NovelToon NovelToon

Aara Bukan Lara

•Perkenalan Tokoh

Belvya Aara Jozefa Addi yang biasa dipanggil dengan Ara adalah seorang gadis manis setinggi 162 cm. Meski Ara tidak memiliki kemiripan dengan kedua orang tuanya, ia tidak berpikir bahwa dia anak pungut. Ara lebih yakin bahwa mungkin gen Ara kesasar saat pembentukan.

Belvya Aara Jozefa Addi (Jung Da Bin)

Dahulu, Ara merupakan anak yang ceria, mudah bergaul, serta tomboi. Ia bahkan terpaksa memakai pakaian feminim agar celananya tidak dibakar sang Mama.

Terhitung sudah beberapa kali Mama nya dipanggil ke sekolah bukan karena kenakalan atau perkelahiannya, namun karena kasus Ara melepas rok untuk dijadikan payung. Ara beralasan bahwa dia sudah memakai celana rangkap pendek, jadi dilepas begitu saja rok nya juga tidak masalah. Hanya saja para guru sempat syok melihat adegan Ara di koridor saat itu yang dianggap tidak pantas.

Ara memiliki dua adik laki-laki kesayangannya dengan karakter yang sangat berbeda. Jonathan Van Abercio Addi berusia 14 tahun duduk di kelas 2 Sekolah Menengah Pertama dan si bungsu Adrian Theodore Osric Addi saat ini masih berada di kelas 5 Sekolah Dasar.

Jona memiliki tingkat kepercayaan diri yang super, selalu menyakini bahwa dialah yang paling tampan. Tidak perlu bertanya lagi pada cermin ajaib Ibu tiri Putri Salju, karena jawabannya mutlak Jonathan yang tampan.

Kalau menurut Ara, adik sulungnya itu sudah tampak bibit playboy yang suka tebar senyum tengil. Tapi jangan salah saat ada kalimat panjang keluar dari bibir milikinya, dapat dipastikan akan sangat pedas hingga mengalahkan pedasnya cabe rawit.

Jonathan Van Abercio Addi (Nam Da Reum)

Sedangkan si bungsu Rian termasuk tipe yang pemalu, penurut dan irit segalanya. Rian suka menabung, jarang tersenyum, pelit bicara dan mungkin saja juga irit bernafas, karena helaan nafasnya nyaris tidak pernah terdengar.

Rian seolah memiliki dunianya sendiri. Temannya selain Ara dan Jona hanya terlihat gadget. Tidak ada sosok manusia asing lain yang mampu mendekati Rian.

Adrian Theodore Osric Addi (David Janssen)

Dahulu, Ara belum mengetahui bahwa ia adalah anak pertama dari kedua orang tuanya. Pasalnya selama 3 tahun hidupnya sudah diperkenalkan pada Ega sebagai sosok Kakak laki-laki nya.

Ara dan Ega layaknya anak kembar yang maunya serba sama, bahkan untuk warna pakaian mereka akan protes keras bila diberikan yang berbeda. Akan tetapi kisah itu berakhir dengan perpisahan keduanya saat Tante Laura, adik kandung Mama Lauritz membawa Ega pergi. Hingga akhirnya Ara paham bahwa Devga Divta Mahendra hanyalah sepupunya.

Devga Divta Mahendra (Kim Min Gyu)

Seluruh dunia mungkin akan miris bila mengetahui kisah kelahiran Ega. Anak haram yang sempat ingin dibuang. Ara yakin bisikan cacian itu akan Ega terima lebih kuat saat ini bila berkunjung ke kampung halaman Mama Lauritz, karena kebenaran sudah terungkap. Namun cacian dan hinaan akan terus menggema berupa bisikan, mana ada yang berani melontarkan langsung.

Orang tua Mama Lauritz adalah keluarga kaya yang berpengaruh. Kakek adalah tuan tanah sekaligus pemilik kebun kopi, kebun tembakau, serta sawah ratusan hektar di beberapa desa. Seluruh harta itu tentu saja sudah diurus pewarisnya meski Kakek masih hidup. Namun tidak untuk Mama Lauritz yang menolak segala bentuk harta waris. Baginya sudah sangat cukup harta dari keringat suaminya sendiri.

Mama Lauritz dan Papa Yudith yang merupakan orang tua Ara juga sering mengatakan kepada ketiga anaknya bahwa tidak apa-apa kalau suatu hari nanti tidak ada perhatian untuk mereka, tapi berpesan jangan sampai melupakan ikatan persaudaraan dan saling menyayangi diantara ketiga anaknya. Mungkin keduanya trauma akan kehidupan keluarga yang tidak rukun itu.

...Maxel Yudithio Addi (Daniel Henney)...

...Lauritz Mega Vromme (Song Ji Hyo)...

Dari ketiga anak Papa Yudith dan Mama Lauritz hanya Ara yang sifatnya bar-bar. Bukan kisah baru jika Ara bercerita tentang perkelahiannya. Tapi perlu digaris bawahi bahwa Ara tidak berkelahi dengan sebangsanya, lebih baik diacuhkan jika si pembuat onar sama-sama perempuan. Ara malas adu mulut dan main jambak. Rambutnya itu mudah kusut. Bagi Ara cukup menjadi singa saat bangun tidur saja, jangan berubah karena perkelahian remeh.

Ara mulai taubat sejak masuk Sekolah Menengah Atas. Kisah adu jotos nya sudah tidak berdenging di telinga orang tuanya lagi. Tidak pernah pula Ara berkisah mengenai romansa masa remajanya. Hanya pernah sekali Ara menunjukan muka terbakarnya kala satu-satunya pemuda yang datang ke rumah setelah lari pagi.

Meskipun kehidupannya tidak sesulit sebagian teman lainnya yang harus berkerja part time untuk uang kuliah, Ara juga pernah berada di titik jenuh hingga banting profesi menjadi penjual aneka kue di kampus. Ara tidak malu untuk menjajakan kue-kue kepada teman-temannya dan para dosen. Tujuan utamanya untuk mengisi waktu dan melatih diri, sedangkan penghasilan adalah bonus baginya.

Ide berjualan tercetus kala melihat sang Mama yang hobi masak mengeluh melihat lemari kue masih penuh. Kadang Ara suka pusing melihat Mama Lauritz yang sudah kecanduan ngadon kue itu.

...----------------...

Sepenggal pengenalan kisah itu tentu dapat memberikan gambaran keluarga harmonis penuh kasih sayang. Ingat ya, keluarga harmonis dan penuh kasih sayang ini terdiri dari Papa Yudith, Mama Lauritz, Kakak Ara, Mas Jona dan Dek Rian.

Memulai kisahnya, Ara merupakan gadis keras pendirian melebihi batu. Jika harus diibaratkan, maka Ara lebih suka disebut layaknya anak panah.

Laksana panah yang membidik mangsanya, menembus udara dingin dan melesat bagai kilatan petir di kala gemuruh terus bersautan. Ara tidak pernah gentar sedetikpun hanya untuk beristirahat sejenak dari mimpinya. Percaya bahwa semua demi orang-orang yang dicintai dan mencintainya.

Akan tetapi, senyuman yang tampak ceria itu harus diiringi tangisan dari mata yang penuh luka.

Mengapa tawa nya mudah beralih menjadi kepedihan yang tersamarkan kebisingan dunia?

Sejak kapan panah itu melumpuhkan dirinya sendiri?

......Jangan berani-beraninya deketin aku! Bikin jijik aja......

......Gak punya malu banget orang sejelek itu......

......Dasar pembawa sial......

......Gara-gara anak ini rusak garis keturunan kita semua......

......Tulangnya aja udah miskin kayak bapaknya......

.......Pinter sih, tapi sumpah gendut jelek banget......

......Mungkin cuma mimpi dia bisa jadi cantik......

......Ara pakai aku......

......Kita akan bahagia......

......Bahagia......

"Gantung diri? Gak boleh, nanti lidahnya keluar sama matanya melotot. Minum racun? Nanti kalau kejang-kejang terus kaku pasti juga melotot, mana pasti mulutnya kotor. Apa harus lompat ke laut atau sungai ya? Kalau nanti berubah jadi ikan kembung atau ikan buntal badannya juga jelek. Itu kalau masih belum dimakan ikan atau buaya. Apa harus potong urat nadi lagi?"

Iya, Ara sudah tidak sekokoh anak panah lagi. Panah itu sudah hancur menjadi debu. Tapi bukankah debu masih mampu menyakiti?

“Tangan kakak kenapa luka kayak begitu?”

“Kena cakar kucing di kampus.”

“Sini lihat dulu! Kok cakarannya aneh gitu? Periksa dulu ke dokter kak, nanti kalau tetanus atau rabies gimana?”

“Ini gak apa-apa. Kuku kucingnya beda aja.” Iya beda, kuku kucingnya limited edition dari besi tipis yang bisa buat tusuk-tusuk.

...****************...

*

*

*

Terima kasih sudah membaca😘

Note : Buat yang baru gabung, Hana lagi ubah panggilan diluar dialog yang sebut contoh 'Bang Gilang' jadi 'Gilang' aja. Jadi jangan bingung kalau nanti ketemu Penyebutan beda di tengah jalan.

Selain itu, novel ini punya alur cerita yang lambat, jika ingin langsung melompat-lompat bab silakan😁

•Kepribadian Ganda

...PERINGATAN!!...

...BEBERAPA ADEGAN TIDAK PANTAS UNTUK DITIRU!!...

...⚠⚠⚠⚠⚠⚠⚠⚠⚠...

...****************...

“Uhuk.. Uhuk.. Uhuk.. Hahhh.. Hahhh… Hiks.." Isak tangis tertahan kembali menggema dalam ruang biru laut malam itu.

Ara menggerakkan tangannya mencari-cari selimut tebal berwarna biru laut dan kemudian membenamkan wajahnya sambil berbaring meringkuk. "Kenapa masih sakit?? Kenapaaa?? Hiks.. Hiks..”

Kuku ibu jarinya terus menekan dengan kasar jari telunjuknya sendiri, Ara kembali menatap langit-langit kamarnya.

Iya, hal yang baru saja Ara lakukan sampai terbatuk-batuk adalah mencekik lehernya sendiri dengan kedua tangannya. Sesekali bayangan masa kecil Ara terlintas dibenaknya.

“Apa aku jadi orang yang terlalu serakah? Aku udah dapat kasih sayang keluarga ku, tapi kenapa rasanya aku masih butuh kasih sayang orang-orang brengsek itu?" Ucap Ara pilu. Air matanya terus merembes dari sela-sela kelopak mata yang terkatup rapat.

"Kenapa rasanya sakit banget. Kenapa aku dibuang? Apa salah aku?? Aku udah selalu berusaha bersikap manis, penurut, jadi anak yang pintar. Tapi apa mereka pernah menganggap aku ada?? Kenapa orang yang aku sayang juga ninggalin aku?” Terisak Ara menutup separuh wajahnya dengan lengan kanannya sendiri. Matanya terasa panas dengan linangan air mata yang sudah membasahi seprai kasurnya.

"Aku salah apa?? Aku salah apa??!! Hiks.. Hiks.." Gumam Ara berkali-kali sambil menggigit kuku ibu jari tangan kanannya.

"Kenapa aku dibuang?? Aku salah apa??" Suara bergetar dan nyaris menghilang ditelan kerapuhan terdengar sangat memilukan. Memukuli dadanya secara asal, Ara merasakan udara yang dihirupnya semakin menipis.

Dengan hati yang masih berkecamuk, Ara beranjak duduk, menatap meja kecil di sisi kiri rak buku. Ia mengambil jarum pentul yang memang diletakkannya di meja itu dan dengan mantap digoreskan ujung tajam jarum itu di lengan kirinya.

Goresan pertama.

Goresan kedua.

Goresan ketiga.

Ara berhenti menghitung setelah beberapa goresan kecil pada tempat yang sama meninggalkan bintik-bintik merah nyaris membentuk garis. Belum juga merasa puas, Ara terus membuat goresan lain. Berharap dapat merasakan sakit di tubuh fisiknya agar rasa sakit di hatinya dapat berkurang.

Kelegaan jelas menghiasi relung hati Ara kala ukiran abstrak di lengan tampak mengisi penuh. Menjatuhkan diri di atas kasur dengan kasar, Ara memandang kosong langit-langit kamarnya. Seulas senyum tidak berarti terlukis indah di lengkungan bibir Ara.

“Hah! Aku harus tidur. Besok kuliah pagi.” Ara mencoba menutup matanya perlahan hingga tiba-tiba ia teringat jika dirinya baru saja menangis. Bola matanya seketika seolah meloncat keluar, kelopak mata yang terbuka lebar seakan lupa untuk melindungi keberadaan bola matanya sendiri. Ara sudah terbelalak lebar dan merutuki kelakuannya.

“Aaaahhhh!!! Mataku bisa kayak kena sengat tawon besok pagi!! Dasar Ara bodoh!!” Tersadar dengan tingkahnya Ara mengusap wajahnya dengan gusar. Mengumpat dirinya sendiri dengan kesal.

'Harus ambil air es sama kapas dulu nih. Ayo kita kompres mata jelek ini dulu.' Pikir Ara dalam hati untuk menenangkan pikirannya yang kalut.

Perlahan Ara membuka pintu kamarnya menuju tangga dengan waspada dan mengintip keberadaan keluarganya pada ruang tengah di ujung anak tangga. Takut jika ia akan tertangkap basah, terkadang entah itu Papa Yudith atau Jona sering tertidur di sofa atau bahkan karpet ruang tengah sembari televisi menonton pertunjukan keduanya tertidur.

Mengingat saat ini sudah menunjukkan pukul 03.00 pagi dan tidak terlihat siapa pun, Ara dengan cepat berlari ke arah kulkas di dapur mengambil air es dan kembali ke kamarnya untuk mengompres mata.

...----------------...

Waktu berlalu, hingga sinar matahari pagi itu mulai masuk menyeruak ke kamar Ara lewat celah jendela yang gordennya tersingkap. Bunyi alarm dari ponsel Ara sudah berulang ribuan kali tapi diabaikannya. Terlalu nyenyak menyelami dunia fantasi, menyaksikan pertempuran antara kadal jingkrak dan iguana gemoy.

“KAKAK KULIAH GAK?? UDAH JAM 7!!!” Teriakan memekik Mama Lauritz dari lantai bawah tanpa pengeras suara menggelegar ke seluruh sudut rumah. Jika para semut bisa demo, mungkin akan heboh karena teriakan Mama Lauritz menyebabkan gempa bagi para semut.

“Hemmm.. Ada.” jawab Ara lirih yang pasti hanya Ara yang mendengarkannya.

Tok.

Tok.

Tok

“Kakak ayo bangun!! Rian bawain roti bakar nih.. Pakai telur ceplok setengah matang juga..” Goda suara di balik pintu kayu berwarna coklat kamar Ara itu.

“Oke.. Oke.. Kakak bangun.” Berjalan dengan mata setengah terpejam.

Ceklek.

“Mana rotinya?? Jangan turun dulu.. Cium!” Ara memegang piring kecil berisi roti bakarnya sambil menyodorkan mukanya.

Cup.

Rian si adik bungsu mengecup pipi kiri Ara sekilas. Senyum merekah pada wajah Ara yang masih enggan membuka matanya lagi.

“Sebelahnya mana!?”

Cup

Dikecupnya lagi pipi kanan Ara.

“Dahi, mata, hidung, dagu, mmm..” ucap Ara sambil memonyongkan bibir miliknya seperti bebek. Tentu saja yang Rian lakukan hanya menurut untuk menciumi wajah kumal Ara.

“Oke. Udah di cas. Rian turun sana, kakak mau makan terus ambil handuk. Bye my baby beruang madu.” Ucap Ara sambil tangannya meraih potongan roti bakar itu.

Untuk sebagian orang kebiasaan Ara pasti aneh dan tidak wajar, tapi bagi keluarga Papa Yudith dan Mama Lauritz itu adalah hal yang 'biasa saja'.

Bagi Ara sendiri mencium atau dicium oleh keluarganya itu bisa menunjukan rasa kasih sayang, kedekatan dan kepedulian. Apalagi mereka merupakan keluarga, jadi sangat wajar menurutnya. Terkadang Ara malah bingung pada kebanyakan anak-anak yang canggung berinteraksi dengan keluarganya sendiri.

“Kakak jorok banget belum kumur, cuci muka, minimalkan cuci tangan ini malah udah nyosor makan aja!” Ucap Mama Lauritz sambil menaruh kedua tangannya di sisi pinggang.

Bukannya membuat yang melihat takut, melainkan tingkah Mama Lauritz terlihat sangat menggemaskan. Maklum saja karena Mama Lauritz memiliki perawakan yang imut, wajahnya pun tidak kalah cantik dengan wanita di awal usia 30 tahun, padahal Mama Lauritz sendiri sudah berusia 43 tahun.

“Hehehe.. Mama.. Habisan diantar ke kamar sama embul. Mager banget mau turun dulu tadi, butuh energi duluan. Ya kan ikan buntal nya kakak?” Menuruni tangga membawa piring kosong dan handuk yang disampirkan pada bahu kirinya menggantung menutupi hingga ujung jari, Ara menatap adiknya, Rian.

“Berapa nama panggilan lagi buat Rian yang kakak buat sekarang? Little star, ndut, beruang madu, honey bee, buntal, embul, terus apalagi itu lupa nah sekarang ikan buntal!? Padahal Rian udah kurus sekarang.” Protes Jona pada Ara.

“Loh mas kok belum berangkat? Kemarin bilangnya mau berangkat pagi ada piket kelas? Ah udah lah, kakak mau mandi. Udah telat. Jam 8 masuk. Harus kebut jadi Rossi dulu habis ini." Cerocos Ara panjang sambil berlalu ke kamar mandi satu-satunya di dalam rumah orang tuanya itu.

Rumah berlantai 2 sederhana milik keluarga Ara memang sengaja hanya membuat 1 kamar mandi di bagian dalam dan 1 lagi di luar khusus untuk tamu agar mudah menjangkau dari ruang tamu atau halaman rumah. Selain itu juga sebagai antisipasi jika kebelet massal melanda tidak harus antri panjang.

Keputusan Papa Yudith dan Mama Lauritz membangun rumah seperti itu untuk lebih mengontrol kegiatan anak-anaknya. Tampak terbukti saat ini, khususnya untuk Ara Si Kutu Kasur seperti julukan yang diberikan Jona agar lebih sering bergerak keluar dari kamarnya.

Papa Yudith yang melihat tingkah anak-anak dan istrinya hanya bisa berdecak sambil menggelengkan kepalanya. Sudah rutinitas sehari-hari dimana kala pagi si Mama akan berubah menjadi petir yang menggelegar dan si kakak bak model professional melenggang santai melewati gemuruh petir. Jangan lupakan aksesoris handuk oren di bahu kiri yang terkadang ditambahkan gelas bekas susu atau piring bekas aneka jenis roti di tangan kanannya.

Sedangkan si bungsu Adrian sudah seperti layaknya kurir makanan masa kini yang selalu setia mengantar sarapan ke kamar Kakak kesayangannya itu. Sudah seperti pemancing saja. Tapi bukan pemancing ikan yang bisa di goreng, melainkan kebo ngorok penghuni kamar biru laut rumah berlantai dua.

Menghembuskan nafas dengan kasar, di kamar mandi berdinding keramik putih itu Ara meneliti tangan kirinya. “Untung aja gak bengkak matanya. Gak sadar ternyata banyak juga lukanya. Kalau sadar gini kok sakit sih. Emang psiko banget aku. Kepribadian ganda banget kayaknya. hehehehe” Sudut bibir kanan Ara tertarik sedikit menyunggingkan senyum yang dirasa bahagia. Entahlah benar-benar bahagia atau hanya paksaan otak ke saraf motoriknya.

Bukannya segera menuntaskan ritual mandinya, Ara masih setia memandangi sayatan demi sayatan karya nya. Seperti lukisan abstrak yang tertuang di atas bidang hidup berupa daging di bawah kulit. Ara bukan orang munafik atau bermuka 2, ia hanya terlalu handal berkamuflase dari kekacauan hidupnya.

...****************...

*

*

*

Terima kasih sudah membaca karya pertama Hana🥰

•Donat Gula

Drrt.. Drrt..

Bass, drum, rideum wie mic

Guitar Player, this is N. Flying

Out of control jojong bulga

Hold up, hold up, you know who we are

Yo, yo

This is N. Flying sensations

Okay, come on

(N. Flying – Awesome)

“Halo Ra udah dimana sih sekarang kok belum sampai juga?” Pertanyaan tidak sabaran itu menyerbu bak meriam saat Ara selesai menggeser ikon hijau.

“Coba kalau nanya pakai titik koma gitu Yuki. Bikin gagal jantung aja.”

“Idih amit-amit deh. Jangan berdoa macam-macam ya anda. Lagian mana kelihatan titik komanya. Emang bikin makalah Pak Kim.” Begitulah Yuki. Kalau berbicara kadang mulutnya lupa rem.

Baru juga mulai bicara Ara sudah muncul tanda-tanda pusing. Ada saja hal yang Ara tidak ketahui dari pembicaraannya dengan Yuki, seperti saat ini saja dia tidak tau siapa itu Pak Kim yang disebut Yuki.

“Kok diem sih Ra?? Lagi dimana? Bentar lagi ini.. Tinggal 20 menit lagi masuk kelas. Jangan bilang kamu baru mau pakai sepatu?”

Dan benar saja tebakan Yuki. Ara memang baru mau memakai sepatu atau lebih tepatnya sedang menenteng sepatunya.

“Gak kok. Udah di motor ini. Ya udah deh aku matiin, mau OTW nih.” Sahutan penuh dusta Ara tanpa beban dosa mengalun indah sambil mematikan panggilan sepihak.

Memacu motor matic berwarna pink hadiah dari Papa Yudith 7 tahun silam yang sama sekali bukan selera Ara dengan kecepatan nyaris menyentuh 100km/jam, Ara membayangkan sedang berada di sirkuit balap.

“Belvya Aara Jozefa!! Lo pasti ugal-ugalan di jalan lagi hari ini kan?” Mata memicing sok tajam menatap Ara dengan jarak yang semakin terkikis.

“Eh.. Ada Dimas Cuit. Jangan garang gitu bos.” Celetuk Ara di samping Dimas, temannya dalam kembang tiga serangkai.

“Nama gue Dimas Zuwitd peak!! Bukan Cuit.” Sergah Dimas kesal sambil menoyor kepala Ara.

“Gaya lo pakai gue-gue. Aku-akuan aja, dasar Cuit!”

Mendelik sebal Dimas berlalu meninggalkan Ara dan bersiap mengecek kelengkapan perkuliahan dimana dia saat ini menjadi asisten penanggung jawab mata kuliah Oseanografi.

Yuki, Dimas dan Ara terkenal dengan kembang tiga serangkai bukan tanpa alasan. Pertemanan ketiganya sudah dimulai sejak awal kuliah hingga bersama-sama meraih nilai tertinggi dan dipercaya menjadi asisten dosen. Pertemanan yang diawali dengan pembicaraan canggung di koridor fakultas kelautan sambil berbagi donat gula milik Dimas, air minum Ara dan tisu milik Yuki demi menanti dosen pembimbing akademik yang sama.

Ketiganya kala itu malu-malu saat berbagi donat Dimas. Hingga mulai nikmat menyantap setengah potong donat harus dikejutkan dengan sang dosen pembimbing akademik di ujung koridor berjarak 15 meter.

Sebagai MABA alias Mahasiswa Baru yang takut terlambat kala itu, tanpa pikir panjang ketiganya melahap setengah potong donat dengan dorongan air minum Ara. Tidak ada kecanggungan lagi. Apalagi disaat Yuki dengan hebohnya mengeluarkan tisu untuk membersikan tangan Ara akibat semburan air dari mulut Dimas.

“Sstt.. Kenapa senyum-senyum? Pak Rendi ganteng ya?” Bisikan halus Yuki sampai di telinga kanan Ara.

“Pak Rendi emang ganteng, tapi sayang istrinya cantik, anaknya gemesin banget. Bikin pelakor mental sebelum perang.” Terkekeh Ara menjawab pertanyaan tidak berguna Yuki. Bisa-bisanya Ara menjawab seperti itu.

“Jangan mikir aneh-aneh Yuki. Aku cuma ingat donat Dimas aja.” Sanggahan langsung yang harus Ara lontarkan sebelum otak luas Yuki bekerja tidak pada tempatnya.

...----------------...

“Dim.. Ra.. Jalan yuk ke mall habis kuliah.”

“Ngapain jalan kalau ada motor Ki?” Ini adalah salah satu dari sekian jenis pertanyaan balik mode tidak peka dan sableng milik Dimas pemicu perang.

“Heh! Dasar cowok gak peka! Bukan jalan kaki sampai ke mall. Tapi jalan-jalan yang artinya main, have fun, nyantai, senang-senang gitu!” Nah kan benar feeling Ara, itu adalah pertanyaan balik pemicu perang. Sebentar lagi akan ada adu mulut bebek dan angsa diantara pagar pembatas berupa Ara.

“Yang bilang jalan kaki siapa? Gak ada. Yang ngajak jalan juga siapa?” Sergah Dimas.

“Ya ngapain sebut motor tadi kalau gak maksud jalan kaki?” Balas Yuki tentunya tidak mau kalah.

“Kan aku punya motor. Dipakai dong motornya.”

“Aku juga punya motor sendiri kali.”

“Terus?”

“Ya aku juga punya motor!”

“Oh.”

“Oh aja?” Memekik dan melotot, itulah gambaran Yuki saat ini.

'Oke, udah lewat 1 menit.' Batin Ara memutuskan mengakhiri perdebatan. “Udah ayo kita jalan sebentar ke parkiran terus naik motor masing-masing buat ke mall. Kita have fun satu jam aja di sana.”

Memilih beranjak terlebih dahulu agar Dimas dan Yuki mengekorinya selalu menjadi pilihan terbaik. Jika tidak begitu bisa jadi Ara harus berobat ke dokter THT.

“Ke timezone lagi?” Celetuk Dimas sesaat memasuki area main di mall yang mereka kunjungi yang dijawab anggukan serentak oleh Ara dan Yuki.

Timezone basketball arcade layaknya menu favorit saat pergi ke rumah makan. Disinilah ketiga anak manusia itu asyik memasukan bola.

“Ara berhenti!” Suara berat tertahan dengan mata sendu Yuki menatap tangan kiri Ara yang digenggamnya.

“Jelasin!” Lanjutnya dengan nada merendah sambil menatap lekat mata Ara.

“Apaan sih kayak gitu? Biasa aja kali. Nanti aku ceritain, ada Dimas disini.” Jawaban dengan nada santai dan tak kalah pelan seperti bisikan tetangga terlontar dari bibir Ara. Sesekali Ara melirik ke arah Dimas yang masih asik bermain dan tidak menyadari keadaan sekitar yang menegang. Terbukti sudah bahwa memang benar kalau Dimas tidak peka.

Sepanjang waktu di mall hingga menjelang pulang Yuki menjadi lebih pendiam. Tidak tahu kenapa Yuki memilih menghemat suara cemprengnya. Godaan Dimas pemicu bencana juga tidak mempan.

Sesaat setelah tiba di parkiran mall, Dimas buru-buru melajukan kuda besinya terlebih dahulu akibat panggilan darurat sang kakak yang ngidam bakso beranak.

“Jelasin ke aku Ra! Kamu kumat lagi? Obatnya masihkan? Kalau perlu terapi lagi ayo kita pergi. Kalau uangnya kurang masih ada tabungan aku buat tambah. Cerita kalau ada apa-apa itu.” Menahan pergelangan tangan Ara, intonasi tegas Yuki lama-lama hilang berganti dengan suara yang kian parau.

“HAH!” Helaan nafas kasar Ara diikuti bibir yang sudah berkedut dan bergetar.

“Aku bilang ke tante Liz kalau kita bakal lembur tugas ya? Kita cari tempat buat kamu tenangin diri dulu. Aku temenin tidur sambil di usapin kepalanya. Mau ya Ra?” Benar-benar tidak ada lagi suara cempreng Yuki. Suara itu kini sangat lemah lembut. Apalagi usapan lembut tangan Yuki di punggung Ara yang seakan mampu mengatakan bahwa dia tidak sendirian.

Menatap Yuki dengan senyum yang dipaksakan. Genggaman tangan Yuki juga diurai Ara dengan halus. Ara seolah mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan oleh temannya itu.

“Aku memang sempat iseng kelewatan. Tapi aku baik-baik aja Yuki. Ini juga luka lama kok. Pulang sekarang aja ya, udah mau sore.”

Mana bisa Yuki mempercayai ucapan Ara. Terlihat sangat jelas bahwa luka yang masih memerah itu goresan baru. Jika Yuki tidak perhatian terhadap Ara pasti dia masih akan dibodohi kebohongan Ara yang berkata dicakar kucing. Padahal untuk berdekatan dengan kucing saja Ara tidak bisa dan sebagai pecinta kucing, luka di tangan Ara bukan pola cakaran kucing.

...****************...

*

*

*

Terima kasih udah baca kisah Ara dan kasih dukungannya buat Hana🥰

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!