NovelToon NovelToon

Soulmate (Nathan Tita)

Bab 1

Di pagi yang terik, gadis manis itu berlarian memasuki gerbang sebuah mansion besar yang berada di salah satu kawasan asri, jauh dari hiruk pikuk dan kebisingan kota. Dia menelusuri taman dengan hamparan bunga yang tertata rapi, benar-benar menunjukkan si empunya rumah sangat memperhatikan tiap detail tamannya. Setelah melewati taman, si gadis berbelok menuju rumah belakang, masih dengan berlari riang, menggenggam gulungan kertas ditangannya yang digenggamnya dengan erat, seolah dia takut gulungan kertas itu akan terbang terbawa angin seiring dengan dia berlari. Rumah belakang, tempat para pekerja dirumah itu mengistirahatkan badan mereka, melepas lelah, setelah seharian bekerja di mansion besar itu. Rumah belakang yang lebih mirip kos-kosan, namun tetap bersih dan terawat hingga membuat mereka yang tinggal merasa nyaman.

Gadis itu menyunggingkan senyumnya makin lebar, kala matanya menangkap sosok yang selama ini jadi semangatnya, yang jadi alasan mengapa dia berusaha keras untuk menyelesaikan apa yang 4 tahun lalu dia mulai dengan berbagai macam pertimbangan. Hingga hari ini, pada saat dia menerima gulungan kertas itu, dia yakin dia akan menyesal jika empat tahun lalu dia mengambil keputusan yang berbeda. Cairan bening dari mata coklatnya tak mampu dia tahan, makin deras ketika mereka sudah berhadapan.

"Ibu!!" dengan nafas yang tersenggal, memeluk sang ibu dengan erat berusaha mengatur nafasnya.

Sang ibu, yang memang sudah hafal tabiat anaknya.. dengan lembut mengusap punggung sang anak, menyalurkan ketenangan dengan caranya hingga terdengar helaan nafas normal dari sang anak. "Apa yang membuat Tita-ku ini sangat-sangat bahagia pagi ini?" tanya ibu tanpa melepaskan usapan dipunggung anaknya.

Gadis itu mendorong tubuhnya perlahan, matanya terbelalak, membulat sempurna, "kok ibu tau?"

Ha ha ha, tawa renyah sang ibu keluar karena sikap lugu anak bungsunya, "kamu itu diperut ibu sembilan bulan, ibu susui full dua tahun, malah offset, jadi luar dalam kamu, gerak gerik kamu ya ibu udah hafal gak perlu pake mikir, ha ha ha.."

"Ih ibu, gak seru banget deh... aku aja sampe mules saking senengnya mau kasih tau ibu, ck..." Tita menundukkan wajahnya yang cemberut.

"Lho..kok malah cemberut sih?"

"Seharusnya ibu pura-pura aja gak tau..." mulai merajuk.

"Ibu kan juga belum tau kamu bahagianya karena apa..." sambil membelai pucuk kepala putrinya, sang ibu dengan mudah mengembalikan semangat sang putri dengan jawaban yang bijak.

Tita langsung menengadahkan wajahnya, berbinar-binar, "iya ya, ibu kan belum tau kenapa Tita bahagia..." dengan memamerkan barisan giginya yang rapi dan putih, gadis itu teringat alasannya berlarian sepanjang jalan, dari gerbang ke rumah belakang demi menyampaikan berita bahagia itu. Dan diberikannya gulungan kertas yang sudah tidak mulus lagi tengahnya karena diremas. "Baca Bu!" menyodorkan kertas itu ke tangan ibu dengan sumringah.

Sang ibu membuka gulungan kertas itu, membaca setiap kata yang tertulis di dalamnya, meneteskan air mata, bahagia, ya.. dia sungguh bahagia. Ditatapnya wajah sang bungsu yang masih memamerkan giginya, dielus pipi sang bungsu yang ikut memerah karena paparan panas matahari dan rasa bahagia... rasa bahagia, haru, sekaligus bangga menjadi satu dalam dadanya, membuat ibu makin tidak bisa membendung air matanya, "selamat ya sayang, terima kasih karena sudah membahagiakan ibu..." tak kuasa menahan tangisnya, sang ibu memeluk erat sang gadis. Mereka berpelukan tanpa memperdulikan beberapa pasang mata yang mengawasi tingkah mereka, karena orang-orang itu merasa ibu dan anak sedang berbahagia.

"Kenapa ibu yang berterima kasih, kan terbalik. Terima kasih ya Bu, kalau bukan karena ibu gak mungkin Tita akan berhasil seperti ini." ucap Tita penuh rasa syukur. Dan keharuan itu harus berakhir karena sapaan seseorang yang sejak tadi juga ikut menyaksikan adegan ibu dan putrinya, "Amel."

Sang ibu yang mendengar namanya dipanggil pun berpaling ke arah datangnya suara, "ah... maaf nyonya.. sa...saya ..." dia gugup, seperti orang yang tengah tertangkap basah. Tangannya gemetaran, dan kegugupan itupun dirasakan sang putri. Nyonya rumah itu mendekat, sang ibu menundukkan pandangannya penuh hormat, begitupun sang putri, sekelebat ada rasa bersalah dalam hatinya, dia lupa bahwa saat itu masih dalam jam kerja ibunya.

"Apa yang terjadi? kenapa kalian menangis disini?" tangannya mengusap air mata yang masih bersisa di pipi gadis itu dengan lembut.

"Maaf nyonya, saya mengganggu jam kerja ibu..." Tita menjawab penuh penyesalan, hingga dirasa usapan lembut itu berubah menjadi cubitan sayang. "iiiih, udah dibilang jangan panggil nyonya, gak denger-denger deh, panggil mami.. maaami... masa lulusan universitas A, Summa Cum Loude pula, cuma panggilan 'mami' aja gak inget-inget!" kesalnya tanpa melepaskan cubitan gemas di pipi Tita.

"aaaaaah.... iya... iya... ma...miiiii, sakiiiiiiiit" jawab Tita seraya memegang tangan sang nyonya yang ada di pipinya, dan melepaskan tangan yang mencubit pipinya. Sang ibu tertawa melihat keakraban nyonya dan putrinya. "Kok.. nyonya... eh, mami tau Tita lulus dengan Summa Cum Loude??" rasa penasaran mendominasi, sambil mengusap pipinya yang kena cubitan sang majikan.

Sang nyonya beralih pada sahabatnya, "Amel, anak kamu pinter, tapi sayang kurang peka." sang ibu tertawa, "mungkin karena belum pernah merasakan cinta, nyonya. Jadi, ya gitu deh, ha ha ha..."

Dan kedua orang tua dengan latar belakang berbeda itu meninggalkan Tita sendiri ditempatnya berdiri. Mereka masuk menuju mansion utama, untuk melakukan pekerjaan masing-masing. Dan si topik obrolan, hanya berdiri dengan kebingungan.

Sementara di halaman depan, sebuah Sweptail Rolls Royce melaju keluar melewati gerbang. Duduk di kursi belakang seorang pria dengan rahangnya yang tegas, hidung yang mancung, bibir yang dapat menggoda wanita mana saja yang melihatnya, dan mata berwarna abu-abu seperti mata sang ayah, yang bisa membuat lawan bisnisnya dan para wanita bertekuk lutut dan merasa terintimidasi hanya dengan tatapannya. Pria itu duduk dengan nyaman, menikmati perjalanan menuju kantornya, "Brian, siapa anak kecil tadi?" tanyanya penasaran.

Sang supir, yang juga merupakan tangan kanan sang pria, melirik sebentar ke arah kaca di atas yang mengarah ke tuannya, "anak kecil yang mana tuan?"

"Anak kecil yang tadi berlarian di taman..." entah apa yang membuat sang pria penasaran. Dan entah kenapa sang tangan kanan tidak peka kali ini.

Sejurus kemudian, sang tangan kanan mengingat kejadian tadi, dia baru paham siapa yang dimaksud tuannya, "gadis yang tadi berlarian itu anak dari Bu Amel tuan, dan dia bukan anak kecil karena sudah lulus kuliah." jawabnya santai.

"Hah... sekecil itu sudah lulus kuliah?" Tuan yang keseringan melihat wanita langsing tinggi semampai itu tak percaya, jika yang dilihatnya pagi tadi adalah seorang gadis yang bahkan sudah lulus kuliah. Senyum tersungging di wajahnya, masih merasa lucu, bukan karena dia meremehkan fisik seseorang, namun dimatanya yang dilihat tadi adalah seorang anak perempuan yang berlari dengan riang dibawah sinar matahari tanpa takut kulitnya terbakar ataupun panik karena tidak memakai tabir Surya. Dan itu cukup menghibur paginya hari itu. Namun ketika dia teringat sesuatu, rasa penasaran itu muncul dengan sendirinya. "Brian, bukannya Bu Amel sebatang kara? kok bisa tiba-tiba ada anaknya?"

"Bu Amel janda tuan, anak pertamanya bekerja di negara J, dan anak bungsunya baru lulus kuliah, selama ini dia kost di dekat kampusnya." Sang tangan kanan yang kini merangkap asisten menjelaskan untuk membunuh rasa penasaran tuannya.

"Oh... mungkin itu sebabnya aku tidak pernah tau ya." sambil mangut-mangut sang tuan menjawab, dan kembali menikmati perjalanannya. Sedangkan sang supir bergumam dalam hatinya, kapan juga anda peduli dengan hal-hal yang tidak menarik bagi anda. Tapi dia hanya berani bergumam dalam hati, karena dia tau betul watak tuannya, apalagi jika berhubungan dengan yang namanya wanita. Karena bagi tuannya, wanita yang tulus kepadanya hanya ibu dan adik perempuannya saja. Eh, kalau dipikir-pikir usia gadis tadi seumuran dengan nonanya. Bahkan mereka kuliah di kampus yang sama, tapi mengapa nonanya itu belum lulus? hm, bisa dipastikan akan bertambah pekerjaannya kali ini. Nona, mengapa anda senang sekali merepotkan saya.

*****

"Jadi, wisudanya kapan sayang?" Nyonya bertanya kepada gadis di depannya.

"Bulan depan, nyonya...eh.. mami" sesungguhnya ada rasa tidak nyaman ketika Tita menyebut majikan ibunya dengan panggilan mami. Gadis itu masih duduk menunduk. Di depannya ada nyonya mami, dan disebelahnya adalah nona rumah ini, sekaligus teman kampusnya.

"Mih, jangan bilang sama kakak ya kalo aku belum lulus," nona rumah ini mengiba kepada ibunya, penuh permohonannya. Dia tau, jika kakaknya sampai tau, dia pasti tidak selamat kali ini.

"Haduh, mami harus gimana coba. Gak mungkin kakak kamu gak tau. Mami yakin kalo Brian pasti udah tau deh." Nyonya itu menjawab dengan flat, seperti tidak terganggu dengan keadaan anaknya. Karena baginya itu bukan masalah besar, toh setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Sementara Tita hanya dapat mendengarkan obrolan ibu dan anak itu, tanpa menyela. Dia bahkan tidak tau seperti apa tuan mudanya itu. Tiba-tiba Tita tersentak, saat nona yang juga temannya itu menyentuh tangannya. "Apa?"

"Ih, ngelamun aja... punya pacar juga gak. melamunkan apa sih?" sang nona kepo dengan temannya yang lugu ini. "Mami tanya, kamu terima tawaran kerja yang direkomendasikan kampus gak?"

Tita menatap kembali nyonya maminya, "iya nyonya..eh..mami.. soalnya perusahaan itu terbilang perusahaan yang baik reputasinya, dan mereka memberikan kesempatan Tita untuk bergabung. Jadi Tita gak akan melewatkan kesempatan ini." jawabnya sambil tersenyum.

"Yaaaah, kamu kenapa gak kerja di perusahaan kakak aja sih? nantikan pas aku magang kita bisa ketemu." Begitulah nona sekaligus temannya ini, tidak ada watak angkuh sama sekali, walaupun kata orang mereka dari status sosial yang berbeda. Mungkin karena nyonya dan tuan rumah ini juga mencontohkan sikap yang rendah hati dan penuh perhatian kepada sesama, menjadikan putri mereka memiliki sifat yang jarang ditemukan pada anak-anak konglomerat lainnya. Namun, agak sedikit berbeda dengan sang kakak.

"Iya bener, kenapa gak di kantor Nathan aja sayang?"

"Tita bahagia banget, ibu kerja disini, Tita juga jadi kenal nyonya mami dan nona Loudy, sudah banyak banget kebaikan yang ibu dan Tita terima dari keluarga ini. Jadi, saat ini, dikesempatan ini, Tita ingin menunjukkan pada kalian kalau Tita sudah mampu berusaha sendiri. Tita ingin nyonya mami merasakan, kalau nyonya mami tidak sia-sia sudah menanggung biaya kuliah Tita."

Tiba-tiba ruangan itu menjadi melow, nyonya mami merasa bangga karena sudah menjadi bagian dari keberhasilan anak sahabatnya. Tita meneteskan air mata penuh syukur, dan mendapat rangkulan dari nona rumah yang memang tengah duduk di sebelahnya.

"Ta, aku bingung deh. Kamu baik banget kayak gini, pinter pula, gak macam-macam, tapi kok masih belum laku sih? aku kan juga pengen di curhatin sama kamu... masa aku terus yang curhat soal cowok sama kamu." sang nona yang lebih sering gak tau tempat kalau ngomong, menghilangkan keharuan yang telah tercipta hanya dalam waktu sekian detik.

Tita mendelik, menatap sang nona dengan tatapan aneh, "gila kali yaaa... Aku bukannya gak laku, cuma belum mau!" nah, keluar lah kebiasaan mereka yang suka adu mulut dengan manis.

Sang ibu menggelengkan kepalanya, serasa punya dua anak perempuan. Tapi dia sungguh menyukai keadaan ini, pertengkaran kecil kedua gadis itu dapat memberi warna dan kehangatan di mansion besar ini. Karena Tita jarang datang kesini semasa kuliah, karena dia tinggal di kost dekat kampus. Dan teringat satu hal, sang nyonya memotong pembicaraan dua gadis di depannya. "Tita, kan sekarang sudah lulus kuliah, jadi bisa dong tinggal disini?"

"Oh, iya bener... Tinggal disini aja, Ta," sang nona mendukung ide ibunya.

"Tapi kan kantor to be aku jauh kalo dari sini, Lou. Jadi, maaf nyonya mami... em.. Tita cari kontrakan aja yang deket kantor."

"Iya, iya, mami selalu dukung apapun keputusan kamu," senyum terukir di wajah nyonya mami.

"Kalo gitu hari ini kamu nginep yaaa, tapi temenin aku ke kampus dulu, ok" sang nona merajuk.

"Iya, tapi aku numpang mandi dulu dong. Gerah banget ih." seru Tita.

"Hah, kamu belum mandi???"

"Belum lha, aku tuh kesini pagi-pagi buta. Mana sempet mandi."

"Idih, mih... coret nih perempuan satu dari daftar calon kakak ipar aku," celoteh sang nona, sambil menarik sang teman naik ke kamarnya.

Tita tidak menanggapi, karena memang dia tidak kenal dengan si kakak nona dan menganggap sang nona hanya bercanda seperti yang sering dia lakukan.

Namun, tidak dengan sang nyonya yang mengerutkan dahinya mendengar celotehan anak perempuannya, sambil menatap punggung kedua gadis itu yang kemudian menghilang diujung tangga.

Sang nyonya mami harus rela ditinggal suami tercinta 7 tahun yang lalu, karena sebuah kecelakaan hingga membuat sang suami tak tertolong. Dan mau tidak mau Nathan, sang anak sulung yang baru saja menyelesaikan gelar masternya di Cardiff University, harus menggantikan posisi sang ayah di usia yang sangat muda. Namun, beruntung karena sang tuan memiliki karyawan dan kolega-kolega bisnis yang royal dan setia. Sehingga, banyak dukungan yang diterima Nathan dari kolega-kolega ayahnya. Dan memang pada dasarnya, Nathan, adalah anak yang cerdas dan memiliki keahlian bisnis yang mungkin diturunkan dari sang ayah. Sehingga perusahaan sang ayah makin berkembang pesat berkat tangan dinginnya.

Bab 2

Aston Martin berwarna hitam itu membelah jalan raya. Lantunan suara Ariana Grande - Stuck with you, mengiringi laju mobil mereka. Di dalam mobil Tita dan Loudy ikut menyanyikan lagu itu dengan riang. "Ta, kamu gak mau punya pacar apa?" pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya. Karena sampai saat ini, sang nona tidak pernah melihat Tita memiliki pacar bahkan sekedar dekat dengan seorang pria.

"Duh, kamu kan tau. Mana ada waktu aku buat pacaran. Dan kamu, jangan pacaran melulu biar cepet kelar kuliah."

Sang nona tertawa renyah, mendapat jawaban seperti itu dari temannya yang terkadang memang bijak. Tanpa ada rasa sakit hati atau apapun itu. Sang nona hanya menanggapi, "Kamu kan tau kapasitas otak aku kayak gimana, yang penting kan aku maju terus..."

"Kamu tinggal bilang aku lho, kalo butuh bantuan."

"Yeah, i know... but you know what? jangan sembarang ya kamu tunjukkin kebaikan kamu itu sama orang lain, ya. Aku takut kamu nantinya malah dimanfaatin."

"Lha, emang aku punya apa sampe orang mau manfaatin aku," Tita merendah, tiba-tiba rasa tidak percaya dirinya muncul.

"Kamu itu tuh terlalu baik, terlalu lugu, dan gampang kasihan sama orang. Aku jadi khawatir, gimana dikantor baru kamu nanti, kan aku gak ada disana juga." sang nona yang mempunyai jiwa ngemong itu mulai mengkhawatirkan temannya, atau mungkin naluri karena dia tidak memiliki adik.

"Udah.. santai aja, aku yang mau kerja kok kamu yang repot, ha ha ha."

"Ta, aku bilang kakak aku aja ya, biar kamu kerja di kantor kakak ku."

"Lou, nanti pas aku dapet gaji pertama, mau aku traktir makan apa?" Tita lebih suka tidak membahas ide nonanya, jadi dia mengalihkan pembicaraan.

"Oh iya, apa yaaaa... duh, terserah kamu deh yang penting enak. Aku tuh suka bingung nentuin kalo ditanya begitu, ha ha ha..."

Hingga tiba mereka di parkiran fakultas Loudy, karena memang para mahasiswa sedang tidak ada kegiatan perkuliahan, maka fakultas itu cukup lenggang. Mereka menuju bagian kemahasiswaan, "Ta, tunggu di bangku itu aja, aku isi KRS dulu." seraya menunjuk bangku ditengah taman.

"Oke."

Tita membuka smartphone-nya, melihat-lihat drama Korea terbaru untuk ditontonnya nanti malam. Saat tengah asik dengan kegiatannya, tiba-tiba ada seorang pria menghampiri bangkunya.

"Tita, kok ada di kampus sih?" Mike, teman Tita satu jurusan, yang sudah menaruh hati pada gadis itu sejak semester 2. Namun, tidak pernah sekalipun gayung bersambut.

Tita tersenyum melihat siapa yang datang. "Mickey, kebetulan banget kita ketemu disini. Ada urusan apa kamu disini?"

Mike, selalu menganggap 'mickey' adalah panggilan kesayangan Tita untuknya. Dan memang hanya Tita yang memanggilnya dengan sebutan itu. "Aku abis ketemu anak-anak, ngebahas perpisahan jurusan kita. kamu sama siapa Ta?"

"Sama Loudy, tuh dia lagi ke kemahasiswaan. Jadi rencananya mau diadain dimana?"

"Belum final, karena masih ada beberapa pertimbangan. Kayak kamu, yang langsung dapet kerjaan. Kapan mulai masuknya Ta?"

"Hari Senin aku mulai lapor, mungkin sekalian cari kontrakan atau kost-an."

"Mau aku temenin, Ta? Itu kan deket daerah rumah ku." Usaha aja dulu, gak salah kan. Mike.

"Iya boleh, aku juga gak tau daerah sana. Nanti aku kabarin ya, Mike."

Saat mereka tengah asik ngobrol, Loudy menghampiri. "Ta, yuk cabut. Mike kita jalan dulu ya." Loudy pamit.

"Oke, Ta, nanti aku hubungi ya..."

Tita tersenyum, dan meninggalkan Mickey yang tak berhenti menatapnya. Kedua gadis itu berjalan menuju tempat parkir. Karena hari masih siang, dan mereka tidak ada kesibukan, sang nona memberi ide untuk survey lokasi tempat kerja Tita. Berangkatlah mereka menuju tempat kerja Tita, Mirae Contruction, yang bergerak di bidang design dan konstruksi, merupakan salah satu perusahaan yang cukup diperhitungkan kinerjanya dan sudah banyak bekerja sama dengan perusahaan besar. Ada kebanggaan tersendiri, saat Tita mendapatkan kesempatan untuk bergabung dengan tim design di perusahaan ini, karena design-nya pada saat tugas akhir membuat CEO di perusahaan ini jatuh hati dan kebetulan memang cocok dengan projects yang akan dia ikuti saat itu. Design yang segar dan unik membuat siapapun yang melihat pasti tau bahwa design itu memiliki ciri khas yang khusus tanpa mengurangi keindahan hasil akhirnya.

"Ta, kamu tau siapa yang punya ni kantor?" pertanyaan sang nona yang kadang unfaedah bagi Tita. Dan Tita hanya mengangkat kedua bahunya. "Terus, hari pertama kami mau kesini naik apa?"

"Gak usah pusing kali, ojol banyak."

"Kamu gak sekalian cari kontrakan aja?"

"Besok aja sekalian, aku udah janji sama Mickey, dia mau nemenin. Lagipula kan besok aku cuma lapor aja. Baru mulai kerjanya awal bulan, katanya sih."

Ditengah perjalanan, Tita mendapat pesan dari salah satu sahabatnya, "Lou, Andin ngajak ketemuan nih."

"Dimana?" jawabnya.

"Club' 8, nanti malam."

"Aaah, enak banget sih... aku mau ikut,"

"Ya udah,"

"Tapi gak bisa, hiks... aku harus beresin paper." sang nona muda merengek.

"Ya udah, gak apa-apa. Kapan-kapan kan kita bisa pergi juga..."

*****

Hari beranjak petang, namun pria pemegang kekuasaan tertinggi Petra Corporate belum juga ingin beranjak dari kursinya. Mata abu-abu nya dibingkai dengan kacamata persegi yang makin mempertegas struktur wajahnya, masih memeriksa tiap lembaran projects kerja samanya dengan Mirae Contruction untuk pembangunan galeri seni di kota B. Dia tengah menatap design bangunan galeri seni tersebut ketika pintu ruangannya di ketuk. Tok tok. Dan tanpa mengalihkan pandangannya, sang tuan mempersilahkan orang yang di luar untuk masuk.

"Tuan, mau langsung pulang atau makan malam dulu?" Brian mengingatkan sang tuan.

"Brian, kapan jadwal kita meeting dengan Mirae?"

"3 Minggu lagi, tuan."

"Majukan minggu depan."

"Baik, saya akan menghubungi mereka. Jam berapa tuan akan pulang?"

"setengah jam lagi."

Sang sekretaris menunduk hormat kemudian meninggalkan ruangan sang tuan. Dia mengecek schedule sang tuan, mencari kontak sekretaris Mirae Contruction, merubah schedule, memberitahu mereka bahwa pertemuan dimajukan jadwalnya atas permintaan sang tuan. Dan tepat pada saat semua selesai, sang tuan keluar dari ruangan nya. "Silahkan, tuan."

"Brian, kita ke tempat Thomas dulu."

Berangkatlah mereka ke club' milik Thomas, club' 8, disana sudah ada teman-teman Nathan yang selalu ada disampingnya pada setiap momen hidup Nathan, termasuk Brian. Sesampainya di club', dia langsung menuju meja tempat teman-temannya berkumpul, sebuah lounge di lantai atas. Thomas yang sedang memangku seorang wanita dengan pakaian kekurangan bahan, Axel yang hanya duduk bersandar, dan Rega yang asik mencumbu pacarnya.

Huh, Nathan dan Brian menghela nafas hampir bersamaan melihat kelakuan teman-temannya itu. "ehm," Nathan duduk di sofa yang kosong dan Brian langsung memberikan sekaleng soda untuk sang tuan. Sebenarnya, Nathan tidak terlalu menyukai tempat seperti ini, karena makin memperlihatkan bahwa wanita-wanita itu hanya haus akan uang dan akan melakukan apa saja demi uang.

"Nath, mau ditemenin gak?" Thomas membuka pembicaraan.

"No, thanks." jawabnya.

Nathan, Brian, Thomas, dan Axel sedang terlibat obrolan ringan manakala telinganya menangkap suara merdu dari atas panggung. Nathan melihat kearah wanita itu, dia mengenakan tank top warna baby pink dan skinny jeans warna hitam. Nathan hanya melihatnya sekilas, dan melanjutkan kegiatan bersama teman-temannya. Namun, Nathan merasa terusik saat wanita itu sampai pada bait,

Oh, baby, look what you started

The temperature's rising in here

Is this gonna happen?

Been waiting and waiting for you

To make a move

(Woo, ooh, ooh)

Before I make a move

(Woo, ooh, ooh)

So baby, come light me up

And maybe I'll let you on it

A little bit dangerous,

But baby, that's how I want it

A little less conversation, and

A little more touch my body

'Cause I'm so into you

Into you

Into you

(into you - Ariana Grande)

Entah karena arti dari lagu itu, atau suara wanita yang menyanyikannya dengan suara yang sangat seksi. Seksi? wow, pikiran macam apa itu. Tapi, berhasil membuat Nathan terus memperhatikan wanita itu hingga dia menyelesaikan lagu dan mendapatkan tepuk tangan yang meriah dari para pengunjung, tak terkecuali orang-orang di meja Nathan. Dan tanpa terduga sang tuan berucap, "Thom, dia siapa?"

"Hanya pengunjung," Thomas sudah tau siapa yang dimaksud Nathan, karena dia memperhatikan Nathan yang asik memandangi panggung pada saat mereka sedang mengobrol. Dan itu, sungguh bukan kebiasaan Nathan.

"Brian," sang tuan beralih ke sekretaris. "Saya akan mencari informasi tuan." Seperti sudah diprogram untuk selalu tau apa mau tuannya. Brian langsung tau apa yang harus dilakukan.

Dia langsung turun, menuju meja si wanita. Namun, belum sampai tempat yang dituju dia melihat sang wanita berjalan keluar bersama seorang laki-laki. Brian mencoba mendekat, namun kalah cepat karena sesaat kemudian terlihat sang target sudah melesat dengan mobil yang di tumpangi nya.

"Maaf, tuan... dia sudah pergi."

"Hah, kok bisa," Nathan merasa bingung, karena bagi penikmat club' jam segini itu terbilang masih sore. Dan ketiga temannya itu makin aneh dengan sikapnya kali ini, sang sekretaris jadi merasa gagal membuat sang tuan puas akan kinerjanya. "Apa perlu saya mencaritahu, tuan?"

"Oh, tidak perlu." Nathan menghela nafasnya, dia sadar kalau di kelepasan tadi. Mungkin hanya rasa penasaran biasa, karena dia teringat kenangan masa lalunya. Dan dia tahu, dia tidak boleh menoleh lagi kebelakang, harus fokus ke depan, mencapai kesuksesan lagi dan lagi. Di usianya yang akan mencapai 30 tahun, bukan hanya sekali dua kali dia mendengar nyanyian sang ibu akan wanita dan pernikahan. Dan ujung-ujungnya sang ibu akan memelas karena mendengar jawaban yang sama dari sang anak, dan keluarlah kata-kata, aku ingin di sisa umurku mendengar celotehan anak kecil di mansion yang sepi ini, maka sang tuan akan menjawab, haruskah aku mengambilnya di panti? dan selanjutnya dia akan mendapatkan pukulan di bahunya.

Pernikahan. Bagi sang tuan itu hanya dapat dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, dan berjanji untuk sehidup semati. Dan bagi dia yang pernah dibuat kecewa dan hancur kepercayaan akan cinta dalam waktu yang bersamaan, rasanya sulit untuk mendapatkan rasa itu lagi. Bukan dia tidak pernah mencoba, hanya saja ketika seorang wanita yang akan menjadi teman kencannya hadir, dia hanya melihat wanita itu melakukannya semata-mata untuk bisa mendapatkan uang dan kemewahan yang memang sudah melekat pada dirinya. Dan dapat dibayangkan selanjutnya, sang sekretaris lah yang harus membereskan sisa kencannya.

*****

Hari minggu pagi di mansion. Sang tuan baru keluar dari kamarnya, ketika melewati kamar adik semata wayangnya dia mendengar ada dua orang gadis yang tertawa dari dalam kamar itu. Sempat dia menghentikan langkah dan ingin membuka pintu, namun urung dilakukan dan memilih melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.

Di ruang makan terlihat sang ibu sedang menata makanan di meja, dibantu dengan bi Amel. "Pagi mami," dikecupnya pipi sang ibu. "Pagi bi Amel," sapanya dengan wajah ramah, karena dia tahu Bu Amel adalah sahabat ibunya sejak dia muda.

"Selamat pagi tuan muda," jawab bi Amel.

"Mau sarapan apa sayang?" tanya sang mami, sambil memegang piring, guna melayani sang anak tersayang.

"Nasi goreng aja mi. Mami, apakah ada yang menginap?"

Sang ibu yang sedang mengambil nasi goreng menatap anaknya. "Oh, iya.. Loudy sedang mengerjakan tugas dibantu temannya." sambil menyerahkan piring ke hadapan anaknya.

"Kalau kamu sudah punya istri, ..."

"Mami, aku ingin sarapan dengan tenang, boleh?"

"Iya, ya, habiskan sarapan kamu." sang ibu pun memakan sarapannya dalam keheningan.

Dari ruang tengah terdengar langkah kaki, dan sang sekretaris kini sudah ada di hadapan mereka. Mami melihat ke arah anaknya, seolah bertanya mau kemana?

"Aku ada janji Mi, mungkin akan pulang sore."

Sang mami mengerti dan menyuruh sang sekretaris untuk sarapan juga. "Maaf, nyonya saya sudah sarapan di rumah."

Loudy yang sudah selesai mandi, berdiri di depan cermin sambil mengeringkan rambut. Sedangkan Tita berdiri di balkon kamar itu memandang ke arah taman yang dipenuhi bunga warna-warni. Saat tengah asik menikmati indahnya bunga, matanya melihat dua orang laki-laki berjalan menuju mobil. Yang satu membukakan pintu mobil untuk satu pria dengan bahu lebar dan tegap. Sungguh, Tita mengagumi bahu lebar dan tegap itu. Sepertinya enak juga kalau dipeluk, hi hi hi.

"Ta, ..." panggil Loudy.

Dan Tita berlalu dari balkon, masuk ke dalam kamar. "Iya,"

"Hari ini, kamu mau ngapain?" tanya sang nona, masih dengan kegiatan mengeringkan rambutnya.

"Mau tiduran aja,"

"Ya ampun, ini hari Minggu lho, masa tiduran doang. Jalan aja yuk."

"Mager, ah." Kemudian teringat sesuatu, dan dia bertanya pada Loudy, sang nona. "Lou, kakak kamu hari Minggu begini kerja juga?"

"Hah, kamu liat kakak ku dimana?"

"Tadi aku liat dari balkon, kayaknya itu kakak kamu ya sama temennya keluar."

"Ah, paling juga ketemuan sama temen-temennya." sang nona sudah siap dengan rambutnya, melangkahkan kaki menuju ruang ganti. "Eh iya, kamu kan belum pernah ketemu kakak ku, ya?"

"Belum, kenapa emang?"

"Mau aku comblangin gak, ha ha ha..."

"Ogah!"

Dan sang nona langsung keluar dari ruangan itu seketika manakala mendengar jawaban temannya. "Hei, kenapa? kakak aku itu high quality jomblo tau..." sang adik yang begitu mencintai kakaknya tidak terima jika ada yang menolak kakaknya.

Bab 3

"Mau aku comblangin gak, ha ha ha..."

"Ogah!"

Dan sang nona langsung keluar dari ruangan itu seketika manakala mendengar jawaban temannya. "Hei, kenapa? kakak ku itu high quality jomblo tau..." sang adik yang begitu mencintai kakaknya tidak terima jika ada yang menolak kakaknya.

"Ha ha ha... santai aja nona, gak usah sewot gitu ah." seloroh Tita sambil menjawil dagu sang nona. "Tapi, memang tuan muda belum menikah?" Tita memang belum pernah bertemu dengan sang tuan muda, karena dia tidak pernah tinggal bersama ibunya di mansion besar itu. Dan ketika dia berkunjung kesana pun tidak pernah bertemu dengan sang tuan.

Sang nona menghela nafas, teringat kejadian yang dialami kakak tercintanya, yang menjadikan kakaknya itu antipati terhadap wanita. Mungkin benar, setiap orang memiliki kekurangan, dan hal itu juga berlaku bagi sang kakak yang teramat sempurna dimatanya. Sang nona menatap Tita sejenak, yang sedang bersenandung... dia berfikir, temannya dan kakaknya ini mempunyai kemiripan dalam soal asmara, walaupun beda kasus, hi..hi..hi..

"Ta, kayaknya si Mike itu naksir kamu ya?"

"Hah, gak lha... naksir darimana. Dia itu emang baik dan perhatian sama semua orang kali.."

"Tapi yang aku liat gak gitu lho, Ta. Kalo lagi ngobrol sama kamu itu, tatapannya lain deh. Emang kamu gak pernah merhatiin ya?"

Bukannya menjawab pertanyaan sang nona, Tita lebih memilih memperhatikan sang nona, ditelisik wajah sang nona yang sedang duduk di depannya. Dan orang yang di tatap pun merasa risih. "Ngapain kamu liatin aku kayak gitu?"

"Jangan-jangan, nona ya yang falling in love ke Mickey," jawabnya sambil menarik turunkan alisnya.

"Ih, apa-apaan lagi... aku kan udah punya pacar."

"Iya deh iya, yang udah punya pacar." Ha ha ha..

"Tapi serius deh, Ta, emang kamu gak mau ya punya pacar? Kamu normal kan, Ta??"

"What? ya iya lah aku masih normal. Cuma kan kemaren itu aku masih sekolah, masih di biayain sama nyonya mami. Jadi, aku gak mau mengecewakan orang-orang yang udah support aku..."

"Iya, iya, Aku tau... sorry ya, Ta." sang nona menggenggam tangan Tita.

"Tapi, karena sekarang aku udah kerja... aku mau sekalian cari pacar ah... ha, ha, ha," Tita tertawa tanpa beban. Ya.. begitulah dia, gadis manis yang supel, dan ceria. "Semoga nanti aku bisa ketemu laki-laki yang gantengnya bisa bikin aku gak kedip," Tita berandai-andai.

"Ck, kalo laki-laki itu gantengnya bikin kamu gak kedip, artinya dia bikin kamu kelilipan tauuuu."

Dua gadis itu makin asik dengan obrolan unfaedah mereka. Saling mengungkapkan keinginan dan khayalan-khayalan mereka. Sementara itu di lantai bawah, sang nyonya sedang duduk di halaman belakang, ditemani sahabatnya, "Mel, kamu serius gak mau menjodohkan anakmu dengan anak aku?" sang nyonya sudah memikirkan hal ini masak-masak. Dia ingin anak sulungnya kembali merasakan kehangatan cinta. Walaupun anak sulung adalah anak laki-laki, namun bagi sang mami, usia anaknya itu sudah sepantasnya untuk berumah tangga.

"Bukan begitu nyonya, saya hanya tidak ingin memaksa keinginan saya terhadap Tita. Biarlah dia menemukan cintanya sendiri. Saya juga menyayangi tuan muda, sungguh, tapi alangkah tidak bijak jika kita memaksakan keinginan kita terhadap anak-anak apapun alasannya." Bi Amel memposisikan dirinya sebagai sahabat yang bisa meringankan beban pikiran sahabat sekaligus nyonya nya itu. "Tapi jika mereka saling mencintai nantinya, saya juga akan ikut bahagia nyonya. Sebaiknya kita do'akan saja mereka." Sang nyonya menghela nafas, dan dia juga menyetujui perkataan sang sahabat. Dia sebenarnya hanya berharap anak sulungnya itu bisa lepas dari bayang-bayang masa lalunya.

Malam hari, selepas makan malam, bi Amel sedang mengecek pekerja yang sedang membereskan dapur, sekaligus melihat menu makanan untuk esok pagi. Tiba-tiba, Tita yang memang sedang menginap di tempat ibu nya datang menghampiri. "Bu, besok aku jalan jam setengah tujuh ya. Takut terlambat, gak enak aku kalo telat," sambil memasukkan potongan kue ke mulutnya.

"Iya, kamu sudah siapkan semua keperluan untuk besok?" sang ibu masih serius dengan pekerjaannya.

"Udah kok, Bu, ada yang bisa aku bantu gak?"

"Gak ada, udah rapi ini. Sana tidur duluan aja, besok kamu telat lagi bangunnya."

Tita kemudian meninggalkan ibunya, berjalan menuju rumah belakang. Ketika melewati taman, Tita tergerak untuk menghampiri tanaman bunga nyonya mami. Harum bunga mawar yang mekar memberikan kesenangan tersendiri bagi Tita. Namun, kegiatan itu hanya berlangsung sebentar, karena Tita langsung kembali berjalan ke rumah belakang.

Dan di halaman depan mansion, sang tuan yang sempat melihat siluet seorang perempuan yang sedang merentangkan tangannya seolah ingin menghirup udara sebanyak-banyaknya di taman itu, kembali memicingkan matanya, agar bisa lebih jelas melihat siapa perempuan itu. Namun, karena penerangan di taman yang tidak terlalu terang membuat yang terlihat oleh mata hanya berupa siluet-siluet saja. "Silahkan, tuan." Brian menyadarkan tuannya. Dan ikut melihat kearah taman, namun dia tidak melihat apapun.

"Brian, aku akan keatas sendiri. Kamu boleh pulang."

"Baik, tuan." Dan sang sekretaris melajukan kembali mobilnya menuju kediamannya.

Brian adalah teman kuliah Nathan. Mereka kenal di kampus, pada saat mereka sama-sama mengambil program S1, di semester 3 mereka baru bertemu dengan Thomas dan Axel mereka merupakan saudara sepupu. Thomas satu jurusan dengan Nathan dan Brian, sedangkan Axel adalah seorang dokter muda yang telah mendapatkan STR-nya dan kini tengah menjalani program internship di salah satu rumah sakit pemerintah di kota itu. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, terutama ketika Axel sedang tidak ada jadwal. Dan mereka lebih sering menghabiskan waktu di rumah Nathan, sehingga orang tuanya sudah menganggap mereka seperti anak-anak mereka sendiri.

Nathan adalah sosok yang penyayang, peduli terhadap sekitar, tidak pernah memandang rendah orang lain, berjiwa pemimpin, setia, supel dan menyenangkan. Bukan hanya teman-teman seusianya yang nyaman berdekatan dengan Nathan, bahkan rekan-rekan bisnis sang papi pun sangat menyukainya, karena ketika berbicara dengan Nathan akan selalu muncul ide-ide segar untuk memajukan perusahaan. Pun ketika Nathan harus melanjutkan gelar masternya, sang papi selalu mengajak dan melibatkan sang anak sulung dalam pembicaraan terkait perusahaan walaupun hanya lewat Skype. Oleh karena itu, ketika sang papi mengalami kecelakaan dan tak terselamatkan. Maka dengan berani dan rasa percaya diri yang tinggi, Nathan mengambil alih tugas sang papi. Dan tidak ada kolega-kolega yang meragukan anak muda itu. Terbukti, hingga kini Petra Corporate makin berkembang, melebar kan sayapnya hingga kancah internasional.

Tapi itu adalah cerita lalu, sebelum sang tuan muda mengenal Anyastasia. Wanita cantik yang berhasil memikat hati sang tuan muda. Sempat menjadi satu-satunya wanita yang bahkan sang tuan muda akan melakukan apapun untuknya karena cinta. Namun, wanita itu juga yang menghancurkan rasa cinta, kepercayaan dan sosok yang menyenangkan dari dalam diri Nathan.

Kini sang tuan muda yang penyayang dan menyenangkan itu sudah tidak ada lagi. Hanya tersisa Nathan yang tegas, dingin, namun masih tetap cerdas.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!