Bersembunyi adalah keahlian gadis itu, setiap hari ia lebih suka menghabiskan waktunya di
depan layar laptop bututnya, namanya Felicia Daryl. Usia sudah dua puluh
delapan tahun, cukup mapan untuk membina sebuah rumah tangga. Bahkan
teman-temannya yang seusianya sudah banyak yang mempunyai anak usia tujuh
tahun, bahkan banyak dari mereka sudah ada yang memiliki anak dua atau tiga.
“Hay …, kemana kamu ide …?” keluh Felic sambil memukuli kepalanya sendiri, ia
sepertinya sedang mengalami “Writers block” yaitu kehilangan ide di tengah jalan, gadis dengan kepribadian supel dan cuek itu tak pernah mempermasalahkan statusnya, bahkan hingga usia ini belum pernah sekalipun ia berpacaran.
Dulu pernah satu kali pas masih duduk di bangku SMA, hanya sebuah cinta monyet. Tapi
cinta monyet itu ternyata berdampak pada kehidupannya sekarang, ia seperti tak
bisa move on dengan cinta monyet itu.
“Aku bisa gila jika terus-terusan seperti ini …., belum lagi ibu! Dia akan mengomel
sepanjang hari jika aku tidak segera turun!”
Felic meregangkan tubuhnya saat tak dapat ide lagi, Felic biasa menghabiskan hari
libur kerjanya dengan berjam-jam duduk di depan layar komputer. Ia suka
menulis, penulis novel on line, hanya sebagai kesenangan saja.
Tapi sebenarnya itu impiannya, tapi itu semua harus terhalang dengan pekerjaannya, ingin
rasanya fokus dengan menulis, tapi ia juga harus bekerja, membantu memenuhi
kebutuhan keluarganya dan juga dirinya sendiri.
Rumah yang ia tinggali saat ini
bersama keluarganya adalah rumah yang mereka beli dengan mengangsur setiap
bulan, untung saja pemilik rumah sangat baik hingga mereka tidak mematok biaya
yang harus di angsurkan, jadi saat ayah felic tidak bisa mengangsurnya di bulan
itu, pemilik rumah tidak akan menagihnya hingga ayah Felic punya uang untuk
mengangsurnya kembali.
Rumah lamanya dulu di gusur dan mereka harus mencari rumah baru, mereka tak punya cukup uang untuk membeli rumah secara kontan.
Dan saat itu adalah saat di mana seharusnya ia mendaftarkan diri ke perguruan
tinggi akhirnya felic memilih melepaskan impiannya mendaftarkan diri ke
perguruan tinggi.
Felic memilih membantu orang tuanya dengan bekerja kerabutan demi membatu perekonomian keluarganya, adiknya saat itu juga masih baru masuk SMA. Keluarganya
membutuhkan banyak biaya, ayahnya hanya bekerja sebagai satpam komplek
perumahan sedangkan ibunya hanya membuat kue pesanan.
“Felic …..!” teriak dari bawah, Felic tahu itu suara siapa itu suara ibunya. Ibunya
sudah memanggil, jadi sudah waktunya itu Felic keluar dari persembunyiannya.
Padahal ia belum menulis Setengah bab pun untuk di up date hari ini.
“Iya bu sebentar!” sahut Felic.
Lagi-lagi ia harus mendengus setiap kali suara kencang itu memanggilnya, Felic adalah dua
bersaudara. Adiknya juga perempuan, tapi ia sudah menikah dan mempunyai seorang
anak, adik perempuannya sudah tinggal bersama suaminya di luar kota dan akan datang satu bulan sekali itupun cuma satu atau dua malam.
Felic dengan langkah gontai menuruni tangga yang hanya terbuat dari kayu itu.
Kamarnya di atas karena ia memilih kamar di atas supaya tidak ada yang akan
menggangunya saat sedang menulis, tapi ternyata itu pilihan yang salah.
Nyatanya Felic keasikan dengan dunianya sendiri sehingga melupakan dunia luar. Orang
tuanya menyesali keputusan mereka.
“Ada apa bu?” Tanya felic malas, ia duduk di depan ibunya yang sedang sibuk mengaduk
adonan kue di dapur.
Ibu Felic adalah pembuat kue, ia sering menitipkan kue-kuenya di toko-toko dan warung-warung dekat rumah selain menunggu pesanan, ibunya bernama Yani. Bu Yani si pembuat kue begitu tetangga mengenalnya,
walaupun baru sepuluh tahun mereka tinggal di tempat itu.
Tapi keluarga Felic cukup di kenal tetangga, salah satu penyebabnya adalah karena status Felic yang belum menikah.
“Tepung ibu habis, kamu belikan di warung ya! Ini uangnya!” ucap ibu Felic sambil
meletakkan selembar uang sepuluh ribuan di depan felic.
“Felic males bu, felic nggak suka sama omongan mereka! Kuping Fe panas ….!” Felic
kesal setiap kali keluar, yang di tanyakan topiknya selalu sama dan sama
membuatnya malas bertemu dengan tetangga.
“Makanya kalau nggak mau di omongin kayak gitu, nikah!” ucap ibu Felic, ia sudah tahu
apa yang di maksud putrinya itu.
Ia pun juga mengalami hal yang sama, bukan
cuma Felic, ibu dan ayahnya pun juga selalu di Tanya-tanya kapan mereka akan
menikahkan putri sulungnya itu, sedangkan putri bungsunya sudah menikah lebih
dulu.
“Lalu Felic mau nikah sama siapa bu?, sama sapi!” ucap Felic kesal.
“Kalau kamu mau nggak pa pa, ibu nikahkan kamu sama sapi, ibu malu terus di omongin
orang, punya perawan tua nggak nikah-nikah, mau taruh di mana muka ibu coba!”
Astaga bukannya mendapat pembelaan
sekarang malah gantian di ceramahi …, dasar emak-emak ….
“Jangan mengatai ibu, ibu tahu apa yang kamu pikirkan!” ucap ibu Felic tanpa menatap
pada felic, ia masih sibuk dengan adonannya.
“Baiklah …, baiklah …, Felic ke warung. Tepung apa?” Felic menyerah. Ia sudah cukup
kesal, tidak mau bertambah kesal lagi dengan ucapan ibunya yang selalu memintanya untuk menikah.
“Tepung terigu satu kilo, ingat ...., satu kilo!” ibu Felic memastikan jika Felic mengingat
pesanannya.
“Iya …, iya …! Aku mengingatnya!” jawab Felic sambil berlari. Ia sudah cukup malas
mendengar ocehan ibunya, menikah, menikah dan menikah.
Aku heran kenapa semua orang ingin
aku cepat menikah…, apa enaknya menikah, nggak bisa bebas, kemana-mana harus
ijin, bawa bayi …, ya ampun …..
Felic terus menggerutu sepanjang jalan, ia tidak suka melihat pandangan orang
padanya. Seakan-akan setiap melihatnya orang-orang itu sedang menghakiminya.
Felic mempercepat langkahnya agar cepat sampai di warung. Teman-teman satu kompleknya memang sudah menikah semuanya, tinggal dirinya saja yang belum menikah.
Hal itulah yang membuat Felic selalu menjadi omongan tetangga, ia tidak menyangka
ia akan tinggal di lingkungan seperti ini.
Akhirnya sampai juga di warung yang di tuju. Felic melihat sekeliling, terlihat sepi
tidak ada yang akan belanja selain dirinya.
Untung sepi …..
“Bu …, tepung terigu nya ya!”
“Eh…, Felic. Libur ya?”
“Iya bu!”
“Berapa?”
Astaga aku lupa …, berapa ya tadi….?
“Setengah kilo kayaknya, bu!”
Pemilik warung segera menyiapkan pesanan Felicia, tak berapa lama pemilik warung pun
menyerahkan sebungkus tepung.
“Kok di rumah saja, nggak jalan-jalan? Biasanya kalau hari minggu gini suka pergi
jalan-jalan loh sama cowoknya!”
“Nggak bu! Di rumah aja …!” jawab Felicia dengan senyum yang tampak di paksakan.
“Cepetan nikah makanya Fe …., biar ada yang ngajak jalan-jalan. Sudah ada calon belum
nih? ibu punya sepupu cowok loh …., mau ibu kenalin?”
Dan benar saja pertanyaan yang sama dan topik yang sama. Felicia hanya bisa tersenyum
penuh kegetiran.
“Nggak usah bu, Fe belum ingin menikah!”
Dan kesialan pun bertambah saat segerombolan ibu-ibu ikut-ikutan ke warung, dan alhasil Felicia menjadi bulan-bulanan ibu-ibu.
“Mbak Felic …., sendiri aja?”
“Iya nih Felic …, kapan nikah, itu si Ningrung saja usianya masih dua puluh tahun
sudah punya satu anak loh …!”
Apa untungnya menikah muda? Memang
dia bahagia ….?mau beli susu anaknya aja kesulitan, apa yang di banggakan coba
…
“Iya loh …, si Niken teman kamu satu sekolah baru saja melahirkan anaknya yang ke
tiga!”
“Bu tepungnya tadi berapa?”
“Enam ribu …!” Felicia segera menyerahkan uangnya dan mengambil kembaliannya, ia pun
meninggalkan warung itu, dari pada berlama-lama di sana membuat hatinya panas
saja. Tapi belum juga jauh, suara mereka masih terdengar membicarakannya.
“Ya gitu deh kalau terlambat menikah, nggak laku-laku jadinya!”
“Iya …, padahal cantik loh ya …, tapi kok nggak ada cowok yang mau sama dia ya?”
“Kelangkahan itu sama adiknya, gitu tuh kalau adiknya menikah duluan. Dianya jadi nggak
laku-laku!”
“Iya jadi susah dapet jodoh ….!”
Menjadi perawan tua sepertinya menjadi kutukan bagi warga tempat tinggal Felic padahal siapa yang bisa menjamin kebahagiaan seseorang, menikah muda bukan jaminan seseorang bisa bahagia.banyak yang menikah muda dan berakhir dengan perceraian,
ada juga yang nikah muda dan jadi korban KDRT gara-gara nggak bisa biayai
kehidupan rumah tangganya.
Sering kali ibunya bahkan malu untuk keluar
rumah karena selalu di tanya kapan putri pertamanya itu akan menikah.
Sebelum melepaskan putri keduanya menikah sebenarnya orang tua Felic sudah
mengultimatum pada Felic untuk mencari pasangan, setelah memberi waktu selama
satu tahun ternyata hasilnya nihil. Felic tak juga mendapatkan pasangan, akhirnya Felic mengijinkan adiknya untuk menikah terlebih dahulu, tapi sekarang ternyata pernikahan adiknya menjadi topik gunjingan baru di lingkungannya.
🌷🌷🌷🌷
Kehidupan yang keras sering kali di hindari, tapi tahukan kita jika kehidupan yang keras
ini akan menjadikan manusia yang lebih baik dan tangguh. Bersyukurlah dengan
kehidupan yang sering kali kita keluhkan ini, bisa jadi kehidupan yang seperti
ini di dambakan oleh orang lain
🌷🌷🌷🌷
Bersambung
Jangan lupa untuk kasih dukungan untuk author dengan memberikan like dan komentarnya ya kasih Vote juga yang banyak ya
Follow Ig aku ya
tri.ani.5249
Happy Reading 😘😘😘😘
...Flashback...
Beberapa hari ini Lisa benar-benar geram karena semenjak kekasihnya mengajaknya untuk menikah, orang tuanya selalu saja menolaknya karena alasan yang sama. Mereka
menginginkan kakaknya menikah terlebih dulu.
Lisa sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus di kantor, calon suaminya juga. Mereka
sudah ingin cepat menikah tapi orang tuanya selalu meminta mereka menikah
setelah kakak perempuannya.
“Bagaimana kak Felic akan menikah, punya pacar saja tidak!” gerutu Lisa pada orang tuanya.
Bahkan sampai detik ini kakak perempuannya itu tidak terlihat dekat dengan
seorang pria manapun.
“Sabarlah Lisa, kita tunggu beberapa waktu sampai kakakmu mendapatkan jodohnya!” ucap sang ayah. Ayahnya begitu tahu kenapa felic sampai tidak memikirkan dirinya sendiri,
ia terlalu sibuk memikirkan keluarganya. Bahkan felic lah yang membantu membiayai
kuliah adiknya.
Lisa menatap kakak perempuannya yang tak bergeming sama sekali, Felic terlihat
begitu santai menanggapi perdebatan keluarganya.
“Kak Felic bagaimana? Kenapa diam saja?”
Felic benar-benar santai, ia tidak tertarik sama sekali dengan obrolan itu. Ia dengan
santainya mencomoti makanan yang ada di piring membuat Lisa semakin geram.
‘kakaaaaak ….!” Teriak Lisa sambil menajamkan matanya. Lisa berdiri dan berkacak pinggang.
Ia sudah sangat kesal pada kakak perempuannya itu.
“Lisa…, bicara yang sopan pada kakakmu!” hardik ayahnya. Lisa pun segera menurunkan
pandangannya, ia kembali duduk dan menatap kakaknya.
“Terus aku harus bagaimana? Aku belum tertarik untuk menikah, jika kalian mau menikah, menikah saja, apa susahnya sih ….!” Felic benar-benar tidak mau terlalu memikirkan masalah itu. Ia begitu menikmati kesendirian dan kebebasannya.
“Kakak egois banget sih, Bima kasihan kalau nunggu terlalu lama …, bagaimana kalau
Bima keburu di comot orang?” tanya Lisa dengan nada marah, ia benar-benar mengkhawatirkan nasib hubungannya dengan pacarnya.
“Ya itu berarti Bima bukan cowok yang tepat untukmu!” ucap felic dengan santainya. Memang benar, jika ia benar-benar mencintai ia pasti sanggup menunggu sampai kapan pun.
“Kakaaaak …!” lagi-lagi ucapan Felic membuat Lisa kesal.
"Lisa rendahkan suaramu, itu tidak baik!" hardik ayahnya membuat Lisa segera menurunkan tatapannya.
“Begini saja, ibu punya tugas buat Lisa!” ibu yang sedari tadi hanya menjadi pendengar
di antara perdebatan kedua putrinya itu akhirnya ikut angkat bicara. Ia tidak mau memihak salah satu dari putrinya.
“Apa?” Tanya Lisa, ia tidak sabar mendengar penuturan dari ibunya.
“Tunggu sampai satu tahun, carikan calon untuk kakak kamu, jika sampai tiba saat itu
kakakmu tak dapat jodoh juga, ibu dan ayah menyerah. Lisa boleh menikah!”
“Satu tahun?” Tanya Lisa tak percaya, ibu dan ayahnya mengangguk.
“Itu terlalu lama bu….!” Keluh Lisa.
“Terserah, itu syaratnya! Mau atau tidak Lisa harus nurut. Lagi pula ini juga sebagai cara
ngetes kesungguhan si Bima itu kan!”
“Bagaimana kak Felic?” Tanya Lisa meminta persetujuan kakaknya.
“terserah kalian saja!”
“Asal kak Felic tidak sengaja aja menunda menikah ….!” Keluh Lisa. ia menatap sinis pada kakak perempuannya.
Setelah obrolan itu, Lisa dan Bima benar-benar berusaha keras untuk mencarikan jodoh
untuk Felic. Mereka sampai memasang iklan di surat kabar, mengenalkan Felic
dengan teman sekantornya, dengan tukang sayur yang biasa mangkal di perempatan
kompleksnya, teman sekolah Felic. Semuanya tidak membuahkan hasil.
Pernah beberapa kali sempat bertahan, tapi tidak sampai satu bulan hubungan mereka
selalu kandas, bukan karena cowok yang menolaknya. Tapi Felic selalu saja
mencari alasan untuk melepaskan diri dari pria pria itu. Felic tidak pernah
merasa cocok dengan pilihan adik dan calon adik iparnya itu.
Hingga waktu yang di tentukan telah habis, satu tahun sudah. Lisa tidak berhasil
menemukan pasangan untuk kakaknya.
“Apa aku harus menunda lagi, bu?" tanya Lisa pada ibunya, tapi sepertinya ibunya masih bingung harus memutuskan apa, semua adalah putrinya, ia tidak mungkin memihak sebelah walaupun dalam hatinya ia ingin Felix yang menikah lebih dulu.
" Ini sudah waktunya! Satu tahun sudah berlalu dan kakak selalu saja membuat masalah dengan pria-pria itu! Jelas saja dia nggak juga dapet jodoh!” ucap Lisa kemudian pada
ibunya, ia sudah bersusah payah selama ini untuk mendapatkan restu dari kedua
orang tuanya.
“Apa boleh buat, kakakmu tak juga mendapatkan jodohnya!” ucap ibunya. Ia sudah
jengah dengan putri sulungnya yang tak juga mendapatkan pasangan.
“Terimakasih ibu …!” Lisa berhamburun memeluk ibunya.
Felic sudah cukup merasa bersalah dengan adiknya. Ia tidak mungkin menghalangi
kebahagiaan adiknya karena keegoisannya.
Pernikahan Lisa benar-benar terjadi, lagi-lagi pernikahan itu menjadi bahan gossip karena
seorang adik melangkahi kakak perempuannya. Di masyarakat kebiasaan yang selalu
menjadi tolak ukur. Hingga masalah pribadi seseorang pun kerap kali menjadi
sorotan publik. Apa yang benar menurut kita belum tentu baik untuk masyarakat.
Bersikap baik dan tidak bersikap keras menjadi senjata jitu untuk di anggap
baik dalam pergaulan.
“Lisa …, maafkan kakakmu ini ya karena selalu menyusahkan mu!”
“Kakak …, seharusnya bukan kakak yang minta maaf, tapi aku. Maaf karena tidak sabar
menunggu kakak! Tapi kakak emang lama sih dapat jodohnya, bisa lumutan Lisa
nunggu kakak!”
“Ini hak mu untuk bahagia, jadi berbahagialah dengan suamimu, aku tidak pa pa!”
Kakak beradik itu hanya bisa saling berpelukan. Setelah ini pasti hubungan mereka
akan berbeda, adiknya sudah punya kehidupan sendiri, dia bukan Cuma seorang
adik dari seorang kakak, atau seorang putri dari seorang ayah dan ibu. Tapi dia
adalah seorang istri dari seorang suami, dan dalam waktu singkat statusnya akan
bertambah lagi menjadi seorang ibu.
Hingga satu tahun berlalu, Lisa mengandung putra pertamanya. Tapi status Felic masih
sama, usianya sudah mendekati angka tiga puluh tapi jodoh masih enggan mendekat
padanya. Parasnya sebenarnya juga tidak jelek, dia manis. Walaupun usianya
sudah mendekati angka tiga tapi wajahnya yang baby face membuatnya tetap tampak
muda, masih seperti usia dua puluh tahunan.
Bahkan hingga adiknya melahirkan seorang putra, status Felic semakin menghebohkan
seluruh kampung. Dari ujung ke ujung topic yang di bicarakan masih sama dan
semakin memanas saja. Ayahnya sudah memperkenalkan ke banyak pria, tapi taka da
satupun yang berhasil meluluhkan hati
Felic.
Ibunya bahkan sampai menawarkan Felic ke seluruh ibu-ibu pengajian, mengobral Felic
seperti gadis yang benar-benar tidak laku. Tapi banyak dari mereka menolaknya
dengan alasan macam-macam, inilah …, itulah …., beginilah …, begitulah …., hal
itu membuat Felic semakin malas untuk keluar rumah selain bekerja. Untung saja
pekerjaannya tidak menuntutnya untuk bertemu banyak orang, jadi ia cukup nyaman
karena tidak mendengarkan mereka membicarakan kehidupannya.
Apa yang kita rencanakan terkadang tak sesuai dengan apa yang kita hasilkan, tetap
sabar …, karena kesabaran adalah kunci dari semua masalah yang rumit itu
Bersambung
Jangan lupa untuk kasih dukungan untuk author dengan memberikan like dan komentarnya ya kasih Vote juga yang banyak ya
Follow Ig aku ya
tri.ani.5249
Happy Reading 😘😘😘😘
“Fe…., tadi ibu dapat ini di depan rumah, sepertinya ini untukmu!” ucap ibu Felic
sambil menyiapkan bekal untuk ayahnya. Ayahnya seorang satpam komplek perumahan
elit. Ia tidak akan sempat pulang untuk makan siang, hari ini ayahnya mendapatkan sift jaga siang.
Felic sedang berdiri di atas tangga, ia sudah bersiap untuk bekerja. Felic melihat ayah dan ibunya sedang berada di meja makan.
“Apa bu?” Tanya Felic, ia sudah menenteng tasnya hendak berangkat kerja. Ia dengan
penampilan yang apa adanya itu, celana panjang dan kaos.
“Nggak tahu, kayaknya undangan!” ucap ibu Felic sambil menunjukkan sebuah undangan.
"Undangan pernikahan lagi ya Bu?" tanya Felic malas, ia paling kesal setiap kali mendapat undangan pernikahan, pasti ujung-ujungnya selalu sama, pertanyaannya kapan nikah? kapan nyusul? itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang paling di hindari oleh Felic dari pada membuat moodnya ancur.
"Bukan deh kayaknya!"
Felic pun memilih menuruni tangga, ia ikut duduk bersama ayahnya. Tidak biasanya ia
sarapan di rumah, biasanya ia lebih suka makan nasi pecel milik bu Tumi yang
berada di pinggir jalan dan membungkusnya di bawa ke tempat kerjanya. Tapi
karena undangan itu ia jadi ikut duduk bersama ayah dan ibunya di meja makan.
Ia begitu malas setiap kali berada di meja makan, pasti topiknya akan sama. Felic
membuka undangan itu dan membacanya.
“Reoni!?" baca Felic pada kertas itu.
Rasanya malas mengikuti reoni seperti itu, ia teringat reoni tahun lalu. ia bahkan
menjadi bahan gossip seluruh temannya, hanya dia yang tidak membawa
pasangannya. Sebelum acara di mulai ia memilih untuk pulang lebih dulu karena nggak suka dengan komentar-komentar teman-temannya.
Kalau cowok sih mending, nggak akan ada yang ngomongin, tapi entah
kenapa jika itu seorang wanita yang tidak menikah-menikah akan jadi bahan
gossip di manapun tempatnya.
“Reoni …?” ibu Felic tersenyum senang.
“Itu bagus …, kamu harus ikut! Kamu bisa dapat jodoh nanti di sana, kan teman-teman SMA kamu yang cowok banyak yang belum
nikah, dekati salah satu dari mereka …”
“Males ah bu …!” jawab Felic dengan nada malas-malasan. Ia benar-benar tidak tertarik dengan acara reoni itu, selain harus ngeluarin uang, dia juga bakalan jadi bulan-bulanan.
Felic tahu pasti akan seperti itu jadinya. Ia memilih bangun dari duduknya dan segera
meninggalkan meja makan. Ia tidak jadi sarapan di rumah, ia memasukkan undangan
itu ke dalam tas kainnya. Meninggalkan ibunya yang terus mengomel tidak jelas
karena Felic selalu saja menghindar setiap kali berbicara soal menikah.
"Fe ....., ibu belum selesai bicara ya ......!" teriak ibu Felic. Tapi tetap saja Felic tak menghentikan langkahnya.
“Sudah lah buk, jangan terlalu keras sama Fe …, nanti dia malah kabur, kita yang
repot! Biarlah ...., dia sudah dewasa juga ...., kalau sudah waktu ketemu jodohnya, anak itu juga akan nikah!”
"Tapi kapan yah, anak kamu itu cueknya minta ampun!"
"Sabar ....., ayah jamin nggak akan lama lagi!"
“Mau gimana lagi yah …., ibu malu setiap hari jadi omongan tetangga!”
“Sudah jangan di pikirkan, ayah berangkat dulu!”
Sebenarnya Felic masih mendengarkan pembicaraan orang tuanya dari luar, ia hanya bisa menghela nafas. Sebenarnya kasihan melihat ibunya selalu jadi bahan gossip seluruh
tetangga, tapi mau bagaimana lagi ia belum berminat untuk menikah, masih banyak
yang ingin ia raih. Termasuk cita-citanya untuk menjadi penulis tentunya. Ia takut jika menikah makan cita-citanya akan menguap begitu saja karena ia terlalu sibuk dengan urusan rumah tangganya.
Ia segera mengayuh sepeda nya saat mendengar ayahnya keluar, ia tidak mau ayahnya melihat kesedihannya. Ayahnya adalah ayah yang pengertian, ia tidak pernah
memaksakan kehendaknya untuk Felic. Semua terserah Felic.
Tempat kerja Felic tidak terlalu jauh dari rumahnya hanya butuh waktu setengah jam
untuk mengayuh sepeda mininya. Jalanan masih sepi setiap kali ia berangkat
kerja. Ia seorang office girl di sebuah bank swasta, ia mendapatkan pekerjaan
itu dari temannya yang juga bekerja di situ, temannya menjadi service center di
sana.
Pendidikannya yang hanya mencapai SMA membuatnya kesulitan mencari pekerjaan. Mendapatkan pekerjaan sebagai office girl aja sudah sangat untung. Ia punya cita-cita
menjadi seorang penulis, tapi lagi-lagi keterbatasan yang membuatnya tak bisa
berkembang, ia hanya bisa menulis online saja.
“Fe…, tumben siangan!” sapa sesama teman satu pangkat dengan Felic sama-sama cleaning service.
“Iya bang …., tadi ada urusan sedikit! Ya udah bang saya siap siap dulu!” jawab Felic dengan senyumnya yang terasa ringan ia angkat dari bibirnya walaupun rasanya tubuhnya kelu di terpa kerasnya kehidupan.
Ia punya rekan kerja namanya bang Ilham, usianya sebenarnya tak jauh beda sama
Felic. Tapi dia sudah punya istri dan dua anak. Felic memulai kesibukannya,
menyapu, mengelap kaca, mengepel dan membuang sampah adalah rutinitasnya setiap
hari, semuanya harus bersih saat bank mulai buka.
Felic meregangkan otot-ototnya saat yang teras kaku, ia membuka nasi pecelnya yang
tadi sempat ia beli di warung bu Tumi. Perutnya sudah sangat lapar pengen di
isi. Ia memakan nasi pecel itu di sudut pentry.
“Dorrr…!” seseorang mengagetkannya dari belakang.
“huk huk huk ….!” Felic tersedak , ia segera mengambil minumannya dan meminumnya.
“Maaf …, maaf …, gue nggak sengaja!”
“Ada apa sih Sya?”
Ersya adalah teman yang telah merekomendasikan Felic bekerja jadi office girl, dia cukup beruntung bisa kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang bagus, dia juga
teman satu SMA Felic.
“Besok ikut Reoni ya ….!”
“Nggak ah Sya …, males!”
“Kenapa? Padahal gue pengen banget datang, suamiku lagi tugas di luar kota, gue nggak mungkin datang sendiri, temani gue ya …, gini deh gaunnya nanti gue yang beliin deh!”
Sebenarnya Felic begitu malas untuk datang di acara reoni itu, tapi melihat Ersya memohon
seperti itu membuatnya tidak tega. Apalagi Ersya adalah sahabat baiknya, dia
juga sangat berjasa dalam hidupnya.
“Baiklah …, gue akan ikut!”
“Yes …, makasih ya …., ya udah gue kerja dulu. Nanti sepulang kerja kita ke mall,
gue yang belanjain!”
Felic hanya bisa mengangguk. Ia tidak mungkin menolak permintaan Ersya. Lagian kali
ini Ersya tidak dengan suaminya jadi, dia akan punya teman nanti. Ia tidak
bingung mencari teman ngobrol seperti tahun lalu.
Sore ini setelah pulang kerja, Ersya mengajak Felic ke mall. Ia membelikan gaun dan
sepatu untuk Felic. Harganya memang tidak mahal tapi akan terasa mahal jika ia
membeli dengan uangnya sendiri, gaun dan sepatu itu harganya setengah gajinya
sebulan. Cukup mahal untuk Felic.
Ia kan berpikir ribuan kali untuk membeli gaun semahal itu, tapi Ersya tetap
memaksanya walaupun felic menolak. Ia tidak bisa mengganti uang itu.
Sekeras apapun kita menolaknya …, jika kita di takdirkan untuknya, maka banyak jalan
yang akan membuatnya bertemu …
Bersambung
Jangan lupa untuk kasih dukungan untuk author dengan memberikan like dan komentarnya ya kasih Vote juga yang banyak ya
Follow Ig aku ya
tri.ani.5249
Happy Reading 😘😘😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!