"Yang Mulia Tuan Putri, tolong bangunlah. Matahari sudah meninggi."
Aku menggeliat malas, suara ibu asuh Sarala terdengar sedikit mengganggu. "Sebentar lagi ibu asuh, aku benar-benar masih mengantuk," ucapku sambil kembali meringkuk memeluk guling, bersiap kembali ke alam mimpi.
"Tapi Yang Mulia, saya takut Yang Mulia Kaisar akan murka," suara ibu asuh Sarala terdengar bergetar. "Yang Mulia telah melewatkan sarapan bersama tadi pagi, apa jadinya jika melewatkan makan siang. Kaisar dan Permaisuri pasti akan menegur anda, Putri. Saya mohon bangunlah," kali ini ibu asuh terdengar lebih seperti memohon.
"Sarapan bersama?" aku terkaget dan langsung terduduk di atas ranjangku. "Bukankah ayahanda dan ibunda ada kunjungan ke kekaisaran awan hari ini?" mataku hampir keluar saking kagetnya mendengar ibu asuh, aku memandang ibu asuh meminta penjelasan. Setauku kemarin ayahanda dan ibunda bersiap mengunjungi kekaisaran awan karena kaisar awan berulang tahun hari ini, karena itulah aku pikir aku bisa bermalas-malasan.
"Benar yang mulia, tapi Kaisar dan Permaisuri dijadwalkan berangkat sore nanti, dikarenakan Perayaan ulangtahun Yang Mulia Kaisar Rajendra baru akan dimulai malam hari."
"Apa?" Aku bergegas turun dari ranjang. "Ibu asuh, tolong bantu aku membersihkan diri dan bersiap sekarang."
"Baik Yang Mulia," ibu asuh dengan sigap menuntunku untuk membersihkan diri. Tidak dipungkiri aku sangat amat panik, ayah dan ibu pasti akan menegurku, 'ya ampun hukuman apa yang akan kujalani nanti, semoga tidak terlalu berat' ucapku dalam hati.
*-*
Aku duduk dengan tegang, ayah dan ibu memasuki ruang makan bersama. Seketika aku berdiri dan memberi hormat layaknya seorang putri kekaisaran. Ayah dan ibu mendudukkan diri tanpa bersuara, aku sedikit lega mengingat keduanya masih belum menegurku, mungkin masih aman. Tanpa kusangka makan siang berjalan lancar, aku bersyukur dalam hati dan meneguk minumanku hingga tak tersisa.
"Aira, ikuti ayah dan ibu."
Tamatlah aku, ya ampun gimana ini. Aku panik setengah mati tapi mencoba untuk tenang. "Baik ayah," ucapku sambil mengekor dibelakang ayahanda dan ibunda. Aku sama sekali tak berani menatap mata kedua orang tuaku, aku pun hanya menunduk dan mengikuti keduanya berjalan di depanku. Kami memasuki ruangan kerja ayah, tak berapa lama setelah pelayan menutup pintu, ayah dan ibu duduk di kursi berdampingan, sedangkan aku masih berdiri di hadapan keduanya, tak memiliki keberanian untuk duduk.
"Melihatmu menunduk seperti itu, ayah yakin kamu telah paham kesalahan apa yang kamu lakukan," suara ayah menghujam telingaku. Aku masih menunduk, belum berani menatap ayah.
"Aira, tatap mata ayahmu dan jawablah."
Aku mulai menegakkan kepalaku memandang ibu, pandangan kami bertemu. Ibu mengangguk dengan sedikit senyum yang menguatkan aku. Aku beralih memandang ayah, sorot matanya sangat tajam memandang ke arahku, seolah aku telah melakukan kesalahan besar yang bisa merobohkan kekaisaran yang ayah pimpin.
"Maafkan Aira, ayah. Aira bangun terlalu siang hingga melewatkan sarapan bersama ayahanda dan ibunda," jawabku sambil menyatukan kedua tanganku di depan perut, dan sedikit menundukan kepalaku, tanda mohon ampun pada ayah.
"Kau bangun siang karena mengira ayah dan ibu akan berkunjung ke kekaisaran awan kan? Ayah tidak habis pikir, apa jadinya jika ayah dan ibu sudah meninggal nanti?"
Aku terhenyak mendengar kata-kata ayah, hatiku sakit bagaikan ada ribuan pisau yang menancap, mataku mencoba memandang kedua mata ayah, ada kekecewaan yang jelas tergambar di kedua matanya.
"Rakyat mendesak ayah untuk segera mengangkatmu sebagai putri mahkota, tapi lihatlah! Baru mau ditinggal sebentar saja sudah mau seenaknya sendiri, ayah benar-benar tidak habis pikir! Apa jadinya bila ayah menyerahkan kerajaan ini padamu? Jangan-jangan kau akan bertindak bodoh dan menyengsarakan rakyat!"
Ternyata inilah yang disebut ketenangan sebelum badai, ayah menahan amarahnya selama makan siang. Sebagai kaisar ayah selalu mengutamakan rakyat, tak heran ia sangat marah. Aku kembali menundukkan kepalaku, hatiku mulai sesak dan mataku mulai berkaca-kaca.
"Tidakkah kau tahu kalau kau hidup menggunakan uang rakyat? Banyak orang dengan rajinnya bangun pagi, bekerja keras untuk kekaisaran ini. Mereka mempercayai kita, bahkan kamu untuk menjadi pemimpin di masa depan. Apa jadinya kalau mereka tahu bahwa disaat mereka sudah bangun, pemimpin mereka malah bermalas-malasan? jawab!"
Air mataku mulai tak terbendung, menetes dalam diam. "Maafkan Aira ayah, Aira telah mengecewakan banyak orang, Aira telah menyalahgunakan kepercayaan rakyat," jawabku dengan sedikit isak tangis, jujur hatiku teramat sakit, baru kali ini ayah membentakku dengan suara yang meninggi. Biasanya jika aku melakukan kesalahan, ayah selalu menegurku tapi masih dengan suara yang lembut, itupun telah bisa membuatku takut, tapi kali ini sepertinya aku sudah keterlaluan hingga ayah tak lagi bisa berkata lembut padaku.
"Yang Mulia, mohon tenanglah," ibu mencoba menenangkan ayah. "Aira dengarlah nak, setelah kedua kakakmu menikah, mengikuti suami masing-masing dan kini menjadi ratu di kerajaan mereka sendiri, maka secara tidak langsung, penerus kerajaan ini adalah dirimu selaku putri bungsu dari kekaisaran matahari. Mulai sekarang kamu harus belajar tanggung jawab, tidak boleh lagi menjadi putri bungsu yang manja, karena dipundakmu ada tanggung jawab yang begitu besar, seluruh rakyat bergantung padamu nantinya. Maju atau hancurnya kekaisaran ini sepenuhnya ada di tanganmu saat kamu menjadi kaisar nanti,"
"Tidak!" ayah memotong kata-kata ibu.
Sontak aku dan ibu memandang ayah bersamaan. Apa maksud ayah berkata tidak? Apa aku salah dengar?
"Istriku, aku rasa aku tidak akan mengangkat Aira sebagai putri mahkota,"
Aku terhenyak, mata ayah memandang ibu tanpa keraguan, kata-kata ayah terdengar sangat jelas, membuat ibu juga terdiam memandang ayah. Tatapan ayah kini beralih menatapku. Aku bergetar hebat, seketika aku merasa menjadi manusia tidak berguna. Pikiranku berkelana, hatiku mulai hancur. Apakah aku sebegitu tidak pantasnya menjadi putri mahkota? Apakah aku benar-benar tidak berguna?
"Suamiku, jangan pernah membuat keputusan saat marah," ibu mengingatkan ayah.
"Aira, bagaimana menurutmu? Apa kau pantas menjadi putri mahkota?" ayah membalikkan pertanyaan padaku.
Aku terdiam menatap ayah dan ibu bergantian, air mataku tak bisa berhenti mengalir. Pikiranku kacau. Aku mulai membandingkan diriku sendiri dengan kedua kakakku. Jika dibandingkan dengan Kak Nala, aku tak berdaya. Kakak pertama memiliki kecerdasan luar biasa hingga bisa mengantarkan kak Aditya memimpin kekaisaran Bintang mencapai kejayaannya saat ini. Sedangkan kakak kedua, Kak Prisa memiliki kecantikan tiada tara. Kecantikannya bagaikan dewi, aku masih ingat akan banyaknya laki-laki yang ingin meminangnya, hingga akhirnya ia memutuskan menikah dengan kak Arya. Kak Prisa menjadi permaisuri teladan yang membangun banyak rumah sakit dan akademi kesehatan, membuat kekaisaran Bulan terkenal akan kehebatan medisnya.
Aku terdiam seketika menyadari ketidakpantasanku. Tidak ada sesuatu dalam diriku yang menjadikanku pantas untuk menyandang gelar putri mahkota. Aku tidak secerdas kak Nala, tidak secantik Kak Prisa, tidak semulia ayah dan tidakpula memiliki keanggunan seperti ibu. Aku ternyata memang tidak pantas.
Aku menarik nafas panjang dan menegakkan kepalaku, mencoba menatap mata ayah yang kini menunggu jawaban. "Ayah benar, aku memang tidak pantas."
Aku mulai menilai mata ayah, tapi kali ini aku tidak bisa menebak jalan pikiran ayah yang masih terdiam menatapku.
"Aira, jelaskan maksudmu nak?"
Kulihat ke arah ibu, tatapannya terlihat sedih. Mungkin ibu mempunyai harapan besar untukku, aku memang menyadari penuh bahwa suatu saat nanti aku harus menjadi putri mahkota, tapi aku masih belum menyadari kewajiban dan tanggung jawab yang harus kujalani sampai beberapa saat lalu ayah menyadarkan aku dengan kata-katanya.
"Ibu, ayah benar. Aku memang tidak pantas menjadi putri mahkota." Lalu dengan mantap aku mendudukkan diriku, bersimpuh dihadapan orang tuaku. "Saya, Aira Airlangga bersumpah akan menerima segala keputusan Ayahanda Kaisar dan Ibunda Permaisuri, saya tidak akan pernah menghalangi keputusan penunjukan ahli waris selain diri saya, dan saya berjanji akan menerimanya dengan lapang dada."
Suara petir menyambar mengiringi sumpahku, langit terdengar marah, tapi aku benar-benar rela, aku rela jika kekaisaran matahari kelak dipimpin oleh orang yang lebih pantas dariku. Samar kudengar suara isak tangis ibunda, tentu hatiku sakit tapi aku tak bisa berkutik dengan kenyataan yang terpampang nyata.
"Ayah, Aira juga akan menerima hukuman sesuai keputusan Ayahanda."
Ayah menghela nafas panjang, ia mengibaskan tangannya dan muncullah dua kotak emas berlambang matahari emas, simbol kekaisaran matahari. Ayah kembali mengibaskan tangan dan muncullah kantong kain kecil berwarna merah dengan lambang yang sama.
"Antarkan kedua kotak itu pada kedua kakakmu, dan gunakan uang yang ada dalam kantong untuk biaya perjalanan." Ayah kembali mengibaskan tangannya, seketika bajuku berubah menjadi baju rakyat biasa, rambut panjangku diikat ekor kuda, aku merasa semua hiasan rambut dan perhiasan yang tadinya terpasang, kini hilang tanpa bekas. "Kamu akan mengantarkannya sendiri, tanpa ada pengawal. Antarkan ke kakak pertamamu terlebih dahulu."
"Apakah ada tenggang waktu yang ayahanda berikan?" tanyaku masih bersimpuh.
"Tidak ada, pergilah tanpa kembali ke kediamanmu terlebih dulu."
Hatiku kembali merasa sakit, kenapa ayah melarangku kembali ke kediaman? Apakah kali ini ayah bermaksud mengusirku dari istana? Mataku kembali berkaca-kaca, tapi kutahan sebisa mungkin. Kukibaskan tanganku, sehingga kedua kotak dan kantong kain menghilang masuk kedalam cincin penyimpanan yang bertengger manis di jari tengahku. Aku berdiri dan memberi hormat.
"Aira pamit berangkat menjalankan tugas, semoga ayahanda dan ibunda sehat selalu."
"Berhati-hatilah nak," ucap ibunda yang berdiri dan hendak memelukku.
"Ehm.."
Suara ayah menghentikan gerakan ibunda. Aku mengerti, lalu berpaling dan berjalan pergi. Aku teringat kata-kata Kak Prisa sebelum pergi meninggalkan istana untuk mengikuti suaminya dua tahun lalu. "Adikku sayang, sekarang kamu adalah satu-satunya penerus kekaisaran ini, berusahalah menjadi bunga yang mekar dengan indahnya, jagalah ayah ibu ya. Kakak tidak bisa berada disisimu sesering sebelumnya."
Aku terus berjalan tanpa menoleh ke belakang hingga aku menghentikan langkahku di depan gerbang istana, setelah melewati gerbang nanti, aku akan benar-benar meninggalkan istana dan membaur dengan rakyat. Aku berbalik memandang indahnya istana yang kutempati sejak lahir berdiri dengan megahnya. Orang menyebutnya istana emas karena dominasi warna emas diseluruh bagian. "Maafkan aku kak, mungkin aku memang tidak bisa mekar karena kehilangan akar."
Aku kembali berbalik dan berjalan menuju gerbang istana yang dijaga beberapa penjaga yang menunduk hormat ketika aku lewat. Dalama hati kuucapkan selamat tinggal, aku berjanji pada diriku sendiri untuk kuat menghadapi ini semua.
Setelah melalui gerbang istana, terlihat penampakan ibukota yang ramai di siang hari. Banyak orang berlalu lalang melakukan aktivitas mereka. Aku mengibaskan tanganku, tak lama kemudian kantong kain yang ayah berikan muncul dihadapanku, kubuka dan terkejut isinya hanya 5 keping emas. Untuk mencapai kekaisaran Bintang tempat kak Nala berada, setidaknya 4 hari 3 malam perjalanan jika menunggangi kuda karena harus melewati kerajaan api. Kerajaan api merupakan kerajaan yang masuk wilayah kekaisaran matahari dan merupakan perbatasan antara kekaisaran matahari dan kekaisaran Bintang. Bagi mereka yang bisa terbang atau membuka portal tentu bisa sekejap melewati jarak itu.
Tiba-tiba aku teringat bahwa aku tidak memiliki bakat apapun. Di dunia ini keluarga kerajaan dan orang-orang terpilih lahir dengan bakat mereka. Ada yang lahir dengan bakat teleportasi, ada pula yang dapat menguasai api, angin, air dan masih banyak lagi. Ada yang hanya memiliki satu bakat, ada pula yang memiliki banyak bakat, bakat yang ada bisa dilatih hingga kemampuan maksimal. Berbeda denganku yang sejak lahir tak memiliki bakat apapun, aku kembali menghembuskan nafas dengan kasar. Aku kembali teringat ketidakpantasanku, karena dalam keluarga, hanya aku yang terlahir tidak memiliki bakat. Walaupun terlahir tidak memiliki bakat, keluargaku sangat menyayangiku, entah kenapa kali ini ayah begitu tegas terhadapku.
Aku mencoba kembali fokus menjalankan perintah ayah. Untuk membeli kuda setidaknya aku butuh 10 koin emas (1 koin emas\=100 koin perak, 1 koin kristal\=100 koin emas). Uang yang diberikan ayah tidak cukup sama sekali. Maka mau tidak mau aku harus berjalan kaki. Walaupun jika aku berjalan kaki ke tempat kak Nala mungkin memakan waktu lama, tapi apa boleh buat, aku tak punya pilihan lain.
Aku kembali memasukkan kantong kain ke dalam cincin penyimpanan. Kulangkahkan kakiku menuju hutan hujan, kerajaan api berada dibalik hutan hujan. Aku ingin melewati hutan hujan sebelum malam, mengingat sekarang matahari masih berada di puncaknya. Aku bergegas melewati pasar yang ramai dengan penjual dan pembeli. Fokusku mulai teralihkan, barang yang dijual amat beragam, ada makanan, buah, sayur, pakaian, sepatu hingga aksesoris dan belati.
Tiba-tiba mataku menangkap seonggok pisau kecil dengan ukiran naga di pegangannya. Tempat pisau itu berwarna emas, dengan ukiran naga berwarna hijau emas.
"Aku benar-benar berharap kaisar segera mengangkat Putri Aira menjadi Putri Mahkota, aku tidak sabar melihat wajahnya," ucap seorang pemuda yang sedang memilih pedang disampingku. Aku membetulkan tudung dan menutupnya ke kepalaku, mencoba menyembunyikan wajah dan berpura-pura bingung memilih beberapa pisau di hadapanku, mengulur waktu sambil mendengarkan diam-diam.
"Sebenarnya aku juga bingung, kenapa Putri Aira belum juga diangkat sebagai Putri Mahkota. Selain itu, dibandingkan Putri Nala dan Putri Prisa yang sering muncul di acara kerajaan, Putri Aira sama sekali belum pernah muncul di hadapan kita secara resmi. Kenapa ya?"
Aku membenarkan ucapan pemuda berbaju merah, aku memang terlalu malas mengikuti acara kerajaan. Di sisi lain ayah juga tidak pernah menyuruhku untuk mengikutinya, kata ayah, ayah akan mengijinkanku ketika memang aku sudah siap.
Pemuda berbaju biru menatap pemuda berbaju merah. "Jangan berpikiran macam-macam, melihat Putri Nala dan Putri Prisa yang kini menjadi ratu yang hebat di kekaisaran masing-masing, aku yakin Putri Aira juga tak kalah hebatnya."
Aku terhenyak kaget, darimana pemuda berbaju biru mendapatkan keyakinannya atas diriku? bertemupun belum pernah, tapi kenapa bisa seyakin itu? Hatiku sedikit sakit karena aku tak memiliki sedikitpun kehebatan yang diyakini pemuda itu.
"Dari mana kau bisa seyakin itu?" tanya pemuda berbaju merah menampakkan kebingungan yang sama denganku.
"Melihat Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Permaisuri yang begitu bijaksana dan adil, sudah membuatku yakin bahwa semua Putri pun memiliki jiwa agung yang sama. Bahkan kudengar Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Permaisuri sangat memanjakan Putri Aira, dilihat dari itu saja sudah bisa membuktikan bahwa mungkin Putri Aira bisa lebih hebat dari kedua kakaknya."
Aku melengos, lebih hebat apanya! Dibandingkan dengan kedua kakakku saja, tidak bisa, apalagi dibilang lebih hebat! Ya ampun aku tidak tahu kalau rakyat memiliki harapan yang tinggi terhadapku, maafkan aku.
"Maaf tuan berapakah harganya?" aku bertanya pada penjual sambil menunjukan pisau belati naga yang kupilih, setelah kehilangan minat untuk mencuri dengar lebih lama.
"50 perak nona," kata penjual yang menjawab dengan sopan.
Aku mengeluarkan sekeping emas dan menerima kembalian 50 keping perak. Menurutku ini terlalu murah, tadinya aku menaksir harganya 1 keping emas. Entahlah tapi aku bersyukur bisa berhemat uang.
"Terima kasih," ucapku seraya pergi dan memasukkan belati ke dalam saku celanaku. Pakaianku adalah pakaian rakyat dengan celana dan atasan berwarna hitam, dilengkapi dengan tudung berwarna senada sehingga aku bisa leluasa berjalan, tanpa mencemaskan identitasku terbongkar. Aku sedikit bersyukur karena aku tak pernah tampil di acara kerajaan, membuat kemungkinan kecil untuk dikenali.
"Wah ibu lihat," teriak seorang anak kecil yang sedang digendong ibunya, jari telunjuknya menunjuk ke arah langit. Terdengar keras suara kepakan sayap di udara, banyak orang mulai mengikuti arah pandang si anak. Aku menengadahkan kepalaku. Seekor elang putih raksasa terbang dengan gagah di langit, di punggungnya duduk seorang yang amat ku kenal, "Fiacra, paman Ezio."
Sepintas kudengar Fiacra bersuara, matanya seolah menemukanku dikerumunan dari atas sana, sementara paman Ezio mengikuti arah pandang Fiacra. Tatapan kami sempat bertemu, walaupun jauh di atas sana tapi aku merasa paman menatapku kaget. Kaget mendapatiku berdiri diantara rakyat tanpa pengawalan, aku mengangguk dan memberi senyuman ke arahnya, aku berharap paman Ezio melihatnya walau dari jauh, dan mengisyaratkan bahwa aku baik-baik saja.
Setelah Fiacra dan paman Ezio tampak terbang menjauh ke arah istana, aku mulai melanjutkan langkahku.
"Wah sepertinya jendral agung telah kembali, syukurlah, senang melihatnya lagi."
Banyak orang memulai percakapan dengan wajah tersenyum, mereka membahas paman Ezio.
Paman Ezio adalah Jendral Agung Kekaisaran Matahari, orang kepercayaan ayah. Paman Ezio tak memiliki hubungan darah dengan ayah maupun ibu, tapi aku menyayanginya seperti pamanku sendiri. Usianya masih muda, 31 tahun, lebih muda 2 tahun dari kak Nala tapi lebih tua 2 tahun dari kak Prisa, dan masih belum menikah, entah kenapa. Padahal ibu pernah bercerita kalau banyak putri kerajaan yang menawarkan diri menjadi istrinya.
Sambil berjalan, ingatanku mulai mengembara. Saat aku kecil,selain digendong oleh ayah ibu dan kedua kakakku, aku hanya pernah digendong oleh ibu asuh Sarala dan Paman Ezio. Tidak ada orang lain yang pernah menyentuhku selain mereka, bahkan kalau keluar istana, ayah selalu memerintahkan banyak pengawal di sisiku, kecuali hari ini, tentunya.
'Mungkinkah ayah sudah tak menyayangiku lagi?' batinku lirih.
"Yang Mulia, ke mana Yang Mulia hendak pergi?"
Aku menghentikan langkahku dan menatap asal suara. Di hadapanku berdiri seorang prajurit berseragam khas kekaisairan matahari, sedang bertanya dengan sopan. Aku melihat sekeliling dan menemukan setidaknya ada 10 prajurit yang memakai seragam yang sama. Mereka terlihat berjaga di depan sebuah gerbang besar. Gerbang itu terbuat dari tumpukan batu yang terlihat telah berlumut, dengan tulisan setengah melingkar tertulis Hutan Hujan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!