NovelToon NovelToon

Hello, Again!

1. I'am Ahru

Kata orang, memulai itu sulit. Tapi kata Ahru, mempertahankan itu yang beribu kali lebih sulit.

"Ahru, bangun!"

Serasa ada speaker aktif dengan volume tinggi di samping gendang telinganya. Tuh kan, baru juga ngomong udah kejadian.

"Iya."

Dia Ahru. Cewek anti mainstream yang abstrak. Sifat dan karakternya itu campuran dari berbagai frekuensi yang dipaksakan dalam satu garis. Seperti gado-gado, campur-campur, protein hewani dan nabati jadi satu satu piring dan tersaji lezat. Tapi sayangnya Ahru bukan gado-gado. Dia lebih tampak seperti soto campur bubur campur pecel, dalam satu mangkuk. Enggak punya korelasi antara makanan favorit, genre lagu, fashion style, dan perilaku. Cewek paling sulit di tebak.

Huftt

Tiupnya kasar pada anak rambut yang menutupi wajah. Bangun pagi sama sekali bukan hobi Ahru. Dia kira setelah jam wekernya habis baterai, dia bisa bangun siang, rupanya batin hanya menjadi sekedar angan. Suara Ayahnya sepuluh kali lipat jauh lebih manjur.

Srett

Dengan mata masih agak tertutup, tangannya menarik handuk bersih di dalam almarinya, lalu telunjuknya menekan tombol pada speaker musik yang tak pernah beranjak di atas nakasnya.

Click

Fly me to the moon

Let me play up there with those stars

Let me see what life is like

On a-Jupiter and Mars

In other words, hold my hand

In other words, darling, kiss me

Fill my heart with song

Let me swing for evermore

You are all I long for

All I worship and adore

In other words, please be true

In other words, I love you

Mandi paginya jadi lebih bersemangat. Mata yang semula hanya terbuka setengah, kini sudah terbuka sempurna. Sesempurna dinginnya air yang membuat tubuhnya bergetar.

Lain kali, kayaknya Ahru harus mengganti jam wekernya dengan fly me to the moon-nya Frank Sinatra. Lebih asik, lebih enjoy, enggak bikin deg-degan karena kaget.

Bisa dibilang untuk selera musik, Ahru ikut ayahnya yang jazz dan klasik banget. Termasuk fly me to the moon ini, hasil curi dengarnya dari radio portabel Ayahnya pas lagi baca koran. Kelihatan asik gitu, jadi ketularan. Fisiknya, ikut Almarhumah Mamanya yang cenderung sawo matang. Sementara kelakuan, dia ikut kakaknya, Kak Reno. Dari cerita-cerita yang sering dia dengar, kakaknya dulu waktu SMA sering bolos, sering telat, sering hormat bendera. Tapi Ahru tak pernah langsung menanyakannya pada kak Reno, karena dia selalu bilang,

"Itu karena Kak Reno terlalu cinta Indonesia."

Cih, alibi.

Satu-satunya yang menjadi jati dirinya dan enggak ikut-ikutan adalah fakta bahwa dia penggila kerupuk blek. Kerupuk putih yang bentuknya bergaris tak karuan. Yang karena kerupuk blek itulah, dia memiliki keinginan mulia. Menemukan ujung awal dan akhir garis kerupuk blek. Hidupnya tidak lengkap tanpa jenis kerupuk satu itu. Kerupuk blek is her life.

"Ayah akan ke Surabaya dua Minggu, kamu hati-hati di rumah." Ayah Ahru menyuap nasi gorengnya.

"Bosen lah Yah," cemberut Ahru. Dia paling tidak bisa sendirian, "Gimana kalau Ahru ikut Ayah, kesana?" Ahru berkedip-kedip antusias.

"Enggak! Kamu itu sudah keseringan bolos. Mau jadi apa kamu kalau enggak lulus."

Mati kutu. Dari aura yang terpancar dari seluruh tubuh ayahnya, dari ujung kepala sampai ujung jempol, bisa terbaca bahwa Ayahnya dalam mode tidak bisa dilawan.

"Jangan kayak kakakmu, backpacker-an terus, kuliah enggak lulus,lulus."

Kakaknya adalah bahasan yang tiada ujungnya. Dari topik A berganti ke topik B, topik B ke topik C, mulus, tahu-tahu sampai topik Z. Dia hanya bisa berserah.

Ingin Ahru tangannya ngapurancang rapi di atas meja makan, tapi apalah daya ekor matanya menemukan blek warna biru kesayangannya. Perhatiannya mulai terbagi. Lipatan tangannya mulai melonggar, dan merangkak menyusuri tepian meja, mengendap-endap.

Ayah Ahru masih dengan mata fokus pada nasi goreng di piringnya, "Kalau kamu enggak dengerin kata Ayah, jangan harap dapat jatah kerupuk blek, lagi."

Srett

"Siap."

Ahru reflek bergerak cepat memberikan hormat pada Ayahnya. Dia tidak bisa membayangkan sehari tanpa kerupuk jenis satu itu. Hidupnya pasti akan terasa hampa. Dia lebih rela pulang pergi naik angkot daripada harus kehilangan blek birunya.

"Besok, kakakmu sudah balik dari Lombok, khusus hari ini kamu boleh nginep di tempat temen kamu."

Ini dia yang di tunggu-tunggu. Dia berlari ke arah belakang Ayahnya lalu memeluknya erat.

"Terima kasih Ayahku tercinta." Ahru memeluk Ayahnya dari belakang.

SMA Bimasakti 2

Ahru menoleh jam tangan hitam sport di pergelangan tangan kirinya. Pukul 06.50. Siswa-siswi berseragam abu-abu putih berlarian memasuki halaman gerbang sekolah, melewati jajaran beberapa guru dan anggota OSIS yang sedang tugas pagi. Setelah berhasil memarkirkan mobilnya, dia menarik tasnya malas.

"Ini sih namanya rekor. Seumur-umur baru kali ini gue berangkat pagi." Dia kecewa.

Pagi ini Ahru terlalu bersemangat. Baginya ini masih terlalu pagi, meski tidak untuk siswa-siswi lain. Gerbang ditutup pukul 06.55, hanya kurang 5 menit lagi. Wajar, setiap hari Ahru langganan telat. OSIS, para guru, dan BK, sudah hapal. Ahru nyaris setiap hari melewatkan jam pertamanya. Justru akan terlihat tidak wajar jika Ahru lewat gerbang depan. Karena kebiasaan menyelinap ya itulah, dia juga sering dapat julukan siswi ghaib.

"Mehru! Cepat masuk!"

Mehru, panggilan untuk Ahru yang sering keluar dari Pak Jamal, Guru BK kesayangannya. Guru pertama yang hafal dengan namanya.

Pak Jamal bolak-balik melirik jam tangannya. "Kamu dapat hidayah?"

Ahru langsung menyesali kedatangannya. Seharusnya dia tadi mampir dulu di warungnya Cak Mad. Lumayan bisa makan tahu isi lima biji.

"Sudah, sana masuk."

Ahru melenggang ke arah kelasnya. Mood yang sebelumnya berantakan, sekarang mulai merangkak naik ke level tertinggi. Apalagi kalau bukan sambutan hangat dari Kiet dan Tami, dua teman terbaik yang pernah Ahru miliki sejak masuk SMA.

Mereka bertiga punya sifat dan karakter yang beda-beda, satu-satunya kesamaan mereka adalah anti jaim. Kiet, gadis paling pinter di antara mereka bertiga, paling rajin di kelas nomer tiga dari bawah, ceria, tidak pelit, dan pengertian. Sementara Tami, cewek paling tomboy di antara mereka, penyuka bola, dan stand up comedy. Prinsipnya, hidup dibikin ketawa aja.

"Enggak nyangka gue, ketemu Lo sepagi ini." Kiet tampak heran.

"Hooh, biasanya juga masih molor." Setuju Tami, dengan kata 'Hooh' andalannya.

"Rada nyesel juga gue berangkat kepagian."

"Cuma Lo yang berani bilang ini kepagian."

Sudah menjadi rahasia publik, cewek bernama lengkap Mehru Faiqa ini memang sudah terkenal dengan malas sekolah. Eh, terkenal? Sepertinya bukan kata yang tepat. Mereka bertiga bukan tipe siswi famous yang jadi mostwanted. Mereka hanya sekumpulan siswi dengan nilai di bawah rata-rata yang rajin bolos, terutama Ahru. Nakal, tapi bukan tukang bully. Mereka cuma ingin jadi siswi santai yang enggak berurusan dengan banyak orang, waktu mereka terlalu berharga. Tetapi bukan berarti mereka ini penakut, enggak ada ceritanya. Apalagi Ahru, dia bolak-balik ruang BK udah kayak keluar masuk WC, lancar.

"Jelas dong, Ahru."

"Ih, sombongnya lancar ya, Bun." Ejek Kiet dengan nada genitnya.

"Kayak emak-emak rumpi Lo."

"Udah ah, yuk kelas." Ajak Tami yang merangkul kedua temannya.

TBC..

2. Kehebohan Bimasakti

Suara bel istirahat membuyarkan rasa kantuk Ahru. Matanya berbinar semangat ingin segera pergi ke kantin --mengisi ulang daya. Sebagian siswa ada yang masih enggan beranjak dari kursi dan memilih untuk meneruskan belajarnya, sebagian lagi sudah ada yang berlarian keluar kelas dengan berbagai tujuan, apel pacar, perpustakaan, koperasi, dan kantin.

Dari pengawasan diam-diam yang dilakukan Ahru, kantin masih menjadi destinasi tertinggi yang mampu menarik minat siswa. Berbagai macam ocehan, tingkah, dan menu, membuat siswa-siswi betah bahkan sampai rela mengantri. Sampai detik ini, pesona kantin belum ada yang menandingi.

"Kantin, yuk!" Kiet dengan wajah lesunya sudah mengeluarkan ekspresi melas.

"Yuk."

"Tunggu!"

Ahru mengeluarkan bandana paisley warna biru dari dalam tasnya. Tangannya melipat dan menyatukan ujung dengan ujung membentuk segitiga sebelum melipatnya lebih kecil lagi. Rambutnya yang panjang ia sisihkan, lalu dengan ahlinya tangannya mengikatkan bandana di kepalanya dengan gaya pin up. Tak lupa kedua ujung kecilnya ia sisipkan agar lebih rapi dan terkesan simple.

"Kalau gue pikir-pikir, hari ini Lo cantik banget, Ru." Ujar Kiet yang duduk memperhatikan.

"Dari dulu kali." Kekeh Ahru yang tak mau hanya dibilang cantik hari ini.

"Aura Lo memancar gitu." Mata Tami menyipit, "Jangan bilang, sekarang Lo mau cabut?" Tuduh Tami sambil menunjuk-nunjuk.

"Asal nuduh deh, Lo. Kan, barusan gue ngeiyain ajakan kalian ke kantin."

Ahru tak terima. Mentang-mentang dirinya rajin bolos, cerah sedikit dikira mau cabut. Kalaupun mau bolos, Ahru juga pikir-pikir. Dia tidak mungkin pergi dengan perut kosong. Tidak lucu kan, kalau pas manjat tembok jatuh gara-gara tubuh gemetaran lapar?

"Ini wajah cerah, enggak sabar ketemu kerupuk blek gue." Dia masih ingat bagaimana tangannya gagal mengambil kerupuk tadi pagi.

Sekeluarnya dari kelas mereka dikagetkan dengan kehebohan adanya murid baru. Nyaris di sepanjang koridor orang-orang membahas mereka dengan wajah antusias. Tak urungnya sesekali mereka berteriak histeris.

Kedatangan murid baru selalu menyita perhatian semua orang, tapi itu tidak akan lebih dari satu bulan, bahkan kurang. Setelah rasa penasaran orang-orang terpuaskan, si murid baru akan jatuh level menuju standar. Sayangnya meskipun begitu, topik murid baru tak pernah mampu menandingi teriakan lapar di area kantin. Sehingga bisa ditarik kesimpulan, tak ada yang mampu menandingi jatah perut.

Ahru dan kawan-kawan menuju meja ujung Utara paling pojok. Meja yang tidak akan pernah tertukar, karena khusus meja tempat kumpul mereka bertiga, ada blek biru kesayangan Ahru. Dia memang sudah mewanti-wanti pada salah satu penjaga stan untuk selalu menyediakan satu blek kerupuk putih itu di mejanya, takut kalau-kalau tidak kebagian.

Pernah satu waktu dia kehabisan, dan itu membuatnya uring-uringan tak jelas. Dia sampai hapal pada orang-orang yang makan pakai kerupuk hari itu, bahkan setelah dua tahun berlalu.

"Gila! Tadi aku ketemu si murid baru di koperasi, dia keren banget."

"Sayang banget dia anak IPA."

"Eh, tadi gue juga lihat. Keren abis! Damage-nya enggak main-main."

Kasak-kusuk cewek-cewek yang tak jauh, mengalihkan perhatian Ahru, Kiet dan Tami. Sedari tadi mereka bertiga hanya memperhatikan dan mendengarkan. Banyak sanjungan yang mereka dengar sejak keluar kelas. Nyaris semua berkomentar positif, hanya ada beberapa komentar negatif dari mulut cowok-cowok yang terdengar iri.

"Itu dia" tunjuk salah satu cewek berambut pendek yang sejak tadi bergosip.

Terdengar jeritan dan sorakan yang cukup ribut dan mengganggu pendengaran. Mereka bertiga mengikuti arah tunjuk cewek tadi, dan benar saja, beberapa cowok yang berjalan memasuki kantin tengah menjadi pusat perhatian. Tepatnya satu dari ketiga cowok itu, yang merupakan wajah baru di SMA Bimasakti 2.

Wajah cowok itu stay cool dengan sorot mata tak acuhnya. Tangannya menyugar poni depannya yang agak panjang, membuat pekikan cewek-cewek semakin tambah keras. Langkah cowok itu dan teman-temannya berhenti di salah satu meja di kantin sayap kanan --bagian selatan, tempat biasa anak-anak IPA berkumpul. Sesekali mata cowok itu menyapu seisi kantin, mengamati tanggapan orang-orang tentang kehadirannya, yang sebenarnya terlihat jelas bahwa cowok itu tidak peduli. Dia terlihat cuek yang benar-benar cuek dan bukan sok cuek.

"Dia yang dimaksud murid barunya?" Tami menoleh ke Ahru, mencari jawaban.

Ahru tidak berniat menanggapi pertanyaan maupun tatapan kedua temannya yang seakan melempar tatapan bingung melihatnya tampak tersenyum memperhatikan murid baru itu. Matanya terus mengamati gerak-gerik murid baru itu dengan raut mendamba, bukan ekspresi yang mudah keluar dari dirinya.

"Mulai hari ini, sekolah enggak akan membosankan. Pangeran gue udah dateng." gumam Ahru.

Dia masih terus memperhatikan murid baru itu, berharap mata mereka akan bersitatap seperti pada kebanyakan adegan film atau novel yang pernah dia baca. Tangannya memangku rahang kanannya dengan telunjuk mengetuk-ngetuk pipi, seakan ada melodi sebagai latar belakangnya.

"Kalian harus bantu gue!"

Mendengar ucapan Ahru, membuat Tami dan Kiet saling pandang tak percaya. Mata mereka saling melempar kode kebingungan.

"Lo yakin?"

"Lo sakit?" Kiet menempelkan tangan kirinya pada dahi Ahru, sementara tangan kanan dia taruh di dahinya sendiri, membandingkan. "Kayaknya panasan gue, deh."

Ahru berdecak kesal. "Ah, udah. Kalian pokoknya harus bantuin gue! Gak pake banyak tanya."

Kiet dan Tami hanya bisa menghela napas melihat temannya yang dengan intens kembali mengamati si murid baru itu.

***

Ahru sengaja tak langsung pulang dan memilih untuk berdiri di samping mobilnya dengan tangan bersedekap memperhatikan orang-orang yang berjalan ke arah keluar. Sudah dua puluh menit dia menunggu sosok yang sedang dielu-elukan oleh seisi Bimasakti. Mungkin cowok itu bukan terdaftar sebagai cowok paling ganteng se-Bimasakti, tapi kedatangannya cukup menarik atensi sebagian besar cewek. Soal ketampanan itu relatif, sesuai selera yang tidak bisa diukur dengan nilai.

Ganteng bagi gue, belum tentu ganteng buat Lo.

"Mau sampai kapan kita nungguin dia?" Tanya Tami sudah sangat bosan.

"Tunggu bentar lagi."

"Gue masih nggak percaya deh, Lo beneran mau ngejar dia?" Kiet masih sulit mencerna apa yang dilakukan sahabatnya saat ini.

"Banyak nanya deh, kalian. Udah ikutin aja." Ahru berdecak sebal.

"Iya, iya. Demi sahabat apa sih yang nggak."

"Gitu dong."

"Eh eh, tuh." Tami memberi kode.

Itu sih namanya, pucuk dicinta ulam pun tiba. Bukan hanya bisa melihat sosoknya, si doi terlihat berjalan ke arah mereka. Dia dengan beberapa temannya tengah berjalan memasuki area parkir.

Ahru dengan sengaja menegakkan tubuhnya lalu berjalan ke tengah, menghalangi kumpulan cowok-cowok yang sudah terlihat seperti geng itu. Padahal Ahru yakin, mereka hanya kumpulan teman sekelas yang pulang bareng.

Sesuai dengan rencana, keempat cowok itu berhenti dan menatapnya. Senyum manis Ahru berikan tanpa niat mengajak bicara terlebih dahulu.

"Minggir!" Ucap cowok itu pelan dengan nada sedikit mengintimidasi, sebelum berlalu meninggalkan senyum termanis di bibir Ahru.

"Eh.. sombong banget sih tuh orang." Kesal Tami.

"Acil, kok gitu sih temen Lo?" Kiet menarik tangan salah satu cowok.

Cowok bernama Acil itu hanya menghela napas ditinggal jalan oleh teman-temannya. "Kalau mau kenalan besok-besok aja deh, hari ini udah terlalu banyak yang ngajak kenalan dia. Capek."

"Gue juga cuma nanya doang kali." Kesal Kiet yang langsung mendapat lambaian tangan dari Acil.

"Lo juga, ngapain sih pake cara gini? Kayak cewek kegatelan tau nggak."

"Nggak apa-apa, baru permulaan, yang penting dia udah lihat wajah gue." Ahru mengeluarkan smirk-nya.

Hari pertama sudah membuatnya kesal setengah mampus. Respon yang ditunjukkan cewek-cewek padanya terlalu berlebihan, dia tidak suka. Niatnya pindah adalah untuk memulai hidup baru yang tenang, bukan bikin heboh. Dia sama sekali tidak suka menjadi pusat perhatian.

Dia terus menggerutu sepanjang perjalanan. Sikap cewek-cewek yang berlebihan, salah rute, jalanan macet, rasanya dia ingin mengumpat keras saat ini. Dia tarik napas dalam, lalu ia hembuskan. Dia terdiam sesaat melihat orang-orang yang berjalan di trotoar. Ada yang sendiri, ada yang berjalan dengan teman-temannya, juga ada yang bersama pasangan mereka. Hatinya berdesir. Disaat semua orang tengah bahagia dengan orang-orang yang mereka akrabi, dirinya harus membangun keakraban itu mulai dari nol. Bukan tanpa alasan dirinya pindah ke Bimasakti. Awalnya dia tidak mau, tapi karena paksaan kakaknya, ia terpaksa setuju.

Sesampainya di rumah, dia segera turun dan masuk. Tasnya ia lempar begitu saja lalu ia jatuhkan tubuhnya di sofa ruang tengah.

"Keegan, kamu udah pulang?" Suara wanita datang dari meja makan.

"Hm." Jawabnya malas tanpa membuka mata.

"Gimana hari pertama? Ada cewek yang kamu suka nggak?" Goda wanita yang berada pada pertengahan usia 25-an.

Keegan membuka mata, "Apa sih Mbak Alir, dateng-dateng udah tanya hal nggak penting kayak gitu."

Wanita yang dipanggil Mbak Alir itu hanya tertawa melihat reaksi kesal adiknya. "Emang Mbak salah? Ya masa sih nggak ada yang menarik buat kamu."

Nyatanya memang tidak ada. Boro-boro tertarik, dirinya sudah dibuat jengah terlebih dulu oleh kelakuan cewek-cewek.

"Masak sih, satu sekolah nggak ada yang menarik buat kamu? Dari jaman mbak dulu, Bimasakti terkenal dengan cewek-cewek cantiknya, loh."

"Mungkin itu dulu, jaman mbak."

"Kamu ini. Udah sana pergi bersih-bersih, mbak tunggu di meja makan."

Keegan menuruti perintah kakaknya meski sebenarnya dia masih enggan beranjak, tapi begitu suara piring dan sendok yang sedang ditata Alir saling beradu, dia jadi merasa lapar.

Alir adalah kakak satu-satunya yang dia miliki. Setelah kedua orang tuanya meninggal, Alir menjadi orangtua-able. Kadang jadi Papa, kadang jadi Mama untuk Keegan. Dirinya beruntung memiliki kakak yang baik, dewasa dan pengertian seperti Alir. Walaupun juga kadang ngeselin, kalau boleh jujur.

Sesuai pesanan, Keegan segera membersihkan diri lalu turun menghampiri kakaknya yang sudah siap di meja makan sambil memainkan ponselnya. Dia yakin, pasti Alir sedang berbalas pesan dengan tunangannya. Terlihat asik dan lupa sekitar.

"Masak apa hari ini?" Tanya Keegan dibarengi decitan kursi yang dia tarik.

Matanya mengamati menu yang sudah disiapkan oleh kakaknya. Alir termasuk wanita yang pandai memasak. Dia selalu bilang tidak mau kalah saing sama calon suami, gengsi. Maklum, tunangan Alir jago masak, malah punya cafe.

"Tuh." Jawab Alir singkat tanpa menoleh.

"Hm, oh iya, habis ini Mbak mau jalan sama Bang Arya, kamu mau ikut?" Tawar Alir.

"Yah, masak mau jadi nyamuk. Enggak lah, Mbak pergi aja."

"Yakin?"

"Yakinlah Mbak."

"Kalau bosen, boleh tuh bersihin gudang." Alir menaik-naikkan alisnya.

"Ogah! Mau tidur."

"Yey, kamu ini. Mbak saranin cepet cari cewek, jadi kalau Mbak tinggal, kamu juga enggak kesepian."

"Cari pacar kalau cuma gara-gara takut kesepian, mending aku cari radio. Rame, 24 jam lagi."

"Kamu ini kalau Mbak bilangin. Biasanya yang kayak gini nih, kalau udah ketemu yang klik pasti ntar jadi bucin."

Keegan mengedikkan bahunya. Yah, dia tidak tahu. Bingung, kenapa jaman sekarang sedikit-sedikit dikaitkan dengan kata bucin. Padahal itu adalah bentuk ekspresi bahwa kita memang mencintai seseorang itu. Dan itu wajar bagi orang yang jatuh cinta.

TBC..

****

Jangan lupa kunjungi dan follow Ig @ayyv.s untuk melihat trailernya.

3. Dicuekin

Ahru membenarkan letak bandana biru kesayangan yang sedikit miring. Lututnya sedikit menekuk agar kepalanya terlihat di dalam kaca mobil. Kadang-kadang matanya melirik ke kaca bagian belakang yang memantulkan lalu lalang siswa-siswi yang menatapnya. Ada yang tak acuh, ada yang sedikit berbisik.

Bukan Ahru namanya, kalau dia peduli dengan isi pikiran orang lain. Dia tidak mau mengambil pusing. Padahal bisa jadi, gumaman-gumaman itu karena keheranan melihat dirinya di jam sepagi ini sudah sampai di sekolah. Jika kemarin jam 06.50 adalah pemecah rekor kedatangannya paling pagi, hari ini lebih fantastis lagi, pukul 06.28.

Dengan tempo sesingkat-singkatnya, dia sudah membulatkan tekad. Sejak kedatangan si murid baru, dia akan datang lebih pagi dari biasanya, sebagai wujud kesungguhan hatinya yang tak main-main.

"Ngaca mulu dari tadi." Sindir Tami yang sejak berangkat sudah ngedumel tidak jelas.

Mereka bertiga semalam tidur di rumah Kiet. Ijin dari Ayahnya kemarin tidak akan dia sia-siakan. Setiap ada ijin, mereka selalu kumpul di rumah Kiet. Bukan di rumahnya, karena Ayahnya terkenal cukup galak. Bukan di rumah Tami, karena neneknya sering ngomel. Tapi kalau rumah Kiet, mereka bebas. Kedua orang tuanya sangat memahami kehidupan masa muda, terlebih lagi karena orang tua Kiet yang sering pergi ke luar kota. Membuat mereka berasa di rumah sendiri.

"Kan, mau ketemu pangeran gue." Jawab Ahru enteng.

"Gue masih enggak habis pikir loh. Heran gue, kok Lo sampe segitunya."

"Hooh. Kenapa harus pake cara gini?"

Ahru berbalik menghadap Kiet."Terus Lo kira kalau gue diem aja, dia bakal ngedeketin gue? Harus ada yang maju, lah. Gue atau dia."

"Tapi.."

"Kalian enggak lihat gimana tatapan dan ekspresi wajah dia pas kita berhadapan kemarin? Kayak enggak ada ekspresi-ekspresi tertarik gitu. Dia dingin dan enggak peduli sama sekali."

"Kemarin dia rada merem kali, makanya enggak sadar ada cewek cantik yang siap digodain di depan muka dia." Seloroh Tami. "Tapi ya, kalau gue inget-inget lagi muka songongnya kemarin, rasanya pengen gue toyor tahu enggak, sih."

"Sabar, Tam. Gitu-gitu juga ipar Lo." Celetuk Kiet.

"Bagi kita. Bagi dia?"

"Berisik tau nggak."

Ahru segera berjalan meninggalkan kedua temannya yang sejak pagi sudah cerewet. Rencana paginya untuk menunggu si doi di parkiran gagal. Moodnya sudah keburu hancur lebih dulu. Kadang kedua temannya itu bersikap mendukung, kadang juga memojokkannya. Mereka sudah seperti bunglon.

Biarkan saja Ahru masuk ke kelas sepagi ini, biar orang-orang mati keheranan. Dia tidak peduli. Dia berjalan melewati koridor kelas sepuluh dan sebelas. Matanya sesekali melirik ke dalam kelas yang masih cukup lenggang.

'Jadi begini suasana pagi di sekolah.' Batin Ahru baru tahu.

Beberapa orang yang melewatinya tampak menatapnya sekilas, hanya sepersekian detik. Jika dihitung, tatapan yang Ahru berikan pada siswa lain jauh lebih lama. Dia tidak pernah berpikir panjang. Dia bukan golongan siswi famous, hanya menjadi siswi sekedarnya. Sekedar ada, sekedar tahu, sekedar lihat.

Bel masuk berbunyi. Teman-teman sekelas Ahru segera mengambil tempat duduk mereka. Suara yang semula gaduh, seketika jadi hening. Hentakan sepatu Bu Kinan menggema di sepanjang ruangan.

Bu Kinan adalah guru sosiologi yang terkenal killer. Guru paling teliti dalam hal mencari detail kesalahan siswanya. Untungnya, Bu Kinan bukan BK. Tapi kalau begini ceritanya, anak IPS terlihat kurang beruntung. Apa ini penyebabnya siswa-siswi banyak yang lebih memilih masuk IPA?

Sebelum memberi salam dan sebagainya, Bu Kinan tampak meneliti setiap siswa. Dia berdehem lalu memberikan salam.

"Kumpulkan tugas kalian!" Ucap Bu Kinan dengan mata yang tampak membuka-buka buku.

Tugas?

Ahru tidak tahu hari ini dia ada tugas. Seingatnya Minggu kemarin dia mengikuti pelajaran dari awal, meskipun terlambat tapi dia ingat tidak pernah mendengar Bu Kinan memberikan tugas. Dia menoleh ke Tami dan Kiet yang ikut tolah-toleh tak mengerti.

Ketua kelas dan sekretaris kelas tampak berjalan mengambil buku-buku tugas milik anak-anak. Sampai pada bangku paling belakang.

"Mana buku tugas kalian?" Tanya Arif ----si ketua kelas, sambil menengadahkan tangannya.

"Tugas apaan, sih?" Ahru masih belum tahu.

"Hooh, perasaan Bu Kinan enggak ngasih tugas, Minggu kemarin."

"Bu Kinan salah kali."

Hem Hemm

Deheman Bu Kinan membuat perhatian kembali mengarah ke depan. "Makanya, kalau pelajaran itu, ikutin dari awal sampai akhir." Sindir Bu Kinan.

Oh iya. Mereka bertiga baru tersadar. Saking bosannya, Minggu kemarin mereka tidak mengikuti kelas Bu Kinan sampai akhir. Di dua puluh menit terakhir, mereka ijin pergi ke toilet. Nanggung, kalaupun mereka balik lagi ke kelas pasti jam Bu Kinan juga sudah habis.

"Sebagai gantinya, kerjakan tugas kalian di lapangan!" Bu Kinan memberikan keputusan.

"Yah, Bu. Sama-sama di lapangan, kita hormat bendera aja deh Bu." Tawar Ahru.

Dia tidak bisa membayangkan, bagaimana tersiksanya. Sudah panas fisik, panas otak. Kalau mereka mendapat hukuman hormat bendera, lumayan, mereka tidak perlu repot pusing-pusing mengerjakan tugas.

"Tidak ada bantahan. Sekarang keluar!" Ucap Bu Kinan tegas.

Dengan malas, Ahru dan teman-temannya keluar sambil membawa buku sosiologi mereka. Wajah mereka sudah tidak dapat dilihat bentuknya lagi. Suara kikikan anak-anak terdengar samar di telinga mereka.

"Struktur sosial merupakan keseluruhan jalinan unsur-unsur sosial yang..."

Suara Bu Kinan mulai terdengar sayup dari telinga Ahru. Mereka sudah berada di koridor hendak menuruni tangga.

"Emang dasar apes." Gerutu Tami.

"Nikmati ajalah, kayak baru pertama aja." Kekeh Ahru.

"Lo kok kayak seneng gitu, sih?"

"Daripada di kelas." Dia ngeloyor jalan lebih dulu ke arah lapangan.

"Tuh orang sehat, kan?" Hearan Kiet pada Tami yang hanya dibalas dengan mengedikkan bahunya.

"Kalau dipikir-pikir, iya juga sih." Tawa Tami yang segera menyusul Ahru.

Matahari belum terlalu terik, angin juga masih sepoi-sepoi. Mereka anteng duduk di tengah lapangan tanpa terusik sama sekali. Buku-buku yang ada di tengah mereka dibiarkan menari-nari tersibak angin. Dari lima soal, mereka cuma sanggup mengerjakan tigal soal, dua soal sisanya mereka biarkan kosong.

"Asik juga. Berasa di pantai." Kikik Kiet yang menyelonjorkan kedua kakinya.

"Kurang es kelapa muda." Celetuk Ahru membuat mereka tertawa keras tak peduli kalau ada satu-dua anak yang berlalu lalang memperhatikan mereka. Pemandangan yang tak wajar, di hukum kok seneng.

Mata Ahru ia gerakkan menyisir setiap penjuru sekolahnya. Tampak sepi karena memang masih dalam kegiatan belajar mengajar, hanya satu-dua anak yang keluar sambil membawa buku ke arah kantor. Dia kembali mengedarkan matanya dan berhenti pada deretan kelas 12 IPA. Tepatnya kelas 12 IPA 2.

Anak-anak dari kelas itu tampak santai keluar-masuk kelas. Bahkan saat matanya menyipit memfokuskan pandangan, Ahru bisa melihat ada yang sedang naik di atas meja dengan tingkah absurd memainkan sapu.

Sebuah smirk muncul di bibir Ahru.

"Lo kenapa?" Tanya Tami.

Ahru yang tak menjawab langsung berdiri dan membawa buku-bukunya berjalan ke gedung IPA, diikuti Kiet dan Tami yang masih setia mengekor. Mereka berjalan mengendap-endap takut kena tegur guru. Mereka belum selesai menyelesaikan hukuman Bu Kinan, ya masak iya katambahan hukuman dari guru lain.

Kepala mereka celingukan tak ingin ada yang melihat. Setelah memastikan kondisi, Ahru menyumbulkan kepalnya ke jendela kelas 12 IPA 2. Benar, ternyata kelas itu sedang jam kosong, bahkan siswa-siswinya tinggal dalam jumlah hitungan jari. Tebaknya, pasti sebagian sudah pergi ke kantin, kan sebentar lagi bel istirahat.

"Sstt." Desis Ahru pada kedua temannya.

"Aman." Kiet memberikan jempol.

Setelah dikiranya aman, mereka berdiri tegak membenarkan penampilan lalu berjalan masuk dengan percaya dirinya. Seperti dugaan, perhatian mengarah kepada mereka bertiga, termasuk cowok yang bergelar murid baru itu. Begitu juga 3 cowok yang tengah duduk di atas meja di sekeliling cowok itu.

Ahru melangkah yakin ke arah cowok itu. Dia duduk kursi kosong sebelah cowok itu. Senyumnya ia keluarkan dengan tingkat manis di atas rata-rata, dan..

"Ahru." Kata Ahru sambil mengulurkan tangannya menunggu di balas.

Dua detik. Hanya butuh dua detik hingga keterkejutan cowok itu hilang bersamaan dengan kedua matanya yang ia putar malas. Cowok itu berdiri dan meninggalkan tangan Ahru yang masih terulur.

Mulut Ahru yang tersenyum lantas merapat menahan agar tak mengumpat. Dia dicuekin, lagi. Dia tarik cepat tangannya dan melirik tajam ke arah cowok itu yang sudah berada di ambang pintu.

Ahru masih berakhir sama. Dicuekin.

TBC..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!