Aku Yuri Zivannya, seorang gadis berusia 21 tahun. Perawakan biasa saja, tinggi rata-rata orang Indonesia, berkulit kuning langsat, tidak begitu kurus tapi mereka memanggilmu dengan sebutan " kutilang darat" kurus, tinggi, langsing, dada rata. Satu yang orang lain selalu lihat dariku adalah tahi lalat di dagu kiriku, katanya membuatku terlihat manis, apalagi jika tersenyum, dan pujian itu kadang membuatku merasa malu, sehingga aku jarang tersenyum.
Aku jomblo, pacarku lari karena takut dengan ayahku yang galaknya minta ampun, tapi dia adalah ayah terbaik yang aku punya, namanya ayah Budi, nama lengkap Budiyo.
Ibuku bernama Jillah, aku senang memanggilnya dengan sebutan mama Jill, terkesan begitu unik dan keren daripada Lah.
Adikku yang bawel bernama Josy, dia persis seperti pemeran kartun binatang bernama george, si monkey. Usil dan bawelnya minta ampun. Aku memanggilnya si onyit, lucu kan!
🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹
Kisah ini berawal dari sebuah kecelakaan motor yang ku kendarai saat pulang kuliah.
Malam itu, hujan turun lebat. Aku tak bisa melihat dengan jelas jalanan di depanku. Berniat untuk mencari tempat untuk berteduh, namun naas sebuah mobil melaju kencang menuju arahku tanpa sempat aku menghindar.
Bruak
Itulah bunyi terakhir yang aku dengar setelah cahaya mobil terakhir yang kulihat menyilaukan mataku dan cahaya itu seketika berubah menjadi gelap.
Aku merasakan tangan-tangan menyentuhku, entah ada berapa orang aku tak tahu, Karena setelah itu kesadaranku juga menghilang. Ku pikir hidupku sudah berakhir saat itu juga, tanpa sempat berpamitan pada kedua orang tuaku dan adikku, sahabat-sahabatku dan mantan pacarku si Reinand. Ya walaupun dia hanya mantan, tapi dia juga berjasa padaku, menyelamatkan aku dari ejekan teman-temanku yang mengatakan aku tak normal, Karena hingga kuliah aku belum pernah merasakan yang namanya pacaran. Mau tahu kenapa? Faktor utamanya adalah ayahku!
Samar aku merasa ada bisikan ditelingaku, namun aku tak bisa melihat apapun, bahkan bergerak aku tak bisa. Seolah aku merasa ada di dunia lain. Tapi apa mungkin berada di dunia lain seperti ini rasanya.
" Maafkan aku, aku terpaksa melakukannya. Ayahmu menuntutku untuk bertanggung jawab. Aku bingung harus bertanggung jawab seperti apa. Masuk penjara sudah, membiayai seluruh perawatanmu juga sudah. Tapi sepertinya ayahmu masih kurang puas dengan apa yang aku lakukan."
Kurasakan sentuhan di kepalaku, dan hembusan nafas berbau alkohol begitu menyengat di hidungku. Aku benci bau alkohol, tapi tidak bau yang lain yang terendus dihidungku dari tubuh entah siapa dia, dan bau ini membuatku merasa tenang, apa ini...? Parfumkah? Tapi milik siapa? Ayah bukan, mama Jill bukan, adikku atau Reinand? Tapi juga bukan, lalu siapa?
Samar lagi suara itu terdengar, begitu sedih sih, tapi entah kenapa aku tak tahu.....
" Aku memang tak bisa mengembalikan kakimu. Tapi aku sudah berusaha yang terbaik untuk menyembuhkanmu, namun semuanya seakan tidak cukup, ayahmu terus memintaku untuk bertanggung jawab! Menurutmu aku harus bagaimana?" Nada suara itu terdengar begitu emosional dan bergetar, suara itu serak dan berat, namun sayang aku tak bisa melihat wajah itu. Jangankan melihat, membuka mataku aku tak bisa. Apakah begini rasanya mati?!
Kurasakan lagi sentuhan jari itu menyentuh kakiku, entah apa yang ia lakukan dengan kakiku aku tak tahu. Cukup lama dia menyentuhnya, dan tangan itu kemudian membuka seluruh penutup bagian bawah tubuhku, mungkin begitu, karena kakiku yang tadinya hangat, kini terasa dingin.
Tangan itu kini naik lebih atas, aku merasa merinding, entah apa yang ia lakukan dengan menyentuh bagian itu. Namun aku tak bisa melakukan apapun. Aku hanya bisa merasakan setiap sentuhannya di bagian paling pribadi milikku dan mendengar ucapannya yang selalu meminta maaf padaku berulang kali.
Aku hampir menjerit, ketika sesuatu menyeruak masuk ke dalam intiku, merasakan sakit. Namun sekali lagi aku tak bisa apa-apa, tubuhku tak bergerak, suaraku seakan tenggelam. Hanya pikiranku yang terus berkelana tentang seseorang yang bergerak-gerak, membuat aku merasa terombang-ambing.
Apa yang dia lakukan? Aku benar-benar tak tahu.
Hanya sakit dibagian intiku yang bisa kurasakan. Setelah berhenti, aku mendengarnya lagi berbicara padaku.
" Maafkan aku, ini adalah caraku untuk bertanggung jawab penuh padamu. Karena ayahmu yang membuatku bingung. Hingga aku tak tahu lagi harus bagaimana? Cepatlah sadar!"
Kurasakan lagi sentuhan lembut di keningku, kedua mataku, hidungku, dan terakhir kecupan lembut di bibirku. Begitu lembut dan oh... astaga! Itu adalah ciuman pertamaku, entah siapa yang berani melakukannya kepadaku, jika saja aku bisa melihat dan bergerak, aku pasti sudah memukulnya. Terakhir nafasnya yang terasa panas menyapu seluruh wajahku, dan alkohol itu, baunya sangat menyengat menusuk hidungku, membuatku serasa ingin muntah. Setelah itu, aku merasa nafasku terasa ringan, kerena tubuh berat itu tak lagi menindihku.
Dia menyentuh lagi di bagian intiku yang terasa sakit, membersihkan sesuatu disana, entah apa? Yang pasti sesuatu yang lembab dan hangat terasa mengalir keluar dari sana. Aku tak tahu!
Kembali rasa hangat di sekujur tubuhku membuatku merasa kembali sesak. Dia sedang memelukku, mungkin begitu, karena sekali lagi, aku tak bisa melihat, hanya merasakan dan mendengarkan.
Dia melepasku. Beralih memegang jari-jari tanganku, mengusap-usapnya, entah apa maksudnya. Hanya saja aku merasa sesuatu melingkar di jari manisku. Apakah itu cincin? Mungkin ia, karena aku merasakan benda dingin itu menyentuh kulit jariku dan tetap disana.
" Ini akan menyatukan kita. Sekali lagi maafkan aku." Ia menarik tanganku dan menciumnya. Bibirnya yang menempel di punggung tanganku terasa hangat.
" Jangan pernah berpikir aku pergi. Jika suatu saat kau membuka mata, lihatlah jari tanganmu. Ini adalah bukti janjiku, bahwa aku tidak pernah meninggalkanmu walaupun saat itu kau tak merasakan kehadiranku, tapi aku akan selalu ada didekatmu."
Aku merasa kehilangan tangan yang menggenggam jemariku. Seiring ketukan langkah kaki yang kudengar semakin menjauh dan hilang.
Kembali kurasakan sepi, tiada siapapun di tempat ini. Hanya suara malam yang terdengar, yang menyakinkanku bahwa saat ini sedang malam hari, dan tadi yang kualami hanyalah mimpi yang terasa nyata.
Semoga benar ini hanya mimpi, karena nyatanya aku belum juga bisa bergerak dari alam bawah sadarku saat orang-orang mengatakan aku koma, dan anehnya lagi aku sudah berbaring selama 2 bulan di sini. Berarti aku belum mati?!
" Bangunlah Ziva, akan sampai kapan kau tertidur?"
Itu suara mama Jill.
" Kakak, kamu belum cuci piring selama 2 bulan."
Itu suara si bawel Josy, si onyit kesayanganku.
" Gara-gara dia, anakku jadi begini, pokoknya dia harus bertanggung jawab sampai anakku sadar!"
Dan itu ayahku, suara tegas dan galaknya membuatku rindu.
Lalu siapa yang di marahi oleh ayahku kali ini? Inginku lihat wajah itu, apakah dia akan lari seperti Reinand? Yang memutuskan hubungan denganku keesokan harinya?
Oh... No! Ayah, jangan begitu! Anakmu ini ingin punya pacar. Gerutuku saat itu, tapi sekarang aku hanya bisa mendengar suara mereka dan menjawabnya dalam hati. Aku rindu kalian!
🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹
Aditya Putra Raharja, pria berumur 28 tahun itu memasuki kamarnya tanpa menghidupkan lampu. Kegelapan menyelimuti kamarnya, namun ia tak peduli.
Kepalanya terasa sakit dan berdenyut. Entah karena alkohol yang tak biasa masuk ke dalam tubuhnya, atau karena keputusan yang telah diambilnya dengan membuat seorang gadis menjadi tak gadis lagi karena ayahnya menuntut pertanggungjawaban padanya terus menerus atas insiden kecelakaan 2 bulan lalu.
Ia membanting pintu kamar mandi, tanpa membuka pakaiannya, mengguyur tubuhnya dengan air dingin di bawah shower.
Jadilah malam itu, ia mandi tengah malam tanpa takut masuk angin. Padahal dia tidak pernah melakukannya. Walaupun pekerjaannya sebagai seorang CEO menuntutnya untuk lembur hingga larut malam, namun ia selalu membersihkan tubuhnya saat matahari belum tenggelam. Maka dari itu, ruangan di kantornya di desain lengkap dengan kamar dan juga kamar mandi serta lemari khusus untuk menyimpan baju miliknya.
Dia putus asa, karena menyebabkan seorang gadis terbaring koma di rumah sakit. Bahkan sudah 2 bulan belum juga sadar. Sebenarnya bukan itu yang membuatnya putus asa, tapi bapak dari gadis itu yang menuntutnya harus memgembalikan keadaan anaknya seperti sedia kala.
Orang tua mana yang tidak kawatir dengan keadaan anaknya yang seperti itu. Mati bukan, tapi hidup juga tidak. Dan penyebabnya adalah dia!
Adit, memang sudah bertanggung jawab dengan menanggung seluruh biaya pengobatan gadis itu, bahkan sudah menuruti keinginan ayah gadis itu yang memenjarakannya. Padahal jika dia mau, dia bisa menutup kasus itu dengan sejumlah uang. Tapi bukan itu maalahnya! Adit adalah pria yang penuh dengan prinsip, bertanggung jawab penuh atas apa yang ia lakukan, dan tegas dalam mengambil sikap. Maka dari itu malam ini dengan ketegasannya ia melepas keperjakaannya demi bertanggung jawab pada gadis itu! Aneh ya, bertanggung jawab kok begitu?
Ya, memang begitulah takdir mengisahkannya.
Berharap dengan begitu, dia bisa bertanggung jawab penuh pada si gadis. Bingung memang, seharusnya dengan uang dan dipenjara tanggung jawabnya selesai, dan jika dokter bilang gadis itu ada kemungkinan cacat dan tidak bisa berjalan, itu bukan salahnya, itu takdirnya. Tapi sebagai seorang yang punya hati nurani, dia tidak boleh egois.
Melepas satu persatu baju yang sudah basah itu dari tubuhnya, memperlihatkan tubuh kekarnya yang polos dan benda pusaka yang menggantung disana.
" Tak kusangka benda pusaka ini akhirnya harus melesak ke dalam gua sebelum waktunya." Tangan kekar Adit mengelus benda yang terasa perih di sekitar lingkar kepalanya, akibat menerobos begitu saja dinding gua walaupun tahu ada selaput tak kasat mata di dalam gua itu.
" Ya ampun lecet. Berarti bukan hanya selaput gua itu saja yang jebol, ternyata benda pusaka ini juga terluka. Apa memang begitu pertama kali melakukan ritual pelepasan. Kata orang-orang nikmat, darimana?"
Adit membalut tubuhnya dengan handuk yang melilit di pinggang, barulah dia keluar kamar dan menghidupkan lampu kamar. Berdiri tegak di depan cermin panjang yang ada di kamarnya.
" Ganteng, tapi sayang sudah gak perjaka lagi!"
🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹
Sepanjang malam Adit tak bisa memejamkan matanya. Pikirannya tak tenang memikirkan gadis itu.
Bagaimana jika dia mati? Tanggung jawab apa lagi yang diminta bapaknya itu dari dirinya? Apakah ia dituntut untuk mati juga?
Tapi aku belum memiliki keturunan, bagaimana dengan perusahaan ayahku, aku berjanji pada ayahku untuk melanjutkan perusahaannya, itu berarti aku harus melanjutkan keturunannya juga.
Ah.... Tidak, dia tidak boleh mati! Walaupun dia cacat, setidaknya aku masih bisa menjadi kaki untuknya. Aku berharap keturunanku juga segera hadir demi pengorbanan benda pusakaku yang tak lagi suci, agar tak sia-sia.
Adit mengambil laptopnya, memangkunya sambil berselonjor kaki di atas kasur empuk miliknya.
Mengecek keadaan gadis yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit dengan mata yang terpejam. Ya, secara diam-diam dia meletakkan kamera tersembunyi di dalam kamar VVIP yang ia bayar setiap bulannya. Dan melihat cincin yang ia sematkan di jari gadis itu, terlihat begitu mencolok karena batu berliannya yang cukup besar.
Dia sengaja melewatkan adegan yang seharusnya terekam, tapi dia malu sendiri dengan kelakuannya.
Jika bukan karena bantuan alkohol, dia mana berani melakukan perbuatan sebejat itu pada gadis tak berdaya.
" Jahat sekali aku ini!" Dia merutuki perbuatannya sekarang. Tapi tadi dia menikmatinnya, walaupun hanya mampu bertahan kurang dari 5 menit. Maklum baru awal. Beda sama yang sudah berpengalaman.
" Seharusnya bapaknya itu tidak terus menuntutku bertanggung jawab dan mengembalikan keadaan gadis itu seperti sebelumnya. Memang aku tahu dia seperti apa sebelumnya? Kenal saja tidak! Melihat wajahnya saja setelah sampai rumah sakit. Kalau ternyata gadis itu sudah cacat dari sebelumnya bagaimana? Berarti aku dikadalin dong? Aku harus cari tahu siapa dan bagaimana kehidupan gadis itu."
Adit merogoh kantung jasnya untuk mengambil ponsel, namun tangannya menyentuh sesuatu. Ia menarik benda itu keluar.
" Sapu tangan ini, adalah saksi aku melepaskan keperjakaanku."
" Hah! Bangga bener udah gak perjaka!"
Adit meletakkan sapu tangan bernoda merah itu ke dalam salah satu kotak jam tangan mahalnya. Entah apa yang ia pikirkan dengan menyimpan kain berhias darah perawan itu. Untuk jimat kah?!
" Halo, Ran.... Tolong kamu selidiki gadis di rumah sakit Family Care Hospital, kamar VVIP bernama Yuri Zivannya."
" Siap pak."
" Ok! Terima kasih. 1 hari info sudah harus ada di meja saya." Ucap Adit dengan suara tegas, kemudian mematikan sambungan telpon dan melempar benda itu ke atas kasurnya.
Ya, Adit memang seorang CEO yang sangat tegas dan disiplin, teliti, dan satu lagi tanggung jawab. Maka dari itu, dia sekarang terjebak dalam 2 kata yang di gabungkan itu.
Menganggung hidup seorang gadis setengah hidup dan wajib menjawab setiap kata yang dikatakan oleh bapak sang gadis dengan kata " Ya."
Makanya dia hanya bisa berharap, gadis itu segera sadar, dan dia bisa terlepas dari kata " Ya" jika bapak gadis itu memintanya untuk mati juga, seandainya gadis itu mati. Mana sanggup dia membayangkan harus meninggalkan perusahaan besarnya tanpa seorang pemimpin.
Aku memang CEO malang! Bagaimana bisa ada CEO kejam yang bisa melakukan apapun sesuka hatinya, tanpa ada bayang-bayang ketakutan. Sedangkan aku, uang yang kumiliki saja tak bisa mengalahkan betapa galaknya seorang bapak yang putrinya sedang sekarat gara-gara diriku.
Adit : Thor, ubah nasibku!
Otor: Bentar nunggu pengikutmu bertambah!
Adit: Kapan?
Otor: Sabar, mereka masih OTW.
Adit: Lama enggak sampainya?
Otor: Nunggu korona pulang kampung!
Adit: 😫😫😪😪😪
Lelah hati abang dek.....
Wajah Aditya Putra Raharja
Kurang pas, boleh bayangin sendiri-sendiri ya... 😆
4 bulan berlalu
Ruang perawatan terlihat begitu gaduh, karena para dokter langsung mendatangi ruangan tersebut setelah mendengar teriakan histeris seorang wanita dari dalam kamar.
Bahkan para keluarga pasien yang menunggu di kamar sebelah kanan, kiri dan depan langsung mendatangi kamar, ingin melihat apa yang terjadi. Namun, seorang dokter menghalangi mereka yang ingin melihat masuk dan akhirnya memilih menunggu di luar.
" Bagaimana dokter?"
" Anak ibu berhasil bangun dari tidur nyenyaknya. Semoga saja segera pulih."
Mama langsung memelukku yang sedang mencoba menggerak-gerakkan anggota tubuhnya, dari tangan, bibir, leher, dan terakhir adalah kakiku.
" Mama, kenapa kakiku?"
Semua terdiam, termasuk seorang pria yang sedang memperhatikan lewat cctv di layar laptopnya.
" Dokter, kenapa kaki saya tidak bisa bergerak?" tanyaku.
" Anda mengalami cedera tulang kaki, mengakibatkan anda harus mengistirahatkan kaki anda. Sebenarnya kondisi kaki sudah sembuh, mengingat kecelakaan itu sudah 6 bulan berlalu. Hanya saja, saraf kaki anda mengalami kebekuan, sehingga butuh proses untuk melemaskan kembali."
" Apa saya masih bisa berjalan dokter?"
" Anda harus bersabar. Kita lakukan terapi dulu, baru bisa mengetahui apakah anda bisa berjalan lagi atau tidak, mengingat sudah berbulan-bulan anda tidak bergerak."
" Dokter, bolehkah anak saya makan?" Tanya ibu yang terlihat begitu bahagia namun kawatir.
" Kita coba pelan-pelan bu, bertahap seperti awal dengan memberikan makanan yang lunak dahulu, mengingat organ pencernaan tidak befungsi dengan baik selama ini."
" Ma, haus." Pintaku.
" Berikan saja."
Dibantu oleh perawat dan mama, aku mencoba duduk, namun baru separuh, tubuhku tak bisa akhirnya aku ambruk lagi.
" Berikan sambil berbaring saja dulu."
Perawat memberikan botol minum dengan pipet. Akhirnya tenggorokanku terasa lemas dengan cairan yang masuk. Namun anehnya aku mual, dan langsung memuntahkan cairan yang baru saja masuk itu.
" Apa anda merasakan mual?"
Aku hanya mengangguk, membiarkan ibu dan perawat membersihkan leherku yang basah.
" Pelan-pelan saja, mungkin lambung anda kaget."
Dokter mendekat, dan aku langsung menutup hidungku, karena bau menyengat dari tubuh dokter itu membuat perutku kembali bereaksi.
" Kamu baik-baik saja Zee, dokter bagaimana ini?"
Aku tak bisa menahan lagi, akhirnya aku memuntahkan cairan yang tidak terlalu banyak dari dalam perutku, hingga terasa begitu pahit lidahku.
Tapi aku bersyukur, dengan muntah, aku reflek langsung bisa duduk. Walaupun bajuku akhirnya kotor dengan cairan muntahanku yang tidak seberapa.
Aku memegang perutku, untuk menahan rasa bergejolak, sayangnya setiap dokter mendekat aku langsung tak tahan dengan bau partum dari tubuhnya.
Aku menahannya mendekat. Tetapi aku juga merasakan aneh dengan perut bagian bawahku yang terasa mengganjal.
" Ibu, ini apa?" Aku meraba-raba bagian bawah perutku, dan ibuku manatap heran padaku, karena baru kali ini melihat dengan detail ukuran perutku yang sudah membuncit.
" Kenapa perutku menjadi begini bu? Lalu ini apa?" Aku meraba-raba benjolan yang terlihat menonjol itu. Karena aku kurus, tonjolan itu sangat terlihat.
Dokter mendekat, ikut meraba, namun ia tak bisa memastikan apakah benjolan itu. Selama ini, pemeriksaan tak menunjukkan adanya kerusakan di bagian organ perut.
" Kita lakukan USG untuk mengetahui kejelasannya."
Saat itu juga dokter meminta dipersiapkan segala sesuatunya untuk mengetahui keadaan perutku.
" Apakah itu sakit?" Tanya mama.
" Tidak ma." Aku menggeleng.
Setelah siap, dokter mengoleskan gel di perut bagian bawahku, kemudian melakukan pemeriksaan dengan alat yang ia pegang.
Semua mata melihat ke arah monitor, dan langsung terkejut melihat bentuk seperti boneka, namun berdetak dan bergerak.
Apalagi dokter mengatakan bahwa itu adalah janin.
" Janin?!" Semua terkejut, termasuk aku.
" Janin!" Ulangku.
Dokter mangiyakan.
" Dokter tidak salah lihat!" Teriak mama, yang membuatku kaget, begitu pula dokter.
" Tidak bu, ini adalah janin."
Duniaku seakan berhenti mendengar penjelasan dokter tentang adanya janin di dalam perutku.
Bagaimana bisa?!
" Ayah!"
Ibu keluar untuk memanggil ayahku yang tadinya tidak ikut masuk ke ruang USG. Kemudian kembali bersama ayah untuk menunjukkan monitor yang menampilkan gambar boneka melingkar di dalam rahimku.
" Diperkirakan usianya 15 minggu, atau sekitar kurang dari 4 bulan."
Shock!
" Bagaimana bisa ini terjadi." Tanyaku.
" Berapa bulan aku koma?"
" Apa aku sudah menikah?"
" Lalu anak siapa ini?"
Tidak ada yang bisa menjawab, kecuali ayahku yang memandang tajam ke arahku, menuntut penjelasan padaku.
Mama menggeleng, menahan ayah agar tidak meluapkan kemarahannya padaku.
" Ayah, sudah."
" Dengan siapa kamu berhubungan?!" Hardik ayahku.
Aku bingung harus jawab apa, karena aku juga tidak tahu dengan siapa aku melakukan ini.
Aku mengingat-ingat siapa pacarku.
" Apa laki-laki yang pulang menghantarmu waktu dulu."
Wajah Reinand berkelebat dipikiranku.
" Tapi tidak mungkin ayah! Aku dan Reinand hanya berpacaran selama 1 jam."
" Hah?!" Mama dan dokter terkejut mendengar pengakuanku.
" Waktu itu aku baru jadian. Dia mengantarku pulang, tapi ayah malah mengancamnya akan mematahkan kakinya jika berani dekat denganku. Besoknya dia langsung memutuskanku, dan aku tidak ingat lagi setelah aku sadar ternyata aku ada di rumah sakit."
" Kamu berbohong!" Bentak ayah.
" Maaf pak, sabar dulu." Dokter berusaha menenangkan ayahku.
" Dari hasilnya, kandungan saudara Yuri baru berusia kurang dari 4 bulan. Sedangkan saudara Yuri sudah koma selama 6 bulan. Saya rasa ini sangat janggal."
Ayah langsung terlihat berpikir, begitu pula mama, dokter dan aku.
" Ayah, apa aku sudah menikah?" Celetukan itu berasal dariku.
" Mana suamiku?" Tanyaku.
" Diam!" Bentak ayah.
Semua yang ada diruangan itu berjingkat mendengar bentakan ayahku.
Tanganku turun mengelus perutku, dan memperhatikan layar monitor yang masih menampilkan bentuk calon anakku yang sudah sebesar boneka.
Hatiku berdebar melihat denyut jantungnya, dan bentuk kedua mata, hidung yang terlihat mancung, serta tangan dan kakinya, semua lengkap.
" Apa dia sehat dokter?" Tanyaku.
" Sejauh ini kondisi janin sehat, dan perkembangannya juga sesuai dengan umurnya." jelas dokter.
" Boleh saya meminta salinannya?"
" Tidak boleh!" Itu adalah suara keras ayahku.
" Bayi itu harus segera dilenyapkan!" Ucapan tegas ayahku, membuatku membeku.
" Bayi itu tidak boleh meninggalkan jejak." ucap ayahku lagi.
" Ayah....." Rengekku.
" Mau ditaruh mana wajah ayah hah!"
" Ayah, dia anakku."
Aku ternyata telah jatuh cinta pada nyawa yang tumbuh di dalam tubuhku. Terlepas siapa ayahnya, aku tak peduli.
" Dia tak berdosa. Jika ayah ingin dia tiada, maka ayah juga harus menghabisiku." Ancamku.
" Zee.." Mamaku menghentikanku agar tak bicara lagi.
" Ayah jangan kawatir, aku akan pergi dan mengurusnya kalau ayah malu dengan anak ini!"
" Zee...!" Mama menggeleng, memintaku berhenti menentang ayah.
" Tidak mama, aku akan memperjuangkan anakku, seperti mama memperjuangkan aku."
" Bagaimana kamu bisa mengurus anakmu? kalau berjalan saja kamu tidak bisa! Lihatlah kamu sekarang lumpuh, kakimu cacat!" Ayah menunjuk-nunjuk kakiku.
Aku seketika terdiam. Membenarkan perkataan ayahku. Tapi aku tetap tidak rela jika aku harus membunuh darah dagingku sendiri, aku tidak bisa.
Ya Tuhan, berikan aku jalanMu, aku tahu, Kau akan memberikan kemudahan disetiap kesulitan yang aku hadapi.
Anakku, jangan kawatir, kita akan berjuang bersama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!