NovelToon NovelToon

Tale Of The Sleeping Emperor

Prolog

Takdir bukanlah sesuatu yang perlu ditunggu, tapi haruslah dilalui. Tak ada seorangpun yang bisa melihat takdir masa depannya, dan tak ada pula yang bisa mengelak dari takdir yang sudah ditetapkan untuknya.

Bahkan ramalan yang sudah ditetapkan selama beratus-ratus tahun silam, kandas akibat diterpa kenyataan takdir.

Kaisar muda yang baru menjabat dua bulan, kini tengah terlelap damai di dalam peti kaca buatan penempa terbaik di Athena. Yang disayangkan, ramalan tentang kaisar muda bernama Enrique Martez tersebut selalu menyebutkan kedamaian, ketentraman, kesejahteraan, dan kebahagiaan bagi masyarakat. Nyatanya sekarang tidak begitu, rakyatlah yang uring-uringan panik akan keadaan yang menimpa kaisar muda mereka.

Edmundo Martez, sang adik. Kini menjabat sebagai kaisar sementara untuk menggantikan kakaknya. Bukan berarti dia ingin mengambil alih kekuasaan, tapi demi kembali membuat kakaknya sehat. Edmund membuat sebuah sayembara, siapa yang bisa dan sukses membuat Enrique terbangun, orang itu akan mendapat imbalan apapun sesuai keinginan.

Kaisar Enrique ditemukan tertidur sambil memegang setangkai mawar putih, nafasnya masih berhembus, jantungnya pun berdetak, tapi sayangnya dia tak dapat dibangunkan, jiwanya bagai dirantai untuk terus tertidur dalam keadaan tubuh masih hidup.

Semua orang meyakini pelakunya adalah pemilik ilmu sihir, sehingga mereka berbondong-bondong mendatangkan para penyihir dari berbagai penjuru wilayah. Sudah hampir seribu orang yang mengaku pemilik ilmu sihir pula, tidak dapat membangunkannya. Sampai saat ini pun, sayembara masih berlangsung. Tanpa ada kekangan atau batasan untuk siapapun yang berani dan bertanggung jawab akan kembalinya sang kaisar muda.

Edmund terdiam di samping peti kaca yang ditempati sang kakak, matanya terus berkaca-kaca ketika sampai di tempat ini. Walau banyak yang menyarankan dirinya yang menggantikan Enrique sebagai kaisar selamanya, itu tidak boleh dilakukan. Edmund merasa mengkhianati kakaknya, dan mengambil kesempatan dalam kesempitan.

"Kakak, cepatlah kau bangun. Mereka semua menginginkanmu untuk terus memimpin negeri ini."

...---...

Tidak semua orang menyadari, jika ada yang mengalami kesulitan, disitulah ada pula yang mendapat kesempatan. Tuhan itu adil, bukan untuk mempermainkan makhluknya, tapi untuk menguji bertapa tangguh atau seberapa besar mental mereka.

Tertidurnya sang kaisar, sudah lama sampai di telinga Alice, si gadis desa yang malas bersosialisasi. Bukan tanpa sebab, bersosialisasi dengan orang yang tidak cocok, akan mengakibatkan kecanggungan, dan Alice paling tidak suka bagian itu.

Usai mengangkut jerami dari ladang menuju kandang kuda milik tetangganya, Alice harus menerima makian dari si pemilik kandang kuda, "Aku sudah bilang berapa kali? Jangan bawa jerami yang masih basah. Kau harus mengeringkannya."

Gadis itu berdecak, "Matahari tidak bersinar dengan baik, jadi selama tiga bulan kedepan, kita tidak bisa mendapat jerami kering. Aku kesusahan menjemurnya."

"Bukan urusanku tentang bagaimana cara kau menjemur. Tapi yang pasti, jangan ulangi lagi besok atau aku tidak akan pernah membeli jeramimu lagi," ancam pria peternak itu.

"Masih banyak yang mau menjadi pelangganku, kalau kau keberatan ya jangan beli lagi. Dengar ya, paman Sue, tidak pernah ada orang yang protes akibat jeramiku basah, karena mereka semua mengerti keadaan kalau sekarang musim hujan dan sangat tidak bersahabat."

Pria itu terlihat memegangi kepalanya berlagak pusing, sembari mengeluarkan selembaran uang logam dari saku celananya "Haduh, Alice. Jangan banyak alasan, ini uangmu, cukup, jangan protes. Aku bahkan melebihkan jumlahnya!"

"Terima kasih, paman Sue! Kau yang terbaik!" Ujar Alice seraya mengacungkan jempol.

"Dasar bocah ini!"

Alice berlari terbirit-birit menghindari serangan omelan pria peternak itu lagi, hingga tak sadar tubuhnya menubruk lelaki muda bertubuh jangkung, bahkan tingginya hanya sampai pada dadanya, "Namamu Alice kan?"

"Kau mengenalku?" Tanyanya kembali, merasa asing terhadap seseorang dihadapannya saat ini.

"Bibimu menyuruhku menemuimu, Alice. Ternyata kau tak seperti yang ku pikir--"

"Ouh tunggu!" Alice menyela dengan teriakan, ia tak habis pikir kalau kejadian ini akan terulang kembali, "Biar ku tebak, bibi Teresa menyuruhmu melamarku? Barangkali kau mau tahu, aku sedang melakukan tren melajang. Sudah sepuluh pria belum termasuk kau, disuruh melamarku oleh bibi, dan semuanya ku tolak! Kau pasti kaya, sebaiknya jangan menikahiku, bibiku akan memanfaatkanmu," celoteh Alice panjang lebar.

Lelaki itu tersenyum canggung seraya menggaruk tengkuknya, "Ah, sebenarnya--"

Alice lagi-lagi memotong, "Tapi biasanya bibi Teresa membawakan pria yang jauh lebih tua dariku, ini pertama kalinya yang masih muda. Berapa usiamu? Dua puluh? Dua puluh lima? Kalau aku dua puluh."

"Sebenarnya Alice, aku bukan berniat melamarmu."

Alice yang awalnya berbunga-bunga dalam hati, karena mengira lelaki jangkung yang masih muda ini akan melamarnya, sirna seketika. Apakah hanya para pria tua yang ditakdirkan melamarnya, yang nanti di kemudian hari juga akan menikahinya. Ini malapetaka terburuk yang akan terjadi.

"Mari bicarakan baik-baik di tempat lain, jangan di tengah jalan seperti ini."

"Oh, ba-baiklah," kecanggungan benar-benar melanda.

...---...

"Bibiku bilang, dari pada terus menjadi perawan tua, lebih baik aku mengorbankan hidup untuk orang lain yang lebih berguna. Begitu?!"

"Bukan, Alice. Kau tahu kerajaan sedang dilanda masalah, kaisar Enrique mengalami tidur tanpa mati. Jika kita bisa membuatnya bangun kembali, ada hadiah besar yang akan menanti. Ngomong-ngomong aku bukan dari kalangan keluarga berada, makanya aku akan mengikuti sayembara ini, tapi... dengan bantuanmu."

Alice mendesis kesal, "Mengapa aku harus bersusah payah menggunakan tenagaku untuk menyelamatkan orang lain? Bukankah sebaiknya aku lebih rajin mengumpulkan dan menjemur jerami, agar pelanggan tidak marah-marah."

"Bicara omong kosong! Kau pikir dengan uang hasil menjual jerami. Bisa melunasi hutang-hutangmu?!" Kepalanya terhuyung, ternyata sang bibi lah pelakunya. Sembari membawa nampan berisi minuman hangat, bibi Teresa menyerahkannya pada Alice dan si tamu.

"Kenapa kau selalu bersikap seperti ini padaku? Aku ini bukan anak tirimu, aku keponakanmu bibi, bisakah jangan membuatku merasa bersalah setiap hari. Hanya makan sebutir nasi saja sudah kau anggap itu hutang," Alice tak  terima, pasalnya semenjak kematian sang ibu, ia harus tinggal bersama adik ibunya. Hubungan keduanya cukup dekat, dulu. Tapi semuanya berubah setelah Alice mulai beranjak dewasa dan kebutuhan ekonomi mereka mulai meningkat.

"Alice! Bisakah kau tahu diri sekali saja. Kau menumpang!"

Alice terdiam, bola matanya menggerling ke arah lain tanpa sebab, bibirnya pun mengerucut sebal, "Lalu, dengan sebab apa kau memanggilkan dia untukku? Mengajak bunuh diri?" Tanyanya seraya menunjuk lelaki yang sedari tadi hanya diam.

Lelaki itu menyahut, "Aku membutuhkan perempuan yang bisa bela diri, bibi Teresa tahu kau sering berlatih diam-diam. Jadi bibi merekomendasikanmu."

"Tidak perlu menjawab, aku tidak butuh alasanmu!" Balas Alice, acuh.

"Aku tahu rahasia mengapa kaisar bisa seperti itu, aku mengajakmu bergabung dalam kelompokku, Alice. Untuk menolongnya. Sebelumnya perkenalkan, namaku Jonathan Ramirez."

...Tale of The Sleeping Emperor...

That's Oracle Will Make A Magic

"Di negeri seberang, dikabarkan tersembunyi orakel yang bisa menyembuhkan kaisar Enrique. Sebelum pergi ke sana, ada beberapa syarat yang harus ku laksanakan, salah satunya membawa perempuan yang bisa bela diri. Tapi tenang saja, itu tidak akan mencelakaimu, aku menjamin," jelas Jonathan seraya mengeluarkan selebar kertas papyrus dari kantung di sisi celananya. Ia kemudian menyerahkan kertas itu pada Alice.

"Mawar putih dari puncak gunung, perempuan petarung, babi yang masih hidup, lukisan rasi bintang orion? Ah, astaga... dari mana kau mendapat daftar seperti ini? Dan kau percaya begitu saja?"

Bibi Teresa mendesis kesal, lantas kepalan tangannya kembali mendarat di tubuh Alice, kali ini bahu menjadi sasarannya, "Alice memang tidak sopan kalau bicara, Jo. Jika kau menolak menjadikannya partner masuk kelompokmu, tidak apa-apa. Lagipula dia tak begitu pantas dan tak begitu tangguh. Perjalanannya saja pasti berat."

"Memangnya kita mau pergi kemana?" Tanya Alice merasa belum jelas terhadap tujuan dan pembicaraan Jonathan sejak tadi

"Mencari obat, mencari daftar di kertas itu, lalu pergi menemui orakel di negeri seberang. Aku kesulitan mencari perempuan yang cukup pandai bela diri, hingga kelompokku selalu menunda keberangkatan. Kau satu-satunya harapanku."

"Tujuanmu mengikuti sayembara ini hanyalah uang?"

"Iya," balas Jonathan jujur.

Elora beralih menatap sang bibi, rautnya memelas, "Bibi memercayakanku padanya? Bagaimana kalau aku diapa-apakan? Walaupun dia terlihat seperti orang baik-baik, tapi kita tidak tahu pikiran laki-laki yang sebenarnya."

"Jonathan lelaki yang baik, bibi yakin."

Alice mendengus, "Baiklah, ku turuti permintaan kalian. Entah ada rencana apa dibalik semua ini. Perasaanku tidak enak."

"Tapi, Alice. Rahasiakan semua ini pada orang lain termasuk orang terdekatmu," peringat Jonathan seraya beranjak berdiri, "Kita akan berangkat besok malam, menjelang tengah malam. Persiapkan dirimu," lelaki itu kemudian berpamit pergi, lantas menunggangi kudanya yang ditempatkan di belakang rumah bibi Teresa.

"Aku hanya bermaksud memberimu sesuatu yang baik, Alice," ujar bibi Teresa sebelum keponakan perempuannya pergi dari hadapannya.

Alice mendesis pelan, "Kau hanya ingin membunuhku perlahan."

Ucapan Alice cukup menusuk perasaanya, sudah seperti biasa tapi itu tetap membuatnya bersedih, untuk saat ini bibi Teresa hanya bisa tersenyum kecil, 'Semoga mereka memang berjodoh.'

...---...

Satu kata yang Alice ingin ungkapkan pada semua orang, kenapa?

Mengapa semuanya terlalu jahat pada seorang gadis sepertinya. Sedari dulu, semenjak ibu pergi, bibi Teresa selalu mengajarinya bekerja keras, padahal usianya masih sangat belia. Bukan apa-apa, Alice hanya iri pada mereka yang masih punya ibu.

Uang yang ia kumpulkan dirasa banyak, tapi tak pernah cukup memenuhi kebutuhan hidupnya, bibi, dan juga paman. Mulai beranjak dewasa, ia paham kalau hidupnya hanya dimanfaatkan. Alice ingin pergi, tapi tak tahu kemana. Atau inikah saatnya, Jonathan adalah pemberi jalan untuknya.

"Aku tak bisa mempercayai Jonathan, bisa saja ternyata bibi Teresa menjualku pada lelaki itu. Tentang orakel dari negeri seberang itu pasti hanya bualan semata. Mereka memang penipu!" Geram Alice, seraya melempar batu ke danau.

Malam-malam seperti ini Alice pergi ke hutan, tidak terlalu jauh dari rumah memang, tapi tebtu berbahaya. Sayangnya, ia tak peduli dengan bahaya, menjernihkan suasana hati lebih penting. Dibanding mendengar cekcok bibi dan paman yang selalu meributkan dirinya membyat Alice kesal dan terus meras berasalah. Bibi Teresa ingin Alice segera menikah, dan kalau bisa suaminya harus kaya, sedangkan paman Ludrigo berusaha mempertahankah Alice untuk bekerja kerasa sendiri sampai mendapat banyak uang.

Tidak ada yang benar memang, walau tujuan mereka sebenarnya cukup menguntungkan Alice. Paman selalu bilang, 'Kalau kau banyak uang, hidupmu akan terasa lebih sehat setiap harinya.'

Alice menopang dagu dan duduk menepi di pinggir danau, matanya mengedar melihat berbagai rasi bintang terbentuk di langit. Ia seketika mengingat kertas daftar bebda yang dibutuhkan Jonathan, lukisan rasi bintang orion. Seketika Alice tertawa sendiri, "Jonathan terlalu bodoh, bagaimana orang sedewasa dia bisa ditipu sihir anak-anak. Itu pasti palsu."

Sedetik kemudian rautnya mendadak murung, "Tapi aku harus tetap ikut, aku sudah menyetujuinya."

"Alice, apa yang kau lakukan di sini?" Alice tersentak, ia berbalik cepat dan menemukan paman Sue membawa setumpuk kayu di punggung. Pria itu kemudian menurunkan kayunya, lantas berjalan menghampiri Alice di pinggir danau.

"Paman sendiri mau apa kesini?" Tanya Alice agak menyindir ketika melihat seputung rokok terselip di saku pria itu, "Pandai, cukup tahu diri untuk tidak membuat anak dan istri paman menjadi perokok pasif."

Pria itu kemudian mengeluarkan dua keling uang logam, lantas melemparnya pad Alice, "Tutup mulutmu."

"Sebenarnya aku tidak ingin menerima, karena ini termasuk penyuapan. Tapi sepertinya paman terlihat sangat ingin menghisap tembakau itu, ya sudahlah..." Alice mengantungi dua keping uang logam tersebut. Seraya memikirkan makanan atau benda apa yang bisa ia beli besok.

"Jadi kenapa kau di hutan malam-malam begini? Tidak takut kena marah bibimu?"

Bukannya menjawab, Alice malah balik bertanya, sesuai perasaanya pertanyaam random itu muncul di kepala begitu saja, "Paman, menurutmu sebaiknya aku menikah atau bekerja saja?"

Paman Sue tampaknya paham dengan suasana Alice kali ini, sosok perempuan tukang debat itu sedang bersedih, untuk itu dia menghindari keramaian dan pergi ke hutan, "Kalau sekarang lebih baik kau bekerja, pergilah ke kota, ada banyak pekerjaan baik yang bisa dilakukan perempuan muda sepertimu. Tapi semua ada di tanganmu, keputusan terbaik ada pada dirimu sendiri, Alice. Jangan terlalu terpatok ucapan orang lain."

"Sebenarnya ada seseorang yang menawariku bergabung dalam kelompoknya, mereka akan mengikuti sayembara menyembuhkan kaisar yang tertidur. Dia berkata, membutuhkan perempuan petarung untuk bisa berangkat mencari obatnya, menurutmu apa aku bisa memercayai orang itu."

"Karena aku tahu kau perempuan yang tangguh dan pandai bertarung meski kau pemalas dan selalu berlagak lemah, sebaiknya iyakan saja. Hadiah imbalan untuk pemenang yang bisa menyembuhkan kaisar memang tidak main-main, jika kau berhasil. Kau bisa minta imbalan membuat toko roti atau usaha sesuai keinginanmu, masa depanmu akan semakin cerah, Alice."

"Aku tidak tahu paman peternak yang menyebalkan bisa menasehatiku sebijak ini, tapi terima kasih."

"Kau memang anak kurang ajar, Alice. Pantas saja Teresa selalu kesal, jadilah anak yang baik untuk terus hidup. Aku pergi dulu," Paman Sue membuang putung rokoknya yang hanya tersisa seperempat. Pria itu lantas kembali mengangkut kayu ke punggung untuk kembali pulang ke rumah.

Alice terdiam sejenak, kemudian ia mengangkat pedang logamnya yang setia terselip di pinggang. Gadis itu mengacungkan senjata tajam tersebut tinggi-tinggi hingga mata pedangnya menghasilkan pantulan sinar bulan, "Ayo kita berangkat berjuang untuk merubah hidupmu, Alice!"

...Tale of The Sleeping Emperor...

Jonathan Ramirez

"Kau sudah siap, Alice? Mana barang bawaanmu?" Jonathan bertanya usai membereskan barang-barangnya sendiri yang kebanyakan berupa makanan.

Yang ditanya mengerinyitkan dahi tidak suka, "Aku hanya perlu baju dan jaket ini, lalu pedang, busur, sekaligus panah. Kau yang bertanggung jawab atas diriku, jadi aku mengandalkanmu untuk masalah makanan."

"Oke, lagipula kita bisa berburu."

Bibi Teresa keluar dari rumah, ia menyapa tamunya dengan senyuman ramah, tapi menatap keponakannya dengan jengkel, "Jonathan, kemarilah. Ambil makanan yang sudah bibi buatkan."

"Tidak adil sekali!" Cibir Alice seraya menatap keduanya yang melangkah pergi ke dapur untuk mengambil makanan.

Sedangkan di dapur, bibi Teresa tampak menunjukkan raut khawatir. Jonathan menangkap secara langsung keadaan wanita itu, "Jaga dia baik-baik ya, ingat apa yang sudah kau janjikan. Aku tidak akan segan-segan menuntutmu kalah terjadi sesuatu pada Alice. Aku tidak peduli walau sebenarnya kau dari keluarga bangsawan sekalipun."

"Bibi tenang saja, ini semua juga demi kebaikan Alice. Ngomong-ngomong bibi ternyata sangat peduli dengan Alice, tapi dia sepertinya tidak menyadari."

"Aku bersikap seperti ini agar bisa mendidiknya sebagai pekerja keras, anak itu sebenarnya sangat pemalas tapi pandai dan mudah paham melakukan suatu hal baru. Ya sudah, ada bahan makanan di sini, bawalah dan segera berangkat."

...---...

"Kau... haruskah berbuat sekejam ini padaku. Sebentar lagi kita akan menikah. Kenapa malah tidur, dan tidak bisa dibangunkan?"

Seorang wanita muda bersurai merah panjang sepinggang, kini tengah menelungkupkan kepala di dekat peti kaca yang ditempati sang kaisar. Wajahnya pucat, bibirnya kering, dan terdapat lingkaran merah kehitaman di sekitar mata. Tampak sekali ia sangat menderita akan keadaan kaisar saat ini.

Gaun putihnya sudah sangat kusut, berbagai jenis dedaunan dari hutan terlihat menghiasi setiap sisi. Lumpur dan kotoran juga turut serta.

"Tidak ada gunanya kau seperti itu, apalagi dengan jalan pintas mencoba bunuh diri seperti tadi. Kau pikir hal itu akan menyelesaikan semuanya? Cobalah berpikir dengan bijak!" Adik dari kaisar Enrique menegur. Sore tadi, ketika matahari berniat terbenam, Celine, calon istri sang kaisar berniat bunuh diri di hutan. Gadis itu ditemukan memanjat pohon dan meraih tali berserat rotan untuk dikalungkan di lehernya sendiri.

Celine mendengus, lalu mulai terisak lagi. Sudah entah ke berapa air matanya banjir, hatinya terasa hancur setiap kali mengingat Enrique, calon suaminya yang kini terbaring tak berdaya, namun seolah masih bisa mendengar tangisan Celine.

"Berhentilah menangis, coba kau berbuat sesuatu," tegur Edmund lagi. Ia merasa jengah setiap kali Celine, anak dari duke Alberto itu, selalu datang untuk menumpahkan air mata di kastilnya. Memang semua orang yang datang juga melakukan hal yang sama, tapi Celine sungguh betah dari hari ke hari di posisi yang sama, pakaian yang sama pula. Dia tidak akan pulang sebelum diseret.

Mendengar nada suara Edmund yang terlalu kasar, membuat Celine menukikkan alisnya tajam, "Lalu apa yang sudah kau lakukan selama ini?! Diam saja, dan menunggu Enrique bangun kan?! Lalu membuat sayembara yang sampai sekarang masih tidak ada hasilnya!"

"Kau saja yang tidak tahu, aku selalu menemui ahli sihir setiap malam dari berbagai wilayah. Kau sering mendengarku pergi kan? Karena aku sedang mencarikan obat untuk kakakku, bukan sepertimu yang hanya bisa menangis dan menyalahkan orang lain! Tolong sadar diri!"

Celine geram, ia bangkit dengan susah payah. Tiba-tiba tangannya mencengkeram kuat, dan memukuli calon adik iparnya bertubi-tubi, "Edmund! Berani-beraninya kau!"

Edmund sigap menghindar, kemudian beralih mencekal kedua tangan Celine erat supaya tak lagi berniat memukulinya, "Masih ada satu ahli sihir yang belum ku temui. Dia tinggal di kaki gunung aresh, pergilah ke sana dan minta bantuan. Jika kau mau Enrique segera bangun, berjuanglah, jangan hanya mengandalkan air matamu! Bodoh!"

Celine menangis menjadi-jadi usai Edmund menghempaskan tubuhnya hingga terjatuh, "Baiklah Enrique, aku akan segera membangunkanmu. Aku akan membawakan sesuatu yang bisa menyembuhkanmu!"

Dari balik pintu Edmund tersenyum miring, 'Ya, tunjukkan seberapa besar cintamu pada Enrique. Sampai kau mati!'

...---...

Alice menatap sedih langit yang dihiasi bintang-bintang kecil. Sekarang sedang musim hujan, tapi entah mengapa malam ini sepertinya awan hitam tak berani mendekati kampungnya.

Saat merasakan hawa dingin menerpa tubuhnya, Alice merapatkan jaket rambut unta miliknya, "Alice, kendarai kudanya dengan benar. Aku sedang fokus."

Kepala Jonathan menyelinap dari sisi kanannya, rambut hitamnya yang menyentuh leher Alice, membuat gadis itu bergidik kegelian, "Jauh-jauh sana kepalamu! Geli!"

"Kita di satu kuda yang sama Alice, mana bisa berjauhan," balas Jonathan seraya kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda, yaitu melukis rasi bintang orion. Sesuai dengan apa yang akan ia butuhkan nanti, dan sudah tertulis di lembaran kertas papyrus waktu itu.

"Kau keras kepala sekali! Padahal kita bisa bawa kuda sendiri-sendiri, bisa lebih nyaman."

"Tapi aku lebih nyaman seperti ini, kalau dingin tinggal merapat padamu," ujar Jonathan terkikik geli, ia merasa jijik sendiri dengan ucapannya.

"Sudah ku duga. Kau bukan orang baik-baik, tidak seperti bagaimana sikapmu saat bertemu bibi Teresa. Sok sopan dan sok jagoan!" Cibirnya, Alice merasa kalau sekarang dirinya benar-benar dalam keadaan bahaya. Harusnya bibi Teresa tidak mempercayai sembarangan orang begitu saja, terlebih untuk didekatkan dengan dirinya. Meski bisa bertarung, tentunya tenaga Alice tak akan sebanding dengan lelaki yang terlatih, seperti Jonathan ini.

"Alice, jangan banyak bicara dan jangan banyak bergerak. Jalankan saja kudanya dengan baik. Nanti lukisanku bisa tercoret."

Semakin dilarang, malah semakin menjadi. Alice menggerakkan tubuhnya ribut, hingga Jonathan mendesis kesal dan berhenti melukis. Aneh memang, melukis tengah malam, di atas kuda pula, "Jo, sebenarnya apa yang sudah bibi Teresa janjikan padamu? Aku tahu kalau kau pasti mendapat sesuatu yang berharga hingga mau menjadikanku partner. Sungguh, pasti tujuanmu tidak hanya meraih hadiah dari sayembara itu kan?! Jujur padaku!"

Jonathan menunjukkan tatapan datar, usai memasukkan kanvas pada tas selempang di sisi tubuh kuda, ia kembali mengambil alih kudanya. Karena Alice menunggang di depan dan dirinya dibelakang, sekarang posisinya seolah-olah Jonathan sedang memeluk pinggang Alice, "Tidak ada apapun, murni tujuan ini hanya untuk uang atau hadiah imbalan dari kerajaan nantinya jika berhasil."

Alice merasa tidak nyaman dengan posisi mereka, jadi ia terus menggerakkan tubuhnya, "Kapan kita akan sampai? Apa nantinya kita harus menunggang satu kuda seperti ini?"

"Sebentar lagi, teman-temanku sedang menunggu di rumah tua dekat sungai chaos. Tapi kau harus menunggang kuda bersamaku atau orang lain agar tetap aman. Karena aku sudah menjamin keselamatanmu pada bibi Teresa."

...Tale of The Sleeping Emperor...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!