NovelToon NovelToon

SEKOLAH HANTU

Prolog

Imran sedang duduk di sebuah halte tua yang letaknya kurang lebih sepuluh meter di timurnya gapura perumahan yang mayoritas dihuni oleh pensiunan tentara. Imran tinggal di sebelah utara perumahan tentara tersebut. Kurang lebih jaraknya tiga ratus meter dari ujung perumahan. Meskipun jarak antara kampung Imran dan perumahan tersebut cukup dekat, tetapi hanya sedikit warga perumahan ini yang dikenal oleh penduduk di kampung Imran. Imran sendiri hanya mengenal beberapa orang saja dari penghuni di perumahan tersebut, Bu Hajah Bariah adalah salah satunya, karena beliau memiliki toko yang menjual kebutuhan rumah tangga. Jika Bu Ningrum ingin membeli soda kue, biasanya menyuruh Imran untuk membelinya di toko Bu Hajah Bariah tersebut, karena warung di kampung Imran jarang menjual soda kue. Selain Bu Hajah Bariah, Imran juga mengenal saru orang lagi yang bernama Pak Ateng. Beliau adalah pensiunan tentara yang berprofesi sebagai mantri. Pak Hasan pernah satu kali membawa Imran ke rumah Pak Ateng karena demam selama beberapa hari. Sebenarnya Imran sudah disembur oleh salah satu tetua di kampungnya, tetapi demamnya tak kunjung reda, akhirnya Pak Hasan membawa Imran ke rumah Pak Ateng. Alhamdulillah, beberapa hari kemudian Imran pun sembuh. Tidak sia-sia Imran menahan sakit pada bokongnya yang disuntik dengan jarum injeksi oleh Pak Ateng. Setelah sembuh, Imran bercerita kepada teman-temannya tentang pengalamannya selama dirawat di rumah Pak Ateng. Anehnya, teman-teman Imran yang mendengar cerita Imran malah menjadi semakin paranoid terhadap Pak Ateng. Begitulah, nama Pak Ateng sangat tekenal dan ditakuti oleh anak-anak di kampungnya Imran. Tapi, seiring bertambahnya usia, akhirnya teman-teman Imran pun sadar bahwa Pak Ateng bukanlah sosok yang menyeramkan, justeru kehadirannya sangat dibutuhkan oleh penduduk kampung Jatisari.

Selama beberapa menit, Imran menunggu datangnya angkot yang akan mengantarnya ke sekolah barunya, tapi angkot itu tak kunjung datang.

"Ingat, ya, Im. Kamu kalau ke sekolah naik angkot yang ada tulisan huruf A,B,C,D atau E di atasnya!" pesan Cindy kemarin sore sewaktu pulang bareng Imran dari SMA Negeri 14. Cindy dan Imran sama-sama mendaftar di sekolah SMA Negeri 14 tersebut, tapi sayangnya Cindy tidak lolos seleksi. Cindy memang lebih berpengalaman dari Imran tentang transportasi ke arah kota, makanya ia mengingatkan sahabatnya itu supaya tidak salah jurusan ketika naik angkot.

"Cin, kamu mau melanjutkan ke mana jadinya?" tanya Imran iba.

"Aku mau melanjutkan ke SMA Pejuang saja. Di sana meskipun swasta, tapi kualitasnya tidak kalah dengan SMA 14," jawab Cindy enteng.

"Iya, sekolah itu bagus. Tapi, kamu nggak apa-apa gagal masuk ke SMA 14, kan?" sergah Imran.

"Nggak apa-apa, Im. Yang penting aku sudah berusaha. Mungkin bukan rejekiku saja," jawab Cindy.

"Iya, Cin. Tetap semangat, ya?" seru Imran.

"Siap, Im"

TIN TIN ...

Bunyi klakson mengagetkan Imran dari lamunannya. Kernet angkot tersebut berteriak kepada Imran untuk naik ke dalam angkot, tapi Imran menggeleng karena tulisan di atap angkot tersebut adalah huruf "V", yang menandakan bahwa itu bukanlah angkot yang dapat mengantarnya ke sekolahnya.

Setelah ditolak oleh Imran, kernet tersebut memberi kode kepada sopir angkot untuk melanjutkan perjalanan. Dan angkot pun berlalu pergi meninggalkan Imran yang makin gelisah karena angkot yang ditunggunya tak kunjung datang.

Akhirnya setelah menunggu selama beberapa menit, angkot yang ditunggu oleh Imran pun datang. Imran langsung melambaikan tangannya sebagai tanda kepada pengemudi angkot untuk berhenti. Imran pun masuk ke dalam mobil angkot berwarna kuning tersebut. Ternyata di dalam angkot tersebut tidak ada siapa-siapa lagi selain Imran dan pengemudinya. Angkot pun melaju meninggalkan tempat tersebut. Sepanjang perjalanan Imran gelisah dan terus memperhatikan bangunan-bangunan yang dilewati karena ia masih belum hapal betul dengan lokasi sekolahnya. Ia khawatir terlewat terlalu jauh, sedangkan uang sakunya pas-pasan.

Kegelisahan Imran semakin bertambah tatkala ia mencium aroma wangi tak wajar di dalam kendaraan tersebut. Ingin rasanya ia mengajak sopir angkot mengobrol untuk menanyakan wangi aneh yang ia cium, tapi ia malu, apalagi sopir angkot tersebut mulai tadi tidak bersuara sedikitpun. Imran pun hanya memendam rasa aneh itu sendiri.

" Turun di mana, Dik?" tanya sopir itu tiba-tiba tanpa menoleh.

"D-d-di SMA 14, Pak!" jawab Imran tergesa-gesa.

Setelah mendengar jawaban Imran, sopir itu kembali membisu tak bersuara sedikitpun. Imran pun kembali berkonsentrasi memperhatikan bangunan-bangunan di depannya. Dan kali ini Imran yakin, angkot yang ia naiki baru saja melewati gedung SMA 14, tapi sopir angkot sama sekali tidak mengurangi kecepatannya. Imran pun panik.

"Pak ... Pak ... Berhenti, Pak. Saya turun di SMA 14!" teriak Imran dengan spontan.

Sopir tidak menggubris teriakan Imran. Ia tetap melajukan angkotnya dengan kencang.

"Pak ... Pak ... Berhenti!!!" teriak Imran sambil menggedor atap angkot hingga bersuara keras.

CIIIIIITTTTT!!!!

Angkot tiba-tiba mengerem mendadak dan mobil pun berhenti.

"Maaf kelewatan, Dik!" ucap sopir tersebut.

"Duh, jauh banget kebablasnya, Pak!" gerutu Imran sambil turun dari angkot.

"Maafkan saya, Dik. Saya tidak bisa berhenti di depan kuburan," jawab sopir tersebut.

"Kuburan?" tanya Imran dengan nada kebingungan karena sejak tadi ia tidak melihat ada kuburan di pinggir jalan.

"Iya, Dik. Itu kuburannya," ucap sopir tersebut sambil menunjuk ke belakang. Imran mengikuti arah yang ditunjuk oleh sopir angkot tersebut. Ternyata, yang ia tunjuk bukanlah kuburan, melainkan sekolahnya.

"Sopir aneh?" gumam Imran sambil merogoh sakunya untuk mengambil uang sebagai ongkos telah menaiki angkot tersebut. Mungkin karena terlalu terburu-buru, saat Imran akan menjulurkan uang kepada sopir tersebut, uang itu terjatuh ke aspal. Untunglah uangnya tidak menggelinding ke tengah jalan. Imran memungut uang yang jatuh ke aspal. Setelah ia berhasil mengambil uang tersebut, ia bermaksud menjulurkan tangannya ke arah sopir angkot. Namun, Imran dibuat terperangah karena angkot itu sudah tidak ada di sana lagi. Ia memicingkan mata ke arah timur untuk memeriksa apakah angkot itu sudah melaju dengan kencang ke arah depan. Sayangnya, tidak ada angkot itu di sebelah timur.

"Kemana perginya angkot barusan? Secepat apakah angkot itu pergi, sampai aku tidak menyadari kepergiannya?" tanya Imran di dalam hati.

Imran berpikir keras untuk mencari kemana perginya mobil tadi. Tapi, semakin ia berpikir keras, nalarnya semakin buntu saja. Justeru, kali ini bulu tengkuknya tiba-tiba merinding.

"Aduh, sepertinya ada yang tidak beres di sini. Aku harus segera pergi dari sini," ucap Imran pada dirinya sendiri.

Imran pun berjalan agak cepat meninggalkan tempat tersebut menuju ke arah sekolahnya yang berada kurang lebih dua ratus meter dari tempatnya berdiri.

Baru saja ia melangkah ke arah gapura sekolah barunya, tiba-tiba

BRAAAAAAAK!!!

Imran mendengar suara benturan keras dari arah jalan tepat di depan gerbang sekolahnya. Dari kejauhan ia melihat sebuah angkot menabrak tiang listrik dan ringsek berat di bagian depannya. Orang-Orang berlarian menuju kendaraan tersebut. Mereka berusaha menyelamatkan sang sopir angkot yang terjebak di dalam mobil cherry berwarna kuning tersebut. Darah mengucur deras dari kepala sopir tersebut. Ternyata, di dalam mobil tersebut tidak ada penumpang lain selain sopirnya. Imran ikut berlari menuju tempat tersebut. Ia ikut berkerumun bersama orang-orang. Tiba-Tiba Imran terperanjat setelah ia dapat melihat korban kecelakaan itu dengan jelas. Ternyata, pria itu adalah sopir angkot yang baru saja mengantarnya.

***

Bang Emen jualan permen

Mpok Alay jarang dibelai

Yang hadir wajib nulis komen

Siapa tahu dapat give away

Nanti kalau episodenya sudah banyak, aku mau ngadain give away dengan salah satu syaratnya harus nulis komentar di setiap episode novel ini.

BAB 1 TEMAN PERTAMA

Darahku mendesir dan keringatku langsung membanjir begitu mengetahui bahwa korban kecelakaan itu adalah sopir yang beberapa saat yang lalu mengantarkanku dan lenyap dengan seketika dari pandanganku ketika aku akan membayar ongkosnya. Darah mengalir dari lubang telinga pria berambut pendek tersebut. Jalan mendadak macet karena orang-orang menghentikan kendaraannya di sekitar lokasi kejadian tersebut.

"Orang mana? Orang mana?" itulah yang sebagian besar diucapkan oleh orang-orang yang baru saja melihat kejadian tersebut. Dan tak satu pun dari orang-orang itu yang mengenal orang tersebut.

"Kayaknya orang ini baru saja jadi sopir angkot? Wajahnya terlihat asing," jawab salah satu orang.

"Iya. Saya tiap hari naik angkot, tapi tidak pernah melihat wajah orang ini," jawab salah satu dari mereka.

Aku mendengarkan saja omongan orang-orang itu. Aku tidak mungkin bercerita kepada mereka bahwa roh sopir ini baru saja mengantarku. Aku hanya memendam sendiri cerita itu dengan masih menyimpan tanda tanya besar, mengapa roh Pak Sopir ini sempat-sempatnya mengantarku ke sekolah beberapa saat sebelum ia meninggal?

"Ayo, pinggirkan dulu jenazahnya dan kita tutup dengan koran sambil menunggu polisi datang!" ucap salah satu dari orang-orang itu.

"Iya benar, supaya jalanan tidak macet dan bisa menimbulkan kecelakaan yang lain," jawab yang lain.

Tanpa dikomando, orang-orang itu membagi tim dengan sendirinya. Ada yang mengangkat jenazah pria itu, ada yang mengatur arus lalu lintas.

"Sudah ada yang nelpon polisi?" tanya pria berkaos putih.

"Sudah, Pak. Barusan saya yang nelpon pake telepon umum di depan sekolah itu," jawab pria berkemeja biru.

"Ayo, kita angkat jenazah ini ke pinggir!" ajak pria berkaos putih itu. Beberapa orang segera membantu pria berkaos putih itu untuk mengangkat jenazah Pak Sopir.

"Dik ... Dik ..." panggil salah satu dari orang yang mengangkat jenazah sopir itu ke arahku.

"Iya, Pak!" jawabku dengan terkejut.

"Tolong kamu ambilkan dompet sopir ini yang jatuh itu!" ucap orang itu sambil memberikan kode lokasi jatuhnya dompet dengan lirikan matanya karena kedua tangannya digunakan untuk mengangkat jenazah.

"I-iya, Pak," jawabku terbata-bata karena sedikot terkejut.

Aku pun memungut dompet berwarna hitam yang ada dua meter di depanku. Setelah itu aku berjalan mengikuti arah mereka menggotong jenazah Pak Sopir. Mereka meletakkan jenazah sopir malang itu di atas trotoar di pinggir jalan. Dengan alas seadanya, jenazah sopir itu dibaringkan terlentang. Kedua tangannya disedakepkan. Kemudian jenazah itu pun ditutup dengan koran-koran bekas yang diberikan oleh salah satu orang yang kebetulan lewat.

"Pak, ini dompetnya mau dipegang siapa?" tanyaku pada orang-orang itu sambil menjulurkan dompet hitam yang beberapa saat yang lalu kupungut dari tanah.

"Kamu buka saja dulu dompetnya, Dik. Siapa tahu ada KTP korban di dalamnya!" jawab pria berkaos putih itu.

"Iya, Dik. Buruan buka saja dompetnya!" teriak pria berkemeja biru.

Dengan gemetar aku pun membuka dompet itu disaksikan oleh bapak-bapak itu. Ternyata di dalam dompet itu hanya ada dua lembar uang seribuan dan sebuah foto. Sedangkan KTP-nya tidak ada.

"Pak, ternyata di dalam dompet orang ini tidak ada KTP. Yang ada hanya uang dua ribu rupiah dan foto ini," ucapku sambil menunjukkan isi di dalam dompet kepada mereka.

"Coba saya mau lihat fotonya, Dik!" kata orang berkemeja biru.

"Ini, Pak." Jawabku.

Kemudian orang itu mengamati foto itu. Orang-Orang yang lain pun berkerumun melihat foto itu. Ada satu orang yang mengambil dompet dari tanganku dan memeriksa dengan teliti isi di dalamnya. Sayangnya, orang itu pun tidak menemukan benda penting lainnya. Aku pun menyerahkan uang dua ribu rupiah itu kepada ornag itu. Orang itu pun memasukkan kembali uang itu ke dalam dompet seperti keadaan semula. Bapak-Bapak masih sibuk memeriksa foto yang kutunjukkan tadi.

"Ada yang kenal nggak dengan anak di dalam foto ini?" tanya pria berkemeja biru.

"Nggak pernah lihat. Mungkin itu foto anaknya," jawab pria berkaos putih.

"Tunggu! Sepertinya saya pernah melihat anak ini," celetuk salah satu orang. Orang yang lain pun menoleh ke arah pria itu.

"Kamu yakin, Pak?" tanya salah satu orang di sebelahnya.

"Iya. Tapi saya lupa di mana saya pernah melihatnya," jawab pria itu.

"Halah ... Sama saja bohong kalau begitu," protes salah satu orang.

"Saya beneran loh. Namanya juga sudah tua, jadi saya mudah lupa," jawab pria itu membela diri.

Merasa tidak mendapat jawaban, akhirnya foto itu kembali diserahkan kepadaku. Aku melihat sekilas.

"Cantik ... Dan usianya kayaknya sekitar dua tahun di bawahku," ucapku di dalam hati seraya menyerahkan foto itu kepada bapak yang memegang dompet. Ia juga melihat sekilas dan memasukkan foto itu ke dalam dompet serta melmasukkan dompet ke saku yang berada di celana jenazah itu.

"Dik, sebaiknya kamu segera masuk ke pagar sekolah. Ntar kamu dihukum kalau sampai terlambat," ucap pria berkemeja biru kepadaku.

"Iya, Pak. Terima kasih," jawabku sambil meninggalkan kerumunan itu.

Aku melangkah menuju gerbang sekolah dengan masih penuh tanda tanya besar di dalam pikiran.

"Kenapa roh orang itu mendatangiku, dan siapa foto anak perempuan di dompet pria itu? Kenapa darahku tiba-tiba mendesir ketika aku melihat foto itu?"

Jalanan sudah tidak semacet tadi, tapi masih banyak orang yang berhenti sejenak untuk melihat wajah jenazah itu. Mungkin mereka ingin memastikan kalau korban kecelakaan itu bukanlah orang yang mereka kenal. Sebagian besar orang hanya melihat dari jauh karena tidak tega melihat darah. Darah yang mengucur di sekitar aspal sudah ditutupi dengan pasir oleh orang-orang. Beberapa saat kemudian terdengarlah suara sirine ambulan. Jenazah itu diangkut oleh ambulan. Pasti jenazah itu akan dibawa menuju ke rumah sakit. Beberapa polisi mewawancarai orang-orang yang berkerumun di sekitar tempat kejadian. Aku sudah akan memasuki gerbang sekolah, ketika aku melihat seorang anak seusiaku sedang duduk-duduk di depan gapura dengan kemeja berwarna putih dan celana berwarna hitam. Kedua mataku beradu tatap dengan anak itu. Kami memang tidak saling mengenal, tapi saya yakin dia juga adalah siswa baru sama sepertiku.

"Permisi ...," sapaku.

"Iya ...," jawabnya.

"Kamu siswa baru, ya?" tanyaku.

"Iya. Kamu juga siswa baru, kan?" tanya anak itu.

"Kenalkan nama saya Imran," ucapku sambil menjulurkan tangan kanan.

"Nama saya Bondan," jawab anak itu.

"Kamu berasal dari mana?" tanyaku lagi.

"Saya dari Banyusari," jawab Bondan.

"Loh, bukannya Banyusari itu kabupaten sebelah yang terkenal dengan-"

"Santet?" potongnya dengan nada datar.

"Jauh banget rumahmu, ya?" tanyaku lagi berusaha mengalihkan pembicaraan karena tidak enak membicarakan stereotype negatif daerah orang.

"Iya. Aku kos di dekat sini," jawabnya enteng.

"Oooo ...," jawabku terheran-heran karena remaja seusiaku sudah bisa hidup mandiri terpisah dengan orang tua demi menuntut ilmu.

"Kamu asli sini, kan?" tanyanya kemudian.

"Iya. Aku tinggal di dekat sini," jawabku.

"Ayo kita buruan masuk saja! Sudah hampir jam tujuh," ucap Bondan sambil melirik ke arlojinya. Arlojinya mirip sekali dengan milik Mbah Nur yang dipakai menjadi alat bukti pembunuhan terhadap Mbah Lastri.

"Hus! Pagi-Pagi sudah melamun," tegur Bondan.

"Eh ... tidak kok. Aku tidak melamun," jawabku mengelak.

"Halah .. Kamu nggak usah bohong. Kelihatan kok barusan pandangan matamu kosong kayak habis ngelihat hantu saja," jawab Bondan.

"He he ...," Aku hanya menjawab dengan senyuman.

Saat kami berdua melangkah ke arah gerbang, tiba-tiba aku mendengar suara langkah diseret di belakangku. Kami berdua menoleh ke belakang.

"Loh, itu kan?" gumamku dengan terkejut.

BERSAMBUNG

Hai, Kak. Terima kasih sudah mau membaca karyaku ini. Tolong biasakan menulis komentar, ya, di setiap episode. Nanti, kalau episodenya banyak, aku mau ngadain give away dengan syarat harus menulis komentar di setiap episode.

Pak Mamat jualan tomat

Pak Mun jualan kue tar

Jangan nunggu sampai tamat

Setiap episode pastikan nulis komentar

BAB 2 GADIS TOMBOY

"Ada apa, Im?" tanya Bondan kebingungan.

"I-i-itu cewek yang ada di foto korban kecelakaan tadi," pekikku.

"Kamu yakin, Im?" tanya Bondan lagi.

"Iya, aku yakin, Ndan. Tak salah lagi. Apalagi tahi lalat di atas dagunya itu loh sama persis," jawabku.

"Oh ya?" pekik Bondan.

"Iya, Ndan. Aku harus memberitahukan hal itu kepada cewek itu," jawabku.

CUUUUIIIIIIIIIT!!!

Tanpa kusuruh, remaja jangkung yang baru ku kenal itu dengan spontan memanggil anak cewek berseragam SMP itu dengan membuat cuitan menggunakan simpul antara telunjuk dan jempol yang dimasukkan ke dalam mulut.

"Hus ... Nggak sopan kamu, Ndan!" pekikku.

"Terpaksa, Im. Daripada anak cewek itu keburu kabur. Iya, kan?" protes Bondan.

"Dik ... kami berdua ada perlu sebentar!" teriakku pada anak cewek itu yang baru saja menoleh ke arah kami karena mendengar cuitan Bondan.

"Ayo segera kita samperin anak cewek itu, mumpung ia sedang menoleh ke arah kita?" ucap Bondan keoadaku.

"Oke ...," jawabku.

Kami berdua melangkah mendekati anak cewek berseragam SMP yang berdiri mematung menghadap aku dan Bondan yang sedang berjalan mendekatinya.

"Ada apa ya, Mas?" sapa anak cewek itu kebingungan.

"E-e-e sebelumnya kami mohon maaf ya, Dik. Karena tadi kami memanggil Diiiiik.......,"

"Arini," potong anak perempuan itu.

"Iya. Dik Arni, kami mohon maaf karena memanggil dengan cara yang tidak sopan," lanjut Bondan.

"Oke, tidak masalah. Ada perlu apa memanggilku?" jawab Arini dengan nada datar. Kami berdua saling menoleh karena heran saja ia bersikap seperti itu. Setahu kami, tidak ada perempuan yang suka dipanggil dengan cara seperti itu.

"Eeeee anu-," jawab Bondan.

"Anu-Anu apa? Buruan, Mas. Aku keburu telat nih!" ujar Arini lagi. Bonda makin mati kutu fan gelagapan menghadapi Arini yang cuek itu. Aku pun dengan sigap menggantikan posisi Bondan.

"Gini, Dik Rini," ucapku.

"Panggil Arini saja. Toh, usia kita nggak jauh-jauh amat, kan?" protes anak perempuan itu.

"Eh ... Iya. Begini Riiin, aku mau tanya sama kamu, apakah kamu memiliki kenalan seorang sopir angkot?" tanyaku dengan nada serius.

Arini menatap mataku dengan lekat. Dari caranya menatap, sepertinya ia sangat kaget dengan pertanyaanku. Keraguan mulai mengusik perasanku, apakah aku bertanya pada orang yang tepat? Atau, aku salah orang? Kalau memang aku salah orang, bisa-bisa aku diomeli gadis tomboy di depanku ini.

"Maksud kamu apa menanyakan hal itu kepadaku?" tanya Arini kemudian.

"Begini, Rin. Tadi di depan sekolah ini ada kejadian kecelakaan," jawabku sambil menunjuk ke arah tiang listrik yang ditabrak oleh angkot tadi. Angkotnya memang sudah diderek dengan mobio khusus, tapi bekas hantaman angkot itu masih membekas di tiang listrik.

"Lantas, apa hubungan kecelakaan tadi pagi dengan pertanyaanmu kepadaku barusan?" tanya Arini lagi.

"Tadi aku sempat nolongin korban dan aku melihat foto yang sangat mirip denganmu di dompet sopir angkot itu," jawabku memberanikan diri.

"Apa???? Dimana sopir angkot itu sekarang?" teriak Arini tiba-tiba. Dalam hitungan detik, wajahnya yang kaku menjadi terlihat lemah seketika. Air matanya mengalir dengan deras dari kelopak matanya mengalir ke pipinya.

"Polisi membawa jenazah sopir itu ke rumah sakit umum daerah," jawabku kebingungan.

"Je-na-zah?" tanya Arini terbata-bata sambil menahan isak tangisnya.

"Iya, Rin. Nyawa sopir angkot itu melayang sesaat setelah kendaraan yang ia kendarai menabrak tiang listrik itu. Apa kamu mengenal sopir angkot itu?" tanyaku dengan nada direndahkan karena takut membuat anak perempuan itu makin keras tangisannya.

"I-i-iya ... Dia itu ayahku ...," jawab Arini dengan makin sesenggukan.

"Ya Tuhan!!" pekik aku dan Bondan.

"Gimana ini, Ndan?" tanyaku pada teman baruku itu.

"Ya gimana, Im. Kita harus mengantar Arini ke rumah sakitlah," jawab Bondan tegas.

"Iya ... Tolong temani aku ke rumah sakit. Aku tidak pernah ke rumah sakit. Aku ingin melihat jenazah ayahku," ucap Arini memohon.

"Apa tidak sebaiknya kita berdua izin dulu ke guru dan juga ke gurunya Arini, Ndan?" tanyaku pada Bondan.

"Nggak usah, Im. Nanti malah jadi panjang urusannya. Bisa-Bisa kita nggak dibolehin mengantar Arini ke rumah sakit. Kamu tahu sendiri, kita berdua masih baru di sini. Lagipula kalau sampai Arini kelamaan menemui ayahnya, bisa-bisa jenazah ayahnya Arini dinyatakan sebagai orang hilang dan organ-organnya nanti dipreteli di rumah sakit oleh para dokter yang nakal," jawab Bondan dengan nada tinggi.

"Tidaaak!!! Jangan sampai hal itu terjadi. Ayo, buruan antar aku ke rumah sakit. Kalau kalian berdua tidak mau mengantar, biar aku berangkat sendiri," teriak Arini sambil ngeloyor pergi.

"T-t-tunggu, Rin!!!" teriak kami berdua.

Kami berdua pun mengejar Arini yang berjalan dengan tempo cepat menyebrangi jalan raya untuk mencari angkot yang akan mengantarnya ke rumah sakit.

Akhirnya kami berdua berhasil mengejar Arini. Tak lama kemudian Bondan menghentikan sebuah angkot bertuliskan huruf "C" di atasnya.Ternyata angkot tersebut memang akan turun di depan sekolah karena di dalamnya berisi banyak sekali siswa dan siswi badu di SMA 14. Setelah mereka semua turun dari dalam angkot, gantian kami bertiga yang masuk ke dalam angkot. Anak-Anak yang baru datang itu menatap kami bertiga dengan tatapan aneh. Mungkin pikir mereka, kami mau kemana, lah jam masuk sudah dekat. Kok, kami bertiga malah mau pergi.

Aku dan Bondan naik di bagian belakang mobil, sedangkan Arini naik di depan, sebelah sopir. Sopir sengaja membuka pintu depan untuk memberikan kesempatan kepada Arini untuk duduk di sebelah sopir.

"Mau kemana kalian bertiga, bukankah sebentar lagi bel masuk sekolah akan berbunyi?" tanya sopir angkot tersebut.

"Kami mau ke rumah sakit, Pak!" jawabku.

"Kenapa harus pagi-pagi? Kenapa tidak sepulangnya sekolah saja?" tanya Pak Sopir lagi.

Aku sudah bermaksud menjawab dengan jujur pertanyaan sopir angkot itu, tapi Arini buru-buru menjawab.

"Kami mau mengurusi surat keterangan sehat untuk digunakan sebagai persyaratan mengikuti lomba PMR di sekolah," jawab Arini berbohong.

"Oooo ...," suara yang keluar dari mulut Pak Sopir. Aku cukup kaget dengan jawaban bohong Arini. Cerdas juga anak itu mengarang cerita secara spontan.

Angkot pun melaju dengan kecepatan sedang membawa penumpang di dalamnya menuju tempat tujuan masing-masing. Aku melirik ke arah Bondan karena aku merasa ada yang janggal dengan keterangannya tadi.

"Ndan ...," panggilku pada teman baruku itu dengan berbisik.

"Apa?" jawab Bondan dengan berbisik juga.

"Emang beneran, ya, kalau jenazah sopir tadi tidak dikenali, organnya akan diambili oleh dokter?" tanyaku.

"Enggak, Im. Aku bohong saja tadi. Buat apa dokter melakukan tindak kriminal seperti itu," jawab Bondan.

"Mungkin untuk dijual ke orang kaya yang butuh organ itu misalnya?" tanyaku memastikan.

"Tidak semudah itu, Im. Untuk melakukan pendonoran organ membutuhkan alat yang canggih. Tidak semua rumah sakit memiliki alat canggih itu. Penerima dan pendonor organ harus diperiksa secara intensif terlebih dahulu berkali-kali. Dan harus ada pernyataan persetujuan dari pendonor dan masih banyak lagi serangkaian protokol yang harus dipenuhi, Im," jawab Bondan.

"Lantas, kenapa barusan kamu membohongi kami berdua, Ndan?" tanyaku makin penasaran.

Bondan hanya menjawab pertanyaan itu dengan tersenyum. Aku menjadi semakin penasaran.

Bersambung

Burung dara di dekat jendela

Burung langka di atas meja

Cukup segini episode kedua

Kalau suka monggo dikomen saja

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!