NovelToon NovelToon

Cinta Diatas Hati

- Sadar -

Aku tersadar saat ku dapati tubuh lemahku sudah berada di tempat yang entah.

Mataku mengerjap- ngerjap menyesuaikan cahaya yang masuk ke kornea mataku.

Aku membuka dan memejamkan mata berulang kali mencari tau seseorang yang sepertinya sudah menunggu kesadaranku.

"Kamu udah sadar?" Tanyanya.

"A, aku kenapa bisa disini?" Ku jawab sambil aku terheran atau lebih tepatnya terkejut mendapati sesosok yang aku ketahui adalah istri dari mantan pacarku dulu.

"Aku menemukan kamu sudah tak sadarkan diri disekitar sini, kamu jangan banyak bertanya dulu! Karna akupun takkan bertanya apapun padamu kecuali kamu sendiri yang siap menyampaikannya, aku yakin kamu sudah tau siapa aku. istirahatlah, Gia!" katanya.

Dari jawabannya aku dapat menyimpulkan bahwa dia pun tau siapa aku. Meski pada kenyataannya kami tidak pernah saling mengenal.

Ya mungkin lebih tepatnya hanya sekedar tau satu sama lain. Dia tau aku mantan pacar suaminya, dan aku tau dia adalah Lyra. istri dari Nico. Mantan pacarku ketika aku sekolah dulu.

Aku tidak mau banyak bertanya seperti saran Lyra.

Lyra pergi membiarkan ku dikamar asing yang baru ku ketahui adalah bagian dari rumah Lyra dan Nico.

Akupun memutuskan untuk berpikir kenapa aku bisa ada disini. Aku ingat bahwa aku baru sampai dikota ini dengan ketidaktahuan yang sangat besar.

Aku tidak punya tujuan selain lari jauh dari tempat asalku.

Aku pun tak tau kenapa tujuanku ke kota ini, mungkin karena aku berharap bantuan satu satunya temanku yang ada dikota ini. Ya temanku yang ku anggap dekat tapi ternyata dia menolakku setelah tau keadaanku. Lebih tepatnya dia takut aku merepotkannya.

Aku merasa bodoh sampai akhirnya aku lelah tanpa tujuan. dan aku lupa kenapa aku berakhir disini. Dirumah ini. Aku sibuk memikirkan keberadaanku sampai akhirnya aku pun tertidur.

...*Tik tok tik tok*...

Tanpa terasa waktu tetap memerankan perannya, sekarang sudah ku dapati lagi tubuhku terbujur ditempat yang sama di pagi hari setelah malam tadi aku menyadari keberadaanku. Ya dirumah Lyra. Lebih tepatnya dirumah Nico.

Aku memutuskan bangkit dan menggerakkan tubuhku. Terasa ngilu dan berat sekali seluruh badanku. Tapi ku paksakan untuk berdiri. Sampai ku lihat Lyra masuk kedalam kamar yang ku tempati.

"Gia, sebaiknya kamu jangan banyak bergerak dulu"

"Aku harus pergi dari sini, aku tidak mau merepotkan disini. Dan aku tidak mau bertemu Nico" jawabku sejujurnya.

"Kamu bisa disini dulu, atau setidaknya tinggal lah sampai besok. Nico sedang ada kerjaan diluar kota. Mungkin besok pagi dia baru dirumah. Jangan khawatir Gia, dia juga tidak akan mengusirmu"

*"Dia tidak akan mengusirku, tapi aku yang akan pergi sebelum aku bertemu dengannya"* gumamku dalam hati.

"Ada apa Gia?" Lyra terus menanyakanku, membuatku semakin tidak enak saja padanya.

"Lyra, terimakasih banyak kamu sudah menolongku. Membawaku kesini. Tapi aku benar benar tidak enak semakin merepotkanmu."

"Lagi pula, aku tidak boleh ada disini. Aku, aku tidak bisa disini terus" tambahku menolak lebih jauh kebaikan istri dari orang yang pernah ada dalam hatiku.

"Aku tau, tapi kondisimu tidak memungkinkan Gia, percayalah. Besok aku akan bilang sama Nico untuk mengizinkan aku mengantarmu kemanapun tujuan kamu."

Kata kata Lyra semakin membuat aku syok. Kenapa perempuan ini begitu mau menolongku. Apa dia tau keadaanku? Apa dia akan berpikir yang tidak tidak.

Melihat aku diam Lyra semakin mendesakku bicara, jauh berbeda dengan ungkapannya semalam untuk tidak banyak bertanya.

Sekarang dia seperti ingin tau bahkan sangat ingin tau ada apa denganku. Tanya yang besar yang sebenarnya sudah menggerogotinya sejak tadi malam.

Melihatku diam saja, Lyra kembali bersuara.

"Kenapa kamu bisa dikota ini Gia? Apa kamu memang berniat menemui Nico? Maaf Gia, aku bukan bermaksud apa-apa. Tapi berilah aku sedikit penjelasan." Lyra menjeda kata-katanya beberapa saat.

"Aku ingin tau dan jangan ada yang ditutupi jika itu ada kaitannya dengan suamiku!" tambahnya lagi.

Pertanyaan yang dapat ku artikan bahwa benar Lyra menyimpan segudang tanya untukku. Dan ku rasa dia bukan begitu ingin menolongku mengantarkanku ketempat tujuanku.

Lebih tepatnya dia ingin memastikan sendiri bahwa aku benar-benar pergi dan memastikan tidak berhubungan lagi dengan suaminya.

"Lyra, aku tidak ingin menutupi apapun. Dan keberadaanku disini tidak ada kaitannya sama sekali dengan Nico. Aku disini dan aku ditolong olehmu adalah kebetulan saja."

"Dan aku sangat amat berterima kasih untuk bantuanmu. Dan lagi, aku sama sekali tidak berniat menemui Nico bahkan aku sama sekali tidak tau kalian tinggal dikota ini." jawabku dengan penuh keyakinan.

Aku memang satu kota asal dengan Nico dan Lyra. Aku sama sekali tidak tau keberadaan mereka yang sekarang tinggal di kota ini.

Aku memutuskan pergi kesini setelah aku tau keadaanku yang tidak mungkin diterima dengan baik oleh keluargaku dan orang orang disekelilingku.

"Gia, apa kamu masih berhubungan dengan Nico?"

Dan benar saja dugaanku. Lyra terus bertanya hal yang sudah ku terka-terka akan dilontarkannya padaku. aku dapat menyimpulkan bahwa dia benar menaruh curiga dengan keberadaanku.

Akupun dengan yakin menjawabnya.

"Aku sudah lama tidak tau kabar Nico, Ra. Mungkin 5-6 tahun aku tidak pernah contact dengan dia, dan aku pastikan keberadaanku dikota ini tidak ada sangkut pautnya dengan Nico!"

"Baiklah, Maaf jika aku menyinggungmu. Kamu pasti tau khawatirnya seorang istri. Ah, maaf sekali lagi apa kamu sudah menikah?" Kali ini Lyra bertanya dengan lirih.

"Aku belum menikah, Ra. Tapi aku tau kekhawatiranmu atas adanya aku disini. Kamu nggak usah khawatir lagi. Aku akan pergi" jawabku tidak kalah lirih.

"Maksudku bukan begitu, aku kan sudah bilang besok biar aku yang antarkan kamu. Kemana tujuanmu Gia?"

"Jujur saja aku tidak punya tujuan lagi dikota ini. Aku juga nggak tau mau minta kamu antarkan aku kemana."

"Tapi kalau kamu mau antarkan aku, bisakah hari ini aja? Aku nggak mau ketemu Nico besok. Dan kalau bisa jangan sampai Nico tau aku pernah kesini!" tambahku lagi.

"Kenapa Gia? Keadaanmu belum pulih. Aku tau kok Gi, kamu lupa apa pekerjaanku? Menebak kondisimu itu hal biasa. Dan lagi, aku mau memastikan--"

Belum sempat Lyra menjelaskan aku sudah tau dan benar saja dugaanku sebelumnya.

"Kamu nggak usah memastikan aku mau kemana, yang jelas aku tetap pasti pergi kok. Kamu tenang aja. Dan aku rasa aku juga udah membaik."

Jawabku sedikit berdalih padahal aku masih merasa lemas teramat sangat.

Dari jawabanku bisa ku lihat Lyra sedikit lega tapi ada kekhawatiran disana. Mungkin karena dia berprofesi sebagai perawat dia sangat yakin aku tidak baik baik saja.

Tapi, naluri perawatnya seakan tergeser dengan naluri seorang istri yang takut seorang mantan pacar suaminya akan bertemu dengan suaminya besok.

Apalagi itu atas kesalahannya sendiri yang membawa dan membantuku kesini. Profesi Lyra seolah bertolak belakang dengan ketakutan hatinya.

Ku lihat dia seperti berkecamuk atas pilihamnya dan hatinya. Tapi itu tidak lantas membuatnya tidak ingin menolongku waktu dia menemukanku.

"Gia, sekali lagi maaf. Maaf aku lancang, aku menemukan kamu pingsan dipinggir kota. Aku melihat isi tasmu sudah berantakan."

"Aku pikir kamu dirampok ketika pingsan. Tapi waktu aku membenahi tasmu aku menemukan...emmm-" Lyra tampak ragu-ragu.

"Ya Tuhan, bodohnya aku! Aku sudah tidak punya tujuan kemana dan aku sekarang tidak punya uang karna dirampok. Dan apa? Kamu menemukan apa, Ra?" Jawabku miris.

"Itu, aku emmm menemukan hasil pemeriksaan USG mu. Maaf Gia. Apa, apa kamu--?"

"Iya, aku sedang mengandung, Ra. Aku Hamil." jawabku lirih sesuai dengan kesepakatan diawal bahwa aku tidak mau menutup-nutupi apapun lagi dari Lyra.

Aku tahu betul Lyra pasti sangat Fasih membaca hasil USG itu. Tidak dapat dipungkiri dari profesinya. Jadi untuk apa aku berbohong.

*"Toh percuma"* batinku.

💠💠💠💠💠

Tak bisa ku tutupi lagi. Akhirnya, Aku baru saja jujur kepada Lyra atas hal yang ku alami.

Aku, Anggia Eldira sedang mengandung. Aku hamil. Dan aku belum menikah. Kesalahan terbesar dalam hidupku.

Aku sangat menyesali hal ini yang membuat karirku sebagai Marketing Officer disalah satu perusahaan konveksi, harus ku hentikan atas keinginanku sendiri.

Aku bahkan memutuskan untuk pergi dari keluargaku. Bukan dibuang, tapi aku yang memilih untuk pergi sebelum semua orang tau hal apa yang menimpaku. Pasti keluargaku saat ini tengah heboh mencariku kemana-mana.

Entahlah, yang ku pikirkan saat ini hanya aku dan janin dalam rahimku. Egois memang.

Dengan tabunganku yang seadanya, ku putuskan pergi menemui temanku dikota ini. Aku pikir nasib baik akan menopang kehidupanku disini. Memulai hidup baru.

Dan tentunya aku tidak akan menggugurkan janin yang ku kandung. Aku akan menghidupinya. Apapun dan bagaimanapun caranya.

Karena entah keyakinan atau dorongan naluriku sepertinya aku amat menyayangi anak yang sedang ku kandung. Ini memang kesalahanku dengan dia. Ya dia yang ku cintai.

Aku tidak memungkiri bahwa aku menyesal kenapa anak ini hadir disaat yang tidak tepat. Tapi aku sadar bahwa janin ini adalah pengikat antara aku dengannya. Terlepas dari kesalahan yang telah kami perbuat.

Sayangnya, nasib baik yang ada di angan-anganku hanya sebatas bayang semu semata. Sesampainya aku disini aku harus menelan pil pahit.

Temanku, Rani. Satu satunya tujuanku kesini lebih memilih menghindariku. Alasannya? Karena dia juga bergantung hidup dengan suaminya. Dan dia tidak mau menampungku.

Bahkan membantuku menemukan tempat tinggal saja, tidak! Dia menolakku mentah-mentah.

Saat aku memutuskan pergi dan mencari tempat berlindung sendiri tanpa bantuan Rani, Aku tidak tau hal apa yang terjadi.

Dan sekarang tiba-tiba saja aku berada dirumah Lyra dan Nico. Tempat yang tidak pernah ku duga sebelumnya.

.

.

Bersambung...

- Bertemu Nico -

Dengan sadar, aku menceritakan beban yang ku tanggung kepada Lyra. Benarkah? Apa sekarang kami cukup dekat untuk berbagi kisah? Apa sekarang kami berteman? Aku tidak tahu.

Tapi semenjak dia menolongku, ku rasa dia bisa ku anggap temanku. Yah lebih baik daripada Rani yang tidak memandangku sama sekali. Sejak aku datang hingga aku beranjak pergi dari kediamannya.

Ketika aku menyadari aku dirampok seperti kata Lyra. Ingatanku kembali pada saat aku pergi dari rumah Rani. Mungkin aku lemah karena sedang mengandung. Dan perjalanan jauh yang membawaku ke kota ini membuatku kelelahan akhirnya jatuh pingsan.

"Gi, Gia???" Suara Lyra membuyarkan lamunanku tentang awal mula aku memutuskan pergi.

"Iya, Ra? Emmm sekali lagi makasih ya, Ra. Udah mau nolong aku. Kamu orang baik. Nico gak salah pilih istri deh. Hehe." kataku mencari-cari kata mencairkan suasana kaku yang aku sadari setelah Lyra tau kehamilanku.

"Gi, aku bukannya mau ikut campur. Bukan maksud ingin tau lebih jauh. Tapi apa kamu ke kota ini mau menghindar dan sembunyiin kondisi kamu?"

Lyra mencoba menerka-nerka sambil menepuk pelan bahuku.

Aku diam seolah berfikir. Tapi aku tidak berniat menjawab pertanyaan Lyra. Sampai akhirnya dia bicara lagi.

"Gia, aku kasi kamu ongkos pulang ya. Kamu pulang ya, Gi! Aku mau lelaki itu bertanggung jawab Gi, kamu bicarakan hal ini baik-baik dengan keluargamu. Pasti dapat titik temu nya!"

Ku rasa sebagian kata-kata Lyra adalah benar. Lelaki yang sudah menghamiliku harus bertanggung jawab. Tapi, itu tidak meruntuhkan benteng pertahananku. Karena aku tahu bahkan hubungan kami pun tidak ada restu dari kedua belah pihak keluarga. Aku yang harus tahu diri. Dan aku punya pemikiran sendiri.

"Aku tau, Ra" jawabku pelan tanpa mengalihkan pandangan mataku dari jendela kamar.

"Aku sama dia udah salah, seharusnya kami gak terlalu jauh. Aku bodoh. Aku nggak mencegah dia. Dan dia juga nggak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Biar aku jalani ini semua sendiri, Ra. Aku akan jadi orangtua tunggal untuk anak aku. Lagi pula keluargaku gak akan mungkin setuju. Hubungan kami ditentang sama kedua belah pihak keluarga. Biar ini semua, aku yang menanggungnya." jawabku lirih.

Tidak ku dengar Lyra berkata-kata. Dia diam seolah mencoba memahami ada di posisiku.

Sampai akhirnya dia bicara lagi.

"Jadi, kamu memutuskan untuk melanjutkan hidup kamu tanpa suami, Gi? Dalam kondisi begitu? Ah iya, apa dia tau kamu sedang mengandung anaknya, Gi? Siapa dia?"

Lagi-lagi seperti bisa ku baca, pertanyaan Lyra seolah mencari tahu siapa sosok lelaki itu, memastikan kalau itu bukan Nico. Suaminya. Aku tersenyum kecut. Aku tidak licik untuk membebankan semuanya kepada Nico. Mengambil kesempatan disaat ini. Itu sama sekali bukan sifatku. Dan lagi, aku tidak mencintai Nico, kini.

Sama sekali tidak terlintas dipikiranku untuk orang lain yang harus menanggung beban atas kesalahanku. Tapi, Aku bisa paham ketakutan Lyra, Karena Nico mungkin masih ada hati padaku. Entah kenapa aku menangkap itu dari sikap Lyra. Dan atas pertanyaan Lyra kali ini, aku memilih diam saja. Ku jawab siapa laki laki itu pun dia tidak mengenalnya.

"Gi, aku tau kamu mau memendamnya sendiri. Aku ngerti. Meskipun aku nggak berada diposisi kamu. Tapi, aku nggak mau nanti Nico mengajukan diri untuk ikut menanggung bebanmu juga."

kali ini kata-kata Lyra membuat aku syok. Benar saja, dia juga mengira Nico akan menanggung apa yang menjadi bebanku.

"Ra, laki laki itu bukan Nico" ku jawab agar melegakan hati Lyra.

"Aku tau, Gi. Aku tau! Itu memang bukan Nico. Tapi kamu nggak tau kan, Gi? Meskipun hubunganmu dengan Nico udah lama berakhir. Tapi tanpa Nico sadari satu-satunya mantan yang sering dia sebut dan dia ceritakan itu, kamu. Itu nggak menutup kemungkinan kalau dia masih punya rasa sama kamu, Gi! Dan lagi karna rasa itu bisa jadi dia mau membantu kamu. Dia pasti nggak tega sama kamu, Gi. Aku ta--"

Ku sambut kata kata Lyra yang seolah tak akan ada hentinya itu. See? Benar saja dia juga merasakan kalau Nico masih ada rasa padaku.

"Kamu jangan khawatir, makanya siang ini juga antarkan aku pergi dari sini--" belum siap aku bicara panjang kali lebar memutuskan dan merencakan kemana aku akan pergi. Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar nyaring. Disusul suara lelaki yang sangat familiar ditelingaku.

Sontak aku dan Lyra saling memandang satu sama lain.

Tanpa sadar, ku pejamkan mataku.

*"Apa lagi ini, Tuhan??"* Batinku.

Ku lihat Lyra beranjak dan bergegas membuka pintu depan. Sepertinya Nico pulang lebih awal dari seharusnya. karena baru saja beberapa menit lalu Lyra mengatakan Nico akan pulang besok. tapi sekarang apa? dia sudah disini, dalam rumah yang seharusnya tidak ada aku didalamnya.

Sekarang aku tidak bisa menghindar lagi untuk bertemu dengannya. Mau tidak mau ini harus ku hadapi, bertemu Nico kembali. Dalam keadaanku yang seperti sekarang ini.

Samar samar ku dengar pembicaraan mereka. Sekilas ku dengar namaku disebut-sebut.

Tak lama sesosok lelaki yang sudah ada dibenakku beberapa detik lalu muncul dari balik pintu kamar dan disusul Lyra dibelakangnya.

*" Ah.. benar saja itu dia"* gumamku lirih dalam hati.

"Gia?"

"Nico?"

Jawab kami bersamaan. Aku dengan nada biasa karena sudah menduga itu adalah Nico dan Nico dengan nada yang ku tangkap sedikit terkejut mendapati aku berada di rumahnya.

"Gia, tenyata ini benar kamu?" Nico memastikan dia tidak salah lihat. Dan suaranya terdengar lirih.

"Ya" jawabku pendek.

Rasanya aku mau menyembunyikan wajahku ditumpukan bantal agar Nico tidak melihat wajahku kali ini. Wajah yang sekarang penuh Dosa dan kebodohan.

Aku memandangi Lyra. Dan seolah mengerti sinyal dari mataku, Lyra mengajak Nico keluar dari kamar yang ku tempati.

Sesaat kemudian mereka sudah berada diruangan yang berbeda denganku.

Entah membahas apa. Tapi bisa ku pastikan itu ada hubungannya denganku.

Tak lama Nico masuk dengan wajah yang memerah.

"Bagaimana bisa, Gi? Dimana dia? Dimana br*ngs*k itu? Biar ku ajari dia caranya bertanggung jawab!"

Nico mencecarku dengan pertanyaan yang benar benar mengadili ku. Aku yakin Lyra sudah menceritakan secara detail awal mula keberadaanku dirumah mereka.

Yang aku tidak habis pikir, dari pertanyaan dan kata-kata Nico dapat ku pahami dia amat marah bahkan murka dengan kehamilanku. Tapi jelas terlihat dia sangat peduli kepadaku. Dan itupun ditangkap oleh mata Lyra yang ku lihat terpaku menatap suaminya yang berapi-api. seolah Nico sedang menyesali mendapati keadaanku sekarang ini.

Aku benar-benar tidak nyaman berada disini. Mata Lyra seperti memaksaku untuk segera pergi dari rumahnya sekarang juga. Ada seberkas penyesalan disana.

Dia seperti telah melakukan hal yang salah. Benar saja, akupun akan marah jika pasanganku peduli pada wanita lain dan itu didepan mataku.

Aku tidak tau apalagi kata-kata Nico yang akan mengagetkanku dan akan menyakiti hati Lyra. Aku tidak tega bahkan hanya membayangkannya saja.

Setelah mendengar Nico mengumpat dan mengeluarkan emosinya. Aku menyadari kali ini bahwa benar, Nico masih ada rasa kepadaku. entah aku saja yang hanya menduganya atau Lyra? -sejenak ku tatap matanya dalam- ya sepertinya Lyra juga merasakan hal itu di matanya. dia tau arti gelagat suaminya. hingga ku putuskan untuk bersuara.

"Aku mau pulang kerumah orangtuaku saja! aku ucapkan banyak terimakasih untuk kalian. Terutama Lyra. Makasih udah nolong aku. Tapi, maaf sekali lagi untuk merepotkan kalian. Berhubung aku udah gak punya uang karna dirampok. Bisakah aku pinjam uang untuk ongkos? Nanti kalau aku punya uang, pasti akan ku ganti" ucapku lirih berusaha menahan malu.

Aku memilih menatap Lyra lagi, bukan Nico.

"Nggak bisa gitu dong, Gi ! Kata kata Nico yang buat aku tidak habis pikir.

"Kenapa?" Jawab aku dan Lyra kompak.

"Apa kamu udah siap dengan konsekuensinya? Apa kamu siap kalau kamu disuruh gugurkan janin itu? Karna kita tau orangtua kamu nggak setuju sama si br*engs*k itu! Pasti kemungkinan itu ada di list orangtua kamu, Gi! Kita akan hadapi ini sama-sama!"

Hah?-hanya kata itu dalam batinku ketika Nico mencetuskan kalimat yang benar-benar membuat aku dan Lyra terdiam dengan pikiran kami masing-masing.

Dan apa katanya tadi? "Kita" apa maksudnya itu? Ku lirik Lyra yang matanya sudah berkaca-kaca setelah mendengar jawaban suami tercintanya.

bersambung...

- Alibi Gia -

Malam ini aku merapikan tas dan barang-barang bawaanku yang Kemarin mungkin sudah berserakan dijalanan sebelum dipunguti oleh Lyra. Dan dimasukkan asal kedalam Tas ku.

Aku memastikan lagi barang apa saja yang hilang. Selain uangku, dan perhiasan seadanya yang aku pakai, ku rasa tidak ada lagi yang hilang. Dompet, surat-surat serta kartu identitasku masih utuh.

Rampok itu menguras habis uang dalam dompetku hingga tandas. Ya aku tidak punya uang lagi sekarang.

Lalu sekarang aku harus apa? Sejenak aku berpikir, belum sempat aku menemukan jawaban aku harus apa dan kemana. Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dari luar.

*. tok tok tok *

Aku bangkit dan membuka pintu.

Ku lihat ada Lyra yang tersenyum. Tapi senyumnya kali ini seperti sangat terpaksa. Itu yang aku lihat dari sudut pandangku.

"Kenapa, Ra?"

"Makan malam dulu ya, Gi!" Ucapnya sambil tetap menyunggingkan senyum yang amat dipaksakan.

Aku diam sambil mencari-cari alasan.

"Gi, kamu boleh aja nolak makan. Gak enak ya sama aku? Aku tau kok! Tapi Kita bahas itu nanti ya. sekarang Kamu makan ya! Pikirin noh yang disitu!" Katanya sambil menunjuk perutku yang masih rata.

Akupun mengangguk. Aku mengikuti langkah Lyra menuju ruang makan. Setelah ku sadari, rumah Lyra dan Nico cukup nyaman. Tidak terlalu kecil dan tidak juga begitu besar. Rumah yang rapi. Tetapi sepi. Aku baru menyadari mereka memang hanya tinggal berdua saja. Karena sejak awal aku berada disini, aku sudah menempati kamar tamu mungkin. Dan tidak keluar dari kamar itu sama sekali. Kamar mandinya juga sudah ada didalam kamar.

Jadi ini pertama kalinya aku menyusuri ruangan dirumah ini. Sepintas saja aku mengamatinya.

Lalu aku tiba diruang makan yang dilengkapi dengan empat kursi dan satu meja persegi. Cukuplah untuk mereka yang notabene tinggal berdua saja.

Ku lihat Nico sudah duduk seperti menunggu dan Lyra menyusul duduk tepat disampingnya. Aku memilih duduk didepan Lyra.

"Ayo makan, Gi! Jangan sungkan." Ucap Lyra sembari menyodorkan aku nasi dan lauk-pauknya.

Aku hanya mengangguk. Sambil ku ambil secukupnya. Kami makan dalam diam. Hanya ada suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring seperti bersahut-sahutan.

"Besok kamu aku antar sampai ke bandara Gi! Kamu harus benar-benar pulang. Karena itu keputusanmu!" Ucap Nico tiba-tiba memecah keheningan diantara kami bertiga.

Aku ingat siang tadi, Nico bersikeras menentangku pulang kerumah orangtuaku karena dia takut aku menggugurkan janinku atas permintaan orangtuaku. Terlebih dia takut lelaki itu tidak siap dengan kehamilanku. Dia takut aku melakukan hal diluar batas. Mengakhiri hidup, misalnya.

Lyra diam saja sembari terus tetunduk menyadari suaminya selalu lebih dominan dalam pembicaraan kami.

Sementara aku, menentang keras keputusan Nico karena aku berujar aku juga punya keputusan sendiri dan Nico tidak berhak atas pilihanku.

Akhirnya dengan berat hati dia menerima keputusanku dengan syarat aku tidak boleh menyesalinya. Karena jika aku punya bahkan sedikit saja penyesalan atas keputusanku, jangan salahkan kalau dia akan mengambil alih dan masuk lebih jauh dalam masalahku. Itu ancamannya.

Aku tidak paham maksud dari Nico yang berujar mengambil alih. Mengambil alih apa? Aku bersikap masa bodoh. Dan tetap bersikeras ingin pulang ke kotaku. Ku lirik Lyra mematung dengan segala keributan aku dan Nico. Melihatnya begitu aku jadi makin tidak enak hati dan ingin segera pergi dari sini.

"Ku rasa kita udah nggak perlu membahasnya lagi, Co. Aku udah mutusin buat balik. Dan aku rasa ini udah Clear. Anggap aku nggak pernah kesini. Dan jalani hidup rumah tangga kalian baik-baik!"

Ku lihat Lyra yang seolah tidak mendengar pembicaraan ini. Karena lagi-lagi dia hanya diam tanpa kata.

"Gi, kenapa keras kepalamu nggak pernah berubah sih?" Nico dengan sengaja menghempas pelan sendok dan garpunya sampai terdengar suara khas benda itu berdenting menyentuh piring.

"Aku memang keras kepala, Co. Tapi kamu nggak perlu segitunya, nggak usahlah kamu ngantarin aku. Aku juga bukan anak kecil. Toh aku bisa sampai disini sendiri. Pulang pun pasti bisalah sendiri!" Ketusku.

"Yang bilang kamu anak kecil siapa? nyampek sini memang sendiri. Tapi dalam kondisi pingsan dan uang udah nggak ada sama sekali. Yang begitu apa bisa dilepasin lagi sendirian? Kalo kecolongan lagi emang kamu pikir ada yang mau nolong kamu. Beruntung itu gak berulang kali juga, Gi! " Sindir Nico.

Aku diam. Aku mengakui kebodohanku. Tapi bukan berarti aku setuju diantar Nico besok. Aku punya rencana lain. Aku sudah jauh-jauh ke kota ini. Dan gara-gara Nico aku harus pulang? Nggak!

Aku cuma beralibi bilang pulang biar Nico taunya aku nggak berada dikota ini lagi.

Biar dia nggak mencampuri urusanku lagi. Soal uang yang ku pinjam untuk ongkos, ya nggak sepenuhnya bohong sih, memang itu mau ku jadikan ongkos untuk aku pergi dari rumah Nico dan cari tempat untuk tinggal. Bukan untuk pulang ke kotaku.

Syukur-syukur masih nyisa tuh uang, kan bisa aku jadikan modal usaha. Jualan apa kek. Nanti aku pikirin.

"Co, kamu boleh aja bilang aku keras kepala. Bodoh. Atau apapun lah. Tapi kamu lupa ya, Co. Kamu juga punya istri. Ya kali kamu nggak pernah minta pendapat dia." cecarku yang akhirnya membuat Nico mengalihkan pandangannya dari aku ke wanita disampingnya. Lyra.

"A,aku..." Jawab Lyra ragu-ragu karena pandangan Nico kearahnya.

"Ngomong aja gih, Ra. Dirumah kamu ini" kataku menyunggingkan senyum setelah aku mendapati Lyra kembali bersuara semenjak diam dari awal mula makan tadi.

"Aku rasa yang dibilang Mas Nico ada benernya, Gi! Lebih baik kamu kami antar aja. Biar lebih aman."

*"Hmmm, aku tau Lyra mau memastikan juga aku beneran balik kampung. Hahahaha"* kali ini batinku berbicara.

Niat Lyra itu bukan semata-mata untuk kebaikanku, tapi lebih tepatnya untuk kebaikannya dan Nico. Sikap waspadanya patut ku acungi jempol. Tapi dengan dia bersikap begitu aku jadi tahu arah pemikirannya.

*"Yayaya aku paham kok, lagi pula aku tidak berniat sedikitpun soal Nico. Lyra terlalu parno"* batinku lagi.

"Ya kalau itu mau kalian ya nggak apa sih. Tapi boleh nggak tiketnya aku beli sekarang sendiri?" kataku tidak tahu malu. Ku rasa urat maluku sudah putus ketika mereka berdua sudah tahu aib ku.

"Ya udah, berapa nomor rekening kamu?" Nico mengeluarkan ponselnya.

See? Semudah itu? Nico memang selalu royal perkara uang.

Akupun memberitahu Nico beberapa digit angka nomor rekeningku. Ponselku memang tidak hilang ketika dirampok. Karena ponselku berada di saku celana jeans ku. Mungkin tidak sempat atau apa tapi ku anggap itu keberuntunganku.

Tidak lama suara masuk pesan baru diponselku yang aku tau itu pasti pesan mobile banking.

Aku terkejut melihat nominal yang ditransfer Nico.

Mataku membulat sempurna. Lalu aku melirik Nico yang masih menatap ponselnya sambil menyunggingkan Smirk khas nya di sudut bibirnya.

Seolah bisa ku baca, sepertinya Nico tau dan bisa menebak pikiranku. Kalau aku pasti tidak akan pulang kerumah orangtuaku. Dan aku membutuhkan banyak uang.

Aku diam dalam pikiranku menerka-nerka pikiran Nico. Ya, ku rasa Nico memang tahu niatku.

*"Sial! Aku ketahuan."* Umpatku dalam hati.

Ku lirik lagi Nico dalam diamku. Dia seperti menahan senyumnya. Sebodo amat lah ! Intinya aku harus keluar dulu dari rumah ini. Karena aku benar-benar tidak nyaman dengan berada diantara Nico dan Lyra.

Serta sikap Lyra yang semakin diam semenjak kepulangan Nico. Apalagi sejak Nico terlihat peduli padaku. Membuatku semakin tidak enak hati. Aku mau pergi dari mereka. Yang aku pun tidak tau tujuanku kemana.

"Terima kasih banyak ya. Aku nggak tau bakal bisa balas kalian pake apa. Dan soal uang ini, aku pasti ganti nanti kalo aku udah kerja ya. Pelan-pelan pasti aku ganti. Aku janji." Ucapku sambil mengacungkan dua jari membentuk huruf V.

"Nggak usah dipikirin Gi! Yang penting kamu sampai dirumah orangtuamu dengan selamat. Itu udah buat kami lega."

Udah tau kan itu jawaban siapa. Itu jawaban Lyra. Setelah diamnya membuat aku bertanya-tanya. Sekarang dia terlihat Lega dan mulai tersenyum seperti biasa. Bukan senyum keterpaksaan lagi. Aku tau dia lega aku akan pulang. Tapi dia nggak tau aja berapa uang yang dikirimkan suaminya ke aku. Kalau dia tahu, mungkin dia makin syok dan nggak bisa tersenyum lagi melihat wajahku ini.

Aku balas senyuman dia dengan setulus hati. Bagaimanapun, dia sudah menolong aku. Aku memutuskan undur diri lebih dulu dari meja makan.

Aku masuk kamar. Dan memikirkan strategi apa yang akan ku jalani besok.

Dengan uang dua puluh lima juta yang sudah masuk ke rekeningku.

*"Wah mau aku apain ya ini duit?"* Lagi lagi aku tersenyum kecut.

Bisa bisanya aku mengambil jatah Lyra. Ya seharusnya Nico memberikan uang ini kepada Lyra. itu lebih cocok. dia kan istrinya.

Tapi aku dengan sisa-sisa keserakahanku diam saja saat menerima uang ini. Dan berusaha tidak terjadi apa-apa. Entah apa yang ada dalam benak Nico sebenarnya waktu dia mengirimi uang sebanyak ini padaku. Yang jelas kalau dalam benakku pastinya uang ini sangat menguntungkan untuk bekalku di kedepan hari.

Dapat ku pastikan memang dia tau kebohonganku. Tapi selain itu? Aku mencoba tidak berpikir yang lain-lain.

Ah Aku tidak tau dia berpikir apa. Aku tidak bisa menebak isi kepala lelaki itu meski dia pernah menjalin hubungan denganku. Justru aku lebih sering membaca isi kepala Lyra. Mungkin karena kami sesama wanita.

Dan Lyra dengan diamnya, Apa dia sebenarnya tau ulah suaminya?

Kali ini aku memilih tidak menerka-nerka pikiran Lyra.

Dari kejadian ini, Aku bisa menyimpulkan bahwa Nico benar-benar masih menaruh hati padaku. Entahlah! Dari caranya, kepeduliannya dan dari uang ini ku rasa cukup membuktikannya.

Tapi, lagi-lagi ku tekankan, sedikitpun tidak terlintas dalam pikiranku untuk memanfaatkannya. Biarlah ini untuk yang pertama dan terakhir.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!