NovelToon NovelToon

KINAN DAN RADIT

CEO BARU

Pagi ini begitu dingin. Hujan baru saja reda setelah hampir semalaman turun tanpa henti. Kinan telah terbangun sejak ayam jago pertama berkokok. Hari ini dia harus berangkat pagi-pagi karena akan ada acara besar di kantornya. Sebagai seorang office girl, hari ini pasti tugasnya yang paling berat. Membersihkan ini itu, disuruh kemana-mana, membuatkan minuman, apalagi nanti pasti akan ada banyak tamu.

Hari ini ada pergantian kepemimpinan perusahaan. Pak Bastian Abhimanyu, Presdir yang sekarang, akan berhenti dan digantikan oleh anaknya. Sebenarnya Kinan agak kecewa ditinggal pergi orang tua itu. Selama ini ia sering dapat bonus dari Pak Bastian. Hal itu karena Pak Bastian selalu memuji kopi buatan Kinan. Kinan berharap semoga anaknya juga sama baiknya.

“Sampai kapan kau akan tidur Shanju? Ini hari senin, nanti akan ada upacara bendera. Kau mau kena hukuman? Ibu tidak akan ke sekolahmu kalau surat teguran dari guru kelasmu datang lagi”

Kinan berteriak dari dapur. Beberapa orang terlihat keluar dari kamar dengan wajah sebal.

“Kamar Shan di lantai atas, kau di dapur, apa tidak bisa kau bangunkan dia dengan tidak teriak-teriak seperti itu? Suaramu lebih keras dari speaker masjid. Nenek ini sudah tua, jantungku sering sakit kalau terkejut.”

Seorang wanita tua menggerutu menghampiri Kinan. Tercium khas bau minyak kayu putih. Kinan hanya tersenyum melihat nenek yang sedang mengambil air putih.

“Rumah kita kan tidak luas Nek, berteriak sedikit saja terdengarnya seperti keras sekali. Lagipula, Shan dan Kak Bima tidak akan bangun kalau aku tidak teriak-teriak seperti itu, mana mereka? lama sekali turunnya?”

Kinan melirik kearah tangga. Sarapan sudah terhidang sederhana di atas meja makan. Tapi anak dan kakaknya belum juga terlihat keluar dari persembunyian. Membangunkan laki-laki memang lebih sulit daripada membangunkan harimau tidur.

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya keluar juga yang ditunggu-tunggu. Seorang laki-laki berusia 35 tahun dan seorang anak laki-laki berusia 10 tahun. Alis Kinan terangkat melihat wajah mereka. Kenapa semua terlihat begitu kesal?

“Suara Ibu lebih keras dari bel sekolah” Kata Shanju sesaat setelah duduk di ruang makan. Kinan memonyongkan bibirnya. Ini bukan pertama kalinya dia diprotes karena suaranya, tapi tetap saja sebal rasanya jika terus dikatai seperti itu. Tadi Nenek, terus Shanju setelah ini pasti Bima.

“Kau mau bilang suaraku lebih keras dari klakson truk mu, Kak?” Tanya Kinan kepada Bima yang sedang menyuapkan nasi ke mulutnya. Dengan mulut yang masih mengecap dia menjawab, “Itu kau tahu, kenapa masih bertanya?”

Kinan mendesis sebal. Suara keras adalah sebuah anugerah. Paling tidak, seisi rumah tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli jam beker. Penghematan adalah hal yang paling utama di rumah ini.

Kinan melirik jam tangannya yang usang, pukul 06.00. Dia harus segera berangkat. Hari ini hari senin, bus kota pasti akan penuh kalau tidak berangkat pagi-pagi.

“Kak, kau antar Shan pergi sekolah ya? Aku harus berangkat sekarang. Nanti akan ada acara di kantor, jadi aku harus sampai pagi-pagi sekali”.

Wajah Kinan terlihat memelas memohon pada kakaknya. Bima hanya mengangguk tanpa melihat. Percuma rasanya Kinan berekspresi seperti itu. hishh..

“Shan sayang, Ibu berangkat dulu ya? Jangan lupa bawa bekalmu hari ini!” Kinan mencium pipi Shan sebelum menyambar tas dan pergi dengan terburu-buru.

“Kalau telat seperti itu, dia pasti lupa berpamitan denganku” Nenek menggerutu. Bima dan Shanju melihat Nenek dengan ekspresi yang sama. Menahan tawa.

...***...

Setengah jam lagi acara akan dimulai. Semua karyawan sudah berkumpul di Hall utama. Pegawai bagian belakang seperti Kinan juga ikut di dalamnya. Bukan untuk penyambutan atau ikut makan-makan tapi harus siap-siap jika ada perintah untuk ini-itu. Semua karyawan terlihat tegang. Kinan pun heran melihatnya, ada pergantian kepemimpinan bukannya disambut dengan bahagia tapi semua wajah berekspresi gugup.

“Bang, aku lihat semua pegawai tegang sekali. Memangnya ada apa? Nanti tidak akan ada PHK kan?” tanya Kinan penasaran. Bang Miko melihat Kinan serius. Lalu membisikkan sesuatu ke telinganya.

“Katanya, anak Pak Bastian itu sangat tidak ramah.”

“Oh begitu.”

Kinan menganggukkan kepala. Tidak semua buah jatuh dekat dengan pohonnya ternyata. Kinan masih penasaran dengan wajah Presdir yang baru. Kalau Pak Bastian ganteng seperti itu, seharusnya anaknya juga lebih menawan.

“Miko..Jatmiko!! Sini sebentar!” seorang karyawan memanggil Bang Miko. Bang miko segera berlari kecil, meninggalkan Kinan yang celingukan sendiri.

Sepertinya akan segera dimulai. Beberapa petugas keamanan tampak mulai banyak berjaga-jaga mengelilingi ruangan. Di sudut ruangan tampak Pak Bastian datang dengan seorang laki-laki muda. Seisi ruangan bertepuk tangan dengan riuh. Kinan sedikit berjinjit untuk bisa melihat ke depan. Maklum, dia pasti ada di belakang kerumunan karyawan.

Pak Bastian mulai berpidato. Semua diam mendengarkan dengan seksama. Bang Miko telah kembali disamping Kinan. Bang Miko adalah Office Boy senior di kantor ini. Dia adalah orang yang sangat ramah dan lucu sekali. Pertama kali Kinan bekerja di kantor ini, Bang Miko lah yang sering bergaul dengannya.

“Sebenarnya ini adalah saat paling berat bagi saya. Meninggalkan kantor ini berarti meninggalkan kalian semua. Saya pasti akan merindukan saat-saat seperti sekarang. Hanya saja di usia ini, tidak mungkin bagi saya untuk tetap memimpin kalian. Harus ada orang baru yang melanjutkannya. Dan saya mempercayakan anak saya, Raditya Abhimanyu, untuk menggantikan saya yang sudah tua bangka ini.”

Orang-orang tertawa. Pak Bastian lalu memeluk anaknya diiringi tepuk tangan riuh semua karyawan. Sesi selanjutnya adalah makan siang bersama.

...***...

Pukul 05.00 sore.

Kinan dan semua office boy (OB) dan office girl (OG) berkumpul di pantry. Ini lah tempat mereka biasanya melepas lelah. Seharian membersihkan seisi gedung sangat melelahkan. Untung hari ini petugas Catering makanan mau ikut membantu mereka membersihkan Hall. Sebenarnya jam pulang sudah lewat 1 jam yang lalu, tapi karena hari ini banyak sekali pekerjaan, semua orang baru bisa berkemas sekarang.

Di sudut Pantry tampak ada sepasang OB dan OG yang duduk bersama sambil tertawa kecil. Si wanita adalah OG baru disini. Dia baru satu bulan masuk kerja. Sepertinya mereka saling suka. Akhir-akhir ini Kinan sering memergoki mereka berduaan di pantry. Melihat hal seperti itu, membuat hati Kinan miris. Lama sudah dia tidak merasakan perasaan seperti mereka. Mana ada yang mau dengan single parent miskin seperti dia? Pikir Kinan setiap melihat orang berpacaran.

Pintu pantry tiba-tiba terbuka dengan keras hingga membuat semua orang terkejut. Seorang laki-laki berpakaian rapi masuk dengan wajah dingin hingga seisi ruangan lupa memberi salam. CEO baru itu lalu berjalan mengelilingi pantry. Matanya meneliti semua sudut ruangan. Beberapa kali menggesekkan telapak tangannya di meja lalu menggelengkan kepala. Perasaan Kinan berkata seperti akan ada sesuatu yang tidak baik terjadi.

“Siapa kepala Pantry nya?” Suara rendah itu terdengar seperti akan menghakimi seseorang.

Bang Miko maju selangkah dengan gemetar. Suaranya terdengar parau.

“Sa..saya Pak!”

CEO baru itu menyerngitkan kening, “Pak?? Panggil saya Boss! Saya bukan bapak-bapak.”

Bang Miko mengangguk dengan masih dalam posisi agak membungkuk. Kinan yang melihat hanya bisa berdoa agar semua baik-baik saja. Ia bahkan masih belum berani menatap wajah bos baru itu.

“Pantry ini masih kotor. Saya paling benci dengan kotor. Jadi saya tidak mau ada debu yang menempel di kantor saya. Kalian yang ada disini harus bertanggung jawab atas kebersihan kantor ini”

"Baik Boss" jawab seisi pantry serempak.

CEO baru itu mulai melangkahkan kaki menuju pintu. Seisi ruangan masih membisu.

“Oh ya, kalian berdua yang ada di sudut ruangan, saya tidak suka ada hubungan khusus di kantor saya. Kalau kalian pacaran, salah satu harus keluar atau akan saya pecat dua-duanya”

Boss meninggalkan pantry. Semua orang menghela nafas lega. Satu sama lain saling melihat. OG yang ada disudut ruangan mulai menangis. Kinan menghampirinya lalu memeluknya.

“Sudah tidak apa-apa. Boss hanya menakut-nakuti”

“Apa waktu sekolah di Amerika dulu, Boss tidak diajari sopan santun ya? Pertama kali masuk pantry tidak mengucapkan salam, malah marah-marah seperti itu. Kenapa sikapnya berbeda sekali dengan Pak Bastian?” gumam salah satu OB.

Seisi ruangan melihat Bang Miko yang dari tadi tertunduk lesu. “Sepertinya hari-hari kita akan semakin berat”.

...***...

Esok hari Kinan berangkat lebih pagi lagi. Boss baru yang cerewet itu ingin menata ulang beberapa ruangan. Bang Miko malah sudah ada di kantor sebelum yang lain datang. Seperti biasa, Kinan yang menyiapkan kopi untuk meja-meja pimpinan. Dia juga bertugas untuk membersihkan ruangan CEO.

Kinan benar-benar memeriksa ruangan Boss hingga beberapa kali. Memastikan tidak ada satupun debu yang menempel di meja, kursi, lemari, lukisan hingga sofa. AC sudah dinyalakan dan tirai dibuka. Jendela sudah dilap jernih hingga lalat pun tidak bisa membedakan ada kaca atau tidak. Ia pun telah mengelap setiap daun di setiap tanaman yang ada di ruangan. Sempurna. Semuanya sudah 100% siap.

Kinan duduk menyandarkan punggung di kursi pantry. Masih pagi dia sudah lelah sekali. Tadi malam Shan tidak bisa tidur hingga memaksanya untuk menemaninya sampai tertidur. Dan Shan baru tertidur pada pukul 11.00 malam, tepat pada buku cerita kelima yang dibaca Kinan. Sudah sebesar itu, sebenarnya Shan bisa membacanya sendiri. Tapi Shan tidak mau, katanya kalau dibaca sendiri, dia tidak bisa mengantuk.

Telepon pantry berdering. Kinan yang terkejut dengan cepat meraihnya. “Iya?” Mata Kinan membesar mendengar suara dari seberang. Giginya mengginggit bibir. Kenapa Boss memanggilnya? Jangan-jangan ada yang tidak beres. Dengan masih menyimpan rasa takut, Kinan dengan cepat menuju ruangan CEO.

Dengan mulut berkomat-kamit membaca doa, Kinan mengetuk pintu. Bu Sisca, sekretaris Boss, hanya bisa melihat Kinan dengan raut kasihan. Melihatnya yang berekspresi seperti itu, Kinan jadi semakin takut.

“Masuk!”

Suara berat dari dalam ruangan CEO membuat jantung Kinan berdegup kencang. Ditutupnya pintu dengan perlahan hingga tidak terdengar decit pintu. Boss melihat dingin Kinan yang berdiri kaku satu meter di depannya.

“Apa kau yang membuat kopi?” Kinan mengangguk dengan memberanikan diri melihat wajah Boss untuk pertama kali.

Kinan tertegun, lebih tepatnya terpesona. Lelaki yang sedang berdiri di hadapannya begitu tampan. Badannya tinggi dengan dada bidang yang tertutup indah kemeja mahal. Bau parfumnya tercium bahkan lebih dari 5 meter. Raut wajahnya begitu dingin, matanya menatap tajam namun Kinan bahkan tidak terintimidasi oleh itu. Ini adalah kali pertama dia melihat lelaki yang membuat hatinya berdegup kencang.

“Apa kantor kita tidak punya cukup uang untuk membeli gula? Kenapa kopinya begitu pahit?”

Kinan berhenti mengagumi kesempurnaan fisik Bosnya, ia beralih melihat secangkir kopi di depannya. Dengan tenang dia menjawab,

“Saya tidak tahu kalau Boss tidak suka kopi dengan sedikit gula. Dulu Pak Bastian suka kopi pahit dengan aroma kayu manis, saya kira selera Boss tidak berbeda jauh dengan Ayah Boss jadi…”

“Jadi kau pikir, hanya karena aku anaknya, kemudian aku punya selera yang sama?”

Kinan hanya diam tak menjawab. Ia hanya menunduk.

“Itu namanya kesimpulan yang bodoh.” Kinan melihat wajah Boss. Kali ini bukan dengan tatapan kagum namun sedikit marah. Selama bekerja hampir satu tahun, baru kali ini ada yang mengatainya seperti itu. Pak Bastian dulu tidak pernah memarahinya. Semua karyawan menyenangi kopi buatan Kinan. Boss baru ini, baru sehari bekerja sudah mengatainya bodoh. Dan hanya gara-gara secangkir kopi.

“Saya minta maaf Boss, akan saya ganti”

Kinan mengambil cangkir dan lalu pergi ke pantry. Sedikit dongkol karena diperlakukan seperti itu membuat konsentrasi Kinan terpecah. Di Pantry dia hanya menggerutu. Bang Miko mencoba meredamkan hatinya yang emosi.

“Sabar saja, turuti semua permintaannya. Kudengar, dia memang orang yang sangat sulit dimengerti. Bahkan Pak Bastian pun kewalahan menghadapi anaknya. Kau tahu, dia diminta untuk menjadi presdir perusahaan ini karena ia pewaris satu-satunya keluarga Abhimanyu.” Bang Miko tampak bersungguh-sungguh dengan bahan gosipnya.

Kinan kembali dengan secangkir kopi baru. Di depan meja Bu Sisca, dia berhenti.

“Ada Bu Nuri di dalam. Apa sebaiknya kau menunggu dulu sampai dia keluar?” kata Bu Sisca dengan mimik serius.

“Nanti saya dimarahi lagi gara-gara kelamaan bikin kopi. Saya masuk saja ya Bu?”

Bu Sisca mengangguk sambil mengepalkan tangan di depan dada. “Semangat!” ujarnya dengan sangat pelan. Kinan mengangguk dengan yakin.

Setelah mengetuk pintu, Kinan membukanya dengan perlahan. Mereka hanya melihat Kinan sekilas lalu kembali berbincang.

“Jadi sebenarnya kau tidak suka pindah kesini? Memangnya di Amerika ada apa sampai kau tidak rela meninggalkannya?”

Nuri tersenyum melihat Radit yang sibuk dengan laptop. Kelihatannya mereka akrab sekali. Boss memalingkan wajahnya, melihat Kinan yang menaruh cangkir di mejanya.

“Bu Nuri mau kopi juga?”

Nuri menggeleng datar. Matanya masih tertuju pada wajah Radit. Karena merasa kehadirannya tidak diharapkan, Kinan bergegas keluar dari ruangan.

“Heh Bodoh, sini..sini!”

Kinan menghentikan langkahnya. Bodoh??? Apa maksudnya itu aku?

“Kalaupun aku bilang, aku tidak suka kopi pahit, bukan berarti aku bisa minum kopi semanis ini. Buatlah lagi!”

Boss menaruh cangkir dengan sedikit kasar.

“Apa kau tidak mencicipinya terlebih dahulu, Kinan?” Tanya Nuri ikut menimpali. Kinan hanya diam menahan kesal di hatinya.

Haisssh!

“Maaf Boss, saya akan menggantinya”

Dan Kinan mengucapkan kalimat itu berulang kali di hadapan Radit. Hingga cangkir kedelapan belas, Radit masih saja terus mengucapkan kata, Buatlah lagi!. Dari pagi hingga siang, dia hanya menghabiskan waktu untuk membuat kopi.

...***...

KESALAHAN FATAL

Kinan sama sekali tidak bernafsu untuk sarapan. Nasi goreng diatas piring hanya diaduk-aduk dengan geram dari tadi. Nenek, Shan dan Kak Bima hanya melihatnya dengan wajah bingung. Matanya berulang kali menyipit dan giginya menggigit gemas.

“Aaaaaahhhhhhhh!!!!!!! Aku tidak mau bekerja. Boss baru itu menyiksaku. Membuatku malu. Kalau dia bukan CEO, pasti sudah ku hajar”

Kinan berteriak dengan keras di meja makan. Yang lain hanya bisa menutup telinga karena pekikan Kinan mendengungkan gendang telinga.

“Sabarlah! Mungkin kopimu memang tidak enak, hingga kau harus mengulangnya sampai 18 kali”

Nenek mencoba menenangkan cucu perempuannya itu. Shan mengangguk membenarkan kata-kata Nenek. Sedang Bima hanya tertawa dengan keras.

“Tidak ada yang lucu untuk ditertawakan Kak! Seumur hidup, selama bertahun-tahun aku membuat kopi, baru kali ini aku mengulanginya hingga delapan belas kali. DELAPAN BELAS KALI. Ini penghinaan yang luar biasa.”

Kinan menancapkan garpu di meja dengan keras. Semua orang di meja makan melihat ekspresi berlebihan itu dengan gelengan kepala. Sarapan kali ini ditutup dengan amukan Kinan yang menyala-nyala.

Shan berjalan menuju sekolah dengan Ibunya. Masih tergambar jelas raut kemarahan di wajah Kinan. Shan merasa kondisi psikologi Ibunya yang seperti ini sangat berbahaya. Shan sangat mengerti sifat ibunya. Semakin Ibunya marah, dia akan semakin bertingkah konyol dan memalukan. Hari ini ketika Kinan mengantarnya ke sekolah, Shan berharap Ibunya tidak melakukan hal apapun yang diatas normal.

“Shan sayang, kau belajar yang rajin ya?” Pesan Kinan sambil berjongkok memeluk Shan sesampainya di depan gerbang sekolah.

“Ya Bu, sekarang lepaskan pelukanmu, aku punya reputasi di sekolah ini” bisik Shan ditelinga Kinan.

Kinan melepaskan pelukan dengan kerut di keningnya. Reputasi? Kinan berpikir beberapa saat. Siapa yang mengajarkan bahasa seperti itu?

“Oh, ya Tuhan! Anakku yang tampan ini ternyata punya banyak fans” pekik Kinan tanpa sadar.

Suaranya yang keras membuat beberapa anak yang masuk gerbang menoleh. Beberapa diantaranya tertawa kecil. Shan hanya menahan perasaan malu agar wajahnya tak semakin memerah.

“Baiklah, aku masuk. Ibu pergilah!”

Shan berlari menjauhi Ibunya dengan diiringi tawa teman-temannya. Langkahnya terhenti mendengar teriakan ibunya yang kedua

“Ken Shanju yang ganteng dan pintar, Semangat belajar ya! Ibu mencintaimu!”

Shan menoleh kebelakang, Kinan membentangkan tangannya keatas, membentuk pola hati. Shan menarik nafas panjang, Ia sudah mengira kalau Ibunya akan bertingkah seperti itu.

Aku tak pernah menjumpai orang tua lain berteriak seperti itu di depan gerbang sekolah. Kalau bukan Ibu, siapa lagi? Pikir Shan.

...***...

“APA???? Kau menumpahkan kopi di meja Pak Radit? Dan mengenai Laptopnya?”

Bang Miko terkejut mendengar cerita Kinan. Dan yang bercerita hanya bisa mengangguk dengan menahan tangis di pojok pantry.

“Bagaimana bisa? Aduh!! Tamat sudah riwayatmu Kinan”

“Bang, aku tadi tidak sengaja. Aku memegang cangkir terlalu miring. Laptop dan beberapa berkas yang ada di atas meja terkena kopi. Aku di marahi besar-besaran. Hingga beberapa karyawan melihat ke ruangan Boss. Akhirnya aku dapat Surat peringatan. Gara-gara aku, Pantry jadi kena marah”

Bang Miko menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Dalam hati dia tidak tega melihat Kinan yang menangis seperti itu. Namanya sudah buruk dimata Boss, dengan kejadian seperti ini akan semakin memperdalam kesan buruknya.

“Ya sudah. Lain kali kau harus berhati-hati. Boss kita tidak seperti dulu, kita tidak boleh lagi membuat kesalahan. Sedikitpun tidak. Dia sudah tidak suka dengan karyawan pantry sejak awal. Secara personal, dia memang sedang bersiap-siap menerkam kita.”

Beberapa orang di pantry mengangguk. Kinan yang merasa bersalah, meminta maaf kepada mereka satu persatu.

“Kinan, nanti sepulang kantor, kau bersihkan ruangan Boss. Tadi kulihat banyak orang keluar masuk ruangannya dan pot bunga yang ada disebelah lemari sebaiknya kau pindah, Boss bilang ia tidak suka ada bunga di ruangannya”

“Baik Bang!”

...***...

Pukul 17.30.

Semua karyawan sudah pulang. Kinan mematikan AC satu persatu. Mematikan lampu yang tidak perlu. Tidak ada yang lembur hari ini. Kantor begitu sepi kalau begini. Kadang Kinan merasa takut jika berjalan sendirian. Biasanya security akan mengecek lagi, namun sore ini sepertinya mereka belum berkeliling.

Terakhir yang belum ia lihat adalah ruangan Raditya. Malas juga untuk masuk ke ruangannya. Kinan membuka pintu, sepi. Sudah pulang rupanya. Ruangan ini sekarang sangat menyeramkan dan sangat dingin. Dulu waktu Pak Bastian yang disini, ruangan lebih terasa menyenangkan dan begitu hangat. Sekarang Kinan serasa lebih baik masuk ke sebuah pemakaman umum daripada ruangan CEO.

Kinan membersihkan kursi empuk berwarna hitam milik Boss. Seumur hidup belum pernah ia mendudukinya. Kinan melihat kiri kanan, tidak ada orang sama sekali, aku bisa mencoba duduk diatasnya, pikir Kinan.

Dalam imajinasinya, Kinan membayangkan jika ia yang menjadi Presdir dan Raditya yang menjadi OB. Akan lucu rasanya membayangkan wajah dingin dan congkak itu menjadi wajah ketakutan. Akan kusuruh dia membuat kopi dari pagi hingga sore. Hahaha…

Tidak berselang lama ia duduk di kursi Presdir, tiba-tiba terdengar suara orang membuka pintu. Panik, Kinan langsung bersembunyi di bawah meja.

Bodoh! Seharusnya aku berdiri saja. Tidak bersembunyi seperti ini. Kalau ditanya sedang apa, aku bisa menjawab sedang membersihkan ruangan. Aduh! Kenapa aku bodoh sekali hari ini?

Nuri dan Radit duduk di sofa panjang. Kinan bisa langsung bisa mengetahuinya dari suara mereka. Beberapa kali Nuri tertawa kecil.

“Kenapa kau mengajakku kembali ke kantor?”

“Kantor sudah sepi, semua karyawan sudah pulang. Bicara berdua seperti ini lebih terasa dekat, Radit! Rasanya seperti kembali mengulang masa lalu”

Wah! Bu Nuri memanggil Bos dengan hanya nama Radit. Mereka pasti sudah kenal dekat sebelumnya. Mengulang masa lalu??? Apa artinya?

Kinan mengintip dari celah kecil dibawah meja. Nuri dan Radit duduk sangat dekat sekali. Pikiran Kinan semakin tak tentu. Pasti ada sesuatu yang terjadi diantara mereka. Nuri semakin mendekat ke tubuh Radit. Sebenarnya Radit sedikit risih dengan sikap Nuri, ia takut ada yang melihat.

“Kenapa kau menghindar? Apa kau tidak merindukanku? Beberapa tahun di Amerika, kau tidak pernah menghubungiku. Keluarga kita sudah bicara serius tentang hubungan kita. Kalau kau menyukaiku, buktikan sekarang”

“Buktikan apa?”

Radit menyerngitkan dahi. Nuri memandangnya lekat-lekat sembari mencondongkan tubuhnya ke arah Raditya.

“Jangan pura-pura lugu Radit. Cium aku!”

Radit terkejut. Kinan yang melihatnya pun hanya bisa melongo. Dia tak percaya kalau Bu Nuri, Manajer keuangan yang cantik dan sangat berkelas mengucapkan kata-kata seperti itu. Beberapa kali di dekati karyawan laki-laki dibalasnya dengan dingin. Saat ini, dengan Radit, dia bertekuk lutut minta dicium.

Murahan sekali dia ternyata, tapi bisa kupahami, siapa yang tidak ingin mendekati CEO tampan seperti Boss, gumam Kinan.

“Tapi…..” Radit belum selesai bicara tapi wajah Nuri sudah semakin mendekat. Belum sempat terjadi apa-apa, tiba-tiba terdengar suara ajaib dari dalam ruangan.

tuuuuuuuuuutttt

“Kau kentut ya?” Tanya Radit sambil menahan badan Nuri yang sedikit condong kearahnya.

“Tidak! Mana mungkin?” Nuri menarik diri dengan kesal. Gagal usahanya untuk dapat ciuman Raditya.

Kinan menggigit kepalan tangannya, keringat dingin menetes membasahi dahinya. Kenapa kentutmu keras sekali ketika pertunjukan akan dimulai? Dasar bodoh! Ini pasti ketahuan. Mati aku!

"Lalu darimana suara itu?" ujar Radit penasaran.

Radit lalu menghampiri meja. Sumber suara ajaib itu pasti berasal dari sini. Radit melihat kolong meja dan terkejut ketika mendapati Kinan mendongakkan kepala sembari tersenyum kearahnya. Radit hanya diam. Nuri yang menyusul dibelakangnya terkejut bukan main.

“Kau..kau..kenapa ada disini? Kau mencoba mengintip kami?” Tanya Nuri dengan suara meninggi. Kinan yang terpergok bersembunyi hanya bisa tersenyum sambil berdiri perlahan.

“Maaf Boss, Maaf Bu Nuri, saya tadi hanya membersihkan ruangan. Tapi..tapi..tapi saya tidak melihat apa-apa. Sungguh. Saya hanya membersihkan debu dibawah meja. Ini buktinya!” Kinan menunjukkan telapak tangannya yang kotor menghitam karena debu.

Nuri mendesis geram. Kinan yang melihat ekspresi seperti itu memilih untuk kabur sambil terus membungkuk meminta maaf. Radit masih membisu melihat Kinan. Sikap dingin seperti itu sangat sulit diartikan. Dalam hati, Kinan mencoba untuk menguatkan diri.

Tenang Kinan, besok pasti tidak akan terjadi apa-apa? Kau tidak akan dipecat. Tenang …tenang….tenang…

...***...

Esok harinya,

“Huaaaaaa….AKU DIPECAT!!”

Kinan menangis sejadi-jadinya. Seisi Pantry ikut panik. Bang Miko mengambilkannya air putih. Beberapa OB menatap dengan iba. Seperti sudah diprediksikan sebelumnya. Boss baru tidak suka dengan Kinan.

“Tadi bagian HRD memanggilku lalu memberiku uang 3 kali gaji, aku bertanya untuk apa, dan mereka bilang aku diberhentikan. Mereka tidak memberikan alasan kenapa, hanya saja mereka bilang kinerjaku sangat tidak disukai Boss”

“Ini sungguh keterlaluan. Alasan pemecatan mu sangat tidak masuk akal. Kita benar-benar ditindas” Bang Miko berteriak lantang seperti orator demonstrasi. Kinan dan yang lainnya mengangguk dengan mantap.

“Harus ada yang berani menentang ketidakadilan ini. Ini negara demokrasi, Bung! Rakyat kecil seperti kita juga punya hak untuk merdeka” Bang Miko mengepalkan tangan dengan pandangan yang berapi-api. Seisi ruangan bertepuk tangan dengan riuh.

Kinan yang sempat putus asa, kembali menenggak seteguk semangat yang dibawa teman-temannya. Ini baru namanya solidaritas.

“Lalu apa yang bisa kita lakukan Bang Mik?” Tanya seorang OB. Semua orang menunggu jawaban dari Bang Miko dengan bersungguh-sungguh. Bang Miko melihat mereka satu-persatu. Tangannya yang mengepal itu lalu terjatuh lesu.

“Aku juga tidak tahu, bisa-bisa kita juga dipecat masal sama Boss”

“Yah…!” Seisi pantry mendesah lemas. Kinan kembali tertunduk lesu. Mati sudah harapannya. Semangat Bang Miko yang berapi-api padam dengan sendirinya.

“Baiklah sampai disini, aku minta maaf pada kalian semua jika ketika aku disini banyak sekali merepotkan. Aku juga berterima kasih atas segala perhatian kalian semua. Di pantry ini, seperti hidup dalam keluarga yang menyenangkan. Tapi aku harus pergi, dan kalian tidak perlu sedih atas kepergian ku. Meskipun hanya seorang pesuruh, aku akan tetap mendongakkan kepala keluar dengan harga diri.”

Bang Miko menangis ketika Kinan mengambil tas dari loker. Badannya yang besar itu ternyata masih punya hati untuk mengeluarkan air mata. Kinan memeluknya dengan erat. Bahkan Kak Bima pun tidak pernah menangisi ku, ucap Kinan dalam hati.

Dengan segenap kekuatan hati yang tersisa, Kinan memberanikan diri menemui Raditya. Kinan harus membuat klarifikasi. Kinan harus bertemu dengan Radit untuk yang terakhir kalinya.

...***...

Setelah melihat Kinan masuk ruangannya, ekspresi pertama yang diperlihatkan Raditya adalah menyerngitkan dahi. Kinan duduk di kursi tepat di depan meja Radit. Ia lalu mengambil cangkir kopi Radit dan meminum kopinya sampai habis. Kinan lalu melihat bosnya dengan sinis.

Apa yang dilakukan wanita ini? ada apa dengannya?

Raditya masih terdiam menunggu apa yang akan dikatakan oleh Kinan. Wanita berambut panjang itu hanya duduk diam di depan meja Raditya dengan tatapan mengerikan. Namun Radit masih santai melihatnya.

“Aku mengerti kau punya 100% hak untuk memecat ku seperti ini. Tapi aku tidak pernah bisa mengerti bagaimana cara berpikir mu. Apa hanya gara-gara aku memergoki kalian berduaan kemarin, lantas dengan seenaknya kau memecat ku? Kau sangat tidak professional.”

Kening Radit kembali mengerut. Kinan menggebrak meja lalu berdiri dengan congkak. Telunjuk tangannya mengarah lurus ke arah hidung Radit.

“Kenapa kau tak memecat dirimu sendiri sebelum memecat ku, Raditya Abhimanyu?”

“Siapa yang memecat mu? Dan kenapa aku memecat harus diriku sendiri?” Raditya nampaknya masih belum mengerti dengan apa yang terjadi.

Kinan mencondongkan badan dan menarik kerah baju Raditya. Raditya hanya bisa terdiam melihat Kinan dengan penuh tanda tanya. Wanita ini semakin aneh, pikirnya. Gayanya sok preman kampung yang menakuti anak kecil.

Dengan sedikit memicingkan mata, Kinan bicara dengan pelan, “Kau bilang tidak ada yang boleh mempunyai hubungan khusus di kantormu. Dan apa yang kau lakukan dengan Bu Nuri kemarin sungguh tidak sesuai dengan omongan mu sendiri. Kalau aku tidak kentut, kalian pasti sudah melakukan hal tidak senonoh didalam kantor”

Radit tersenyum geli mendengarnya. Dia teringat suara kentut Kinan yang menggelikan.

Pintu tiba-tiba terbuka. Dengan masih dalam posisi yang sama, mereka menoleh ke arah pintu. Nuri yang terkejut melihat apa yang dilihatnya spontan berteriak dengan keras,

“SECURITY!!!!!!”

...***...

KEBETULAN

Kinan menutup Koran dengan lemas. Nenek dan Bima yang sedari tadi melihatnya hanya bisa bergumam dalam hati. Baiklah, kita hitung mundur, 3…2…1…

“Aaaaaaaaaaarrggghhhh…. Kenapa sulit sekali cari kerja” Kinan berteriak dengan keras. Itulah yang terjadi. Nenek dan Bima serentak menutup telinga mereka.

“Sudah turunkan tangan kalian. Tidak sopan. Ada orang bicara malah menutup telinga” Kinan menggerutu kesal.

“Kau itu berteriak bukan bicara. Sebagai wanita ada baiknya kau rubah sifatmu yang suka teriak-teriak seperti itu. Kekanak-kanakan!” Ungkap Bima kesal.

“Aku kan hanya sedang kesal, Kak” jawab adiknya dengan kepala tertunduk lesu. Beberapa helai rambutnya jatuh menutupi wajah.

"Coba kau cari di internet. Kau ikut itu banyak situs pencarian kerja. Sekarang jarang sekali orang pasang lowongan kerja di koran."

"Kau tahu Kak, ponselku ini rusak. Sudah tiga hari ini aku tidak bisa menghubungi siapa-siapa. Kau mau membelikan ku ponsel baru?"

Bima terdiam sejenak, lalu menimpali "Aku akan coba berhutang pada bosku, nanti akan kubelikan"

"Tidak perlu! Aku masih belum membutuhkan ponsel"

Dua minggu menjadi pengangguran membuat Kinan stress. Dia harus menghidupi dan membiayai sekolah Shanju. Kalau tidak bekerja lalu dapat uang darimana? Wanita 29 tahun, status janda, wajah pas-pasan, lulusan SMK Tata Boga, pekerjaan terakhir Office Girl (tambahan: Dipecat) dan punya seorang anak laki-laki yang bersekolah di SD (Masa depannya masih sangat panjang). Wah.. Kepala Kinan seolah mau pecah memikirkannya.

“Kalau memang tidak ada lowongan, kau buka usaha saja”

Kinan melirik ke arah Nenek.

“Usaha apa? Jangan bilang, aku harus meneruskan usaha kedai mie punya Kakek”

Nenek tersenyum sambil mengangguk cepat. Wajah Kinan kembali tertunduk. Jawaban yang tidak ia harapkan.

“Aku rasa ide Nenek boleh juga. Kau pandai memasak kalau kembali meneruskan kedai, bukankan itu peluang yang cukup bagus?”

“Tapi Kak, kedai itu sekarang kan sedang ku sewakan. Lagipula banyak pedagang makanan di sekitar kedai kita. Pesaingnya banyak sekali”

“Kau bilang pada penyewa kalau mulai awal bulan nanti, kau tidak lagi menyewakannya. Lagipula kulihat juga tokonya sering tutup. Jangan khawatir tentang pesaing. Tempat kedai kita kan di dekat jalan, sudah banyak perkantoran dan sekolah, jadi pasti akan ada banyak konsumen disana.”

“Membuka usaha juga butuh modal. Gaji 3bulan ku saja tidak cukup untuk merehab kedai dan beli bahan. Aku dapat uang darimana?”

“Aku ada sedikit tabungan kalau kau mau”

Kinan melihat kakaknya dengan serius. Lalu melirik ke arah Nenek yang sedang berpikir.

“Kau bisa jual kalungku, kalau masih belum cukup, kita bisa pinjam saudara beberapa. Bagaimana?” Kinan melihat sayu Neneknya. Kemudian menggeleng perlahan.

“Itu kalung dari Kakek, Aku tidak mau menjualnya”

...***...

Radit menghempaskan badannya ke sofa. Ibu Merliana dengan penuh kasih sayang mengelap keringat di kening anak laki-lakinya itu. Radit yang kepayahan hanya bisa diam diperlakukan seperti itu oleh Ibunya.

“Kau ini sudah berusia 30 tahun masih saja bertingkah seperti anak kecil.”

Radit bangkit mengambil orange juice yang ada di meja. Selepas jogging, paling enak minum yang segar-segar. Hari ini Radit jogging lebih lama dari hari biasa. Maklum, ini hari minggu. Dia tak perlu berpacu dengan waktu untuk berangkat ke kantor. Jogging adalah hal yang tidak bisa dilepaskan Radit setiap hari.

“Ibu sudah bicara dengan ibunya Nuri. Bagaimana kalau hubungan kalian diresmikan secepatnya? Kalian akan bertunangan”

Air jeruk di mulut Radit hampir saja keluar ketika ia mendengar ibunya bicara tentang pertunangan. Segera ia menatap ibunya dengan raut tidak suka.

“Ibu tidak suka kalau kau menyerngitkan dahi seperti itu. Sampai kapan kau akan dingin kepada Nuri. Ayolah! Bukalah hatimu padanya. Bukankah kalian sudah berteman sejak sekolah dulu. Nuri itu gadis yang cantik, anggun, dan sangat serasi denganmu. Keluarganya juga sudah sangat baik dengan kita, Nak"

"Tahu begini aku tidak mau pulang dari Amerika" seloroh Radit dengan cueknya.

"Lalu kalau kau tak mau pulang siapa yang akan menggantikan ayahmu?"

Raditya menghela nafas. Dia tak mau berdebat lagi dengan ibunya.

"O ya, Nanti siang antar ibu ke pertokoan emas di pinggir kota itu ya?”

“Mau apa? Beli emas di Mall dekat sini kan bisa?” Tanya Radit dengan malas.

“Ibu mau pesan cincin untuk Nuri. Kudengar toko-toko emas di pinggir kota sangat terkenal dengan emasnya yang bagus. Banyak pengrajin emas yang berkualitas disana, kalau beli disini tidak ada yang istimewa. Aku ingin sesuatu yang baru, yang lebih tradisional”

Radit hanya menggeleng dan meninggalkan Ibunya yang sedang tersenyum bahagia.

...***...

Orang-orang hilir mudik dengan berisik. Beberapa tampak asyik melihat emas dalam etalase. Pertokoan emas disini lebih ramai daripada yang ada di Mall. Kelihatanya pun semua orang bebas masuk dan keluar melihat-lihat toko. Permata Indah, Gajah Emas, Surya Naga, Kilau Berkah dan yang lainnya adalah beberapa nama toko yang berjejer di sepanjang area pertokoan pinggir kota.

Tidak ada satupun nama yang mencantumkan kata Gold, Jewel, Diamond atau yang biasa lazim dipakai gerai emas di Mall besar. Para pramuniaga pun berbusana sangat sederhana, ada yang seragam ada yang tidak. Senyum mereka ramah menyapa kepada siapapun yang masuk ke toko mereka.

Radit duduk menunggu Bu Merliana yang sedang sibuk berbicara dengan salah satu pegawai toko emas. Sesaat kemudian Ibunya datang menghampiri dengan senyumannya yang khas. “Aku akan masuk ke tempat pembuatannya, aku ingin langsung bicara pada pengrajinnya. Pegawainya mau mengantarku ke dalam, kau mau ikut?”

Radit menggeleng. “Aku tunggu disini, Ibu masuklah!”

“Lalu bagaimana dengan modelnya, kau tak ingin ikut mendesainnya?”

Bu Mer hanya manyun melihat anaknya yang menggelengkan kepala untuk kedua kalinya. Ya sudah kalau begitu!

Radit asyik memainkan game di ponselnya. Tapi tak berselang lama, aktivitasnya agak terganggu ketika hidungnya mencium aroma yang aneh. Bau minyak kayu putih. Radit menoleh ke arah nenek yang duduk tepat disampingnya. Pantas saja, gumamnya dalam hati.

Sebenarnya dia tidak ingin sok dekat dengan orang lain yang tidak dikenalnya, tapi dari tadi nenek tua itu menunduk sambil sesekali terisak. Ayolah Radit, gunakan perasaanmu!

“Nenek, kenapa?” tanyanya sangat pelan.

Wanita tua itu melihat Radit dengan menyipitkan mata. Mencondongkan diri lalu menjauh. Kemudian kembali mendekat. Radit yang tak paham dengan tingkah si nenek hanya bisa diam menunggu jawaban. Nenek itu kemudian membuka tasnya dan mengeluarkan kacamata. Dipakainya dengan perlahan.

Sesaat kemudian nenek itu tertawa lebar sambil menepuk pipi Radit dengan halus.

“Benar kata cucuku, dengan memakai kacamata ini aku bisa melihat laki-laki tampan dengan jelas , kalau begitu aku akan memakainya setiap hari”

Radit memasang senyum terpaksa. Menyesal juga bertanya seperti tadi.

“Nenek sedang apa? Kenapa tadi begitu sedih?” Radit melepaskan tangan wanita tua itu -yang masih menempel di pipinya- dengan hati-hati. Pemandangan ini sangat tidak lucu kalau dilihat orang-orang. Kesannya seperti laki-laki muda bermesraan dengan nenek tua di tempat umum.

“Aku hendak menjual emas, tapi mereka menolak membeli karena aku tidak punya surat pembeliannya. Kalaupun mau, mereka menawarnya terlalu rendah. Padahal aku sangat membutuhkan uang saat ini” wajah nenek itu terlihat sangat menyedihkan.

“Apa kau mau membelinya, anak muda?”. Belum sempat Radit menjawab, nenek itu mengeluarkan sebuah kalung dari dalam tasnya. Lalu menyerahkan kepada Radit.

“Coba kau rasakan, ini cukup berat bukan? Aku jamin ini asli, nyawaku sebagai garansinya. Ini hadiah dari suamiku sebelum ia meninggal. Aku sangat menyukainya namun Cucuku membutuhkan uang untuk memulai usahanya. Jadi kumohon bantulah nenek tua ini ya?”

Raditya terdiam, hatinya tidak tega melihat wajah nenek tua itu. Ada kejujuran dibalik raut mukanya. Namun, buat apa ia membeli sebuah kalung emas?

...***...

Semua orang memasang ekspresi yang sama, cemas. Nenek hilang dari tadi siang. Dan hingga sore begini, Nenek belum pulang. Kinan melihat jam dinding ruang tengah, jarum pendek menunjuk Angka 3.

Kemana orang ini? kalau mau pergi jalan-jalan harusnya pamit terlebih dahulu.

Kecemasan merekapun akhirnya sirna dengan munculnya sosok nenek yang membuka pintu ruang tamu. Kinan, Shan dan Bima menarik nafas lega.

“Eh, kalian sudah berkumpul disini. Seharusnya tidak perlu repot-repot menungguku seperti itu” Nenek duduk bersila di karpet bergabung dengan mereka. wajahnya tampak sangat ceria dan lain dari biasanya.

“Kenapa Nenek gembira seperti ini? sebenarnya Nenek darimana?”

“Aku baru saja berkencan dengan laki-laki muda yang sangat tampan. Badannya tinggi, rambutnya rapi dan sangat wangi. Dia juga sangat baik, dia membelikan ku makan siang dan mengantarku pulang. Ya Tuhan, hari ini aku merasa seperti berselingkuh dari Kakekmu”

Nenek tertawa kecil. Wajahnya terlihat sangat merah. Sedangkan dua cucu dan satu cicitnya hanya bisa diam melihat tingkahnya yang sedikit berlebihan.

“Apa Nenek sedang demam? Nenek tidak apa-apa?” Tanya Bima dengan cemas diikuti anggukan Kinan dan Shanju. Melihat wajah yang tidak percaya, Nenek membuka tas dan mengeluarkan setumpuk uang. Seisi ruangan hanya melongo melihatnya. Dan Nenek tersenyum puas melihat wajah-wajah seperti itu.

“Aku tadi menjual kalungku pada seorang pemuda tampan di pertokoan emas dekat pasar. Berkat paras cantik dan keahlian ku berakting, aku bisa menjual kalungku sebesar 10 Juta. Padahal sebenarnya tidak semahal itu kalau dijual. Hebat bukan?” Nenek memegang kedua pipinya sambil berkedip centil pada cucu-cucunya.

“Untuk apa Nenek menjual kalung peninggalan Kakek itu? dan siapa pemuda yang Nenek ceritakan?” Kinan menatap serius neneknya.

“Ini untuk buka kedai mie kita, Kinan sayang. Kakekmu akan jauh lebih senang kalau kau mau melanjutkan usahanya daripada melihatku menyimpan kalung itu. Sudahlah pakai saja uang ini untuk tambahan modal kedai mie kita. Bagaimana?” Nenek menatap Kinan dengan memohon. Shanju dan Bima pun ikut menatapnya.

“Baiklah..baiklah.. Kalau semua ingin aku melanjutkan kedai, aku akan melakukannya. Mulai bulan depan aku akan berjualan mie. Puas semuanya?”

Semua bertepuk tangan tanda setuju. Walau dalam hati Kinan agak dongkol karena terpaksa menyanggupinya.

“Aduh…aku lelah sekali, Nenek ke kamar dulu ya?"

“Nenek, tunggu! Nenek belum beritahu kami, siapa pemuda itu?” Nenek melihat wajah Kinan dengan serius.

“Kau iri ya denganku? Nenek baru saja berkencan dengan pemuda tampan dan kaya, kau sudah ingin tahu siapa dia. Sudahlah… besok-besok kalau bertemu lagi dengannya akan kukenalkan padamu”

Kinan hanya meringis tak percaya wanita 75 tahun itu bicara seperti gadis SMA. Waaa..sepertinya Nenek benar-benar demam.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!