Siang itu, seorang wanita berusia 23 tahun berjalan sambil menggandeng seorang anak perempuan kecil. Mereka menyusuri taman kota Denpasar yang ramai, dipenuhi tawa anak-anak dan suara orang tua yang menemani buah hati mereka bermain.
Tiba-tiba, tangan kecil itu terlepas. Anak perempuan itu berlari mengejar kupu-kupu berwarna cerah.
“Karina, tunggu, Nak!” seru sang ibu, mengenakan pakaian formal, sambil tergesa mengejar putrinya. Namun sebelum sempat menangkap Karina, tubuhnya menabrak seorang pria.
“Ri-Risma...” bisik pria itu, suaranya nyaris tak terdengar.
“Ya Tuhan… Kak Anton?” Risma tertegun, matanya membulat kaget.
“Ma-maaf, Mas… Saya nggak sengaja,” ucap Risma sambil memeluk Karina dan segera menjauh dari keramaian taman itu.
“Tunggu!” suara Anton yang mengenakan jas rapi menggema. Ia berlari mengejar—mengejar sosok yang selama ini ia cari.
“Risma…” lirihnya, berhasil meraih tangan wanita yang, secara hukum, masih berstatus istrinya.
“Ada apa, Tuan Anton Darma Anjaya?” ujar Risma ketus, menatapnya tajam.
“Kamu ke mana saja selama ini, Risma? Saya cari kamu ke mana-mana,” ucap Anton, matanya berusaha membaca jawaban dari wajah istrinya.
“Lepas!” Risma melemparkan tangan Anton dengan kasar. Luka lama kembali membakar amarahnya—luka yang ia tanggung sendiri sejak mengandung.
“Ayo, Risma… Kembali bersama saya. Dan ini pasti anak kita, kan?” Anton tersenyum kecil, mencoba menyentuh Karina.
“Jangan sentuh anak saya!” bentak Risma. “Tuan Anjaya yang terhormat, aku cuma minta satu hal: urus gugatan cerai kita. Dan soal anak ini… biar aku yang urus semuanya.” Air mata menetes di pipinya.
“Apa maksudmu, Risma? Kita masih suami-istri. Kamu milik saya.”
Risma menatapnya sinis, tertawa hambar. “Siapa bilang saya masih istri kamu? Kelakuanmu dulu sudah memutus semua ikatan kita!”
Ia berbalik hendak pergi, tapi Anton kembali menahan lengannya.
“Risma, tolong… kasih saya kesempatan, sekali saja…”
“Bagaimana dengan Fera?!” bentak Risma. Suaranya menggema, membuat beberapa orang menoleh.
“Risma… saya sudah putus hubungan dengan dia,” jawab Anton, suaranya penuh penyesalan.
“Putus hubungan? Setelah semua yang kalian lakukan ke saya dan anak saya? Bukankah ini yang kamu inginkan sejak dulu—lepas dari saya?” Risma menarik napas dalam. “Sudah, Mas. Aku nggak mau ada urusan lagi sama kamu. Urus surat cerai itu! Aku mau bebas dari laki-laki seperti kamu!”
Setelah berkata demikian, Risma menggendong Karina dan pergi, meninggalkan Anton yang hanya bisa berdiri terpaku.
Apa aku benar-benar sebegitu kejamnya dulu? pikir Anton, menatap langit biru dengan mata berkaca-kaca.
Orang-orang yang menyaksikan pertengkaran itu mulai bubar satu per satu.
“Ya Allah… berikan hamba kesempatan kedua… untuk bersama anak dan istri hamba,” ucap Anton, suaranya serak oleh penyesalan.
Tiga tahun lalu…
“Saya terima nikah dan kawinnya Ananda Risma Hidayat Fardiska binti almarhum Abdul Malik dengan mas kawin berupa cincin emas seberat enam gram, dibayar tunai,” ucap Anton Darma Anjaya.
Risma, gadis berparas Asia dengan darah Jepang dari ibunya, mengembuskan napas berat. Ia kini resmi menjadi istri pria yang ia cintai—meski pernikahan itu terjadi karena sebuah kecelakaan. Kandungan dalam perutnya telah berusia empat bulan.
Saat hendak menyalami tangan suaminya, Anton justru menempelkan tangan Risma ke keningnya. Kebaya putih yang dikenakannya menjadi saksi bisu dari pernikahan mendadak itu.
Meski hatinya masih penuh pertanyaan, Risma bersyukur Anton mau bertanggung jawab—setidaknya secara lahiriah—dengan menikahinya.
Risma berdiri di depan rumah mewah itu, tubuhnya kaku, jantung berdebar. Rumah yang sedari tadi membuatnya tercengang itu adalah miliknya—atau setidaknya milik “suami” yang menikahinya karena terpaksa. Suaminya sendiri sibuk menatap layar ponsel, tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya.
Keluarga besar Anjaya ingin pernikahan ini seheboh mungkin, tapi Anton menolak. Ia bersikeras pernikahan ini tak perlu dirayakan, karena bukan didasari cinta. Dan Risma, gadis desa sederhana, hanya bisa menelan rasa sakitnya sendiri.
Saat Anton menunjuk bilik kecil dekat dapur sebagai kamarnya dan mengumumkan bahwa ia tinggal di lantai atas, Risma merasakan dingin menjalar di punggungnya. Tanpa kata, Anton menaiki tangga, meninggalkannya sendiri di ruang yang asing, polos, dan berantakan.
Ia membuka lemari, merapikan beberapa baju dan buku kuliahnya. Setiap langkah terasa berat. Ia kini menjadi istri pria yang tak mencintainya, menikah karena terpaksa, dan harus menghadapi kenyataan itu sendiri.
Malam itu Risma menangis sendirian, menumpahkan semua takut dan sakit hatinya. Ia berbaring di ranjang kecilnya, mencoba memejamkan mata, tapi mimpi buruk tak kunjung pergi. Bayangan Anton, rumah mewah, dan ejekan teman-temannya terus menghantui.
Pagi harinya, ia harus menyiapkan kebaya dan buku untuk wisuda D3-nya. Perutnya yang kini mengandung empat bulan membuatnya mual, lelah, dan emosional. Tapi ia menahan semua itu, menegaskan diri untuk tetap tegar.
“Ya Allah, berikan hamba kekuatan… untuk anak dan diriku,” batinnya, menggenggam toga erat. Ia melangkah keluar dengan ojek online, matanya sayu memandang jalanan.
Sesampainya di kampus, ejekan sudah menanti. Salsa, kakak kelas berparas Amerika dengan rambut sedikit pirang, menyapanya dengan sinis. “Hello, jalang…”
Risma menunduk, menahan amarah dan air mata. Ia tahu membalas hanya akan memperkeruh keadaan. Ia terus melangkah ke aula wisuda, tetapi langkahnya tersendat saat melihat Anton duduk bersama teman-temannya, tertawa, dan berbicara seolah hidup Risma hanyalah lelucon.
“Jadi, rencana lo selanjutnya apa? Mau pertahanin rumah tangga sama tuh jalang, atau ceraiin dia dan lanjut sama Fera?” tanya Axel, nada santai seolah yang dibahas hanyalah hiburan.
“Anda jelas bakal pilih Fera. Risma cuma cewek kampung penghalang doang,” sahut Andria, teman lain, sambil tertawa kecil.
Anton ikut tertawa, kata-katanya menusuk hati Risma. “Ya iya lah. Gua bakal ceraiin dia. Gak mungkin pertahankan rumah tangga gak penting itu.”
Risma menggigit bibir, menahan isak yang hampir pecah. Setiap kata mereka adalah pisau yang mengiris hatinya. Namun ia terus melangkah, menguatkan diri untuk tetap berdiri, untuk anaknya, untuk dirinya sendiri.
Di depan aula, air matanya hampir jatuh, tapi ia menahannya. Wisuda ini bukan untuk mereka yang meremehkannya.
Wisuda ini untuk dirinya—untuk perjuangan yang dilakukan sendiri, tanpa dukungan orang tua, tanpa peduli suami yang menikahinya tanpa cinta.
Hatinya berbisik pelan, “Aku akan kuat. Untuk anakku, untuk diriku. Dan suatu hari, aku akan bebas dari semua ini.”
Kata-kata itu menusuk hati Risma, tapi ia tetap berjalan tanpa menoleh. Dalam diam, ia mengumpulkan kekuatan untuk berdiri tegak di tengah dunia yang menolaknya.
Sebelum memasuki aula, air matanya nyaris jatuh, tapi ia menahannya. Wisuda adalah pencapaian penting yang diperjuangkan sendiri—tanpa seorang pun hadir, tak ada ibu, tak ada ayah, bahkan tidak ada suami. Hanya dirinya dan janin kecil yang tumbuh di dalam tubuhnya.
Ia duduk di antara para lulusan lain, menunduk saat namanya dipanggil. Tidak ada tepuk tangan. Tapi Risma tahu, ia telah menang. Bukan karena gelar, tapi karena mampu tetap berdiri tegak saat dunia berusaha menjatuhkannya.
Risma pulang dari wisuda dengan langkah berat. Begitu masuk kamar kecil di rumah mewah itu, hatinya terasa perih, seolah serpihan harapan yang pernah dimilikinya kini berserakan tak beraturan. Gunjingan teman-teman suaminya terus berputar di kepala, menghantui setiap detik.
Ia duduk di tepi ranjang, tangan gemetar memegang toga yang tadi dipakainya.
“Apakah aku benar-benar seperti yang mereka katakan? Wanita miskin dari desa, beban, penghalang hidupnya?” bisiknya lirih, air mata mengalir membasahi pipi. Kenangan hari itu kembali menghantui.
Flashback
Pagi itu, Risma bangga mengenakan toga wisudanya. Ia melangkah keluar kampus, berniat membeli air mineral. Saat melewati sebuah kafe favorit geng elit kampus, ia berharap bisa berinteraksi dengan teman-teman suaminya, agar hubungan mereka tak terasa seperti rahasia atau beban.
Harapannya sirna begitu ia tanpa sengaja mendengar pembicaraan mereka dari balik pintu kaca. Hatinya sesak, napas tertahan.
“Eh, ya enggak lah, emangnya gue Anton, cewek jalan dipake,” suara Salsa pedas, menusuk telinga Risma.
Di sana ada Anton, Salsa, Andria, dan Axel—geng elit idaman kampus lain. Salsa selalu menyakiti dengan kata-kata, Axel jenaka tapi kejam, Andria ikut mengolok.
“Hahaha, iya. Gua juga enggak. Senakal-nakalnya gua gak pernah tuh mainin cewek jalanan,” tambah Axel.
“Lagian lo gak jijik pas nyoblos, Ton? Ternyata tipe lo yang kaya gitu,” ejek Andria.
“Enggak kali, Anton kan abis ditolak Fera, jadi buta gak bisa liat mana yang berkualitas,” goda Salsa.
“Udah jangan goda dia mulu,” Andria menimpali.
“Lu pada mau bisnis lu kandas? Udah diam, jangan goda boss kita. Lagian dia emang suka sama itu cewek, cewek yang doyan keluar malam,” canda Axel.
“Mulut lu mau pada gue bogem?!” maki Anton.
"Wooohooo, boss kita marah. Setelah sekian lama akhirnya berkicau juga," tawa Axel pecah.
“Tapi Ton, emang lu yakin mau punya istri kaya gitu selamanya?” tanya Andria.
“Ya enggak lah, kan Anton bilang dia mau ceraiin tuh cewek kalau udah lahiran,” jawab Salsa.
“Dia bilang dia tuh jijik sama tuh cewek kampung, udah miskin, bau, kumal, banyak kumannya lagi.”
“Tapi cantik, Sal. Mukanya mulus bersih, kinclong,” Axel menambahkan, membayangkan wajah Risma.
“Ya mulus, soalnya di gosok mulu sama om-om,” celetuk Salsa, disertai tawa mengejek.
Setiap tawa mereka seperti pisau yang mengiris hati Risma, darah emosinya tumpah dalam diam.
“Bisa pada diem nggak sih lu?” ucap Anton dengan nada kesal.
“Udah sih, Ton. Jangan baper,” ujar Salsa sambil mengerucutkan bibir.
“Tapi Ton, jawab gua yang jujur. Lu lebih benci atau jijik sama dia?” Tanya Andria.
Keheningan seketika. Napas Risma tercekat, dadanya sesak. Anton menjawab dengan suara rendah dan penuh kebencian:
“Gua jijik sama dia. Gua nyesel pernah perkosa dia.”
Risma menutup mata, air matanya deras.
“Ya Tuhan, dosa apa yang hamba ini buat sampai Kau memberikan cobaan begitu berat? Kapan aku akan bahagia? Bagaimana nasib anakku nanti?” batinnya sambil membelai perut yang mulai membesar.
Tiba-tiba seseorang menyenggol bahunya tanpa sengaja. Risma terjatuh. Semua mata tertuju padanya. Salsa berdiri, tertawa sinis.
“Oow, Ton. Your wife nyusul nih!” ejeknya keras, menusuk hati Risma yang rapuh.
Kembali ke Masa Kini
Risma kini berdiri di dapur, menyiapkan masakan sederhana. Meski berasal dari desa, ia ingin memberi yang terbaik, berharap sedikit perhatian dan rasa hormat dari Anton.
“Kak Anton, bisakah kali ini kau tak menghina anakku? Meski kau tak pernah mengakuinya,” batin Risma, tangan gemetar saat menumis capcay. Air matanya jatuh tak tertahankan.
Tak lama, suara Anton menggema keras hingga rumah seolah bergetar:
“RISMA!!”
Risma tersentak. “Iya, Kak. Bentar ini aku siapin,” jawabnya parau, menahan tangis.
“Yang sabar ya, Nak. Nanti kalau Mama sudah dapat kerja, kita akan cari rumah, biar gak ganggu Papa lagi,” bisiknya pada calon buah hatinya, sambil mengelus perut penuh harap.
Ia menghidangkan capcay dan tempe bacem, lalu mengambil nasi.
“Kamu masak ini?!” hardik Anton.
Risma tercekat. “Maaf, Kak...”
“Cih, kumuh, kotor, makanannya gak punya selera!! Nyesel saya nikahin perempuan kayak kamu!” Anton melanjutkan amarahnya, tatapan menusuk.
Risma menunduk, air mata mengalir deras. Ia mencoba menjelaskan, tapi Anton terus mencaci, menuduhnya hanya mengincar harta dan menghancurkan hidup orang lain.
“Hati-hati, Kak. Aku akan berusaha jadi istri yang kau mau, tapi tolong beri waktu,” pinta Risma lirih.
“Alah, udahlah!!! Setelah anak haram kamu lahir, aku gak mau ada urusan lagi sama kamu. Kamu dan anakmu cuma benalu di hidupku!!!” Anton pergi, menutup pintu keras.
Risma jatuh terduduk, perutnya nyeri.
“Ya Tuhan, anakku… jangan dengar apa kata Papa… Papa lagi sibuk,” bisiknya sambil menggenggam tepian meja, menenangkan diri.
Namun di balik semua itu, satu kekuatan membuatnya tetap bertahan: cintanya pada anak dalam kandungan, harapan akan hidup baru yang akan datang membawa kebahagiaan.
“Ya Allah, aku mohon kekuatan. Aku mohon kesabaran. Aku akan berjuang demi masa depan anakku dan diriku sendiri,” doanya lirih, menatap langit-langit kamar yang hampa.
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!