia tak kunjung mengenalkan seorang wanita ke Hanif, Kakek Zello. Bagaimana Zello bisa membiarkan itu terjadi, karena Zello sudah memiliki pujaan hati.
“Maksudnya, Bos?” tanya Zico tak percaya dengan apa yang sudah di dengarnya.
“Aku menginginkan wanita yang bisa dibayar untuk jadi kekasih bayaran!” tegas Zello.
“Carilah wanita polos! Ubah penampilannya dan bawa dia ke sini! Pastikan dia sudah menyetujui. Jadi, dia tinggal tanda tangan kontrak saat bertemu denganku.” Zello mengulang kalimatnya dengan frustasi.
“B-Bos, apa Anda yakin?” ucap Zico terbata.
Brakk.
Gebrakan meja oleh tangan Zello langsung membuat Zico menelan salivanya. Zello nggak pernah bersikap demikian, walaupun CEO perusahaan besar, Zello mempunyai karakter yang sangat hangat. Kecuali dengan orang yang baru dikenalnya.
“Apa, kamu nggak paham juga?! Cari perempuan yang bisa dibayar untuk dijadikan kekasih bayaran untukku. Cantik, baik dan tentunya 'polos.' Aku nggak mau dia sampai membangkang. Sudah cukup aku dibuat kesal dengan satu perempuan pembangkang.”
“Si-siap Bos. Saya akan carikan segera. Nanti Tuan Bos tinggal tentukan poin penting untuk dibuat perjanjian di atas kertas,” ucap Zico akhirnya. Nafasnya sedikit tertahan dampak melihat emosional Bosnya.
Zico fikir dia salah dengar dengan permintaan konyol Bosnya. Setahu Zico, sang Bos sudah memiliki kekasih yang sangat dicintainya, meskipun mereka jarang bertemu.
Ceklek.
“Darl.” Suara manja kekasih Zello, Rossa. Beriringan dengan langkah kakinya yang langsung menuju tempat duduk Zello.
Rossa, sang Model sekaligus sang Pembangkang yang tidak bisa Zello acuhkan begitu saja. Sang Pembangkang yang memperondakkan hati dan kehidupan Zello. Bahkan, ide konyol ini pun juga dari dirinya.
Zello sendiri juga heran, kenapa dirinya selalu bisa menuruti semua permintaan Rossa. Sementara Rossa jarang mengabulkan permintaan dirinya. Meski hanya sekedar bertemu, pengakuan hubungan mereka ke publik dan masih banyak lainnya.
Di saat wanita lain berlomba-lomba untuk mendapatkan gelar kekasih darinya di muka publik, namun tidak dengan Rossa. Rossa yang sudah menjadi kekasih Zello, tidak ingin hubungan mereka diketahui oleh publik. Jangankan publik, bahkan Rossa melarang untuk mengatakan hubungan mereka ke orang tua atau keluarga Zello sendiri. Dan selalu Rossa mengataskan kariernya untuk membuat Zello memahami profesi dan impiannya.
Rossa dengan santai langsung duduk di pangkuan Zello dan mengalungkan kedua tangan di lehernya. “Darl, biar aku yang mencarikan wanita itu.”
”Nggak perlu repot-repot. Zico akan mengurusnya dengan baik,” saut Zello datar. Zello melepaskan tangan Rossa dari lehernya.
Walau Zello setuju, bukan berarti dia tidak merasa sakit hati.
“Apa kamu masih marah padaku, Darl?! Ayolah, jangan di permasalahkan terus,” ucap Rossa manja. Tangan Rossa terulur ke dasi Zello, melonggarkannya dengan perlahan namun pasti dengan mata penuh tatapan menggoda. Dan inilah kelemahan Zello, tatapan Rossa yang tidak mampu untuk ia tolak.
“Kenapa harus kamu yang mencarikan perempuan buat ku?!” ucap Zello menghangat.
“Aku nggak mau asistenmu itu malah mendapatkan perempuan yang sesuai kriteriamu. Aku nggak suka. Kamu harus tetap jadi milikku Pak Presdir,” ucap Rossa manja.
“Curang sekali kamu.” Tangan Zello menjalar di paha mulus Rossa. Membelai dan meremasnya lembut.
Zico yang sudah paham situasi langsung keluar ruangan. Akan sangat menakutkan berlama-lama di dalam sana. Mau bagaimana lagi, Zico sang asisten kepercayaan Zello yang selalu awet ngejomblo.
Zico akhirnya bisa lega juga dengan hadirnya Rossa ke perusahaan Zello, terlebih Rossa bilang dia yang akan mencarikan kekasih bayaran buat Zello. Karena Zico tadi sempat bingung mau cari perempuan dimana yang dengan kriteria yang disebutkan Zello. Cantik, baik, polos, dan penurut. Hampir tadi Zico kepikiran bakal nyari wanita penjual getuk yang pernah viral. Karena jujur, disekililingnya semua perempuan selalu ganas-ganas.
Zello yang sadar Zico sudah keluar ruangannya langsung membawa tubuh Rossa ke sofa yang ada di ruangannya.
Menikmati setiap jengkal tubuh indah Rossa. Saling memberi kepuasan satu sama lain, hingga sama-sama bercucuran keringat dan berakhir dengan getaran hebat dari dalam tubuh mereka.
Cup. Ciuman lembut di kening Rossa, ungkapan rasa sayang dari dirinya.
Dengan mendapatkan wanita bayaran, nggak hanya Kakek Zello yang senang, tapi juga Rossa. Rossa dengan senang dan tenang meraih impiannya. Kalau Zello bisa menyenangkan dua orang sekaligus, kenapa tidak?
Di resto elit nggak jauh dari perusahaan, Zello dan Rossa tengah makan siang bersama.
Zello yang sedang menikmati makanannya nggak pernah berhenti untuk memandang kekasih hatinya. Ada rasa sayang, tapi terselip rasa kecewa juga karena ide konyolnya.
Di resto itulah mereka menikmati makanannya dengan sesekali bersenda gurau.
Tanpa sepengetahuan mereka, ada sesosok pria yang melihat dari kejauhan dan berjalan pasti untuk bergabung dengan mereka.
“Wah, kalian makan bersama tapi nggak ajak-ajak,” celetuk Miko teman Zello dan Rossa.
Zello hanya menatap sekilas dan melanjutkan lagi makannya.
“Kalian ini cocok sekali. Kenapa nggak pacaran aja,” sambung Miko.
Rossa hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Miko yang kesekian, begitu juga dengan Zello hanya menukikkan alis mewakilkan jawabannya.
“Itu nggak mungkin, kita sudah sahabatan lama. Akan terasa aneh bila berubah jadi sepasang kekasih,” ucap Rossa santai. Rossa juga langsung melirik Zello dan memberikan senyuman hangat ke Zello. Tanpa rasa sungkan Rossa mengucapkan kata, “iya kan, Zell”imbuh Rossa.
Miko mencibir sekilas yang nimbrung makan di piring Rossa. “Mustahil bersahabat lama tanpa ada rasa cinta.” Miko berucap sembari terus mengunyah makanannya.
“Makanlah yang benar!” Suara dingin Zello. Mendadak nafsu makan Zello juga hilang. Perasaannya yang nggak dihargai Rossa, dan harus bersandiwara seperti demikian berulang kali. Bersandiwara kalau dirinya dan Rossa murni sahabatan, nggak lebih. Zello menatap jengah ke Miko, dan sekian detik juga ke Rossa, teringat ide konyol Rossa.
Miko yang sudah puas celamitan di piring Rossa beralih mengambil tisu dan membersihkan area bibirnya segera, yang kemudian menatap Zello dengan intens. “Lebih baik kamu terus terang bilang sama Rossa kalau ada rasa. Daripada nanti menyesal.Terlihat jelas dimata kamu, kalau kamu menyukai Rossa,” ujar Miko. Zello menggeleng lemah dan memberikan senyuman mencibir, menertawakan Miko, mungkin sebenarnya lebih pantas untuk dirinya sendiri.
“Kalau tidak aku yang akan menjadi kekasihnya nanti,” celetuk Miko dengan santai. Sudut bibirnya terangkat sedikit, seakan mecemooh Zello yang pengecut tidak berani mengungkapkan perasaannya ke Rossa. Zello yang tengah menikmati makanannya langsung bersandarkan kursinya, menghentikan aktivitas makannya.
Miko tertawa lepas melihat Zello nggak bisa menyembunyikan raut kesalnya.
Rossa yang ikut melihat ekspresi Zello langsung melempar tisu ke arah Miko. "Kalau aku saja tidak mau dengan Zello, apalagi dengamu," ucap Rossa mencibir.
“Memangnya kenapa denganku?” sahut Miko langsung.
“Apa masih perlu aku jelaskan?! Perusahaan ayahmu masih jauh dari perusahaan Zello. Dan ... Zello itu sudah pasti jadi pewaris utama, beda dengan mu.” Rossa langsung menatap jengah ke Miko. Rossa takut mood Zello makin buruk dan akan mengubah keputusan Zello.
“Zello! Tadi aku mendukungmu untuk bersamanya. Tapi sekarang aku sadar, keputusan kamu sudah benar. Rossa ternyata sangat melihat materi.” Miko menukikkan alisnya menatap Zello yang tengah di posisi yang sama dengan gerakan tangan bersidekap angkuh.
Zello menatap tajam ke Miko. Sangat paham, kalau Miko memang ada rasa dengan Rossa.
“Berhentilah membual, Miko! Apa kau tidak menyadari sedari tadi ponselmu terus bergetar.” Rossa langsung meraih ponsel Miko yang di meja dan menaruh ponsel itu dengan kasar ke tangannya.
Miko melihat panggilan di ponselnya dan berdiri dari kursinya. “Aku lupa ada janji,” ucap Miko setelah melihat panggilan itu dan langsung mengangkat panggilan itu di depan Zello dan Rossa. “Ya, aku dalam perjalanan.”
Miko langsung menyimpan ponselnya dan beralih menonjok pelan bahu Zello yang kemudian berlalu dari sana.
Sepeninggal Miko, Zello menatap tajam ke Rossa. Seakan sudah terbiasa dengan tatapan Zello ketika marah, Rossa langsung menampilkan tatapan menawannya dan mengulurkan tangannya meraih tangan Zello dan menggenggamnya dengan erat.
“Rossa, kamu tahu artinya bila aku membawa perempuan ke Kakek kan?” Zello memandang tajam Rossa, namun ada tatapan memohon di dalamnya.
'Iya, aku tahu maka dari itu aku nggak mau' Rossa hanya bisa menampilkan senyum dan tatapan menawannya, seakan dia perempuan yang manis luar dan dalam.
“Aku tahu Zello. Zello, aku hanya ingin mencicipi karirku. 'Mencicipi' Zello, hanya sebentar.” Rossa mengelus punggung tangan Zello dengan jempolnya, berusaha menghibur Zello.
“Apa kamu sudah mendapatkannya?” ucap Zello datar.
“Aku sudah menemukannya. Cuma belum sempat bersitatap langsung untuk membahas ini.”
“Siapa?”
“Dia temanku. Si Gila Harta. Terbukti dia mau jadi wanita bayaran. Iya kan?!”
“Dia temanku. Dia akan melakukan apa saja demi uang. Termasuk jadi kekasih bayaran,” imbuh Rossa. Rossa menatap Zello intens, membujuk Zello dengan ucapan dan tatapannya.
“Berarti dia bukan wanita baik-baik.” Zello berucap datar dan melepas kedua lipatan tangannya. Beralih memainkan gelasnya dengan tatapan malas ke gelas itu sendiri.
“Yang penting dia akan menuruti kata kita, Darl,” ucap Rossa meyakinkan. “Aku juga sudah buat janji bertemu dengan dirinya malam ini. Apa kamu mau ikut?” tawar bosa basi Rossa. Ya, walaupun Zello mengiyakan mau ikut, Rossa akan mengirimkan pesan dulu nanti ke perempuan itu supaya mengikuti alurnya .
“Tidak, atur saja!"
Rossa tersenyum lega mendengar ucapan Zello. “Ok.”
*
(Malam Hari-Di klub Besar)
“Sayang ... sebentar lagi ....” Erangan panjang terdengar dari suara pria yang puas dengan pencapaiannya. Tubuhnya terkulai lemah di samping sang wanita. Dadanya masih sedikit naik turun dampak aktivitas mereka.
Masih bermandikan keringat wanita itu berupaya untuk turun dari ranjang. "Tuan, maaf aku sudah ada janji dengan yang lain." Tanpa persetujuan dari pria itu, ia langsung turun dari ranjang dan menuju kamar mandi dengan tubuh polosnya tanpa penutup sama sekali.
Ailia Veron Monic, mendesah kesal melihat dirinya di pantulan cermin, di lihatnya leher yang berbekas karena jejak pria itu.
Ailia Veron Monic, seorang wanita penghibur, dengan panggilan Veron di klub dan Lilie di luar klub. Karena Dia juga memiliki aktivitas di luar klub seperti kebanyakan orang.
Veron selalu melarang tamu-tamunya untuk meninggalkan jejak, dimanapun itu. Entah mengapa,namun yanyajelas dia nggak nyaman setiap ada yang meninggalkan jejak di tubuhnya. Dengan malas Veron melanjutkan langkahnya menuju shower.
“Berengsek.” Veron mengumpat mendapati jejak di pinggulnya juga.
Veron tidak mau berlama-lama di bawah kucuran air itu, ddirinya sudah ada yang menunggunya di bawahnya sana. Selesai membilas, ia langsung mengeringkan tubuhnya disana, saat keluar dari kamar mandi ia dengan tampilan polos lagi.
Veron yang tengah meraih baju dalam almari menukikkan alis melihat pria itu masih di ranjangnya “Ada hal lain?”
Bukannya menjawab, pria itu tersenyum tipis ke Veron, turun dari ranjang mendekat ke Veron, merangkul tubuh polos Veron dari belakang. Menaruh dagunya di bahu Veron dengan nyaman. "Sayang, jadilah yang kedua untukku. Aku akan memberikan tempat tinggal yang layak untukmu."
Veron membalikkan tubuhnya, berhadapan dengan pria itu. "Apa bedanya,Tuan? Bukankah di sini Anda tetap bisa menikmati tubuhku?”
Rangkulan sang pria yang makin erat, membuat dada Veron merasa sesak, perlahan berusaha melonggarkan pelukan pria itu.
"Ya, aku tahu. Tetapi, paling tidak kamu jadi milikku seutuhnya,” bisik sang pria. Nafasnya naik turun merasakan hawa panas lagi di tubuhnya.
“Anda terlalu mendambakanku. Tetapi tidak bisa melepaskan istri Anda. Sangat terlihat istrimu yang punya kendali dalam rumah tangga kalian.” Veron tesenyum kecil ke pria itu, memandangnya dengan lekat.
Andai, pria itu tidak beristri. Mungkin dia akan mempertimbangkannya, karena tidak semua pria bisa menerima seorang wanita penghibur meski hanya untuk jadi mainan.
“Boleh saya berpendapat Tuan? Anda suami yang tidak tahu diri.”
Pria yang awalnya selalu tersenyum hangat ke Veron langsung berwajah pias. Mendadak bibirnya terkunci, hanya matanya yang bekerja memperhatikan Veron yang tengah memakai pakaiannya.
Veron yang sudah selesai berpakaian langsung menuju ranjangnya, melihat cek yang sudah ada di atas ranjang, tersenyum ringan melihat cek itu. “Terima kasih, Tuan,”ucap Veron .
"Anda bisa keluar sekarang!" imbuh Veron.
“Kalau kamu berubah pikiran, hubungi aku!” Pria itu memakai pakaiannya segera dan keluar dari kamar itu.
Tidak mau buang waktu, Veron langsung menyimpan cek itu di tas dan segera mematut Penampilannya di cermin.
Ailia Veron Monic, salah satu 'wanita penghibur' di klub di kota besar di sana. Penampilannya yang cantik dan selalu bersikap profesional di pekerjaannya, selalu memuaskan tamunya tanpa pernah melibatkan perasaannya. Dirinya juga membatasi tamunya,hanya dua pria dalam satu malam. Veron salah satu wanita penghibu yang tinggal di klub itu. Bukan tidak mau tinggal di luar, tetapi karena ada sesuatu yang membuatnya 'memilih' tinggal di klub itu. Ya, dia salah satu wanita yang 'beruntung' yang mendapatkan kamar khusus di tempat itu. Beruntung? Entahlah ...
Veron menutup pintu kamarnya, yang terletak di lantai paling atas. Veron yang sudah menutup pintu menukikkan kedua alisnya yang ternyata sudah ada teman klub melangkah menuju ke arahnya.
“Veron, sudah ada yang menunggumu di kamar 9.” Desy to the poin menyampaikan pesan tamunya, karena dia sendiri juga tengah sibuk.
Dengan langkah santai tapi pasti,Veron menuju lantai dua, menuju room privat. Disana juga biasanya dia melayani hasrat para lelaki hidung belang, kecuali pria yang membayarnya dengan harga fantastis, Veron akan mengajak ke kamarnya. Karena pria tersebut akan meminta waktu lebih lama untuk bersama Veron. Untuk menemani mengobrol atau untuk menemani tidur selayaknya pasangan yang sebenarnya, yang akan mmeninggalkan kamar Veron setelah menjelang pagi. Pemilik p klub? Dia tidak peduli, yang penting Veron akan memberikan uang sesuai ketentuannya.
Veron yang sampai berada di room privat tersenyum manis ke wanita yang tengah duduk manis di sofa dalam ruangan itu. Wanita yang berparas rupawan dan berpenampilan dengan pakaian bermerek. Rok di atas lutut dan atasan yang memperlihatkan bahunya.
Veron mendekat,duduk di sofa yang sama, dengan memberikan sedikit jarak. "Nona Rossa."
"Hai," sahut Rossa santai, tersenyum sekilas ke Veron.
Veron dan Rossa bertemu yang pertama kalinya, tanpa berjabat tangan, hanya sama-sama ingin segera Membahas tujuan mereka. Tujuan yang tentunya sama-sama menguntungkan.
"Apa dia tahu latar belakangku?" tanya Veron langsung. Veron duduk menyamping dengan satu tangan bertumpu di kepala sofa. Sementara Rossa duduk lurus dan hanya sesekali melihat kearah Veron. Rossa sendiri memilih Veron atas saran temannya. Teman Rossa pernah membutuhkan jasa Veron dan dia mengatakan puas dengan lakon drama Veron.
Rossa mengambil botol yang ada di meja,menuangkan ke gelas untuk mereka berdua. Rossa juga langsung memberikan minuman itu ke Veron dan beralih meraih gelasnya sendiri, menyesap dengan manis. Matanya tertuju ke Veron. "Tentu saja tidak. Maka berhati-hatilah!" Rossa menyesap minumannya lagi, menikmati pertemuan ini.
Ujung bibir Veron tertarik sedikit ke atas mendengar ucapan Rossa, "fantastis."
Satu kata bernada cibiran meluncur dengan mulus dari bibir Veron.
"Kamu tidak perlu berkomentar. Yang penting kamu akan mendapatkan keuntungan besar. Kamu bisa mendirikan usaha, menetap keluar negeri atau bahkan hilang dari dunia ini." Rossa menjeda ucapannya, dan menatap Veron intens. Sementara Veron yang duduk dengan santai mengerutkan dahi, tidak paham dengan tatapan Rossa.
“Aku sudah mendapatkan info tentang kamu. Aku rasa penawaran ku akan sangat berdampak untukmu kelak.”Rossa tersenyum dengan elegan yang berkombinasi dengan senyum penuh kekuasaan.
“Oh ... seharusnya Anda tidak perlu menjelaskan keuntungan itu. Bagaimanapun aku suka uang. Aku tentu akan menerima penawaran Anda.”Veron dengan manis menaruh gelasnya ke atas meja. Sikap dan tutur katanya sangat santai. Sesuai dengan kepribadiannya dan sesuai dengan keinginan Rossa.
Rossa menaruh minumannya di meja dan tersenyum dengan penuh kuasa. “Persiapkan hari Minggu! Kau tidak hanya akan bertemu kekasihku, tetapi juga dengan keluarganya."
(Beberapa Hari Kemudian)
Rossa tengah duduk bersama Zello di sebuah resto room private, bukan untuk makan, melainkan menunggu kedatangan seseorang, Veron.
Di sana mereka duduk berdampingan di sofa. Rossa dengan wajah antusias, berbeda dengan Zello yang berwajah malas. Rossa yang paham suasana hati Zello mengapit Lengannya dan membisikkan kalimat di telinga Zello. Sudah lama Rossa mengenal Zello, kalimatnya seperti hipnotis yang membuat Zello meraih pinggang Rossa dengan satu tangannya. Sehingga tidak ada jarak di antara mereka.
Hembusan nafas Rossa yang terus menyapu lehernya. Membuat Zello mengikis jarak bibir mereka, menempel dengan sempurna, merengkuh kenikmatan dari bibir Rossa. Sementara tangannya bekerja aktif di pinggang Rossa. Ciuman mereka semakin dalam, semakin buas, tangan Zello terulur beralih ke rok yang dikenakan Rossa menyapunya naik.
Kreek.
Tangan Zello yang berada di paha Rossa langsung terhenti, dan melepaskankan ciumannya.Menatap datar orang yang mengganggu kesenangannya.
“Masf-maaf. Sepertinya saya datang terlalu cepat.” Mereka yang berbuat, tetapi wajah Veron yang memerah. Entah karena malu atau karena ikut panas.
Sedikit canggung Veron berbalik berniat keluar lagi, tahu diri tidak ingin mengganggu aktivitas mereka yang tengah dilanda asmara.
“Tidak perlu. Duduk!”titah Zello membuang nafas kasar merasa terganggu, tetapi dia juga tidak mau berlama-lama dengan urusan ini.
Perlahan Veron menatap Zello, membenarkan pendengarannya, takut salah dengar. Setelah sekian detik nggak ada kata yang keluar dari bibir Zello lagi, Veron dengan perlahan duduk di sofa berhadapan dengan mereka.
Veron yang awalnya canggung sekian detik langsung berubah santai, merasa Zello juga tidak mempermasalahkan kejadian barusan.
Veron tersenyum dengan mimik pertemanan ketika Zello menyapu penampilannya. Veron yakin penampilannya akan diterima oleh pria yang ada dihadapannya itu. Hari ini Veron menggunakan kemeja rosepink dan celana jeans panjang. Siapa yang tidak tertipu dengan penampilan manisnya ini, wanita dengan perempuan Memakai kemeja, bukankah terlihat seperti wanita baik-baik. Tetapi senyum di wajah Veron berubah kecut melihat pandangan Rossa yang seolah mencibir. Yang akhirnya membuat Veron sendiri melihat penampilannya sendiri.
Bahkan, Rossa mendesah frustasi melihat penampilan Veron.
“Apa kamu tidak punya pakaian lain? Kamu akan bertemu dengan keluarga Zello." Tandas Rossa.
“Aku memang belum mempersiapkannya. Ini masih jam empat sore. Bukankah bertemu dengan keluarganya saat makan malam nanti,” ujar Veron.
“Yasudah, terserah. Tetapi yang saat jamnya nanti kamu ganti pakaian!” Rossa menyandarkan tubuhnya di sandaran soda, memosisikan tubuhnya lagi duduk dengan santai dan elegan.
“Siapa namamu?” Zello angkat suara, tentunya nggak bakal diam dengan orang yang ada di depannya. Ia harus melihat bibit bobot wanita yang duduk di depannya, meskipun hanya sandiwara saja.
“Ailia Veron Monic. Anda bisa memanggil saya Lilie,” sahut Veron.
Zello memasang muka datar dan bibirnya meluncurkan kata “ok.”
Selepas mereka melakukan sedikit perkenalan, mereka kembali saling membuka obrolan, ya walaupun cuma tentang alur yang akan Veron perankan. Setelah satu jam lebih. Mereka akhirnya mengakhiri pertemuan mereka, Veron keluar menuju butik, sementara Zello dan Rossa pergi ke hotel.
*
Veron yang mempunyai tubuh proporsial tidak susah untuk mendapatkan dress yang ia inginkan. Dia juga langsung memakainya di butik itu.
Masih banyak waktu yang ia miliki sebelum dapat telefon dari Rossa maupun Zello.Ia memutuskan untuk bersantai di sebuah cafe nggak jauh dari butik tersebut. Memainkan gawai dan mengirim beberapa pesan ke teman dekatnya. Nggak lama temannya membalas pesan Veron, yang membuat Veron tersenyum lega.
Lima belas menit berlalu, Veron mengarahkan pandangannya melihat seseorang datang ke mejanya.
Teman Veron, Anita. Dengan ceria langsung duduk di kursi yang membuat mereka bisa berhadapan. “Lilie,” ucap ceria Anita.
“Kamu benar-benar bisa diandalkan. Terima kasih,” ucap tulus Veron.
“Kamu ini bicara apa? Bukankah kita memang sudah berteman lama.” Anita menatap penampilan Veron dan tersenyum menggoda. “Apa kau ingin berkencan?”
“Tentu saja. Memang cuma kamu yang bisa berkencan.” Veron melipat tangannya di dada dan duduk dengan santai.
“Ambillah baju di butikku. Bukankah kamu sudah memang seperti bekerja di sana. Anggap saja upah hahaha.” Anita tergelak teringat dengan ulah konyol Veron yang sering datang ke butiknya untuk cek-cek barang dengan dalih supaya semua karyawannya beranggapan kalau Veron bekerja di butiknya.
“Diamlah! Nanti aku akan memilih gaun paling mahal di sana tiga potong bahkan lebih.”
Anita terlalu baik untuk Veron, setiap Veron ke butiknya, Anita nggak pernah mau menerima uang baju yang ia pilih. Sehingga Veron hanya sesekali ambil baju dari butik Anita.
“Kenapa kamu nggak kerja benaran saja di butikku? Aku akan menggajimu dengan tinggi. Kamu nggak perlu kerja di tempat terkutuk itu lagi,” ucap Anita serius.
“Dan aku akan menjawab dengan sama,” sahut Veron. Ia membuka lipatan tangannya dan beralih menaruh tangannya di atas meja. “Aku akan berhenti dari sana kalau aku sudah menikah.”
Setelah menuturkan kalimat itu, Veron langsung membetulkan posisi duduknya supaya lebih nyaman.
Anita mengangguk pelan dan menatap intens Veron.“baiklah.”
Anita sedikit paham dengan kondisi Veron. Yang tidak Anita paham adalah pekerjaan Veron di klub itu. Setahu Anita, Veron bekerja di klub sebagai waittres klub, dan Anita sendiri sudah terbiasa dengan orang asing yang selalu datang ke butiknya untuk mengorek identitas Veron. Ya, Anita tentunya paham kenapa Veron mendrama sesekali ke butik Anita 'Veron tidak ingin tahu identitas dirinya yang bekbekerdi klub diketahui oleh keluarga kekasih Veron'.
Siapa yang sangka, selain pekerjaan Veron, Anita juga tidak tahu jika pacar yang selalu dikenalkannya hanyalah kekasih bohongan. Seperti kekasih yang akan ia kenalkan sebentar lagi.
“Aku akan ke butikmu besok. Siapkan saja gaun untukku!” ucap Veron serius.
“Yaya, baiklah. Datanglah bersama kekasih barumu. Aku penasaran seperti apa wajahnya?” Goda Anita.
Veron sedikit mendongakkan wajahnya ke atas, berusaha mengingat wajah pria yang baru saja ia temui beberapa puluh menit yang lalu. “Dia tampan dan tentunya dia sangat menarik,” sahut Veron mantap.
Veron berharap tidak akan salah mengenali wajah Zello nanti saat ia menjemputnya. Pertemuan baru sekali dan hanya sesaat, sedangkan dirinya terlalu sering mendapatkan wajah baru tiap malam di ranjangnya, membuat wajah Zello menyatu dengan para pelanggannya.
“Setiap kamu membicarakan kekasihmu, kamu selalu memasang wajah seperti ini 'terlalu datar'.” Tekan Anita. “Kamu menjalin Hubungan dengan mereka atas nama cinta tidak? Sama sekali tidak tergambar di senyum maupun di matamu,” imbuh Anita.
'Tentu saja tanpa cinta' Veron membatin. Tapi, apa itu cinta? Veron yang sudah bekerja di klub sedari remaja, merasa tidak perlu dan tidak pantas mengenal cinta ataupun kekasih. Sebenarnya, apa itu cinta?
Sudah banyak obrolan yang mereka bahas, sampai waktunya ada notif pesan masuk dari ponsel Veron, otomatis menjeda perbincangannya.
Veron yang sudah melihat isi pesan langsung memandang Anita.
“Dia akan segera datang.”
“Yaa, aku belum puas berbincang denganmu,” keluh Anita.
“Aku akan mengenalkannya ke kamu.”
Nggak butuh waktu lama, pandangan Veron tertuju dengan pintu masuk Cafe anda Resto di sana. Ternyata dengan mudah Veron mendapatkan wajah Zello, bukan karena ingat wajah rupawan Zello. Tetapi karena aura bos-bos besar di dirinya, dingin. Memang wajah Zello sangat dingin terhadap orang asing. Apalagi dengan wanita yang menjelma jadi kekasih bayarannya. Matanya menembus diri Veron dengan tajam.
'Astaga apa dia tidak bisa berakting sedikit. Bukankah kalau kita di muka umum adalah sepasang kekasih' Veron membatin kesal. Veron membuang nafas kasar dan langsung menampilkan senyum manisnya. Namun senyum manis Veron berkurang merasakan kakinya yang tengah di tendang-tendang oleh Anita dari kolong meja.
"Kenapa?" tanya Veron kesal, mengelus kakinya yang kena tendangan bertubi-tubi oleh Anita.
“Lilie, jangan bilang dia adalah kekasihmu?" Mata dan wajah Anita tercengang dengan pria yang tengah berjalan ke arah mereka. "Astaga, dia benar-benar tangkapan yang sempurna." Imbuh Anita.
Anita nggak ada hentinya memandang kagum Zello. Bahkan, matanya berbinar penuh cinta.
Penampilan kasual Zello memang sangat menawan, meskipun aura Bos dengan wajah congaknya juga bertengger di sana. Tetapi, tidak mengurangi ketampanan Zello. Mata Anita berbinar seakan sedang melihat idolanya.
Veron menggigit bibir tipisnya, melihat raut Zello yang nggak ada ekspresi manis-manisnya sama sekali.
Zello sudah berdiri di samping meja mereka, yang langsung disambut dengan pelukan Veron. “Tuan Agra, tampilkan senyummu sedikit!" Veron berbisik lembut dan tidak lama melepaskan tangannya dari pinggang Zello.
"Sayang, kenalkan ini teman sekaligus atasanku. Nit, ini pria kesayangan aku" Veron memperkenalkan Zello dan Anita dengan ceria.
Zello mengulurkan tangannya, menjabat tangan Anita. "Senang bisa bertemu denganmu. Tapi mohon maaf, kami sedang buru-buru." To the poin Zello dan langsung menggenggam tangan Veron erat. Menuntun Veron keluar restoran dengan mesra. Tapi itu hanya yang terlihat, yang sebenarnya terjadi ... Veron meringis nyeri mendapati pengelangan tangannya di genggam Zello terlalu kuat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!