NovelToon NovelToon

Against The World II: Transgression

—PROLOGUE—

AXELLIBRA adalah kota terbesar kedua di seantero Islan yang luas. Pun demikian dengan penduduknya—terbanyak nomor dua. Setidaknya, itulah kenyataan pada abad ini. Namun, sebelum-sebelumnya, kota dengan status penduduk terbanyak berada di tangan Axellibra. Sejarah mencatat, populasi tertinggi yang pernah dimiliki Axellibra berada di atas empat juta jiwa.

Populasi itu menurun drastis saat proyek pengembangan digalang. Ribuan kepala keluarga pindah dari ibukota menuju kota-kota lain tiap tahunnya—per kepala keluarga diberi kompensasi 500 keping emas ditambah tanah baru dengan luas yang sama dengan yang mereka tinggalkan. Pajak yang harus mereka bayarkan pun turut diturunkan menjadi setengahnya selama kurun waktu 10 tahun. Itu tawaran yang menggiurkan bagi sebagai besar rakyat. Tak ayal, hanya dalam beberapa dekade, populasi ibukota merosot tajam.

Berbeda dengan negeri-negeri lain, bangunan terbesar dan tertinggi di Axellibra bukanlah istana di mana raja/ratu/emperor bersemayam. Status itu disandang oleh Gereja Agung Luciel. Bukan saja ia bepredikat sebagai bangunan tertinggi dan terbesar di Axellibra, ia juga berposisi sebagai jantung kota—letaknya persis di tengah-tengah kota. Lebih dari itu, Gereja Agung Luciel adalah bangunan pertama yang berdiri di Axellibra—terakhir kali direnovasi sekitar satu abad yang lalu.

Di dalam bangunan nomor satu di seantero Emiliel Holy Kingdom itu, di salah satu ruangan tersakral dalam gereja, terlihat dua belas individu duduk dalam posisi lotus di atas dipan-dipan. Berjarak satu meter di depan kedua belas dipan itu, sebuah dipan lainnya terletak rapi. Di atasnya duduk seorang pria berpakaian serba putih berusia setengah abad.

Mereka bukan individu-individu biasa. Twelve Holy Saints ‒ begitu mereka dikenal di seantero Emiliel Holy Kingdom. Pun di depan mereka bukan sembarang orang. Dia adalah pendeta tertinggi gereja, Pope, individu yang otoritasnya berada di atas seorang raja sekalipun. Pun begitu dengan Twelve Holy Saints, mereka harus patuh pada perintah Pope. Tidak ada yang bisa memerintah sang Pope. Tidak ada, kecuali satu saja.

Fie Axellibra ‒ nephilim satu-satunya di dunia.

Tidak ada yang boleh memberi perintah pada sang Pope selain dirinya. Dialah sang pendiri Emilel Holy Kingdom. Bagi rakyat Emiliel Holy Kingdom, Fie Axellibra adalah sang dewa itu sendiri. Dia adalah satu-satunya alasan mengapa mereka bisa menjadi negeri nomor satu. Bahkan di dalam Gereja Agung Luciel sekalipun, ruang tersuci dari yang tersuci adalah ruang di mana lukisan Fie Axellibra ditempatkan.

Sang Pope saat ini duduk memimpin Twelve Holy Saints di hadapan orang nomor satu Emiliel Holy Kingdom itu. Fie duduk di atas singgasana yang hanya diperuntukkan baginya, berjarak sepuluh meter di depan dipan di mana sang Pope duduk. Fie tidak sendiri. Di kanan singgasana, Neira Claudian berdiri dalam wujud manusianya. Kedua wanita bertubuh “mungil” itu memiliki ekspresi datar di wajah mereka.

“Aku sudah mendengar laporannya,” ucap Fie dengan suara monotonnya, iris emasnya memandang intens sang Pope. “Rossia juga mengatakan kau ingin mengirim mereka ke Lembah Terlarang Ed.”

“Benar, Nona Fie.” Pendeta tertinggi itu mengangguk sambil mengelus-eluskan janggutnya. “Queen Elmira telah melakukan yang terbaik untuk menyembunyikan keberadaan Eternity, Nak Rossia bahkan tak mampu membuktikan hal itu. Namun, jelas sudah kalau Eternity bersembunyi di sana. Dan penglihatan hamba mengatakan selanjutnya tujuan Eternity berhubungan dengan Lembah Terlarang Ed.”

“Kalau begitu lakukan apa yang harus kalian lakukan. Aku menye—ah, lupakan. Aku harus pergi sekarang. Kuserahkan semuanya padamu sampai aku kembali, Pope. Neira, tunggu aku di tempat biasa.”

Fie tidak menanti respons sang Pope atau siapa pun. Sosoknya langsung tertarik oleh pusaran ruang yang berada tepat satu jengkal di atas singgasana. Tidak ada yang tahu ke mana sang nephilim pergi, tetapi yang jelas ini bukan kali pertama mereka melihat pusaran ruang itu.

...* * *...

Fie menemukan dirinya berada di dataran putih yang memberi sensasi dingin di kulit ‒ kakinya berada tepat di atas tumpukan salju yang menumpuk. Ke mana pun dia memandang, hanya tumpukan salju dan es yang memandangnya balik. Tidak salah lagi, ia sedang berada di Benua Es Gheata. Apa itu artinya Edenia telah memutuskan untuk kembali menunggu di sini?

“Benar sekali, Fie, aku akan menunggu di sini sampai Xavier mendapatkan [Celestial White Flame], [Eternal Zero], dan [Complete Annihilation]. Setelahnya mungkin aku akan kembali menginjakkan kaki di surga, atau mungkin merebut bulan dari tangannya Vermyna.”

Fie tak terkejut mendengar suara itu datang tepat dari depan dirinya, walaupun sejatinya langkah kaki itu berasal dari belakang Fie. Tidak ada yang bisa Edenia lakukan untuk mengejutkan Fie ‒ selain melepaskan rantai yang membelenggu kakinya, Fie tahu tidak ada yang tak dapat Edenia lakukan. Anti-sihirnya sekalipun…di hadapan Edenia itu sama sekali tak berguna.

“Begitu. Lantas, mengapa kau membawaku ke sini?” tanya Fie sembari melirikkan matanya ke belakang, tetapi saat itu Edenia sudah mendudukkan dirinya di Throne of Heaven tepat sepuluh meter di kiri sang nephilim—yang spontan membuatnya menghadapkan wajah ke sana.

“Apa kau tahu mengapa kau, Vermyna, Jiang Yue Yin, dan wanita-wanita kuat lainnya berhenti tumbuh saat berada di usia 12 atau 13-an?” tanya Edenia seraya mengangkat tangan kanannya, mengeluarkan mana berwarna putih keemasan yang lantas membentuk wujud burung. “Apa kau tahu?” tanyanya lagi sembari membiarkan mana wujud burung itu melayang, yang sejurus kemudian menjelma menjadi seekor elang yang benar-benar hidup.

Fie tidak memberi respons. Ia tidak tertarik mendengar hal yang tak penting seperti itu. Memang, Fie tidak akan menolak untuk memiliki tubuh sebagaimana wanita dewasa lainnya. Namun, ia sama sekali tak punya masalah dengan tubuhnya yang hanya setinggi satu koma tiga meter. Apa pun alasan Edenia, itu sama sekali bukan urusannya.

“Apa maumu?” tanya Fie datar.

Ia sama sekali tak takut pada Edenia. Karena, jika dia mau, ia bisa dibunuhnya dengan mudah. Fakta kalau ia masih tetap hidup sampai sekarang adalah bukti kalau Edenia tidak mempermasalahkan sikapnya.

“Aku membencimu, dan kau tahu itu. Jadi, langsung saja, Edenia. Tidak perlu ba—!”

Ucapan Fie terputus tiba-tiba. Tubuhnya tak bisa bergerak. Suaranya tertahan. Lebih jauh lagi, ia sudah berada tepat di depan Edenia dalam keadaan membungkuk. Benar, Fie tidak salah berasumsi. Posisinya sudah tak lagi di tempat tadi, ia tepat berada di depan Edenia.

“Kau, Vermyna, dan Xavier adalah makhluk paling spesial dari semuanya. Kalian tidak terikat oleh konsep takdir yang Throne of Heaven rancang. Kalian adalah anomali, semi-avatar. Jangan kecewakan aku dengan memusnahkanmu di sini, Fie Axellibra. Aku menoleransikan banyak hal, tetapi jangan lupakan posisimu. Apa itu jelas?”

Fie tidak takut pada siapa pun. Ia kuat. Dalam wujudnya yang sekarang saja ia bisa bertarung menghadapi Luciel atau Lucifer, dan menang. Thevetat berkekuatan penuh dan Phoenix lebih kuat darinya, dan True Thanatos akan sangat menyusahkannya. Namun, dalam wujudnya yang sebenarnya, menghadapi Phoenix dan Thevetat sekaligus tidak sulit sama sekali. Bahkan, jika Phoenix, Thevetat, Lucifer, dan Luciel bersatu melawannya, …dalam wujud nephalem ia akan keluar sebagai pemenang.

Namun begitu, di hadapan Edenia yang saat ini memandangnya tanpa emosi, Fie merasa seperti anak kecil yang sedang dimarahi orangtuanya. Jantungnya berdegub cepat, sensasi “takut” hampir-hampir meraih dirinya. Fie… untuk kali pertama dalam hidupnya… ia mengangguk pelan penuh ketakberdayaan.

“Bagus, jadilah anak yang baik, Fie, itu pun jika kau memang serius menginginkanku menata ulang dunia.”

Fie sekuat tenaga menahan dirinya dari menggemeretakkan gigi-gigi. Oh, betapa ingin ia menyerang makhluk yang berada di hadapannya ini dengan segala yang ia punya. Namun, ia tahu itu percuma. Tidak ada yang bisa mengalahkan Edenia. Seisi semesta berada dalam telapak tangannya. Karenanya, demi keinginan egoisnya, demi mimpi dan harapan semunya, Fie tidak punya pilihan lain selain menuruti Edenia. Selama makhluk yang dipuja sebagai dewa ini mengabulkan keinginannya di akhir, …itu sudah cukup bagi Fie.

“Nah, sekarang, aku ingin mendengar jawabanmu terlebih dahulu sebelum menjelaskan mengapa kau kubawa ke sini. Apa kau tahu mengapa kalian berhenti tumbuh di usia 12 atau 13-an…?”

...⸸ ⸸ ⸸...

...\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=...

...\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=...

Note: Bagi yang kebetulan baru singgah di mari, silakan membaca “Against the World: Initiation” terlebih dahulu. Jika tidak, tidak akan nyambung.

Chapter 1: Between Heart, Desire, and Hatred, part 1

...—21st June, E642 | Imperial Palace, Nevada, Vermillion Empire—...

XAVIER sungguh tidak mengekspektasikan hari di mana ia merasa lelah hanya dengan duduk diam akan singgah tanpa permisi. Namun, di sinilah ia duduk berhadapan dengan para wanita yang memandangnya tajam. Bahkan Nizivia yang tidak pernah memandangnya seperti itu, kini iris heterokromia tersebut juga memandangnya penuh tuntutan—dan Xavier berpikir itu tidak behubungan dengan Artemys.

Jika seseorang mengatakan ia seperti tikus yang dipojokkan para kucing, Xavier tidak akan menyalahkan orang itu.

Tentu saja Xavier sangat tahu masalahnya apa. Ia sudah mendengarnya dari Emily. Pun Nizivia telah mengatakannya beserta alasan yang Luciel berikan padanya.

Ini semua gara-gara Elmira Cent Nix Favilifna. Memang, Xavier sendirilah yang telah memicu hal itu terjadi. Namun, ia sama sekali tidak memberi opsi menikah dengannya! Juga, ia meminta Elmira mengirim surat itu ke Verada, bukan Nevada!

Wanita itu… apakah ia sudah terlalu dalam menjadi target afeksi dirinya?

Xavier menghela napas panjang, memandang wanita-wanita yang telah sepakat sepemahan memandangnya tajam. Artemys, Nizivia, Kanna, Lilithia, dan Verissinia. Emily tidak bersama mereka. Xavier sudah menjelaskan duduk permasalahannya pada sang sekretaris—tentu saja itu penjelasan yang dipilah dan dipermanis.

“Pertama sekali,” kata Xavier sembari memandang intens gadis berambut oranye panjang sedikit ikal. “Verissinia, alasan apa yang membuatmu berada di sini?”

“Kalau Kanna aku mengerti,” lanjut Xavier sebelum yang bersangkutan sempat bersuara. “Dia adalah penerus His Majesty. Lilithia…mmm…yah…Lilithia adalah Lilithia. Kalau Nizivia alasannya jelas. Kalau Artemys, er, itu tak perlu dipertanyakan. Bagaimana denganmu?”

Verissinia bukanlah seseorang yang ahli dalam memasang wajah datar nan netral selayaknya Artemys, sebab itu terlihat jelas ketidaksenangan di wajah sang gadis. Dia seperti kesusahan dan ragu-ragu mau berkata apa. Namun, setelah dua kali menarik napas, akhirnya sang putri yang hampir setahun lebih tua darinya itu membuka suara.

“Alasanku jelas, aku hanya ingin memastikan kau tidak sedang mencoba mengambil alih kekaisaran dari dalam.”

Dari ekspresi Verissinia, Xavier bisa menerka kalau alasan itu bukan alasan yang ingin dia katakan. Namun, alasan itu cukup dekat dengan alasan Xavier meminta Elmira melakukan apa yang dilakukannya—meskipun tindakan sang ratu sedikit berbelok tajam.

Menarik napas yang dalam, melepasnya, barulah kemudian Xavier menjawab: “Kurasa Elmira sudah menulisnya dengan jelas dalam suratnya.”

“Itu benar.” Kanna tidak menyangkal. “Dia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, tentang kematian ayahnya hingga Eternity. Namun, dia tidak menjelaskan apa-apa tentang apa korelasi antara menikah denganmu dengan Favilifna menjadi vasal. Itu tidak ada korelasinya sama sekali. Aku akan mengerti jika itu salah satu saudaraku, tetapi ini kau yang tidak berhubungan apa-apa dengan keluarga kekaisaran.”

“Berikan jawaban yang bisa diterima, Xavier.” Lilithia berkata dengan wajah yang mengatakan dia akan pergi menghancurkan sesuatu jika jawabannya tidak jelas.

Setiap pasang mata memandang intens Xavier. Ia tentu saja tidak memiliki kepekaan rendah sehingga tidak berpikir kalau semua wanita dihadapannya ini menginginkannya. Sebaliknya, sebagaimana kebanyakan pria pada umumnya, ada kalanya ia berpikir semua wanita menyukainya. Tentu saja ia dengan cepat mencampakkan asumsi itu, menjadi narsistik bukanlah sesuatu yang baik.

“…Sama, aku juga tidak tahu korelasinya di mana. Tapi, Kanna, kurasa itu tidak ada masa—er,” jeda Xavier saat mendapat delikan Nizivia dan pandangan dingin Artemys. “Maksudku,” ralatnya, “sangat normal jika Elmira tertarik padaku, kan? Lihatlah dirimu, bukankah kau juga memiliki ketertarikan padaku?”

“Hmph! Jangan mengibul. Mengapa aku harus tertarik padamu. Aku hanya harus memastikan tidak ada hal yang mencurigakan.”

“Oh, jadi kau tidak mempermasalahkan Elmira memintaku menikah dengannya jika semua alasannya jelas?”

“Tentu saja itu masala—er, maksudku, itu bukan—geeez! Nizivia, katakan padanya apa yang sebenarnya kumaksudkan!”

“Xavier.” Nizivia memandang intens Xavier. Gadis yang minim ekspresi itu kali ini menampakkan ekspresi yang tajam. “Ji…Jika Xavier mau me-menikah dengan yang lain, pertama se-sekali harus menikah dengan Nizvia. Ayo. Ki…Kita kembali ke desa dan me-menikah.”

Eh? Kelopak mata Xavier mengerjap terkejut.

“Tu-Tunggu, tunggu! Apa maksudmu, Nizivia?!” Kanna sudah berdiri, berusaha mencegah Nizivia yang hendak menarik Xavier untuk pergi dengannya. Lilithia juga sudah berada di antara Xavier dan Nizivia. Dia sudah siap-siap melakukan sesuatu. Sementara, Verissinia hanya diam dengan mata mengerjap—masih mencerna ucapan Nizivia barusan.

Satu-satunya yang tak terkejut hanyalah Artemys. Hilang sudah ekspresi dinginnya. Wanita itu mengedipkan mata kanannya dan menggumamkan “masalah sudah diatasi” tanpa melepas suara.

Saat itu juga Xavier langsung mengerti. Artemys sudah mengatakan “perselingkuhan” mereka pada Nizivia. Tak mengherankan Nizivia menjadi lebih berekspresi. Penyesalan langsung saja hinggap di kepala Xavier. Bukan, bukan penyesalan karena membiarkan dirinya terjatuh dalam pelukan hangat Artemys, melainkan....

Tak seharusnya aku menerima permintaan Luciel untuk bertukar peran!—Xavier hanya bisa menyeru dalam hati. Ada aksi, ada reaksi. Ia harus menerima segala konsekuensi yang timbul akibat tindakannya.

…Hari itu pun berakhir dengan deklarasi sepihak dari Nizivia yang tak bisa Xavier tolak—yang lantas membuat Lilithia bertindak agresif, tetapi dapat dihentikan dengan cepat oleh Kanna.

Diputuskan bahwa Xavier dan Nizivia akan berhenti selama dua minggu. Pernikahan mereka Nizivia serukan seminggu dari sekarang—direhat di desa asal Nizivia. Xavier tidak punya hak untuk komplain—begitu kilatan di mata Nizivia menyeru.

...-beberapa waktu kemudian-...

Bam! Xavier membiarkan tubuhnya menghantam ranjang penginapan yang dulu ia tinggali. Sendiri. Ia tidak ditemani Nizivia atau yang lainnya. Gadis beriris heterokromia itu sudah kembali ke markasnya. Xavier tidak perlu kembali ke Verada, Kanna sudah mengirim surat pemberitahuan ke sana. Ia akan ke desa Nizivia lusa bersamanya saat Nizivia kembali ke Nevada.

Begitulah duduk perkara yang membuat tubuh Xavier sekarang tertelungkup di ranjang meregang lelah.

“…Menikah di usia 17 tahun… ini terlalu dini….”

Xavier hanya bisa menggerutu. Ia sama sekali tidak punya argumen untuk menolak tuntutan Nizivia, tidak setelah Artemys berbicara dengannya.

“…Wanita memang tak bisa dipercaya,” gumam Xavier sedikit kesal.

Bagaimana tidak? Elmira melakukan hal yang berbeda dengan ucapannya. Pun Artemys dengan sepihak mengatakannya pada Nizivia. Bukankah dulu mereka bersepakat kalau ialah yang akan mengatakannya pada Nizivia?

Helaan napas untuk kesekian kalinya keluar dari mulut Xavier saat membalikkan badan, memandang datar langit-langit.

“…Sejatinya, menikah dengan Nizivia memberi fondasi yang lebih kuat untukku… tapi….”

Xavier kembali menghela napas. Kepalanya pusing. Jika tidur membuat semua masalah sirna, Xavier akan langsung memilih tidur. Namun, saat ia mau menutup mata, tiba-tiba saja kelopak mata itu membuka lebar.

…Ada masalah lain lagi yang tiba-tiba membuat kepalanya serasa dijepit oleh dua tembok yang keras. Masalah ini memberi rasa pusing yang lebih tinggi dari saat ia diharuskan menerima ucapan Nizivia. Ya, masalah kali ini sangat-sangat serius. Xavier bahkan sampai meneguk ludah saat membayangkannya.

…Apa yang harus ia katakan pada Evillia…dan Zie…dan Monica…?

“Shit, mengapa aku harus berada dalam situasi seperti ini?”

...\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=...

...⸢Volume 1: Bitter Glory of Elf Kingdom⸥\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=...

Chapter 1: Between Heart, Desire, and Hatred, part 2

...—Menjelang Senja, Verena—...

Markas Utama Divisi 11 Imperial Army berdiri tepat di bagian selatan Verena, hanya terpaut seratusan meter saja dari gerbang selatan.

Kompleks markas tersebut total memiliki halaman yang luas dan terdiri dari beberapa bangunan. Bangunan utamanya sendiri terdiri atas dua lantai ‒ lantai kedua tiga kali lebih kecil dari lantai di bawahnya. Di lantai yang lebih kecil itu, di salah satu ruang di sana, Nizivia duduk bersebelahan dengan Edelweiss von Adhelphina di sofa ruangan.

Duduk di hadapan mereka—dibatasi sebuah meja kaca—tak lain adalah Commander dari Divisi 3 Imperial Army, Lumeira von Talhasta. Dia barusan datang tiba-tiba saat Nizivia berbicara tentang rencana cutinya pada Edelweiss—wanita berambut coklat panjang agak ikal yang perawakannya seperti Annabel. Hal itu memaksa Nizivia menghentikan bicara dan meladeni sang commander.

“…Rencana kita untuk menyerang Elf Kingdom di awal August harus terpaksa kita ubah, Nizivia.”

Wajah datar Nizivia spontan berubah. Keningnya mengerut melontar tanya, menginginkan sang commander untuk mengelaborasikan.

“Aku telah meremehkan Elf Kingdom. Mereka bereaksi lebih cepat dari asumsiku. Jika kita tunggu sampai August tiba, mereka pasti sudah menegasikan semua upaya kita. Kita harus mempercepat rencana penyerangan. Dalam dua hari kita akan menyerang Elf Kingdom.”

“Du…Dua hari?”

“…Kau seperti kurang senang.” Lumeira memandang Nizivia dengan sebelah alis terangkat. “Seingatku, saat itu kau justru kurang senang karena harus menunggu lebih lama. Bukankah kau ingin menghabisi Vermyna Hermythys?”

Nizivia tidak bisa mengelak dari pandangan penuh selidik Lumeira. Saat itu, ia keberatan dengan rencana yang pelaksanaannya cukup lama. Namun, berkebalikan dengan waktu itu, sekarang ia merasa keberatan dengan rencana yang begitu cepat.

“Si…Situasi saat ini berbeda de-dengan waktu itu,” respons Nizivia, tak segan-segan menunjukkan ketidaksenangannya.

“Nizivia berencana menikah dengan Commander Xavier dalam tujuh hari.” Edelweiss menjelaskan. “Barusan saja kami berbicara tentang rencananya mengambil hari libur selama dua minggu.”

“Oh, begitu rupanya.” Lumeira mengangguk mengerti. “Namun, Nizivia,” lanjutnya, “bukankah ini justru menjadi kesempatan yang bagus? Aku tidak berpikir ada hadiah pernikahan yang paling membahagiakanmu selain melihat kematian Vermyna Hermythys.”

…Nizivia tidak bisa menemukan kesalahan dalam ucapan Lumeira. Ketika ia pikir-pikir lagi, itu adalah situasi yang sangat ideal. Sumber kebenciannya akan hilang bersama kematian Vermyna. Dengan kebencian itu hilang, hidupnya akan damai. Seperti kata Lumeira, itu akan menjadi kesempatan yang bagus.

Akan tetapi, Vermyna Hermythys itu kuat. Nizivia tidak memiliki delusi ia akan bisa membunuhnya dengan mudah. Bahkan, ia sudah mempersiapkan diri untuk mengorbankan nyawa demi menyeret sang ratu vampire ke dunia kematian bersamanya—saking seriusnya ia mengakui kehebatan Vermyna. Jika ia menghadapi Vermyna dalam waktu dekat ini, itu artinya….

“Atau, kau merasa tak mampu untuk mengatasi Vermyna? Jika begitu, aku akan meminta His Majesty untuk menyuruh Edward membantu.”

“Tidak!” seru Nizivia tiba-tiba dengan volume yang keras, membuat Edelweiss sampai sedikit terperanjat. Ketidaksenangan yang sebelumnya mewarnai wajah Nizivia kini menghilang entah kemana, kemarahan dan kebencian telah menguasai wajahnya. “Ni…Nizivia akan me-membunuhnya dengan ta-tangan Nizivia sendiri.”

Bibir Lumeira spontan melengkung. Itu bukan senyum yang sehat. Nizivia hampir mengernyit melihatnya.

“Kalau begitu aku ekspektasikan kau sudah menyiapkan pasukanmu sebelum dua hari. Edelweiss, pastikan tidak ada masalah yang terjadi. Rencana kita tetap. Kita akan menghancurkan Evrillia dan menculik Iblis Monica.” Lumeira lantas berdiri. “Aku akan menemui kalian dalam dua hari.” Dan sang Third Commander pun menghilang begitu saja dari hadapan Nizivia dan wakilnya.

Nizivia tidak bereaksi untuk beberapa saat, sebelum kemudian dia tiba-tiba berdiri. “Edelweiss,” katanya, “Ni…Nizivia akan kembali lu-lusa saat senja.”

...—Dalam Bulan—...

Di atas singgasananya, Vermyna seperti biasa sedang duduk membaca sebuah buku tebal yang tak terlihat jelas judulnya. Namun, jika diperhatikan dengan lebih teliti, seseorang akan dapat melihat judul buku itu. How to Kill a God, ditulis oleh Hernandez. Benar. Buku tebal yang berada di tangan sang ratu vampire adalah hasil kreasi sang legenda pandai besi. Itu buku yang didedikasikan khusus untuknya, atas permintaannya sendiri.

Vermyna sejatinya sudah membaca buku di tangannya ribuan kali, tetapi ia tak bosan-bosan membacanya lagi dan lagi. Dari hal itu jelas terlihat betapa besar kemarahan dan kebencian yang Vermyna miliki pada musuh utamanya: Edenia. Makhluk kotor hina itu bukan saja telah membagi-bagi dirinya, dia juga sampai membuat diri Vermyna memuji dan memuja diri makhluk itu yang kotor. Kemarahan dalam diri Vermyna sungguh tak terbendung.

“Nonaku.”

Kedua mata Vermyna mengerjap sekali, sebelum kemudian spontan mengalihkan diri pada pemilik suara. “Valeria,” responsnya.

“Seperti yang Nona katakan,” kata Valeria yang baru kembali dari permukaan dunia sana, “Ratu Eileithyia tidak menganggapmu sebagai temannya. Pun demikian dengan Raja Spirit Sakhra dan Fie Axellibra. Eileithyia mengatakan dia tidak pernah berteman dengan semuanya.”

Vermyna menutup rapat-rapat bukunya, melempar buku tersebut ke dalam portal ruang yang sudah secara tiba-tiba tercipta tepat di kiri singgasananya.

“Betapa keeksistensian yang malang. Bahkan diriku sekalipun tidak pernah berpikir untuk mencari masalah dengan diri Eileithyia. Xavier von Hernandez, sepertinya diriku harus memberi dirinya sedikit pelajaran.” Vermyna menjeda dengan kening mengenyit. “Sayangnya,” lanjutnya, “diriku yang saat ini takkan bisa melakukannya.”

“Karena itu Nona harus secepatnya menghabisi Catherine,” komentar Valeria dengan serius. “Dia memang adik Nona. Nona telah melihatnya tumbuh dari lahir hingga dewasa. Namun, sebelum dia adalah adik Nona, dia adalah Nona sendiri. Nona bukannya akan membunuh adik Nona, tetapi Nona membawa adik Nona untuk hidup selamanya dalam diri Nona.”

Normalnya, Vermyna akan mendengus mendengar Valeria mencoba menceramahinya. Namun, ia tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri. Ia kesulitan membawa dirinya menghabisi Catherine. Vermyna ingat bagaimana saat kecil dulu Catherine selalu bermanja padanya, …itu sungguh kenangan yang hangat. Vermyna tidak bisa membayangkan dirinya melenyapkan senyum yang memenuhi memorinya itu.

Menggeleng pelan, perhatian Vermyna kembali melesat pada Valeria. “Bagaiman dengan Sakhra ataupun Fie, apa mereka sudah mengunjungi Eileithyia?”

Valeria menggeleng. “Namun,” katanya, “Fie sudah melihat Maidenhair dari dekat. Pun begitu dengan Raja Spirit Sakhra. Hamba tidak tahu mengapa mereka tidak menghampiri Eileithyia, tetapi kemungkinannya itu sama dengan alasan Nona.”

Vermyna tidak terkejut, tetapi ia tak berkomentar lebih lanjut. “Ada hal lain?”

“Ah, tiga hari yang lalu Lumeira mengatakan kalau mereka akan melakukan perubahan rencana. Penyerangan terhadap Elf Kingdom akan dipercepat. Menghitung dari hari dia memberitahuku, berarti itu dua hari lagi.”

Bibir Vermyna spontan melengkung mendengar ucapan Valeria. “[Complete Sensory] dan World Observer. Segera, keduanya akan menjadi milik diriku.”

Valeria ikut melengkungkan bibirnya. “Kalau begitu hamba akan pergi terlebih dahulu bersama Hecrust dan Cainabel. Kita juga harus bersiap-siap.”

...—Permukaan Bulan—...

Heckart tidak bisa lagi mengingat telah berapa kali ia menghabiskan waktu dengan duduk di salah satu puncak bukit memandang intens ke bola besar yang mengambang di atas sana. Terlebih lagi akhir-akhir ini, Heckart bahkan belum sekali pun mendaratkan punggungnya di ranjang.

Ia senantiasa menghabiskan waktunya dengan menyendiri. Bahkan, Cainabel yang sering menemaninya pun hampir-hampir tak pernah membersamainya akhir-akhir ini. Tentu saja itu bukan karena dia enggan, melainkan Heckart yang memintanya untuk membiarkannya sendiri. Jika tidak begitu, tentu vampire itu membersamainya di sini.

“Jika aku membunuh Elena saat itu….”

Ucapan Heckart tertahan. Pikirannya kembali mengulas pertemuannya dengan Elena di Pegunungan Amerlesia dulu. Keloyalannya diragukan karena ia tidak membunuh wanita itu. Dan untuk membuktikan ucapannya kalau ia loyal, ia diharuskan untuk menghabisi Elena dan yang lainnya.

“Hmph!” Dengusan itu datang dari belakang Heckart, ia tidak perlu berasumsi suara siapa itu. “Harus berapa kali kukatakan kalau setelah semuanya selesai, keinginanmu akan dikabulkan. Adikmu. Keluargamu. Dan teman-teman yang kau bunuh itu akan dihidupkan kembali. Kematian mereka hanya bersifat sementara, sebagai bukti keloyalitasanmu.”

…Ya. Begitulah adanya. Vermyna menjanjikan jika ia menjadi pelayannya yang setia, dia akan menghidupkan kembali adiknya. Tentu saja ia tak begitu bodoh untuk percaya, tetapi setelah mendengar tentang Throne of Heaven, ia tidak lagi ragu. Jika Vermyna mendapatkan kekuatannya kembali, dia akan bisa menghubungkan dirinya dengan Throne of Heaven, kemudian menghidupkan kembali adiknya.

“Valeria, aku akan lebih senang jika kau tidak bersikap seperti itu pada Hecrust. Kau tidak berada di posisinya. Ucapanmu sama sekali tak bernilai. Hecrust, ayo pergi, rencana Lumeira dipercepat.”

…Heckart akan membenci dirinya sendiri untuk apa yang akan ia lakukan, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Ia harus melakukan apa yang harus ia lakukan. Karena, pada akhirnya, tiada yang lebih penting bagi Heckart selain melihat adiknya hidup kembali. Lalu, saat itu tiba, ia akan membiarkan Jose dan yang lainnya membunuhnya… sebagai balasan karena ia akan membunuh mereka.

“Ya,” gumam Heckart, bangkit dari posisinya duduk. “Ayo pergi.”

...—Malam, Nevada—...

Kanna tahu ia tidak seharusnya berada di depan pintu kamar penginapan Xavier di tengah malam seperti ini. Namun, ia tidak bisa menahan dirinya. Ia tidak bisa menyingkirkan gambaran tentang dirinya duduk diam melihat dari kejauhan saat Xavier dan Nizivia bergandengan tangan di depan altar pernikahan. Ia baru menyadarinya…gambaran itu membuat relung dadanya berdenyut. Mungkin…ia harus mengakui pada pemuda itu. Ia harus jujur pada dirinya sendiri.

Setidaknya, itu adalah tujuan Kanna berada di depan pintu tertutup ini. Ia sudah menguatkan tekadnya. Ia akan mengatakan pada Xavier kalau ia sungguh menganggap serius hubungan Retsu-Hernandez dengan mereka berdua. Ia sungguh berpikir kalau ia ditakdirkan untuk Xavier, sebagaimana Retsu untuk Hernandez. Dunia menghendaki mereka bersama. Lebih dari itu, Kanna sendiri tidak menyangkal kalau ia menyukainya.

Namun begitu, meskipun Kanna sudah menguatkan tekadnya, tangan dan kakinya terasa kebas saat berdiri di sini. Lidahnya kelu tanpa alasan yang logis. Bahkan setelah belasan menit berdiri di depan pintu ini, ia tidak bisa membawa diri untuk mengetuk, apalagi menerobos masuk.

“Mungkin aku memang tak seharusnya di si—”

“Ka…Kanna.”

Dengan mata yang melebar dan ekspresi terkejut, Kanna spontan berbalik. Nizivia sudah berada tepat di sana, bersandar pada dinding.

“Ni-Nizivia….”

...\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!