NovelToon NovelToon

Sujudku Pada Takdir Cinta

Sebuah Keputusan

Empat orang gadis yang duduk di taman terlihat begitu bahagia. Entah, apa yang membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal tanpa melihat kondisi di sekitar mereka. Bahkan, salah satu dari mereka sampai mengeluarkan air mata.

"Udah, Guys, sudah. Gue capek tertawa dari tadi." Alesha angkat tangan tanda menyerah, tidak mau tertawa lagi. Air mata yang keluar karena terlalu banyak tertawa masih menitik jarang.

"Aku mau ke toilet dulu, aku sakit perut." Chayra bangkit lalu berlalu dari hadapan teman-temannya, mengikuti arah tanda panah yang menunjukkan letak toilet di taman itu.

Amira dan Tina masih cekikikan mengingat hal tadi yang membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal.

Capek tertawa, mereka diam dalam pikiran masing-masing. Chayra yang di tunggu tak kunjung balik dari kamar kecil.

"Ayra mana sih, kenapa lama banget?" Ucap Amira kesal. "Apa dia ngeluarin batu dari perutnya?" Sambungnya lagi.

"Sabar dong, Mira. Namanya juga orang sakit perut. Lho sih, buat lelucon nggak masuk akal." Jawab Tina sambil menepis pelan lengan Amira. Alesha menyetujui ucapan Tina dengan isyarat anggukan kepalanya.

"Eh, Guys. ngomong-ngomong apa rencana kalian sekarang?" Tanya Alesha tiba-tiba. Menatap Amira dan Tina yang duduk berhadapan dengannya.

Amira menautkan alisnya mendengar pertanyaan Alesha. Merubah posisi duduknya dan fokus pada Alesha. "Rencana apa maksud lho?"

"Maksud gue sekarang kan kita sudah menamatkan Sekolah Menengah Atas nih. Ya.. maksud gue rencana masa depan. Kalian mau kuliah kek, mau kerja kek atau apalah gitu."

"Gue tetap pada rencana awal kita." Jawab Tina. "Kita kan sudah mengadakan perjanjian sebelumnya, kalau kiga akan menempuh pendidikan di tempat yang sama sampai perguruan tinggi."

"Gue juga." Jawab Amira singkat.

"Gue juga gitu sih." Ucap Alesha. "Tapi, kayaknya ada yang akan mengubah keputusan dan tidak bisa bersama kita lagi.

"Maksud lho?!" Tanya Amira dan Tina kompak sambil memajukan sedikit badan mereka ke arah Alesha.

Alesha mengelus dadanya pelan karena kaget. "Biasa aja kali. Kalian ini mengagetkan gue aja." Alesha kembali merubah posisi duduknya. Yang gue maksud itu, Ayra." Alesha menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Sepertinya dia tidak akan kuliah bersama kita." Sambungnya.

"Kenapa?" Tanya keduanya kompak lagi.

"Ada sesuatu yang membuatnya nggak bisa bersama kita lagi." Alesha cemberut. "Ibunya kemarin bilang gitu sama gue. Kalau Ayra nggak bisa kuliah bersama kita karena suatu alasan. Dan hal itu bisa menjadi masalah kalau Ayra sampai melanggar."

"Apa itu?" Amira terlihat semakin penasaran. Menatap Tina yang juga terlihat keheranan mendengar cerita Alesha. Tidak biasanya mereka saling menyembunyikan sesuatu.

"Itulah yang perlu kita perjelas sama Ayra sekarang. Kita harus meminta penjelasan kenapa dia tidak tetap pada rencana awal. Tapi, sepertinya dia selalu menghindar." Ucap Alesha dengan nada kesal. "Sepertinya, sekarang dia sengaja berlama-lama di toilet, agar kita tidak menuntut penjelasannya sekarang."

"Jangan su'udzon dulu, Guys. Siapa tau Ayra memang sakit perut. Ayra juga tidak mungkin seperti yang kalian sangkakan." Sergah Tina.

Tiba-tiba orang yang di ghibah muncul dengan wajah yang agak pucat. Chayra duduk di samping Alesha yang menatapnya dengan tatapan heran. Chayra meringis pelan sambil memegang perutnya.

Alesha menepuk pelan pundak Chayra. "Lho kenapa, Ayra?"

Chayra menatap Alesha ."Nggak tau nih, perutku tiba-tiba mulas. Apa aku kebanyakan makan rujak yang tadi ya?"

"Lho sih, makan rujak kayak makan nasi. Nggak tanggung-tanggung tadi saya lihat Bapak rujaknya buat bumbu naruh cabenya sampai satu genggam." Amira terlihat kesal. Padahal yang membuat ulah adalah dirinya.

"Kan tadi yang minta dibanyakin cabenya lho, Mira." Tangkis Tina. "Kok sekarang malah nyalahin Bapak rujak?"

"Ya juga ya." Amira nyengir mendapati kesalahannya. "Udah yuk kita pulang aja. Kasihan tuh si Ayra menahan sakitnya." Sambungnya sambil bangkit lalu mendekati Ayra yang masih meringis memegang perutnya. Amira mengapit Ayra di lengan kirinya. Tina ikut bangkit dan mengapit Ayra di lengan kanannya. Mereka berdua kompak membantu Chayra berdiri.

"Hei, kenapa kalian berlebihan seperti ini sih?" Tanya Chayra sambil mencoba melepas apitan tangan teman-temannya.

"Lho diam, Ayra! Lho lagi sakit, jangan banyak protes!" Ucap Amira dengan nada sadis.

Chayra mengangkat sebelah bibirnya seraya menelan ludahnya mendengar nada bicara Amira.

"Sekarang kita antar lho pulang. Kita nggak mau lho kenapa-napa di sini. Jangan banyak protes." Sambung Alesha lalu berjalan di depan menjadi komandan.

Chayra menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan kasar. Dia mengikuti langkah Alesha dengan Amira dan Tina yang masih mengapit kedua lengannya. Dia tidak mau membantah lagi. Karena dia tau apa yang di lakukan oleh teman-temannya hanya demi kebaikan dirinya.

* * *

Seminggu sejak kejadian di taman, Chayra lebih sering mengurung diri di kamar. Bukan karena dia masih sakit. Tapi, dia ingin menikmati waktu sendiri. Tinggal beberapa hari lagi, dia akan meninggalkan rumahnya menuju tempat yang lebih baik.

Chayra berjalan menyusuri kamarnya yang sederhana. Kamar yang berisikan tempat tidur yang nomor tiga. Meja belajar dan sebuah lemari pakaian, serta kamar mandi di pojok ruangan.

Dia membuka lemari pakaiannya dan menatapnya dalam diam. Ketukan di pintu kamarnya membuatnya terlonjak kaget. Sayangnya, dahinya berhasil di kecup pintu lemarinya. Dan..

Dug !

"Astagfirullah, aduh..!" Ucapnya meringis pelan sambil mengusap dahinya yang terbentur tadi.

"Nak, ada teman-teman kamu di luar."

Suara lembut Ibunya membuatnya segera berjalan ke arah pintu dan membukanya.

Melihat Ayra yang masih mengusap-usap dahinya, Bu Santi mengernyitkan alisnya. "Kamu kenapa, Nak?" Tanyanya pelan. Menyingkap anak rambut Chayra yang menutupi dahinya.

"Kaget tadi, Bu. Kepalaku terbentur." Jawab Chayra.

Bu Santi tersenyum. "Udah di tunggu teman-temanmu, Nak."

"Oh.." Chayra hanya ber'oh ria lalu masuk kembali ke dalam kamarnya.

Bu Santi keheranan melihat tingkah anaknya.

"Lho..kok, kamu masuk lagi, nak?" Tanyanya heran.

"Mau ambil jilbab dulu, Bu.."

"Kamu kan hanya di dalam rumah, Nak. Nggak apa-apa kok walaupun tidak pakai hijab. Kan teman-teman kamu perempuan semua."

"Mau membiasakan diri aja, Bu. Iya walaupun di dalam rumah." Jawab Chayra santai sambil memasang jilbab instan yang tadi diambilnya.

"Kalau begitu terserah kamu saja, Nak. Yang penting itu hal yang baik, Ibu akan selalu mendukungmu." Ucap Bu Santi sambil berlalu dari hadapan anaknya. Chayra nyengir lalu menutup pintu kamarnya.

Di ruang tamu..

Ketiga temannya sibuk dengan handphone masing-masing.Tidak ada yang menyadari kedatangannya. Lama Chayra berdiri menatap temannya satu persatu. Namun, tiga gadis itu benar-benar fokus dan tidak menyadari kedatangannya sama sekali. Chayra menghela nafas berat sebelum akhirnya mengucap salam karena merasa dirinya diabaikan.

"Assalamualaikum, teman-temanku yang cantik-cantik, yang sedang sibuk sendiri.."

Ketiga gadis itu kompak mengangkat wajah mereka. "Wa'alakumsa..." Belum selesai ketiganya menjawab salam, mereka malah salah fokus pada orang yang mengucapkan salam.

"Hmmm..! Ada yang tampil baru nih, di dalam rumah. Dan kayaknya dia benar-benar taubat." Celoteh Amira

"Gila, Keren! Lho makin Solehah aja nih." Sambung Alesha.

"Perlu di kembangkan." Sambung Tina lagi.

Chayra memutar bola matanya mendengar komentar teman-temannya. " Perasaan, kalian belum selesai menjawab salam deh. Kok, kalian malah sibuk ngomentarin penampilan orang?"

Mendengar omelan Chayra, mereka bertiga saling pandang. Lalu....

"Wa'alaikumsalam, Ustadzah!" Ucap ketiganya serentak. Mereka tertawa terbahak-bahak.

Chayra hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil beristighfar melihat tingkah teman-temannya.

Bu Santi muncul dari dapur dengan membawa nampan berisi cemilan dan empat gelas teh hangat. Menggeleng-geleng pelan melihat tingkah anak-anak remaja itu.

"Kalian kalau sudah bersatu kayak gini, ributnya minta ampun." Ucapnya seraya tersenyum hangat.

"Ya.. begitulah kami, Bu. Kalau bersama ribut, kalau berpisah saling merindukan." Ucap Alesha, diikuti dengan anggukan kepala oleh yang lain. Seperti halnya kami menyayangi Ayra dan tidak mau berpisah dengannya.

Tiba-tiba Amira mendekati Chayra. Duduk di sofa yang diduduki Chayra. "Sebenarnya kami kesini mau memastikan sesuatu sama lho, Ayra."

Mendengar ucapan Amira, Chayra langsung menunduk karena paham maksudnya. "Maafkan aku, Mira. Aku nggak bisa menjelaskannya sekarang." Jawabnya, masih menundukkan kepalanya karena tidak siap menerima tatapan maut ketiga temannya.

"Terus kapan, Ayra?" Tanya ketiganya serentak.

Bu Santi bangkit. "Silahkan kalian lanjutkan. Ibu mau masak dulu." Melangkah menjauh, meninggalkan pembicaraan serius anaknya.

Chayra mengangkat wajahnya. "Beri aku waktu."

"Sampai kapan, Ayra? Sedangkan minggu depan lho sudah berangkat." Tanya Alesha.

Chayra mengembuskan nafasnya pelan diiringi dengan istighfar. Menegakkan kembali wajahnya dan menatap ketiga temannya. "Tiga hari sebelum aku berangkat, aku akan menjelaskan semuanya. Kita akan bertemu di taman tempat biasa kita ngobrol. Aku akan menjelaskan alasanku kenapa nggak bisa kuliah bersama kalian dan memilih ikut Om dan Tanteku tinggal di Pesantren."

"Baiklah, kami akan menunggu hari itu. Tapi, kamu harus berjanji, kalau hari itu tiba, kamu tidak akan ngelak lagi dan tidak membuat alasan yang lain."

Chayra mengangguk mantap.

* * *

Ibunya Chayra

Chayra duduk termenung di depan meja belajarnya.Tuntutan teman-temannya yang memintanya menjelaskan alasannya yang tidak menepati janji, membuat pikirannya kalut.

Dia tidak terbiasa pada situasi seperti ini. Berualang kali dia beristighfar untuk menenangkan pikirannya. Namun, usahanya belum membuahkan hasil.

Ketukan di pintu kamarnya membuatnya bangkit dengan malas dan membuka pintu kamarnya.

Ceklek !

Chayra tersenyum samar melihat raut wajah hawatir ibunya di depan pintu. "Kamu belum sarapan, Nak. Ini sudah jam sembilan. Ibu tidak mau kamu sakit gara-gara kamu telat makan." Ucap Bu Santi. Membelai lembut kepala putrinya yang tertutup hijab.

"Ayra belum lapar, Bu. Nanti kalau sudah lapar Ayra pasti makan. Ibu jangan khawatir. Ibu berangkat saja ke toko."

"Kamu kenapa sih, Nak?" Tanya Bu Santi seraya merengkuh pundak anak gadisnya. "Ibu lihat dari kemarin kamu terlihat tidak bersemangat. Apa teman-temanmu menolak alasanmu tidak bisa kuliah bersama mereka?''

"Ayra belum bilang sama mereka, Bu. Tapi.."

"Tapi apa, Nak? muka kamu terlihat sangat kusut seperti ini." Bu Santi mengusap-usap wajah Chayra lembut.

"Nggak tau aja, Bu. Kenapa sulit sekali menjelaskan pada mereka. Padahal, Ayra yakin mereka pasti akan memahaminya." Ucapnya seraya memeluk ibunya.

Bu Santi membelai kepala putrinya dengan lembut.

"Andai saja Bapak masih ada ya, Bu." Chayra tiba-tiba mengingat sosok Almarhum Bapaknya.

"Ini sudah takdir, Nak. Jangan menyalahi takdir. Hal itu jangan terlalu di pikirkan. Bapakmu sudah tenang di sisi-Nya." Ucap Bu Santi seraya mengecup pelan kening anaknya. Menangkup wajah Chayra yang masih terlihat kusut. "Kalau begitu Ibu berangkat dulu ya, Nak. Kamu sarapan sekarang, jangan nanti. Kamu sering lalai kalau sudah malas makan. Kesehatan itu penting, Nak. Jangan sampai kamu terkena maag nanti."

"Iya, Bu. Ayra makan kok sekarang." Chayra tersenyum singkat, berlalu dari hadapan ibunya menuju dapur.

Bu Santi menatap nanar kepergian anaknya. Tiba-tiba saja matanya sedikit memanas. Jujur, sejak kepergian suaminya, Arianto. Dia jadi harus ekstra sabar menghadapi kedua anaknya.Terutama Bian, adiknya Chayra. Kalau Chayra mudah di atur karena perangainya yang lemah lembut dan penurut, walaupun keras kepala.Tidak seperti Bian, selain keras kepala, dia juga agak sulit di atur. Karena di usianya yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah, Arianto malah di panggil Ilahi pada tragedi kecelakaan pesawat terbang.

Bian tidak mendapatkan belaian kasih sayang seorang ayah karena usianya kala itu yang baru satu tahun.

Menjadi single parent membuat Bu Santi harus bekerja lebih giat. Arianto meninggalkan sebuah Toko di depan rumah sakit swasta untuk istri dan kedua anaknya. Sehingga, Bu Santi tidak perlu mencari pekerjaan. Dia hanya perlu meluangkan waktu lebih banyak untuk menjaga Toko. Ada beberapa kariawan yang dia pekerjakan di tempat itu. Namun, dia harus datang setiap hari untuk memantau barang yang keluar masuk Toko.

Bu Santi meninggalkan rumah dengan perasaan yang kurang nyaman. Sikap Chayra yang tidak seperti biasanya membuat perasaannya kalut. Dia berjalan pelan mendekati mobilnya yang terparkir cantik di garasi rumahnya. Menghidupkan mesinnya, menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang menembus keramaian kota.

* * *

Usai sarapan, Chayra kembali ke kamarnya. Duduk merenung lagi di depan meja belajarnya. Terkadang, dia kasihan sama ibunya yang harus bekerja keras untuk menghidupinya dan Bian. Ibunya bahkan tidak pernah memikirkan kehidupan pribadinya.

Lamaran dari orang silih berganti berdatangan.Tapi, Bu Santi selalu menolak dengan kata-kata halus dan memberikan sedikit pengertian, agar mereka tidak salah mengartikan penolakannya.

Yang menjadi prioritas utamanya sekarang hanya kedua anaknya. Bu Santi tidak mau mengambil resiko, jika nanti suami barunya memandang kedua anaknya dengan sebelah mata.

Lama menjanda tidak membuat Bu Santi hilang pesonanya sebagai wanita cantik. Dia tetap menawan.Tapi, karena dirinya lebih menutup diri pada laki-laki. Sehingga, tidak ada isu yang tidak pantas di dengar yang beredar di masyarakat. Jadi, gelarnya sebagai janda muda tidak meresahkan warga sekitar.

Chayra yang paham kondisi ibunya jadi merasa kasihan pada ibunya. Dia menyuruh ibunya menikah lagi agar tidak kesepian.Tapi, Bu Santi tetap pada pendiriannya.

"Kalian berdua adalah prioritas utama ibu saat ini.Kalian adalah harta ibu yang paling berharga."

kata-kata itu yang selalu di ucapkan Bu Santi pada kedua anaknya jika Chayra menyuruhnya memikirkan masalah pribadinya.

Chayra menghembuskan nafasnya dengan kasar. Merenung terlalu lama membuatnya tidak semangat. Dia bangkit dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. Selesai mandi, Chayra mendirikan empat rakaat shalat Dhuha. Setelah itu, dia keluar rumah untuk memetik sayur di halaman belakang rumahnya.

Kembali dari halaman belakang, Chayra meletakkan hasil panennya di meja dapur. Dia mencuci tangannya, lalu memilih berbagai jenis sayuran hasil petikannya tadi. Memilih yang akan di masak sekarang dan menaruh sisanya di dalam kulkas.

Satu jam berkutik dengan alat dapur, akhirnya masakannya siap di hidangkan. Chayra membawa semua hasil masakannya dan menghidangkannya di atas meja makan. Sekilas dia mendengar suara mesin mobil masuk ke halaman rumahnya. Chayra melirik jam yang tergantung di dinding. Dia terlonjak kaget.

"Sudah jam setengah satu." Lirihnya. "Pantesan Ibu sudah balik." Ucapnya lalu berlari kecil membukakan pintu untuk Ibunya.

"Assalamualaikum," Suara salam Ibunya dari depan pintu .

"Wa'alaikumsalam.."Jawab Chayra sambil membuka pintu. Senyumnya mengembang melihat senyuman Ibunya, lalu mencium punggung tangan wanita yang sudah melahirkannya itu.

Bu Santi mencium aroma masakan yang menyeruak ke indra penciumannya. Bibirnya kembali menyunggingkan senyum sambil menatap anaknya. "Kayaknya anak ibu sudah nggak galau lagi nih." Godanya pada Chayra.

"Tadi Ibu buru-buru pulang, karena berpikir sampai rumah Ibu mesti masak dulu baru bisa makan. Eh, tau-taunya putri kesayangan sudah masak enak. Seneng banget Ibu kalau kayak gini."

Chayra menyebikkan bibirnya mendengar godaan ibunya. " Ayra merasa tidak baik kalau terlalu lama sedih dan memikirkan hal yang tak perlu di pikirkan."

Bu Santi tertawa kecil mendengar jawaban putrinya. "Itu kamu sudah tau. Terus, kenapa dari kemarin tampangmu menyedihkan?"

"Namanya juga lagi ada masalah, Bu. Yang namanya masalah, pasti dipikirkan lah.Tapi kan, Ayra tidak berlarut-larut sedihnya. Cuma beberapa jam aja, Bu.''

"Kamu terlihat kusut sejak satu hari yang lalu, Nak. Bukan beberapa jam." Ralat Bu Santi mendengar jawaban anaknya.

Chayra kembali menyebikkan bibirnya mendengar kata-kata Ibunya. Kelakuannya membuat Bu Santi menahan tawanya.

"Iya, Bu satu hari, bukan beberapa jam." Jawabnya, mengulang ucapan Ibunya sambil memanyunkan bibirnya membuat Bu Santi tidak bisa lagi menahan tawanya.

"Udah, sekarang kita makan siang dulu, setelah itu baru kita shalat." Bu Santi melangkah menuju dapur. Namun, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya, berbalik menatap putrinya. "Adikmu belum pulang sekolah, Nak?" Tanyanya.

"Belum, Bu."Jawab Chayra singkat.

"Kita makan saja duluan kalau begitu."

"Tumben nanyain Bian dulu. Biasanya juga lansung makan." Ejek Chayra.

"Lagi inget aja." Jawab Bu Santi, mendudukkan tubuhnya di sebuah kursi kayu untuk menikmati makan siang bersama putrinya.

"Ibu kenapa nggak cari kariawan yang bisa menjadi kasir aja, biar Ibu nggak terlalu capek bolak balik ke Toko." Kata Chayra membuka pembicaraan di sela-sela makan siang mereka.

"Rencananya Ibu juga begitu, Nak. Tapi, masih di pikir-pikir dulu. Ibu takut salah orang nanti. Mirna juga mau kembali sih katanya. Tapi, Ibu belum tau entah kapan."

"Memangnya sulit ya, Bu, mencari orang yang benar-benar tangguh dan bisa di andalkan."

"Kalau dipikir-pikir sih memang agak sulit, Nak. Apalagi di zaman ini, menilai seseorang tidak bisa hanya dari tampang wajahnya saja."Jawab Bu Santi.

Chayra nyengir mendengar jawaban ibunya.

"Ibu sedang menyusun rencana sekarang. Mudah-mudahan cepat mendapatkan orang yang dapat dipercaya. Andai saja Mirna tidak ikut suaminya. Ibu tidak akan sesusah ini sekarang." Bu Santi menghela nafas berat.

Chayra manggut-manggut mendengar penjelasan ibunya.

"Kalau kamu udah di pesantren nanti. Ibu nggak mungkin terus-terusan di Toko dan meninggalkan adik kamu sendirian di rumah. Jadi, rencana Ibu, begitu kamu berangkat ke Pesantren. Ibu harus lebih banyak waktu di rumah.

"Kenapa nggak dari sekarang cari kariawan, Bu. Biar nanti ibu bisa lebih santai dan bisa langsung tenang begitu aku berangkat."

"Nanti dah di pikir lagi, Nak. Ibu pusing sekarang." Jawab Bu santi. Menyelesaikan makan siangnya, lalu beranjak dari meja makan.

Chayra membereskan sisa makan siang, membawa piring kotor ke wastafel dan lansung mencucinya. Dia mengikuti langkah ibunya, masuk ke Musholla kecil di dalam rumahnya. Mereka menunaikan shalat Zuhur berjamaah.

Begitulah kehidupan keluarga Bu Santi. Tidak lengkap, tapi selalu berusaha untuk saling melengkapi. Walaupun tanpa seorang ayah di tengah-tengah kehidupan kedua anaknya. Bu Santi selalu berusaha menjadi orang tua yang terbaik untuk mereka. Tanpa melibatkan orang lain termasuk mertua dan juga saudara Almarhum suaminya.

* * *

Pertemuan yang tak seharusnya

Hari ini adalah hari dimana Chayra harus menepati janji pada ketiga sahabatnya. Bolak balik di kamarnya karena tidak tau harus bagaimana menjelaskan. Walaupun bingung, tepat pukul tiga sore, dia berangkat menggunakan motor maticnya menuju tempat perjanjian. Tidak mau membuat teman-temannya terlalu lama menunggu. Baru saja keluar dari gerbang rumahnya. Tiba-tiba, Bian adiknya muncul di depannya dan merentangkan kedua tangannya.

"Astagfirullah, Adek, awas!"

Ciiiiiitttt...!

Chayra ngerem mendadak. Dia berteriak histeris karena hampir saja menabrak adiknya.

Bian malah tertawa melihat kakaknya panik. "Kakak kenapa mukanya pucat kayak gitu? Kakak mau kemana? Bian mau ikut." Ucap Bian tanpa memperdulikan kakaknya yang masih berulang-ulang melantunkan istighfar karena cukup kaget dengan kehadiran dirinya yang tiba-tiba.

"Adek mau ikut kemana? Coba lihat muka kamu di cermin. Muka kamu kusam banget, Dek. Lagian Kakak cuma mau bertemu teman-teman Kakak. Minggir sana, Kakak mau lewat." Chayra mengusir Bian dengan isyarat tangannya.

Tanpa menunggu persetujuan kakaknya, Bian lansung naik di belakang Chayra dan memeluk pinggang kakaknya dengan erat. "Enak saja suruh orang pergi. Pokoknya Bian mau ikut, Kakak. Titik, nggak ada koma."

Chayra mengeratkan giginya, kesal dengan tindakan adiknya. Mau tidak mau, akhirnya dia mengizinkan Bian ikut. Kalau dia melarangnya juga percuma. Karena adiknya ini sangat keras kepala.

"Tapi janji ya, Dek. Adek nggak boleh nakal nanti di sana. Awas kalau nakal!"

Ancaman kecil dari kakaknya membuat Bian menyebikkan bibirnya tak suka.

"Bian udah gede, Kak. Masa di ancam kayak anak kecil."

Chayra memutar bola matanya. Namun, dia langsung tersenyum mendengar jawaban adiknya. "Ok kalau gitu, kita berangkat." Ucapnya sambil mengegas motornya pelan, menyusuri trotoar komplek perumahannya.

Bian bernyanyi ria sepanjang perjalanan. Nyanyian anak kecil itu membuat Chayra merasa terhibur dan menikmati perjalanan. Dia menjalankan motornya dengan pelan, agar lebih lama di perjalanan. Untuk sampai di taman biasanya hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit. Tapi, kali ini perjalanan molor menjadi dua puluh menit.

Sampai di tempat tujuan...

"Kak, Bian mau naik Komedi Putar." Rengek Bian pada Chayra. Menarik-narik ujung baju tunik yang dikenakan kakaknya.

Chayra mengernyitkan alis mendengar permintaan adiknya. "Yang benar saja, Dek. Ini bukan taman bermain. Taman ini tempat anak muda nongkrong."

"Kenapa nggak bilang kalau kakak mau ke taman nongkrong."

Chayra hampir tertawa mendengar perkataan adiknya. Sedikit berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Bian.

"Bukan taman nongkrong, Dek. Tapi, taman tempat nongkrong. Karena orang yang datang ke sini yang nongkrong, bukan tamannya." Jelasnya sambil mengusap kepala adiknya pelan.

"Nongkrong itu apa, Kak?" Tanya Bian lagi dengan polos.

"Kamu ini ya, Dek. Bisa nyebut tapi nggak tau artinya."

"Kan, Kakak yang bilang duluan." Jawab Bian.

Chayra menghembuskan nafasnya dengan kasar. Percuma berdebat dengan anak kecil.

Batinnya.

"Nongkrong itu duduk-duduk cantik, Dek. Itu bahasa gaulnya."

"Gaul itu....."

"Ssstt.. jangan tanya lagi." Ucap Chayra seraya meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. "Kamu itu ya, Dek. Kalau udah nanya nggak ada berhentinya." Sambungnya. Menarik tangan Bian agar mengikuti langkahnya.

Bian memanyunkan bibirnya seraya mengikuti langkah kakaknya. Agak kesal karena dia seperti diseret paksa.

"Itu Kak Lesha dan kak Tina." Tunjuk Bian pada Alesha dan Tina yang duduk cantik di sebuah bangku panjang. "Tapi, nggak ada kak Mira deh kayaknya." Sambungnya. Anak itu sudah mengenal semua teman-teman Chayra karena sering berkunjung ke rumahnya.

"Kita ke mereka ya, Dek." Chayra kembali menarik tangan Bian.

"Kakak jangan melakukan kekerasan pada adik sendiri."

Chayra menghentikan langkahnya. Berbalik menatap Bian yang masih dia genggam tangannya. "Maksud kamu apa, Dek?"

"Kakak menarik-narik tangan aku. Sakit, Kakak."

"Astagfirullah, maafkan Kakak ya, Dek."

"Mmm.." Jawab Bian kesal.

Mereka kembali melanjutkan langkahnya.

"Assalamualaikum," sapa Chayra dan Bian serentak setelah sampai di depan Alesha danTina.

"Wa'alaikumsalam," jawab Alesha dan Tina.

"Eh, Adek ganteng unyuk-unyuk ikut ya.." Sapa Tina sambil mencubit dan mencium gemas pipi Bian.

"Ihh, kak Tina kenapa jahil banget sih?!" Ucap Bian. Matanya langsung menatap tajam Tina. Menggosok-gosok pipinya yang dicium Tina tadi.

"Kamu lucu ya, Bian. Di cium aja sampai di gosok-gosok pipinya kayak gitu." Ucap Alesha sambil tertawa renyah.

"Bukan muhrim, Kak!"Jawabnya sambil bersedekap dan memonyongkan bibirnya.

"Hah!" Ucap Chayra, Alesha dan Tina serentak. Tidak percaya dengan ucapan Bian.

"Keren ni bocah." Alesha menepuk-nepuk pelan kepala Bian.

"Jangan di sentuh, Lesha. Bukan muhrim." Tina menirukan ucapan Bian sambil menurunkan tangan Alesha dari kepala Bian.

Chayra cekikikan melihat ekspresi Alesha. "Sudah tau adikku calon Ustadz. Masih saja seneng diganggu." Chayra menatap sekeliling. "Eh, ngomong-ngomong, Amira mana?" Chayra baru menyadari kalau personilnya belum lengkap.

"Masih ada urusan sebentar. Dia pasti datang kok, tunggu saja." Jawab Tina.

Baru saja Tina menyelesaikan kalimatnya. Tampak Amira dari kejauhan berjalan dengan tergesa-gesa bersama seorang pria yang menggenggam tangannya.

Dengan ngos-ngosan, dia menghampiri ketiga temannya.

"Sorry, Guys, gue telat."

Chayra mengernyit mendengar sapaan Amira.

"Assalamualaikum, Amira." Ucap Chayra dengan nada menyindir.

Amira terdiam, nyengir salah tingkah karena menyadari kesalahannya. "Wa.. Wa'alaikumsalam," jawabnya dengan malu-malu.

"Lagian lho, Mira. Anak muslim, kok nggak ucap salam." Sambung Tina ikut berkomentar.

Laki-laki yang berdiri di samping Amira hanya diam menyaksikan perdebatan gadis-gadis di depannya.

Alesha memandang Amira. Dengan isyarat mata, dia bertanya pada Amira, siapa pria yang berdiri di sampingnya.

Amira langsung sadar kalau dia tidak datang sendiri. "Eh sorry, jadi lupa kalau gue lagi sama lho, Kak." Mendongak menatap pria disampingnya, menyenggol lengan pria itu salah tingkah.

"Mm.., Sayang, gue duluan ya. Kalau lho mau pulang nanti, telpon aja. Nanti gue lansung jemput."

"Ntar dulu, Kak. Kakak kenalan dulu sama teman-temannya Mira." Amira menarik pelan tangan pria itu mendekati teman-temannya.

Pria itu mendekati Alesha terlebih dahulu. Mengulurkan tangannya dengan gaya angkuh.

"Ardian Baskara, kekasihnya Amira." Ucapnya dengan tegas.

Alesha tertegun sejenak. Menelan ludahnya menatap pria di depannya, sebelum akhirnya menjabat tangan pria itu. "Alesha," jawabnya singkat. Menarik kembali tangannya. Merasa sedikit aneh ketika berjabat tangan dengan pria yang masih asing baginya.

Ardian tersenyum angkuh. Beralih ke Tina dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya pada Alesha.

Namun, ketika beralih ke Chayra. Gadis itu tidak mau menyambut uluran tangan Ardian. Dia hanya menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

"Maaf, aku tidak bisa menjabat tangan anda karena kita bukan mahram." Chayra menunduk tanpa mau mengangkat wajahnya sedikitpun.

Melihat hal itu, Ardian berdecih kesal. "Cih! Sombong banget sih."

Ardian berucap lirih namun masih bisa terdengar. Dia menurunkan kembali tangannya dengan ekspresi kesal.

"Sekali lagi aku minta maaf." Hanya kata itu yang di ucapkan Chayra.

Ardian melirik ke arah Chayra dengan sinis.

'Sok suci banget ni cewek. Tampang juga biasa-biasa aja. ' Batinnya

Amira, Alesha dan Tina ikut tegang menyaksikan ketegangan di depannya. Sedangkan Bian tidak perduli dengan urusan orang-orang di depannya. Dia sibuk main game menggunakan ponsel kakaknya.

Amira menyentuh tangan Ardian. "Gue antar ke parkiran ya, Kak." Tawarnya.

"Nggak usah. Gue tau letak parkiran." Jawab Ardian ketus. Masih melirik kesal Chayra. "Gue duluan." Beralih menatap Amira seraya berlalu dari hadapan empat gadis itu.

Baru beberapa langkah, Ardian berbalik lagi dan berdiri di depan Amira. "Ada yang gue lupakan." Ucapnya. Lalu..

Cup !

Kecupan Ardian mendarat mulus di bibir Amira.

Chayra segera memalingkan wajahnya. Sedangkan Alesha dan Tina menganga tak percaya.

Ardian berlalu tanpa merasa berdosa pada gadis-gadis polos di depannya. "Bye.."

Amira tertegun mendapati perlakuan Ardian. Dia mengulas senyum sambil mengusap bibirnya. Mukanya memerah seperti kepiting rebus.

"Hei, Mira. Kenapa lho senyum-senyum? Lho seneng ya.. mendapat ciuman haram seperti itu."

Ucapan Tina membuat Amira tersentak kaget. Dia berhenti mengusap bibirnya. Beralih menatap Tina dengan kesal.

"Lho lihat, muka lho kayak kepeiting rebus. Lho nggak merasa berdosa pada kita? Lho tau kan, kita ini masih suci. Kita semua belum pernah terkontaminasi dengan dosa-dosa mesum kayak tadi." Ucap Alesha berapi-api.

Amira menelan ludah sambil menatap teman-temannya dengan bingung. Dia juga tidak tau tadi, kalau Ardian akan menciumnya. Tapi, sekarang teman-temannya malah menyalahkannya .

Chayra menatap Amira dengan tatapan nanar. Sebenarnya, dia juga kesal dengan sikap Ardian tadi. Tapi, dia tidak menunjukkan kekesalan itu di depan teman-temannya.

Tina kembali mengeluarkan uneg-unegnya. "Lho lihat sendiri kan tadi, sikapnya pada Ayra. Dia sama sekali tidak menghargai sikap Ayra yang tidak mau bersentuhan dengan lawan jenis."

"Maafin gue." Hanya kata itu yang Amira ucapkan.

"Udah, jangan saling menyalahkan. Seharusnya kamu tidak membawanya pada kita. Kamu seharusnya tidak mempertemukannya dengan kita. Pertemuan ini hanya mengundang mudharat pada kita." Chayra berucap tanpa mau menatap Amira. "Dia bahkan tidak menghargai wanita." Sambungnya. Dia akhirnya mengeluarkan yang dari tadi dipendamnya.

"Lho bilang nggak usah saling menyalahkan. Tapi, lho juga nyalahin gue, Ayra."

Amira menimpali dengan kesal.

Chayra berulang kali menghembuskan nafasnya dengan kasar sambil melafalkan istigfhar. Mereka semua diam tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

* * *

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!