NovelToon NovelToon

Gadis Barbar Itu Istriku

Surat Peringatan

"Cyra!!" tegur guru BK sambil berkacak pinggang.

"Sedang apa kau disini?!"

Guru BK itu melihat Cyra mengendap-endap dan kemudian berusaha memanjat pagar keliling sekolah menggunakan bangku rusak yang sengaja dia taruh dibelakang gedung kelas tiga IPS, tempatnya seharusnya menuntut ilmu.

Tas punggungnya dia letakkan dijeruji besi yang terpasang diatas tembok yang tingginya hanya dua meter itu.

Bukan Cyra si trouble maker namanya kalau sehari saja tidak membuat masalah.

" Apa yang kau lakukan disini, Cyra?!" tegur Guru BK sekali lagi lantaran pertanyaannya barusan tidak ada tanggapan.

Cyra pun terpaksa berhenti mengendap dan membalikkan tubuhnya menghadap sipemanggil.

"Eh, Bapak! Hehe ..., ng, anu, Pak. Itu, anu," jawab Cyra sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung harus menjawab apa.

"Ikut Bapak ke ruang BK, sekarang!" perintah Pak Amin, si guru BK.

"Tapi, Pak, saya ...,"

"SEKARANG, Cyra!!!" hardik Pak Amin sambil menjewer telinga Cyra dan menyeretnya ke ruang Bimbingan Konseling.

"Aduhh, Pak! Sakit, tahu, Pak. Pelan-pelan, dong!" ringis Cyra merasa telinganya sakit karena dijewer.

"Tunggu dulu, Pak! Tas saya," tunjuk Cyra pada tas punggungnya yang masih tercantol.

Pak Amin pun mengambilkan tas gadis itu tanpa melepaskan jewerannya lalu menyeret Cyra ke ruang konseling.

"Adududuuuhhh ... lepasin, Pak! Sakit ini," pinta Cyra kesakitan.

Pak Amin tidak menghiraukannya. Beliau baru melepas jewerannya setelah sampai diruangan.

"Duduk!" perintahnya galak.

Cyra pun menurut dengan duduk disofa depan Pak Amin.

"Cyra, harus berapa kali, sih Bapak nasehati kamu?! Jadilah anak baik, Cyra! Apalagi kamu itu anak gadis. Tidak seharusnya kamu berlaku seperti itu," nasehat Pak Amin.

"Sekarang itu sedang jam pelajaran. Seharusnya kamu belajar yang rajin dikelas, dan bukannya mengendap-endap dan manjat dinding seperti maling disiang bolong," lanjutnya.

"Maaf, Pak! Habisnya saya bosen dikelas. Gurunya tidak masuk, jadi saya malas untuk belajar," bela Cyra.

"Sudah bosan saya dengar maaf kamu," komentar Pak Amin.

"Dan apapun itu alasan kamu, berusaha minggat dari sekolah dengan cara memanjat dinding itu tidak dibenarkan. Meskipun jam pelajaran kosong, seharusnya kamu tetap dikelas."

"Lagipula sudah terlalu banyak kesalahan yang kamu lakukan selama hampir tiga tahun ini."

"Sekarang sudah memasuki awal semester genap. Itu artinya, sebentar lagi kamu akan segera menghadapi ujian kelulusan. Kalau kamu seperti ini terus, bisa-bisa kamu tidak lulus."

Pak Amin memberi ceramah sangat panjang kali lebar sampai-sampai beliau memijit pelipisnya saking pusing tujuh keliling menghadapi kelakuan nakal murid dari anak salah satu donatur terbesar diyayasan sekolah tersebut.

Karena hal itulah, pihak sekolah tidak berani mengeluarkan Cyra dari sekolah, sebab takut sang donatur akan menghentikan dana yang selalu mengucur kerekening sekolah tersebut tiap bulan.

"Bapak minta orangtua kamu besok datang ke sekolah, ya. Saya akan buatkan suratnya."

Pak Amin beranjak ke meja kerjanya dan mulai membuat surat panggilan untuk orang tua Cyra.

Kali ini Cyra diam saja. Bahkan, wajah yang biasanya selalu mendongak menantang itupun kali ini menunduk dalam. Jemarinya saling meremas.

"Wah, wah, Cyra lagi, Cyra lagi. Tidak bosan apa kamu, Cyr, selalu bikin masalah disekolah. Kami saja selaku guru konseling sampai bosan menasehatimu," ujar sebuah suara tiba-tiba.

Bu Aryanti yang terkenal galak dan judes itu tampak masuk ke ruang konseling sambil membawa beberapa berkas.

Cyra hanya diam saja tidak menanggapi perkataan gurunya itu. Hanya matanya yang memandang sebal pada guru itu karena suka bergenit ria setiap kali ayahnya disuruh datang kesekolah.

"Buat surat panggilan lagi, Pak?!" tanya Bu Aryanti pada Pak Amin, namun ekor matanya melirik kearah Cyra.

"Iya, Bu!" jawab Pak Amin singkat.

Tangannya masih lincah diatas papan keyboard untuk beberapa saat lamanya.

"Cyra!" panggil Pak Amin.

"Ya, Pak!" jawab Cyra pelan.

Gadis itu pun bangun dari duduknya dan berjalan mendekati meja Pak Amin sesuai instruksinya.

"Ini, berikan pada ayahmu! Suruh datang besok pagi jam delapan. Ini merupakan surat peringatan terakhir dari sekolah. Jika kamu membuat kesalahan dan kenakalan lagi, jangan salahkan pihak sekolah jika sampai mengeluarkanmu dari sekolah. Meskipun kami tahu betul konsekuensinya harus kehilangan donatur yang murah hati seperti ayahmu," ucapnya tegas.

"Baik, Pak!"

Cyra menerima surat peringatan itu kedalam tas punggungnya bertepatan dengan bel tanda pelajaran berakhir untuk hari itu.

Tanpa disadari, ternyata ceramah dari Pak Amin tadi memakan waktu kurang lebih satu jam. Waktu yang seharusnya Cyra gunakan untuk minggat dari sekolah dan kongkow dicafe milik Alfian, kakaknya.

"Sekarang kamu boleh pulang."

"Terima kasih, Pak!"

"Langsung pulang, jangan buat onar lagi disini maupun dijalan," imbuh Bu Aryanti ketus.

"Untung putri donatur terbesar. Coba kalau bukan, pasti sudah dikeluarkan dari dulu-dulu," lanjutnya.

Cyra hanya mampu mengepalkan tangannya erat, tanpa bisa melawan seperti yang sudah-sudah. Biasanya dia akan selalu menjawab dan menampik semua ucapan Bu Aryanti itu.

Namun, kali ini dia tidak berdaya berbuat hal itu, terlebih tadi Pak Amin bilang kalau ini merupakan peringatan terakhir.

Walau bagaimanapun Cyra tidak mau jika dirinya sampai dikeluarkan dari sekolah demi kelangsungan sekolahnya yang hanya tinggal empat bulan saja lagi.

Dengan langkah gontai, Cyra keluar dari ruang konseling, pulang kerumah dan siap mendengar satu ceramah lagi yaitu dari ayahnya.

***

Cyra sampai dirumah tanpa jadi mampir ke cafe milik Alfian. Gadis itu sudah terlanjur kehilangan semangatnya.

"Biyuuung!! Tolong, dong Cyra ambilin minum yang dingin," teriaknya begitu masuk keruang tengah.

Dijatuhkannya tubuhnya disofa panjang setelah melempar asal tas punggungnya.

Diselonjorkannya kadua kakinya diatas meja tanpa melepas sepatu.

"Biyuuuung!! Buruaaann!!" teriaknya lagi.

Suaranya melebihi kerasnya suara tarzan yang ada dihutan.

"Iyaaa, sebentaaar! Biyung sedang tanggung angkat jemuraaann," jawab Bi Inah tak kalah kencangnya dari arah belakang.

Pembantu rumah tangga itu berjalan tergopoh-gopoh sambil membawa segelas air dingin untuk nona muda majikannya.

"Ini, Non, airnya," ucap Bi Inah sembari menyodorkan gelas didepan Cyra.

"Ck! Biyung lama, deh," gerutu Cyra saat mengambil gelas dari tangan biyungnya.

Ya. Cyra mengganti panggilan biyung pada Bi Inah sejak lima tahun lalu, semenjak ibunya meninggal.

Itu juga keinginan Bi Inah sendiri karena merasa sedih tiap kali melihat anak majikannya itu menangis memanggil nama ibunya.

"Maaf, Non! Tadi biyung tanggung angkat jemuran. Takut keburu hujan. Soalnya sudah mendung sekali," jelas Bi Inah.

"Ya, sudah! Sekarang tolong Biyung ambilkan Cyra makan, ya. Laper banget soalnya," pinta Cyra masih dengan kaki terangkat dimeja.

"Iya, Non! Tapi," ucap Bi Inah melirik kaki Cyra.

"Ck! Iya, Yung. Cyra ngerti, kok," ujarnya segera menurunkan kakinya dari atas meja.

Entah kenapa, Cyra sangat penurut pada pembantunya itu daripada dengan ayah dan kakaknya.

Mungkin karena Bi Inah selalu sabar menghadapi sikap barbar Cyra, jadi gadis itu merasa sungkan jika harus berdebat dengannya.

"Yung, Cyra nitip ini, ya," ucap Cyra setelah selesai dari makan siangnya.

Diambilnya surat dari dalam tas dan diserahkannya pada Bi Inah.

"Surat lagi?!" tanya Bi Inah terkejut.

Bagaimana tidak, hanya dalam bulan ini saja gadis itu sudah diberi empat surat, lima dengan yang sekarang.

"Kenapa tidak Non Cyra saja langsung yang kasih ke bapak?!"

"Cyra takut, Yung!" ujar Cyra lirih.

"Ya, sudah. Nanti Biyung yang sampaikan. Sekarang ganti bajunya dulu, lalu istirahat," putus Bi Inah akhirnya.

"Makasih, ya, Yung! Biyung emang yang paling baik, deh," cengir Cyra langsung pergi kekamarnya dilantai atas setelah mencium pipi keriput pengasuhnya itu.

"Ada maunya, haha ...," gelak Bi Inah sambil menggelengkan kepalanya.

Tawanya hilang dalam sekejap saat menaruh surat dari Cyra itu ke ruang kerja tuannya.

"Semoga ini jadi surat yang terakhir dan kedepannya tidak ada masalah lagi," lirihnya sedih.

just information

Hai, hai, hai!!!

Para Pembaca yang budiman, ketemu lagi dengan N La Uta dikamar yang berbeda lagi.

Ini merupakan coretan aku yang ketiga. Meskipun yang pertama dan kedua juga belum kelar-kelar, sih.😄😄.

Nggak tahu kenapa, aku lagi kehilangan mood untuk mereka. Mungkin karena lelah hayati ngurusin bocil yang sekolah daring gak kelar-kelar, ntah sampai kapan masa pandemi ini akan berakhir dan anak-anak bisa sekolah normal lagi.

Aku coba merefresh pikiran aku dengan menulis cerita yang baru. mudah-mudahan semangat terus sampai tamat. Doain, ya biar lancar updatenya. Terus, cerita yang lain kelar juga.

Doa dan semangat kalian akan jadi pendorong buat aku nulis, lho! Apalagi kalau mau like and comment. Syukur2 ada yang mau kasih Vote. Ugh, matur thank you banget, deh😂😂😂!

Tungguin update berikutnya dari aku, ya. Selamat membaca!

Pertemuan Tak Terduga

Seorang pemuda tengah berusaha menghindar dari amukan massa yang mengeroyokinya.

"Tolong, ampuni saya. Bukan saya yang mengambil dompet ibu itu. Percayalah!!" ujarnya sambil mengatupkan kedua telapak tangannya meminta ampun pada warga yang mengeroyoknya.

"Alaaahh ..., maling mana ada yang mau ngaku," celetuk salah satu warga yang ikut mengeroyoknya.

"Iya, mana ada maling yang ngaku, cih," sahut yang lain sambil meludah.

"Tapi itu benar. Bukan saya pelakunya," bela pemuda itu berusaha melepaskan cengkeraman warga yang sedang memegangnya.

"Mau ngelak, kamu. Itu apa yang ditangan kamu. Jelas-jelas dompet ibu ini ada ditangan kamu. Masih aja ngeles," tuding orang itu lagi.

"Tapi benar, Pak, bukan saya pelakunya. Tadi itu saya sedang jalan, terus tiba-tiba dari arah depan saya ada orang yang lari sambil memberikan dompet ini pada saya. Saya juga bingung kenapa orang itu melakukan ini," jelas pemuda.

"Alaaah, pasti kamu salah satu komplotannya, kan?! Ngaku aja, deh," tuduh orang berbaju hijau berusaha memprofokasi.

"Udaaahh, mending kita gebukin aja dia biar kapok."

"Ampun, Pak! Saya mohon jangan! Bu, jika ini milik ibu, ini saya kembalikan. Tapi sungguh, Bu, bukan saya yang jambret dompet Ibu. Memangnya Ibu yakin saya yang ambil ini dompet?!" tanya si pemuda pada ibu yang mengaku dompetnya dijambret.

"Saya, jujur saya kurang yakin. Tadi suasananya sedikit gelap, jadi saya kurang mengenali ciri-ciri orang itu," aku si ibu dengan pakaian glamour itu.

"Udah, kita gebukin aja, nih orang biar tau rasa," kompor orang berbaju hijau itu lagi.

"Ayooo ..."

"Iya, biar tau rasa dia," sahut yang lain.

Buk! Bukk!!

"Aauukh ..., ampun, tolong hentikan! Bukan saya pelakunya," jerit pemuda itu saat perutnya mendapat tonjokan dari salah satu warga yang sedang memukulinya.

"Ada apa ini ribut-ribut?! Begini cara kalian menhakimi warga tanpa bukti yang jelas?!" tanya seseorang yang baru turun dari mobil mewahnya.

Pakaian dengan setelan jas hitam yang dikenakannya menunjukkan kewibawaannya.

"Berhenti memukul atau kalian saya laporkan ke polisi karena sudah berani main hakim sendiri," ancam orang berjas hitam itu tegas.

Warga pun langsung berhenti memukuli si pemuda begitu mendengar kalimat orang berjas hitam tersebut.

"Hei, Pemuda! Apa benar yang dikatakan orang-orang ini, jika kamu telah mencuri dompet ibu ini??" tanyanya tegas seraya menunjuk warga dan si ibu.

"Bukan, Pak! Pantang bagi saya mengambil barang orang dengan cara mencuri atau mencopet. Meskipun saya miskin, tapi orang tua saya selalu mendidik dan mengarahkan saya ke jalan yang benar," pungkas si pemuda setelah menjelaskan duduk perkaranya.

Tangan kirinya mengusap sudut bibirnya yang berdarah akibat amukan warga, sementara tangan kanannya dia ulurkan untuk mengembalikan dompet milik si ibu itu.

"Coba Ibu cek dulu, barangkali ada yang hilang atau berkurang," perintah orang berjas hitam.

"Baik, Pak!"

Si ibu pun mengecek isi dompetnya dengan teliti.

"Masih utuh, Pak!" ujarnya.

"Nah, si Ibu sudah mengaku isi dompetnya masih utuh. Apa perkara ini masih mau diteruskan lewat jalur hukum, dengan konsekuensi kalian juga dihukum karena sudah main hakim sendiri?!" tanya orang berjas hitam pada warga yang langsung menggeleng cepat, takut dipenjara.

"Baik! Kalau begitu, silahkan bubar! Biarkan pemuda ini pergi," ujarnya lagi.

Para warga pun langsung mundur teratur diikuti ibu pemilik dompet.

"Kau tidak apa-apa, anak muda?!"

"Tidak! Terima kasih sudah menyelamatkan saya, Pak!" jawab pemuda itu membungkuk memberi hormat.

"Kau yakin tidak apa-apa? Sepertinya kakimu cedera," ujar orang berjas hitam saat melihat si pemuda yang jalan dengan sedikit terpincang dan menahan sakit.

"Mari saya antar ke rumah sakit. Takutnya ada yang cedera dengan kaki kamu."

"Tidak apa-apa, Pak, terima kasih!"

"Jangan sungkan. Ayo, mari saya antar."

"Tapi ..." belum sempat pemuda menjawab, orang berjas hitam itu mengulurkan tangan kanannya.

" Perkenalkan, nama saya Bayu. Siapa namamu?" tanya orang berjas hitam itu memperkenalkan diri.

"Saya Ditya, Pak!"

Pemuda yang mengaku bernama Ditya itu menyambut uluran tangan Bayu.

"Ok, Ditya, mari saya antar kamu ke rumah sakit."

Bukannya dia tidak mau berobat, tapi karena dia sedang tidak punya uang. Sebenarnya ada uang dikantong celananya sekarang. Tapi niatnya uang itu dia gunakan untuk membayar biaya semesterannya minggu depan. Itupun masih kurang sedikit.

Jika dia harus berobat, maka dia tidak akan bisa membayar semesterannya dan itu artinya, dia harus rela drop out dari kampus sebab tidak bisa membayar uang kuliah yang sudah menunggak satu semester itu.

Beruntung Ditya bisa meyakinkan pihak administrasi tempatnya kuliah sehingga dia punya keringanan waktu.

"Ditya!" panggil Pak Bayu manakala dilihatnya Ditya malah diam saja ditempatnya berdiri.

"Eh, i-iya, Pak! Saya ...," jawabnya tergagap.

"Ayo, kita ke rumah sakit sekarang," ajak Pak Bayu lagi.

"Ba-baik, Pak! Terima kasih sudah repot-repot menolong saya," sahut Ditya.

" Sama-sama!" ucap Pak Bayu.

"Memangnya Bapak percaya sama saya?!" tanya Ditya saat keduanya sudah dimobil mewah milik Pak Bayu menuju rumah sakit.

"Maksudmu?!"

"Maksud saya, memangnya Bapak percaya bukan saya yang mengambil dompet ibu-ibu tadi? Bagaimana seandainya memang benar saya yang mengambil dompet tersebut?!"

"Hahaha ...!"

"Kok, Bapak malah tertawa?"

"Memangnya benar kamu yang mengambilnya?!" Pak Bayu justru bertanya balik.

"Bukan!" jawab Ditya cepat.

"Berarti memang bukan kamu yang mengambilnya," ujar Pak Bayu santai.

"Tapi kenapa Bapak merasa yakin? Bisa saja saya berbohong, kan?!"

"Itu karena saya percaya padamu, anak muda," sahut Pak Bayu.

"Darimana Bapak bisa mempercayai saya?"

"Dari kata-katamu tadi, bahwa pantang bagimu untuk mencuri barang orang karena orangtuamu mendidikmu dengan sangat baik."

"Ya! Saya memang terlahir dari keluarga miskin, tapi orang tua saya mendidik saya dengan sangat baik. Saya bangga pernah mempunyai orang tua seperti mereka," jawab Ditya lirih.

Pak Bayu mengernyit heran mencerna kata-kata anak muda disampingnya.

"Maaf, anak muda! Tadi kamu bilang 'pernah' mempunyai orang tua seperti mereka. Maksudmu apa, ya?! Maaf, jika saya ikut campur."

"Tidak apa-apa, Pak!" Ditya tersenyum.

"Saya memang pernah mempunyai orang tua angkat. Tapi dua tahun lalu mereka meninggal akibat kecelakaan bus saat mereka melakukan perjalanan ke ibu kota. Sekarang saya kembali yatim piatu sebab orang tua angkat saya tidak memiliki keturunan," jelas Ditya sedih.

"Maaf sekali lagi. Memangnya kemana orangtua kandungmu?!"

Ditya menggeleng pelan.

"Saya tidak tahu siapa orang tua saya. Yang saya tahu sejak kecil saya hidup dipanti asuhan. Saat usia saya sepuluh tahun, orang tua angkat saya membawa saya pulang kerumahnya dan merawat saya hingga dua tahun lalu mereka meninggalkan saya untuk selamanya."

"Saya turut berduka atas meninggalnya orang tua angkat kamu. Dan ... semoga kamu segera bertemu dengan orangtua kandungmu."

"Terima kasih!"

Ditya tersenyum pada Pak Bayu yang sedang menyetir mobilnya. Entah kenapa, dirinya bisa sangat terbuka dengan orang asing, apalagi orang itu baru pertama kalinya dia temui tanpa terduga.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!