NovelToon NovelToon

Mencintaimu Lewat Do'A

1. Murid Baru

Gadis cantik itu datang bersama uminya ke sekolah As-sobirin. Di sekolah itu benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, meskipun tidak mengesampingkan pengetahuan umum. Semua orangtua sangat menginginkan anaknya masuk ke sekolah itu namun sayangnya cukup sulit persyaratan yang harus dilakukan oleh para murid. Salah satu persyaratannya adalah minimal calon murid hafal 3 juz Al-quran.

Walaupun banyak sekali email serta keluhan dari pihak orangtua, namun tetap saja As-sobirin tidak pernah mengganti persyaratannya sejak berdiri 20 tahun yang lalu. Awal pertama berdiri As-sobirin adalah pesantren keluarga, namun silih berganti pemegang sampai akhirnya As-sobirin hanyalah SMK.

Kedatangan calon murid baru membuat para siswa-siswi penasaran dengannya, sebab menurut kabar bahwa perempuan itu berasal dari Aceh dan pernah tinggal di Mesir.

Murid baru itu bernama Zahratunnisa Abdullah. Perempuan itu tertunduk saat masuk ke kantor sekolah, dan selalu menanyakan pada uminya mengapa ia harus masuk ke sekolah As-sobirin. Bukannya ia tidak bangga bersekolah yang dinilai nomer satu dalam menjunjung agama Islam di Indonesia, hanya saja ia malu harus menjadi murid baru dan disebut sebagai "murid pindahan".

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Balas para guru yang berada di dalam kantor.

"Ibu Salamah?" Tanya kepala sekolah.

"Iya bu, ini anak saya namanya Zahra." Jawab umi.

"Silahkan duduk bu." Ajak Bu Hanum pada umi serta Zahra.

"Saya sudah membaca data-data Zahra bu, dan saya sangat berkesan padanya." Ucap bu Hanum memulai pembicaraannya.

"Terimakasih bu."

"Tapi, apa nak Zahra mau bersekolah di sini?" Tanya bu Hanum pada Zahra.

Meskipun murid yang akan bersekolah di As-shobirin sudah memenuhi kriterianya, tetapi di sekolah itu tidak boleh ada paksaan sehingga para murid akan menjadi bosan dan tidak semangat dalam menuntut ilmu.

Umi Salamah yang mendengar pertanyaan bu Hanum hanya tersenyum tanpa memalingkan wajah pada anak semata wayangnya. Sebab, ia juga hanya memberikan yang terbaik dan tidak mau jika anaknya merasa tertekan.

"Saya mau bu." Jawab Zahra sambil menganggukkan kepalanya.

"Alhamdulillah, baiklah. Kalau begitu nanti ibu antar ke kelas kamu ya nak." Kata bu Hanum.

"Iya bu." Ucap Zahra.

"Terimakasih ya bu." Kata umi Salamah.

"Sama-sama bu."

Zahra mengantar uminya sampai di parkiran. Lalu ia berjalan mengikuti bu Hanum. Sambil berjalan menuju lantai tiga, Zahra ditanyai banyak sekali oleh bu Hanum, salah satunya aktifitas ia selama berada di Mesir. Karena As-shobirin ingin sekali menjadikan murid-muridnya menjadi bibit-bibit yang unggul.

Bu Hanum mengetuk pintu kelas lalu dibukakan oleh seorang guru bertubuh gempal menggunakan kacamata yang cukup tebal. Bu Hanum mempersilahkan Zahra masuk ke kelasnya dan memperkenalkan dirinya di depan teman-teman baruya.

"Kamu bisa Bahasa Arab?" Tanya bu Zidah yang ternyata seorang guru Bahasa Arab.

"Nggak bu." Jawab Zahra.

Bu Zidah dan bu Hanum saling pandang.

"Di pelajaran saya, semua murid harus bisa bahasa Arab untuk percakapan selama jam pelajaran." Kata bu Zidah.

"Baik bu. " Ucap Zahra.

"Yaudah kamu lanjutin ya perkenalannya."

"Assalamualaikum, perkenalkan nama saya Zahratunnisa Abdullah, panggil saya Zahra. Saya berasal dari Aceh. Saya mohon bantuannya kepada teman-teman semuanya agar mengajarkan saya pelajaran yang tertinggal, terimakasih."

"Kamu boleh duduk di samping Bela ya." Suruh bu Zidah.

"Makasih bu." Zahra pun melangkahkan kakinya duduk di samping perempuan yang bernama Bela.

Bel istirahat pun sudah terdengar, Bela mengajak Zahra untuk pergi ke kantin bersama. Namun Zahra menolaknya, ia hanya ingin melanjutkan pelajaran yang sudah tertinggal.

"Kamu kan baru, jadi gak perlu memaksakan diri buat belajar sama kayak kita." Ucap Bela melihat Zahra menyalin catatannya.

Zahra menghela nafasnya lalu menghentikan tulisannya, "aku cuma ingin cepat lulus bela, dan kembali ke kampung halamanku." Ucapnya.

"Tapi kan kita baru kelas satu. Masih dua tahun lagi Zahra."

"Emmm, bisa tolong kamu belikan air minum saja buatku?"

Bela tersenyum mendengarnya, "ah, aku tau kamu ingin aku pergi cepat-cepat kan supaya kamu tidak terganggu."

Zahra pun ikut tersenyum, "aku tidak seburuk itu Bela." Ia memberikan uang pada Bela lalu melanjutkan kembali menulisnya yang tertunda.

Selesai menulis, Zahra melihat jam dinding lalu keluar kelas dan berjalan menuju masjid yang berada di lantai dasar dekat gedung aula. Selesai sholat Dhuha Zahra harus kembali ke kelasnya. Namun, saat di depan kantor ada seorang siswa yang menatapnya, Zahra hanya melihatnya sekali lalu menundukkan kepalanya. Siswa itu tersenyum melihatnya, namun saat ia kejar ternyata Zahra sudah tidak ada ditangga.

"Zahra, aku tungguin juga, abis darimana sih?" Tanya Bela.

"Masjid. Makasih ya." Jawab Zahra senyum lalu duduk di kursinya bersama Bela.

"Gak perlu makasih ah, aku kan cuma ke koperasi doang." Kata Bela membuka buku pelajaran Matematika.

Zahra tersenyum dalam hatinya melihat tingkah laku Bela yang lucu. Menurutnya, Bela cocok dengannya karena ia sangat berani menyuarakan pendapatnya tanpa dipikir dulu. Sedangkan Zahra, ia harus berpikir jauh ke depan sebelum berbicara.

Bela menggerutu sambil membuka buku paket Matematika miliknya, ia terus mengeluh karena tidak mengerti dan tidak pernah mendapat nilai Bagus di pelajaran tersebut.

"Kalau kamu tidak mengerti, kenapa tidak nanya?" Tanya Zahra memotong keluhan Bela.

"Aku udah dua kali bertanya setiap pak Iman jelasin, dan katanya kalau sampai tiga kali, aku dilempar spidol." Jawab Bela cemberut.

"Nanti aku ajarin ya." Ucap Zahra.

Bela tersenyum sumringah, lalu memeluk Zahra. Sebab, selama ini tidak ada yang mau berteman dengannya karena kurang pintar. Bahkan Bela satu-satunya siswi yang tidak pernah masuk ke dalam sepuluh besar.

"Emmm, kamu kenapa pindah sekolah? Padahal enak di Aceh." Tanya Bela.

Zahra lagi-lagi tersenyum pada sahabat barunya itu, "Aku sekolah di Mesir. Di Aceh itu rumah peninggalan abi sama umi sebelum memutuskan ke Mesir." Jawab Zahra.

"Wah, jadi kamu besar di sana?" Bela kembali bertanya karena kagum pada cerita Zahra.

"Setelah mereka menikah, abi harus lanjut sekolah di Mesir. Jadi, umi ikut dan pada saat itu, aku ada di dalam perut umi." Zahra menceritakan dengan penuh senyuman.

"Aku belajar bahasa Arab cuma karena pengen kuliah di sana Zahra, aku berasal dari keluarga yang kurang mampu. Aku cuma mau mengejar beasiswa, aku cuma unggul di pelajaran bahasa Arab." Ucap Bela terdengar sedih saat menceritakan dirinya.

Zahra tersenyum sumringah sehingga membuat Bela ikut tersenyum.

"Aku suka bahasa Arab, karena Al-qur'an pakai bahasa Arab, zaman nabi berbicara pakai bahasa Arab, dan di akhirat nanti pakai bahasa Arab. Itu alasan aku suka bahasa Arab Bela." Kata Zahra.

"Berarti alasan aku selama ini salah ya Zahra?" Tanya Bela.

Zahra menggeleng pelan, "setiap orang punya alasan masing-masing, hanya saja alasan mana yang lebih baik buat kita nanti. Bela, semua pelajaran harus kamu ungguli, kalau kamu ingin dapat beasiswa. Dan aku siap buat jadi teman belajar kamu selama dua tahun ke depan."

Bela langsung memeluk erat tubuh Zahra. Tak terasa air matanya mengalir begitu saja, melihat senyuman Zahra membuatnya ingin tersenyum, merasakan semangatnya ia pun ikut semangat. Entah mengapa Zahra memberikan sikap yang begitu positif pada dirinya.

"Zahra, kamu bisa bicara bahasa Arab?" Tanya Bela melepas pelukannya.

Zahra tertawa mendengar pertanyaan sahabat barunya itu, "bagaimana aku bisa bersosialisasi di Mesir kalau aku tidak bisa bahasa Arab."

"Berarti kamu bohong, katanya gak bisa." Keluh Bela.

"عَفْوًا" .Ucap Zahra tersenyum

"Iya. Aku maafin." Balas Bela.

Bel sekolah pun telah berbunyi, sebelum pulang seluruh siswa siswi ke kantor untuk mengambil hp mereka masing-masing. Bagi murid yang membawa hp akan dititipkan dikantor oleh guru yang piket hari itu. Tak terkecuali Bela yang ikut berada di depan kantor untuk mengambil ponselnya.

"Kamu tidak ngambil hp?" Tanya Bela pada Zahra.

"Aku tidak bawa." Jawab Zahra.

Saat mereka sedang menunggu giliran kelas mereka dipanggil oleh guru piket, di samping Zahra telah berdiri salah seorang siswa. Zahra menoleh, ia melihat laki-laki yang berpandangan olehnya saat jam istirahat tadi. Zahra segera memalingkan wajahnya, sedangkan laki-laki itu tersenyum.

"Kamu tunggu di sini ya Zahra." Suruh Bela.

"Iya." Ucap Zahra.

Zahra merasakan panas, padahal cuaca gerimis, ia mencoba menghapus keringat di dahinya dan bersikap biasa saja di depan laki-laki itu. Jantung Zahra merasakan berdegup kencang, ia tidak tahu mengapa dirinya menjadi seperti ini. Saat Bela keluar kantor, laki-laki itu langsung pergi meninggalkan mereka. Zahra melihat punggung laki-laki itu. Menurut Zahra dia berdiri di sampingnya karena ingin mengambil hp, tapi ternyata tidak.

"Hey, ngeliatin siapa sih?" Tanya Bela.

"Gak ngeliatin siapa-siapa." Jawab Zahra.

"Kok kamu keringetan gitu?"

Zahra segera menghapus keringetnya lalu menggelengkan kepalanya.

...***...

Hari pertama sekolah menjadi murid baru lumayan menyenangkan bagi Zahra. Selain ia mempunyai Bela sebagai sahabatnya, ia juga tidak tahu siapa laki-laki itu yang membuat Zahra terus mengingatnya.

"Astagfirullah. Aku memikirkan cowok itu lagi!" Umpat Zahra pada dirinya sendiri.

Tok... Tok... Tok.. Tok...

"Kamu melamun nak?" Tanya Umi masuk ke dalam kamar anaknya.

"Tidak kok umi." Jawab Zahra tersenyum.

"Dari tadi umi ketuk pintu kamar tapi tidak ada suara, makanya umi langsung masuk." Kata umi.

Umi duduk diatas kasur, lalu memandangi wajah anaknya itu.

"Kenapa sih umi? Ngeliatin aku kok kayak gitu." Jawab Zahra kikuk dipandang oleh uminya.

Umi tersenyum, "ada yang kamu pikirin ya?" Tanyanya.

Zahra menggeleng.

"Siapa?"

Zahra terkejut saat umi menanyakannya, seperti sudah tahu apa yang ada di kepalanya.

"Umi, apa aku boleh mikirin orang lain? Emmm... Maksudku.. Penasaran?" Tanya Zahra gugup.

"Kenapa penasaran? Apa kamu tidak tahu siapa seseorang yang sedang kamu pikirkan?" Umi bertanya balik.

"Aku tidak tau umi, baru pertama kali ketemu." Jawab Zahra tersipu malu.

"Kamu menyukai seseorang nak?" Tanya umi terkejut melihat ekspresi anaknya yang malu-malu.

"Umiiii... Masa iya aku suka, tau namanya aja tidak." Ucap Zahra mengelak.

"Lalu kenapa kamu mikirin dia?" Tanya umi lagi.

"Cuma penasaran aja." Jawab Zahra tertunduk.

Umi tersenyum sambil membelai kepala anaknya, "nak, memikirkan seseorang itu boleh, asal jangan berlebihan, karena bisa jadi itu berasal dari setan. Kalau kamu suka sama seseorang bawa namanya di dalam do'a mu."

Zahra mengangkat kepalanya lalu tersenyum sumringah dan langsung memeluk erat uminya.

Meskipun Zahra tidak tahu siapa nama laki-laki itu, ia berdo'a semoga besok di sekolah ia tahu namanya. Cukup tahu namanya saja membuat Zahra senang.

..."Ya Allah, aku tidak tahu siapa dia. Aku ingin bercerita tentangnya namun Engkau lebih tahu isi hatiku sebelum aku mengungkapkannya. Ya Allah, tolong beritahuku siapa dia, agar aku bisa menyebut namanya di do'aku."...

Zahra melepas mukenanya lalu beranjak tidur.

...***...

Assalamu'alaikum, selamat membaca cerita "Mencintaimu Lewat Do'a" Kalau suka tolong di vote ya, jangan lupa komen ☺. Mohon koreksi apabila ada salah penulisan. Terimakasih☺

2. Dia adalah Akbar

Pagi itu Zahra datang ke sekolah lebih awal, ia selalu memberi salam kepada siapapun yang berpapasan dengannya, memang seharusnya seperti itu sikap muslim kepada muslim lainnya. Dan melihat sikap Zahra yang sudah beberapa minggu sekolah di As-sobirin memiliki nilai positif tersendiri bagi kepala sekolah. Bahkan mulai hari itu seluruh murid yang berpapasan harus memberi salam.

Zahra merasa senang karena sikapnya ditiru oleh murid lainnya. Dan ia hanya tersenyum lega melihat Bela bersikap seperti itu kepada orang lain, sebab ia melihat Bela menghindar dari teman-teman lainnya.

Langkah kaki Zahra terdengar di koridor sekolah sampai ia menghentikan langkahnya di samping jendela kelas yang masih tertutup gorden. Ia berdiri sambil mendengarkan suara laki-laki yang sedang membaca surah Maryam. Ia menutup kedua matanya sambil tersenyum karena suara yang ia dengar sangatlah merdu, namun ia tidak tahu suara siapa itu.

Tak lama ia tersadar, lalu melanjutkan jalannya ke kelas meskipun ia ingin tahu siapa laki-laki itu.

Satu persatu murid berdatangan, begitupun Bela yang sudah tersenyum gembira melihat Zahra di tempat duduknya.

"Assalamu'alaikum Zahra."

"Wa'alaikumsalam."

Bela langsung menaruh tasnya diatas meja dan menenggak air mineral yang ia beli di koperasi.

"Kamu tidak puasa lagi?" Tanya Zahra membuka buku bahasa Indonesia.

"Astagfirullah! Aku lupa!" Jawab Bela menghentikan minumnya.

Zahra hanya tersenyum melihat ekspresi sahabatnya.

"Emmm, Bela," panggil Zahra pelan.

"Iya Zahra!" Sahut Bela dengan kencang membuat Zahra terkejut.

Zahra tersenyum kecil, "tidak jadi deh."

Bela menatap wajah Zahra, "ada apa Zahra?" Tanyanya, kali ini suaranya ia pelankan agar tidak ada yang mendengar.

Zahra terkekeh melihat sikap sahabatnya itu.

"Tidak apa-apa, nanti saja ya ngobrolnya mau tadarusan." Jawab Zahra.

Bukan Zahra namanya menanyakan tentang seorang laki-laki. Karena sikapnya yang pendiam, lemah lembut, serta ramah kepada siapapun, sehingga seluruh murid di sekolah mengira bahwa Zahra hanya tertarik pada laki-laki Mesir. Bahkan mungkin saja sudah ada calon yang dipilihkan oleh orangtuanya untuk Zahra nanti.

Para persepsi yang dibuat seluruh murid terdengar oleh Zahra, namun ia hanya tersenyum menyikapinya. Ia tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkan, Zahra tetap menjadi Zahra yang membuat iri para siswi di sekolahnya karena attitude serta ketulusan hatinya.

Bel istirahat sudah terdengar, Zahra pergi ke masjid sekolah untuk melaksanakan sholat Dhuha. Seusai salam, Zahra melihat laki-laki itu sedang sholat. Zahra tersenyum di dalam hati lalu keluar masjid untuk mengenakan sepatu.

"Kamu Zahra ya?"

Kedua tangan Zahra terhenti mendengar suara laki-laki bertanya padanya. Ia menoleh ke samping dan laki-laki itu sedang menunduk memakai sepatunya. Jantung Zahra kembali berdetak kencang, keringat pun mulai membasahi dahinya.

"I...iya." Jawab Zahra gugup.

"Ini ada hadiah." Ucapnya memberikan sebuah kotak sedang pada Zahra.

"Ta..tapi..."

"Hari ini bukan ulangtahunmu." Potongnya.

Zahra menganggukan kepalanya pelan sambil menerima hadiah dari laki-laki tersebut.

"Ada surat di dalamnya, anggap saja itu hadiah perkenalan dariku. Udah mau bel aku masuk ke kelas dulu ya."

Laki-laki tersebut berjalan meninggalkan Zahra di depan masjid sambil memegang hadiah darinya.

Saat Zahra berjalan dikoridor, ia melihat laki-laki itu lagi di depan kelasnya bersama teman-temannya. Lalu salah satu temannya menghampiri Zahra dan mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan gadis yang besar di Mesir. Zahra langsung mengatupkan kedua tangannya dan menyebutkan namanya.

"Masyaallah!" Ucapnya lagi sambil menatap kedua mata Zahra.

Tak lama laki-laki itu datang lalu menyuruh temannya kembali ke kelas.

"Maaf buat kamu risih." Ucapnya.

"Iya." Zahra langsung berjalan menuju kelasnya.

Melihat sahabatnya membawa hadiah, Bela langsung kepo. Ia menanyakan dari siapa hadiah itu, apa Zahra sedang ulangtahun. Namun Zahra hanya menjelaskan bahwa hadiah itu bukan dari siapa-siapa.

"Zahra, banyak banget loh yang kagum sama kamu." Ucap Bela.

"Kenapa aku dikagumi?" Tanya Zahra heran.

"Mana aku tau, mungkin karena kamu cantik." Jawab Bela.

Zahra tersenyum, "Kamu juga cantik, mereka juga cantik," Zahra menunjuk teman-teman perempuan dikelasnya.

"Tapi tidak secantik kamu."

"Bela, cantik fisik itu relatif. Kalau cuma menilai seseorang dari cantik atau gantengnya saja pasti banyak orang-orang yang tertipu." Ujar Zahra.

"Iya juga sih, ada yang cantik tapi pembunuh. Naudzubilahi min dzalik!" Bela bergidik membayangkannya.

"Utamakan kecantikan akhlak, di situlah cantik sesungguhnya." Kata Zahra.

Lagi-lagi Bela tersenyum, menjadi sahabat Zahra adalah salah satu hal yang membuatnya bahagia. Banyak sesuatu yang Bela tidak tahu namun Zahra memberitahukannya. Ada sesuatu pemikiran Bela yang Zahra luruskan.

Sepulang sekolah Bela mengajak Zahra untuk nonton pertandingan sepakbola kakak kelasnya. Di sana Zahra duduk di team kelas XI Akuntansi. Saat Bela sedang ke toilet, Zahra mengambil hadiah lalu ia buka hadiah tersebut, dan ternyata isinya adalah sebuah Al-quran. Zahra tersenyum lebar, lalu ia membaca suratnya.

...Assalamualaikum....

"Waalaikumsalam." Zahra menjawab salam dari surat laki-laki itu dengan pelan.

...Aku tahu kamu mendengarkan saat aku membaca surah Maryam....

...Aku tahu kamu berhenti tepat di sampingku dan menutup kedua matamu agar suaraku bisa kamu dengar secara baik....

...Jangan kaget, itu hanya firasatku. Saat aku membaca Al-quran, entah mengapa aku merasa ada seseorang menghentikan langkah kakinya....

...Saat aku menoleh ke jendela, dibalik gorden ada siluet perempuan sedang berdiri. Dan aku tahu itu adalah kamu....

...Al-quran ini sengaja aku hadiahi buat kamu sebagai tanda perkenalanku, sebagai rasa maafku karena membuatmu gugup saat berada di dekatku....

...Zahra, namaku Akbar. Salam kenal, Assalamualaikum....

"Maaf ya Zahra lama."

Mendengar suara Bela, Zahra langsung memasukkan Al-quran serta suratnya ke dalam tas.

Tatapan Zahra teralih pada no punggung 2 yang sedang duduk dibangku bersama temannya yang lain sambil melihat pertandingan. Ya, no 2 itu adalah Akbar. Zahra bersikap seperti biasa dan menonton pertandingan sesantai mungkin tanpa gugup dan lain-lain. Tak lama saat Akbar masuk ke dalam lapangan, ia memutar balik badannya lalu tersenyum pada Zahra. Ingin rasanya Zahra membalas senyum Akbar namun ia tidak mau Bela tahu bahwa hadiah yang ia bawa tadi pagi adalah pemberian Akbar.

"Akbar ganteng banget ya Zahra!"

Seketika Zahra langsung teralih pada ucapan sahabatnya itu, bahkan Zahra melihat pandangan Bela serta tatapannya pada Akbar sangat santai, apalagi dengan leluasa memuji Akbar secara terang-terangan.

"Kamu suka dia?" Tanya Zahra.

Bela mengangguk mantap sambil senyum melihat permainan Akbar bersama teman-temannya.

"Kenapa tidak bilang langsung kalau kamu suka dia?"

Bela memandang Zahra, "aku tidak tau no hp nya, masa iya aku kirimin dia surat."

Zahra kembali melihat pertandingan sepakbola, "ada yang salah dengan surat Bela? Tidak ada kan?"

Bela langsung menggerutu, "udah tidak zaman Zahra pake surat-suratan segala."

"Dari pada rasa suka kamu tidak tersampaikan." Ucap Zahra.

"Huft, secantik dan sepintar kak Annisa saja ditolak, apalagi aku?"

Zahra kembali ingin tahu lebih bagaimana situasi sekolah sebelum ada dirinya, ia ingin tahu Akbar yang begitu dikagumi oleh kaum hawa di sekolahnya.

"Zahra, cewek-cewek di sekolah kita itu semuanya naksir Akbar. Tapi tidak tau kenapa sampai sekarang dia masih jomblo, padahal banyak banget yang nembak dia tapi semuanya ditolak." Ujar Bela.

"Oh ya?!" Zahra terkejut.

Bela mengangguk, "Akbar ganteng, pintar, sholeh. Cewek mana sih yang tidak mau sama dia."

Zahra langsung diam, ia tidak sedetail itu menyukai Akbar, ia hanya senang melihat Akbar di masjid, ia senang melihat Akbar menggunakan baju koko dan menjadi imam di masjid. Hanya itu yang Zahra sukai, ia menyukai Akbar karena ketaatannya dalam beribadah.

"Kalau Akbar suka kamu, aku ikhlas kok." Kata Bela tersenyum sambil bersandar di bahu Zahra.

"Kamu tau peraturan sekolah kan?" Tanya Zahra membalas ucapan Bela.

Bela langsung mengangkat kepalanya dari sandaran bahu Zahra "para siswa siswi tidak boleh berduaan atau pacaran di lingkungan sekolah. Tapi kan bisa setelah pulang sekolah, banyak kok yang kayak gitu." Jawabnya.

"Kamu tau peraturan Islam?"

"Dalam Islam dilarang pacaran. Zahra, kalau kamu sudah bawa2 Islam mana bisa aku balikin omongan kamu." Jawab Bela.

Zahra hanya tersenyum melihat sahabatnya. Belum selesai pertandingan, Zahra sudah meninggalkan Bela sendiri.

...***...

Tak lama pertandingan Akbar mencetak gol, semua penonton berdiri termasuk Bela, para siswi meneriaki nama Akbar. Namun kedua mata Akbar mencari seseorang, saat ia dipeluk oleh teman-teman se team nya, ia masih mencari-cari keberadaan seseorang. Kedua matanya tertuju pada kursi kosong di samping Bela. Akbar menarik nafas lalu berlari kecil ke lapangan.

Selesai pertandingan Bela menghampiri Akbar dan memberikan sebotol air mineral. Akbar menerimanya karena menghargai pemberian orang lain meskipun ditangan kirinya ia sudah memegang sebotol air.

"Kamu sendiri?" Tanya Akbar.

Ditanya seperti itu, Bela langsung kesenangan bukan main. Hatinya berbunga-bunga, namun ia juga merasa aneh karena sikap Akbar yang tiba-tiba menanyakan dirinya.

"Tadi bareng temen kak, cuma dia udah pulang lebih dulu." Jawab Bela.

"Oh, makasih ya minumannya." Kata Akbar.

"Sama-sama kak." Ucap Bela.

Selesai sholat maghrib, Akbar langsung tadarus. Setelah sholat isya para pemuda-pemudi berdatangan untuk memulai kajian yang biasa dilakukan seminggu sekali. Dan malam itu adalah giliran Akbar yang memberikan motivasi kepada mereka.

"Apa yang kalian lakukan jika kalian mencintai seseorang?" Tanya Akbar pada pemuda-pemudi yang fokus mendengarkannya.

Namun mereka hanya tersipu malu mendengarnya, ada yang menjawab langsung mengatakan perasaannya pada seseorang tersebut. Namun tiba-tiba suara perempuan menjawab "mendo'akannya." semua langsung mengalihkan pandangannya pada seorang perempuan yang berada dibelakang para perempuan lainnya.

"Kalau kalian mencintainya dan sudah siap lahir batin, katakanlah bahwa kalian ingin meminangnya. Tetapi jika kalian mencintai namun belum siap lahir batin, maka do'akanlah. Berdo'a agar kelak Allah menjodohkan dengan seseorang yang kalian cintai."

Suara yang sudah tidak asing lagi bagi telinga Akbar, meskipun perempuan itu menggunakan cadar, sepertinya Akbar sudah tahu siapa dia. Ada rasa gugup di dalam diri Akbar setelah mendengarnya, ia menjadi salah tingkah sampai-sampai dijadikn candaan oleh para ustadz lainnya karena tidak pernah melihat Akbar segrogi itu.

Selesai kajian Akbar datang pada perempuan itu dan memastikan bahwa dia adalah Zahra, teman sekolahnya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam, ada apa ya ustadz?" Tanya perempuan tersebut.

Melihat Akbar berbicara dengan perempuan bercadar, para pemuda-pemudi yang belum pulang hanya bisa tersenyum sambil berbisik membicarakan sikap Akbar.

"Kamu Zahra?" Tanya Akbar.

"Bagaimana kamu tau kalau aku Zahra?" Zahra bertanya balik.

"Suaramu." Jawab Akbar.

Zahra tersenyum dari balik cadarnya, "kita tidak pernah ngobrol panjang sebelumnya, cuma waktu kamu kasih aku hadiah. Oh ya, terimakasih atas Al-quran nya. Maaf baru bisa bilang terimakasih."

"Sama-sama, kamu tinggal di sini?"

Zahra menggeleng, "rumah bibi aku di daerah sini, aku ke sini karena kata bibi ada ustadz muda yang selalu memberikan motivasi islami pada pemuda-pemudi di sini."

Akbar tersenyum malu mendengarnya, "aku hanya sebulan sekali memberikan motivasi seperti tadi. Kalau ada waktu, ikut lah kajian di sini setiap malam minggu."

"Insyaallah ustadz."

"Jangan panggil aku ustadz, panggil Akbar saja."

"Lain kali aku akan panggil dengan namamu, aku pulang dulu ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatu."

Akbar mengantar Zahra sampai masuk ke dalam mobilnya, bahkan ia masih memandang mobil tersebut meskipun sudah jauh.

"Wah wah! Sepertinya nak Akbar ini sedang jatuh cinta ya?"

Akbar terkejut mendengar pertanyaan kiyai Somad, diam-diam kiyai tersebut melihat sikap Akbar pada Zahra.

"Ah, tidak pak kiyai. Dia itu teman sekolah saya." Jawab Akbar malu-malu.

"Nak, libatkanlah Allah dalam cintamu, agar kelak ada keikhlasan di dalamnya. Tapi ingat! Jangan berandai-andai, atau memikirkan yang berlebihan ya." Kiyai Somad memberikan saran pada Akbar.

"Insyaallah pak kiyai."

"Ya sudah kalau begitu saya pulang dulu ya, kamu mau bareng tidak?"

"Tidak pak kiyai terimakasih, saya masih mau tadarus."

Kiyai Somad menepuk bahu Akbar lalu berjalan pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari masjid.

Lalu Akbar masuk ke dalam masjid untuk melanjutkan tadarusnya, bahkan ia tidur di dalam masjid bersama sahabatnya Furqon.

Akbar maupun Zahra tidak menyangka akan bisa berkenalan satu sama lain. Tentunya setiap pertemuan mereka bukan hanya karena kebetulan tetapi memang sudah garis Allah.

3. Sebuah Rasa

Semester kenaikan kelas satu bulan lagi. Seluruh murid As sobirin selain melunasi uang spp serta uang semester, mereka juga harus menyetor hapalan Al-quran yang sudah ditentukan setiap semesternya. Walaupun murid itu sudah lunas dalam pembayaran administrasi tetapi belum hapalan, tetap saja mereka tidak bisa mengikuti semester.

Seluruh murid sangat sibuk pagi itu, mereka membuka Al-quran masing-masing untuk menghafalnya. Begitupun Bela yang meminta Zahra untuk mengetesnya. Pelajaran Agama diminta untuk bu Fauziah agar mereka menyetor surat. Di kelas Zahra hanya terdengar suara murid menghafal Al-quran.

Sehabis istirahat bu Fauziah menunggu mereka yang belum nyetor hapalan di kelas XI Akuntansi. Zahra termasuk yang belum nyetor karena sejak tadi membantu Bela menghafalnya.

"Ke kantin yuk!" Ajak Bela pada Zahra.

"Yuk."

Mereka pun menuju kantin. Zahra dan Bela tercengang saat sampai di kantin, karena hari itu kantin benar-benar sepi. Hanya beberapa murid saja yang makan di sana, ternyata murid-murid yang lainnya memilih tidak ke kantin daripada harus tidak ikut semester kenaikan kelas. Murid As sobirin memang dididik untuk bertanggungjawab dan tidak menyepelekan hal-hal seperti itu.

Bela heran mengapa Zahra sangat santai memakan makanannya, padahal dia belum menyetor hapalannya pada bu Fauziah.

"Kamu tidak kepikiran Zahra?" Tanya Bela.

"Kepikiran apa?" Zahra bertanya balik.

"Setoran surat sama bu Fauziah." Jawab Bela.

"Tidak, mudah-mudahan saja aku bisa ya." Ucapnya.

"Aamiin. Tapi, kamu hapalan di kelas XI Akuntansi loh."

"Memangnya ada apa di sana?"

"Itu kan Kelasnya kak Akbar, masa sih kamu tidak tau."

Zahra menghentikan makannya dengan alasan sudah kenyang. Dan mengajak Bela ke kelas.

Bel masuk pun sudah terdengar, bahkan ketua kelas sudah memberitahukan kepada teman-temannya bagi yang belum setor hapalan surat ditunggu bu Fauziah di kelas XI Akuntansi.

"Zahra giliran kamu." Ucap salah seorang teman kelas Zahra.

Zahra berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan menuju kelas XI Akuntansi.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Masuk Zahra." Suruh bu Fauziah pada Zahra.

Mendengar nama Zahra dipanggil, Akbar langsung memandang gadis itu. Pandangannya tidak ke mana-mana, ia tertunduk sampai duduk di depan bu Fauziah.

Akbar tersenyum sumringah mengetahui Zahra akan hapalan di kelasnya, sebab ia tidak perlu repot-repot meminta Zahra mengeluarkan suaranya untuk membaca Al-quran.

Suasana menjadi hening, mereka semua terdiam dari hapalannya saat mendengar Zahra mulai melantunkan ayat-ayat suci Al-quran. Zahra tidak hanya sekedar hapalan, namun ia juga memperhatikan tajwid serta panjang pendeknya. Satu kelas dibuat kagum oleh Zahra, suara indah yang ia miliki mampu menghipnotis siapa saja yang mendengarnya.

Semua murid kelas XI Akuntansi saling pandang setelah Zahra menyudahi hapalannya. Bu Fauziah menyuruh Zahra untuk kembali ke kelas.

"Kok jadi sepi?"

Pertanyaan bu Fauziah menyadarkan muridnya, mereka kembali melanjutkan hapalannya. Namun siapa sangka Akbar begitu mengagumi suara indah Zahra, pertemuannya di masjid mampu membuat dirinya senyum-senyum sendiri.

Satu hari ini mereka hanya akan setor hapalan supaya ikut semester, bahkan kepala sekolah memang mengkhususkan bahwa akan menjadi pelajaran Agama bagi seluruh kelas tanpa terkecuali. Dan itu terjadi satu minggu full.

Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, Zahra keluar kelas sambil memandangi air hujan, karena ia sudah selesai hapalan makanya ia bisa santai sejenak. Tanpa ia sadari bahwa Akbar pun ikut memandangi dirinya dari seberang kelas yang terhalang oleh air hujan.

"Zahra!" Panggil bu Fauziah.

"Iya bu." Zahra langsung berjalan menujunya.

"Tolong kamu dengarkan hapalan murid XI Akuntansi ya, ibu harus ke kelas XII Marketing. Ini absennya, siapa yang sudah hapalan, kamu tulis ya surah apa dan berapa ayat." Ucap bu Fauziah.

"Ta...Tapi bu."

"Kamu tidak perlu gugup, mereka itu teman kamu. Nanti ibu kasih tau mereka kalau mereka nyetor hapalan ke kamu."

"Emm... Baik bu."

Zahra pun menuruti apa yang dikatakan bu Fauziah. Lalu ia duduk dikursi guru sambil membaca nama-nama murid kelas XI Akuntansi. Untungnya kakak kelas Zahra begitu baik padanya, tidak senioritas di sekolahnya walaupun ia murid baru.

"Zahra aku mau setor hapalan ya." Ucap salah seorang siswi duduk di hadapan Zahra.

"Iya kak, silahkan."

Lalu Zahra mendengarkan lantunan surah yang sedang dibacakan oleh kakak kelasnya itu.

"Udah selesai kak?" Tanya Zahra.

"Segitu dulu ya, besok lanjut lagi, hehehe." Jawabnya.

"Iya deh. Surah An-nisa ayat 1-50 ya." Ucap Zahra.

"Kamu hafidzah qur'an ya?"

"Emm... Iya." Jawab Zahra malu-malu.

"Masyaallah, semoga aku bisa kayak kamu ya."

"Aamiin."

"Ada lagi yang mau setor?" Tanya Zahra sambil melihat jam dinding, karena sebentar lagi akan masuk sholat dzuhur.

"Ada."

Akbar berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan ke arah Zahra dan duduk di hadapannya. Saat Akbar mulai melantunkan hapalannya, baik Akbar dan Zahra saling menundukkan kepalanya. Zahra tidak mau larut dalam pandangannya pada laki-laki yang baru saja ia kenal namanya. Begitupun dengan Akbar, ia tidak mau menatap wajah cantik Zahra, ia takut nafsu dalam dirinya keluar sehingga menghilangkan ayat-ayat suci Al-quran yang sudah ia hapalkan.

Teman-teman sekelas Akbar saling pandang menyaksikan sikap kedua temannya di depan. Mereka tidak tahu mengapa alasan Akbar dan Zahra menunduk. Namun sikap mereka membuat teman-temannya tersenyum.

Selesai Akbar setor hapalan, Zahra meminta seluruh murid pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat dzuhur berjamaah. Mereka pun langsung keluar dari ruang kelas dan berjalan menuju masjid, sedangkan Zahra merapihkan absen lalu memasukkannya ke dalam laci meja.

"Kamu cocok jadi guru agama." Ucap Akbar berjalan di depan Zahra.

"Makasih." Kata Zahra sambil tersenyum dibelakang Akbar.

"Emm... Apa kamu tinggal di Aceh selamanya?" Tanya Akbar.

"Maksudnya?"

"Maksudku... Apa kamu akan balik lagi ke Mesir?"

"Lulus sekolah aku ingin belajar di Arab, di sana ada paman dan bibiku." Jawab Zahra.

"Oh."

"Kenapa tanya seperti itu?" Tanya Zahra.

"Tidak apa-apa." Akbar langsung membuka sepatunya dan segera pergi untuk meengambil air wudhu.

Zahra termenung sejenak, ia berpikir mungkin Akbar ingin mengetahui keluarganya, dan rencana Zahra ke depannya.

Selesai sholat dzuhur mereka kembali ke kelas dan melanjutkan setoran surat pada Zahra. Seusai sholat ashar mereka semua pulang, Zahra memberikan absen kelas XI Akuntansi pada bu Fauziah di kantor. Ia berjalan menuju kantin siswa, karena ia merasa lapar kembali datang.

"Bela, kalau kamu mau pulang duluan tidak apa-apa kok. Aku makan sendiri saja." Kata Zahra menunggu bakso pak min.

"Aku belum dijemput Zahra." Ucap Bela.

Saat mereka sedang makan, Akbar bersama dua temannya datang ke kantin dan memesan bakso pak min. Mereka duduk di seberang meja Zahra. Bela yang tahu Akbar datang langsung merapihkan kerudungnya dan menjaga sikapnya agar terlihat manis didepan kakak kelasnya itu.

Selesai makan Akbar menghampiri meja Zahra dan Bela. Ia duduk di depan Bela sambil membawa minumannya.

"Udah makan?" Tanya Akbar.

"Alhamdulillah sudah kak." Jawab Bela.

Zahra hanya tersenyum melihat sahabatnya. Sebenarnya Akbar bertanya pada Zahra namun ia juga tidak bisa memberi alasan untuk siapa pertanyaan itu ia ajukan.

"Zahra, kak Akbar, aku duluan ya. Aku udah dijemput." Kata Bela.

"Iya hati-hati ya." Ucap Zahra.

"Okeh, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Balas Zahra dan Akbar.

"Emm... Kapan ngisi pengajian lagi?" Tanya Zahra.

"Insyaallah besok malam." Jawab Akbar.

"Kamu mau datang?" Tanya Akbar.

"Insyaallah."

"Zahra, apa kamu benar akan belajar di Arab?"

Akbar menanyakannya lagi untuk memperjelas semuanya. Bahwa perempuan yang sedang ada di hadapannya itu akan bersekolah jauh darinya.

"Kenapa kamu tanyakan itu lagi?" Zahra bertanya balik.

"Aku tidak bisa jawab sekarang, kenapa aku bertanya itu ke kamu. Tapi suatu hari nanti itu menjadi jawaban buat diriku sendiri."

Zahra tidak mengerti dengan jawaban Akbar, ia juga tidak bisa bilang bahwa ia tidak akan ke Arab karena memang ia ingin sekali belajar di sana.

"Aku akan meneruskan sekolah di sana. Kalau kamu serius bertanya keberadaanku, tanyalah pada orangtuaku dan berikan mereka alasan." Ucap Zahra.

Akbar terdiam cukup lama, sampai akhirnya Zahra pergi meninggalkan Akbar dikantin sendirian. Perkataan Zahra akan terus Akbar ingat sampai kapanpun. Ia pun pulang ke rumah dan masuk ke dalam kamarnya.

...***...

Seusai sholat isya, Akbar duduk di teras rumahnya yang sederhana. Ia memandang lurus ke depan sambil memikirkan kata-kata Zahra. Baru kali ini ia merasakan berbeda saat bertemu dengan seorang perempuan. Apalagi saat Zahra menjawab pertanyaannya sewaktu itu di masjid, tentang bagaimana jika seseorang merasakan rindu pada orang lain. Ia memegang dadanya yang berdetak kencang, lalu ia tersenyum sendiri.

"Wah-wah! Ada yang sedang kasmaran nih!"

Akbar terkejut mendengar suara perempuan yang sudah tidak asing lagi baginya. Dia adalah Khodijah, adik Akbar yang baru pulang dari pesantren.

"Khodijah?!"

"Iya ini aku. Kakak nih senyum-senyum sendiri, ada apa sih?" Tanya Khodijah.

"Kok kamu pulang tanpa bilang aku? Memangnya ada apa?" Akbar bertanya balik.

"Katanya ibu sakit."

"Alhamdulillah sudah baikan, masuk yuk." Ajak Akbar.

"Assalamu'alaikum bu." Khodijah memberikan salam di depan kamar ibunya.

"Wa'alaikumsalam, Khodijah kenapa kamu pulang nak?" Tanya ibu Neni.

"Aku khawatir sama ibu." Jawab Khodijah.

"Loh ibu kan sudah sehat. Besok kamu balik lagi ke pesantren ya tidak enak sama bu ustadzah." Kata Ibu bangun dari kasur lalu berjalan menuju ruang tamu.

"Ustadzah baik kok sama aku, dia kasih izin 3 hari buat jenguk ibu. Lagi pula liburan kemarin kan aku tidak pulang bu, memangnya ibu sama kakak tidak rindu padaku." Ujar Khodijah.

"Kita rindu kamu kok. Hanya saja, kakak tidak ada uang waktu itu untuk ke pesantren kamu." Sahut Akbar tersenyum tidak enak pada adiknya.

Semenjak kepergian ayah, Akbar menjadi tulang punggung bagi keluarganya.

"Ah kakak nih, kamu sudah terlalu banyak keluarin uang buat aku. Tapi... Akunya saja yang masih egois. Maaf ya kak, bu." Khodijah menyandarkan kepalanya pada Erik dan menggenggam tangan ibunya.

"Iya tidak apa-apa. Kamu sudah makan?" Tanya ibu.

"Belum." Jawab Khodijah manja pada ibunya.

"Kalau begitu kamu makan dulu ya, ibu temani."

"Oke."

Melihat kedua wanita itu, di dalam hati membuat Akbar bahagia. Namun ia juga sadar kalau tabungan ayah untuk dirinya dan keluarga sudah mulai menipis. Untung saja liburan sekolah sebentar lagi, ia akan pergunakan untuk mencari pekerjaan buat tambah biaya sehari-hari.

Mengingat keadaannya seperti ini, rasanya Akbar sadar bahwa ia tidak cocok untuk mendampingi seorang wanita bernama Zahra. Jangankan untuk menjadi pendamping hidup, memikirkannya saja harusnya ia tidak lakukan.

Namun hatinya tidak bisa berbohong, semakin hari Akbar coba lupakan Zahra dan menjaga jarak padanya di sekolah, justru semakin dalam perasaannya. Apalagi saat Zahra melantunkan ayat suci Al-qur'an, hatinya semakin yakin pada Zahra.

Di sepertiga malam, Akbar meminta Allah agar memberikan kejelasan pada hatinya. Bahkan ia meminta wanita terbaik untuk dirinya kelak yang bisa menyayangi keluarganya, yang bisa menerima kekurangan dirinya. Nama Zahra ada di dalam do'anya, ia meminta pada sang pemilik hati, jika memang ia jatuh cinta maka buatlah cintanya menjadi kenyataan.

..."Ya Allah, engkau maha pemilik hati, engkau yang maha membolak-balikkan hati hambamu. Ya Allah jika memang aku mencintai Zahra, jadikan cintaku ini karenaMu, bukan karena nafsu di dalam diriku. Ya Allah jadikan dia sebagai jodohku, semoga dia adalah pemilik tulang rusuk diriku."...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!