*
*
"Papi!!" dua orang bocah tampan berusia empat tahun berlari menghampiri Satria yang baru saja turun dari helikopter di belakang rumahnya.
Pria itu melepaskan tas dari pundaknya, lalu berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badannya dengan dua putra kembarnya yang langsung melompat ke pelukannya.
"Kalian, ..." ucapnya, yang hampir terjungkal kebelakang begitu dua bocah tampannya berada di dalam pelukannya.
"Papi bawa apa?"
"Papi nggak pergi lagi?"
"Hari ini mau kemana lagi?"
Dua mulut kecil itu bertubi-tubi melontarkan pertanyaan.
Satria hanya tergelak menyimak celotehan sikembar yang tak berjeda.
"Sudah, sudah, ... kalian bikin papi bingung!" Sofia yang muncul dari dalam rumah. Setengah berlari menghampiri suami dan dua putra kembarnya.
Satria bangkit, pandangannya tertuju pada perempuan berdres coklat muda yang kini berada di hadapannya. Rasa rindu yang tertahan selama berminggu-minggu terasa kian membuncah.
Sofia tersenyum.
"Kamu tidak merindukan aku?" satria dengan senyum samar.
Sofia menggelengkan kepala, "Anak-anak yang merindukan kamu." jawabnya, lalu mengulum bibirnya dengan kuat. Menahan debaran didada yang masih saja dia rasakan setiap kali menatap wajah tegas suaminya.
Satria mendengus pelan, lalu mereka berdua tertawa. Dan Sofia pun menghambur kepelukan pria itu yang beberapa Minggu ini tak ada disampingnya.
"Papi, papi,!" si kembar kembali berteriak, lalu kembali merentangkan kedua tangan mereka meminta untuk digendong.
"Kalian sudah besar!" Sofia setengah berteriak. Namun mereka tak mendengar. Lalu satria mengangkat dua bocah tampannya dalam gendongan, kemudian membawa mereka masuk kedalam rumah.
"Dygta dan Dimitri?" tanya Satria setelah menurunkan dua putra kembarnya keatas sofa, yang kemudian mereka berdua berhamburan kembali pada mainan yang sebelumnya menyibukkan keduanya.
"Belum pulang."
"Bagaimana sekolah mereka?"
"Seperti biasa, ..." Sofia menyerahkan satu gelas air putih yang dibawa asisten rumah tangga kepada suaminya yang kemudian dia teguk hingga habis setengahnya.
"Kemarin Arfan baru menemui kepala sekolah." lanjut Sofia, yang duduk disamping Satria.
"Lagi?" pria itu mengerutkan dahi.
"Ya, ..." Sofia menghela napas pelan.
"CK! anak itu ..." Satria kemudian terkekeh, "Seingatku, aku tak senakal dia waktu kecil. Aku bahkan lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar daripada bermain."
"Dia tidak nakal, hanya terlalu aktif." sergah Sofia.
"Hum?" Satria menoleh.
"Dimitri hanya butuh pengalihan perhatian. Itu kata Arfan."
Satria memutar bola matanya, "Seolah dia ayah dari anak itu ..." gerutunya.
"Faktanya mereka memang dekat." ujar Sofia.
"Hmm ... dan aku tidak dekat dengan putraku sendiri." keluh Satria.
"Kalian hanya butuh waktu lebih banyak untuk bersama."
"Yeahh ..." Satria merebahkan kepalanya pada sandaran sofa. "Aku memang terlalu sibuk, sehingga tidak memiliki banyak waktu dengan kalian." keluh Satria.
"Pekerjaanmu banyak, sayang." Sofia mengusap dada suaminya, untuk menenangkan pikiran pria itu.
"Hmm ... " Satria menatapnya dalam diam, lalu mengulurkan kedua tangannya untuk memeluk tubuh istrinya. "Hanya kamu yang mengerti." bisiknya.
"Tentu, aku istrimu." Sofia terkekeh.
"Hmm ... istriku, ..." Satria mengeratkan rangkulannya pada tubuh Sofia, lalu mengecup pundak perempuan itu dengan lembut.
"Ayo, ..." ucapnya, seraya bangkit dan menarik lengan perempuan itu untuk mengikutinya.
"Kemana? bukankan kamu baru sampai?" Sofia mencurigai sesuatu ketika Satria menariknya ke arah kamar mereka.
"Aku mau mandi." jawab pria itu yang mempercepat langkahnya.
"Baik, sayang. Aku akan menyiapkan semuanya untuk kamu." ucap Sofia sesaat setelah mereka tiba di kamar.
"Tidak usah, ..." Satria melepaskan seluruh pakaian yang menempel di tubuhnya. Lalu menarik perempuan itu kedalam kamar mandi.
"Tapi, ..."
Satria menurunkan relsleting gaun bagian belakang Sofia, lalu menariknya hingga benda itu lolos terjatuh dilantai. Menyisakan tubuh berisi Sofia yang hanya berbalut sepasang benda tipis yang paling disukainya.
Satria tersenyum.
"Kamu masih cantik seperti biasanya." bisiknya, yang mendorong tubuh Sofia hingga merapat ke dinding kamar mandi.
"Mm ... ini masih sore tahu!" sergah Sofia.
"I don't care. I just Miss you." bisik satria lagi, yang kemudian menyalakan shower diatas kepalanya. Hingga benda itu mengalirkan air membasahi tubuh mereka berdua.
"Sayang, anak-anak sebentar lagi pulang." tolak Sofia, ketika sentuhan suaminya mulai senakal biasanya. Meremat segala yang dia sentuh dengan tangan besarnya. Susah payah perempuan itu mempertahankan kesadarannya.
"Hmm ... aku tidak akan lama." sanggah Satria, seraya melepaskan kain terakhir yang menempel di tubuh istrinya.
"Sayang, ... ah ..." Sofia mengerang ketika Satria mulai memasukinya. Lalu hentakan demi hentakan pun berlangsung di dalam kamar mandi, dibawah air yang mengalir deras. Mengantarkan pasangan suami istri yang saling merindukan ini pada keindahan pertemuan mereka setelah berminggu-minggu lamanya.
*
*
"Om Arfan!" Dygta berjalan pelan menghampiri asisten ayahnya yang sejak setengah jam yang lalu menunggu di mobilnya. Menghisap rokok yang baru saja dia sulut sambil dengan tenang, seperti biasa.
Arfan menoleh, lalu tersenyum. "Lambat!" omelnya, sambil menetap jam dipergelangan tangannya. Lalu membuang rokok yang baru dia hisap setengahnya ke selokan di pinggir mobilnya.
"Aku ambil ekstrakulikuler dulu tahu!" sanggah Dygta, yang kini hanya berjarak satu meter dari pria 39 tahun ber jas rapi itu.
"Sudah kelas tiga SMA masih ambil ekstra?" Arfan yang bangkit, lalu membukakan pintu di bagian penumpang.
"Cuma satu." Dygta masuk, lalu duduk di kursi penumpang.
Arfan berjalan memutar ke kursi pengemudi, lalu masuk dan segera memacu mobilnya membelah jalanan ibu kota.
"Jemput Dimitri dulu?" Dygta memiringkan kepalanya.
"Dia hari ini ada kegiatan."
"Apa?"
"Sepak bola."
"Sejak kapan?" Dygta mengerutkan dahi.
"Minggu lalu. Om mendaftarkan dia masuk klub sepakbola di sekolahnya. Agar ada kegiatan dan tidak selalu bikin onar di kelas." lalu Arfan tergelak.
"Ih, ... Anak itu ..."
"Sepertinya dia cocok. Minggu ini dia lebih tenang dari biasanya."
"Oh ya?"
Arfan mengangguk.
"Nggak yakin deh, paling sebentar lagi juga dia bikin kacau lagi?"
"Kita lihat saja. Kalau setelah ini dia masih bikin onar, kita kirim ke Rusia saja."
"Serius?"
"Ya, ... sepertinya dia butuh pendidikan militer disana, biar lebih disiplin."
"Hmm ... kasihan om, kalau dia harus ke Rusia."
"Tidak ada pilihan lain."
"Memangnya kalau disini nggak ada sekolah seperti di Rusia?"
"Ada. Tapi Dimitri tidak akan terpengaruh. Dia merasa masih dekat dengan rumah." Arfan kembali menyalakan sebatang rokok ketika mobil yang mereka tumpangi berhenti karena lampu lalu lintas berubah merah.
"Hmm ..." Dygta mengibas-ngibaskan tangannya, menepis asap rokok yang menerpa wajahnya.
"Om, ih ... berhenti merokok, kenapa sih?" rengeknya, kemudian sedikit terbatuk.
"Kalau kerja sama papi gini juga ya?"
Arfan terkekeh. "Om jarang semobil dengan papi kamu."
"Kalau semobil sama papi pasti om di omel kan?" Dygta menunjuk dengan jari telunjuknya. Seringaian mengejek muncul di sudut bibirnya.
Arfan kemudian tertawa, membuat kepalanya terdongak ke atas.
"Heran deh, ... Tante Mytha nggak pernah protes apa? ganggu tahu!" omel Dygta lagi.
Suasana tiba-tiba menjadi hening.
"Mm ...maaf Om, ... aku nggak sengaja." Dygta setelah beberapa saat dia menyadari kesalahannya.
"Ehm, ..." Arfan berdeham sekedar untuk melegakan tenggorokkannya. Lalu melemparkan rokok ditangannya keluar jendela.
Mobil kembali melaju saat lampu lalu lintas berubah hijau. Mereka menerobos jalanan yang mulai padat pada hampir sore hari itu.
*
*
*
Bersambung ...
Hai kesayangan? ada yang kangen Papi sama Babang Arfan? 😂😂
kita ketemu lagi di season 2 dari Novel SUGAR ini. Semoga masih ada yang mau baca ya.
Enjoy😘😘
Dapet salam dari papi
Babang Arfan juga
*
*
"Papi udah pulang kak?" Dimitri yang baru saja masuk kedalam mobil, bocah kelas 4 SD itu duduk di kursi belakang di Fortuner mengkilat milik Arfan.
"Nggak tahu, kan sama-sana belum sampai ke rumah." jawab Dygta.
"Abis dari mana? pacaran dulu ya?" bocah tampan itu menggoda kakak perempuannya.
"Sembarangan!" Dygta melemparkan tisyu di tangannya pada kepaka adik laki-laki itu.
Dimitri terbahak-bahak.
"Kak Dygta itu udah punya pacar loh om, aduin papi gih." dia mencondongkan tubuhnya ke arah depan. Mendekati Arfan yang berkonsentrasi pada lalu lintas di depan.
"Oh ya?" Arfan melirik gadis berseragam SMA di sebelah kirinya.
"Mana ada? Didim bohong!"
"CK!" Dimitri berdecak, tak suka dengan panggilan yang disebut Dygta kepadanya. "Panggil nama orang itu yang bener, kak!"
"Kenapa? ada yang salah? masih bagus kakak nggak manggil kamu dedek Dim kayak dulu." dia mengingat saat bocah itu pertama kali lahir, betapa dia merasa bahagia telah memiliki anggota baru di keluarganya. Seorang adik yang kehadirannya sangat dia tunggu-tunggu. Yang menjadi kado terindah ketika kedua orang tuanya memberitahukan kehamilan itu tepat pada saat hari ulang tahunnya yang ke sembilan tahun.
Dimitri mencibir, "Aku udah gede. Jangan manggil Dede dim lagi." sela Dimitri.
"Masih kecil." tukas Dygta.
"Udah gede!" bocah itu bertertiak.
"Ssssttt! kalian berisik!" sergah Arfan, yang sibuk dibalik kemudi mobilnya.
Dua penumpang tetap itu menutup mulutnya sekektika.
"Kenapa juga saya dapat tugas antar jemput kalian? harusnya ini tugas supir. Bukan saya. Kerjaan saya jadi tambah berat kalau begini terus." gerutu Arfan.
Mobil yang mereka tumpangi berhenti ketika mobil di depannya juga berhenti.
"Kamu, ..." Arfan menoleh ke arah Dygta. "Seharusnya kamu sudah bisa bawa mobil sendiri. Bukannya papi kamu memberi kamu hadiah mobil di ulang tahun kamu bulan kemarin?"
"Dan kamu, ..." Kini Arfan menoleh kepada bocah laki-laki di kursi belakang. "Jangan terus jahil kepada supir, nanti tidak ada yang mau mengantar jemput kamu lagi."
Dua anak itu terdiam.
"Om tidak bisa selalu mengantar jemput kalian. Pekerjaan om itu banyak. Mengatur pekerjaan papi kalian, belum lagi mengurus hal lainnya. Tolong lah, ..."
Dygta dan Dimitri saling melirik.
"Kamu harus mandiri, Dygta. Kamu sudah dewasa." Arfan kepada gadis manis di sebelah kirinya.
"Dan kamu, Dim. Jangan lagi buat masalah. Kadang om tidak punya waktu untuk mengurus masalah kalian. Harus datang kesekolah setiap kalian terkena masalah dan bernegosiasi dengan kepala sekolah maupun orang tua murid." ucap Arfan kepada Dimitri.
"Papi nggak ijnin aku bawa mobil, om." Dygta menyela.
Arfan menarik napas pelan. "Pria itu, ..." dia menggerutu. "kamu pakai sopir mama mu lah."
"Nggak mau. Berasa diantar sama robot. Nggak ada temen ngobrol. Mereka nggak mau ngobrol sama aku."
Arfan mendengus. "Bukan tidak mau. Kamu nya saja yang terlalu banyak bicara. Mereka kekurangan bahan obrolan jika mengantar kamu pergi."
"Iya kah?" Dygta menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Arfan mengangkat kedua alisnya bersamaan.
"Kok om Arfan nggak pernah kehabisan bahan obrolan? kita selalu nyambung kalau lagi ngobrol?" Dygta menghadapkan dirinya kapada Arfan yang kembali mengemudikan mobilnya.
"Tidak tahu. Mungkin karen om sudah kenal kamu sejak kecil." jawab Arfan.
Mobil kini berbelok pada sebuah area luas yang dipenuhi pohon Pinus dan lapangan luas. Dengan jalan panjang yang jauh dari jalan utama kota. Sebuah tempat yang hanya terdapat satu rumah besar di tengah area berumput hijau.
Sebuah rumah besar yang baru mereka tempati selama dua tahun belakangan. Berpindah dari rumah di pinggir pantai di kepulauan seribu, sengaja agar anak-anak lebih dekat ke sekolah terbaik di kota Jakarta.
Mobil berhenti tepat di halaman luas itu. Pintu langsung terbuka, dan seorang kepala pelayan muncul dari dalam. Bu Lily menyambut dua anak majikan mereka yang tergesa masuk kedalam rumah.
"Mama?" tanya Dygta kepada sang kepala pelayan.
"Ada di atas, non." jawab perempuan paruh baya tersebut.
"Papi udah pulang?" Dimitri menyela.
"Sudah. Ada di atas juga."
"Asik!!" bocah itu langsung berlari ke lantai dua rumahnya, menuju ke kamar orang tua mereka yang berada di ujung depan.
"Om masuk?" Dygta kepada Arfan.
Pria itu menggeleng pelan. "Ara mungkin sudah menunggu."
"Oh, ... iya juga."
"Baiklah, Dygta. Om pamit." Arfan tanpa menunggu jawaban gadis itu, lalu kembali memacu mesin beroda empat miliknya, kini menuju rumah, dan pulang.
*
*
*
"Papi!!!" Dimitri menerobos pintu kamar orang tuanya begitu saja. Mendapati sang ayah yang duduk di tepi ranjang dengan ponsel menyala di tangan.
"Hey! tidak bisa ketuk pintu dulu?" ucapnya, yang kemudian meletakkan ponsel miliknya di nakas di samping tempat tidur.
Bocah itu tertegun menatap sang ayah yang beberapa Minggu tak ditemuinya.
"Ng ..."
Satria tersenyum, lalu merentangkan tangannya, "Kemarilah, papi sangat merindukanmu." ucapnya, kemudian.
Dimitri langsung menghambur ke pelukan terbuka Satria.
"Apa besok papi akan pergi lagi?" tanya bocah itu, yang masih dalam pelukan ayahnya.
"Kenapa?" satria menarik tubuh kecil Dimitri, lalu membingkai wajah putra pertamanya itu. Menatapnya lekat-lekat.
"Nggak. Cuma nanya." jawab Dimitri sambil menggelengkan kepala.
Satria mengacak puncak kepala Dimitri dengan gemas.
"Apa Dedushka sudah sehat?" tanya bocah itu kemudian.
"Lumayan. Makannya papi bisa pulang. Semoga Ded terus sehat, biar papi tidak usah pergi ke Rusia lagi." jawab satria.
"Apa sebaiknya kita bawa ayah? biar kita rawat disini." Sofia yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Dengan bathrobe yang membalut tubuh nya.
"Pria tua itu tidak mau kita bawa. Aku sudah mencobanya berkali-kali. Tapi dia keras kepala." Satria menoleh.
"Hm ..." Sofia menghela napas pelan. "Kakak kamu sudah pulang, sayang?" dia beralih kepada putran nya.
"Udah, ma." Dimitri mengangguk.
"Sekarang dimana?"
"Nggak tahu. Mungkin dikamarnya." bocah itu menggendikkan bahu. "Papi udah tahu kalau aku ikut klub sepak bola?" Dimitri dengan antusias.
"Oh ya? sejak kapan?" satria menanggapi dengan sama antusisnya.
"Udah seminggu. Om Arfan yang daftarin."
"Wah? benarkah?"
Dimitri mengangguk.
"Sekarang bagaimana?"
"Seru pih, aku latihannya sepulang sekolah. Tiga kali seminggu. Sama di hari Sabtu."
"Baiklah. Apa kamu senang?" Satria menyentuh pipi putranya.
Bocah itu mengangguk lagi. "Seneng pih."
"Seminggu ini kamu tidak bikin ulah di kelas?" Satria terkekeh.
"Sedikit." Dimitri mengisyaratkan dengan ujung jari dan jempolnya.
"Masih?"
"Cuma jahilin anak perempuan, pih." jawab Dimitri, dengan lolosnya.
"Astaga!" Satria menepuk keningnya agak keras.
"Aku curiga," Sofia yang sudah berpakaian lengkap. Kini dia duduk di tepi ranjang di sisi suaminya.
"Apa?" Satria menjengit.
"Mungkin dulu kamu seperti itu." lanjut perempuan itu.
"Maksud kamu?" Satria menegakkan posisi duduknya.
"Mungkin dulu kamu suka menjahili anak perempuan di kelas. Makannya Dimitri pun sekarang seperti itu." Sofia setengah tertawa.
"Kamu sok tahu."
Sofia mengangkat kedua bahunya secara bersamaan.
"Tidak ada ceritanya aku bikin onar di kelas apalagi menjahili anak perempuan. Kalaupun iya, hari ini aku tidak akan ada bersama kamu dan kita tidak akan punya anak-anak selucu mereka." Satria kembali mengusap puncak kepala Dimitri.
"Masa? kenapa?"
"Ayah pasti sudah membunuh aku begitu tahu anaknya bikin ulah di sekolah. Kamu tahu, sekejam apa dia dulu?"
"Hmm ..." Sofia melipat kedua tangannya di dada.
"Serius."
"Ya ya ya ..." perempuan itu mengangguk-anggukkan kepala, kemudian tertawa.
Suara ketukan di pintu menginterupsi percakapan suami istri ini. Tampak Dygta yang sudah berdiri di ambang pintu. Masih dengan stelan putih abu nya.
"Hai anak gadis?" sapa Satria.
"Hai Pi..." gadis itu menghampiri, lalu menghambur kepelukan ayah sambungnya.
"Kamu sehat?" tanya Satria.
Dygta mengangguk.
"Hari ini minta om Arfan jemput lagi?" Sofia menyela.
Dygta mengangguk kepada ibunya.
"Jangan merepotkan dia terus, sayang. Kasihan. Kerjaan om Arfan itu banyak."
Dygta hanya tersenyum.
"Mulai besok pak Sam yang antar ya?"
"Nggak. Aku maunya sama om Arfan. Pak Sam antar Dim aja tuh." gadis itu seraya keluar dari kamar orang tuanya.
"Dygta?"
"Atau aku bawa mobil sendiri aja ya?" katanya, setengah bertetiak. Lalu masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.
*
*
*
Bersambung ...
Dih, anak-anak pada nempel nih sama om Arfan? nah emak kapan? ups... 😅😅😅
Kakak Dygta
*
*
"Papa!" seorang bocah berusia tiga tahun berlari dari dalam rumah, menyambut kedatangan Arfan yang baru saja turun dari mobilnya pada hampir petang itu.
Rambut hitam ikalnya berhamburan diterpa angin sore yang berhembus dihalaman rumah.
Arfan membungkuk sambil merentangkan tangannya, menyambut putri kecilnya yang segera menghambur ke pelukannya.
"Hey sayang!" dia memeluk tubuh kecil Ara dengan erat. Menghirup aroma khas balita yang selalu dia rindukan.
"Hari ini Ara ngapain aja?" tanya Arfan, kepada sang putri, seraya berjalan masuk ke dalam rumah tanpa melepaskan gadis kecil itu dari pelukannya.
"Main sama suster." jawab bocah perempuan itu, yang juga tak melepaskan tangan kecilnya dari leher sang ayah.
"Main apa?"
"Rumah-rumahan, Barbie, pasir ..." celotehnya, dengan suara cadel khas balita.
Arfan terkekeh, lalu menciumi kepala bocah cantik itu.
Dia membawanya melewati tangga ke lantai dua rumah mereka.
"Papa ..." Ara berbisik.
"Ya sayang?" sahut Arfan.
"Lihat mama?" ucap bocah itu, telunjuknya mengarah pada pintu kamar di ujung lantai dua itu.
Arfan tertegun lalu menatap wajah polos putrinya.
"Ara mau lihat mama?" tanya nya.
Gadis kecil itu mengangguk.
"Sebentar aja ya?" ucap Arfan, dia berjalan menuju kamar di ujung tersebut.
Arfan perlahan membuka pintu kamar. Dengan pelan dan berhati-hati, seolah takut mengganggu penghuni di dalamnya.
"Mama?" Ara berbisik.
"Ssssttt, jangan berisik. Mama lagi bobo." bisik Arfan.
Bocah itu langsung menutup mulutnya, lalu berbisik di telinga Arfan, "Maaf." katanya.
Arfan tersenyum getir, seraya mengusap kepala putrinya dengan lembut.
"Udah ya? mamanya lagi istirahat." ujarnya, seraya mundur perlahan.
Ara mengangguk lagi.
Arfan tertegun sebentar, lalu menghela napas dalam dan pelan. Dia menatap sosok itu yang terbaring lemah di tempat tidur dengan bebebagai alat penyangga kehidupan yang menempel di tubuhnya.
Mytha, sang istri yang terbaring koma, satu Minggu pasca kelahiran putri mereka Amara Paramitha Sanjaya, dengan jalan Caesar tiga tahun lalu.
Anak yang mereka tunggu kehadirannya setelah enam tahun berumah tangga. Meski harus di tukar dengan nyawa Mitha yang hampir hilang. Namun tetap tak pernah menghilangkan rasa syukur dirinya, walaupun rasa sedih pula menghinggapi hati. Harus mengurus putri semata wayang mereka sendirian tanpa peran Mytha sejak bayi.
Arfan kembali menutup pintu dengan sangat hati-hati, seolah suara sekecil apapun dapat menganggu tidur panjang istrinya yang begitu lelap dan dalam.
"Papa mau mandi, Ara diem disini ya?" Arfan menurunkan putrinya di tempat tidur setelah mereka tiba di dalam kamar miliknya.
"Ya papa." jawab Ara, yang perhatiannya langsung tertuju pada ponsel milik ayahnya yang tergeletak di dekatnya.
Arfan tersenyum, lalu segera menghambur kedalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
***
Bocah itu tengah berceloteh riang di depan layar ponsel yang menyala ketika Arfan keluar dari kamar mandi setelah menuntaskan urusannya. Dengan bertelanjang dada, hanya mengenakan joggerpants berwarna hitam miliknya.
Ara berbicara dengan bahasa yang tak begitu pria itu mengerti. Diselingi tawa ceria sambil menunjuk-nunjuk layar ponsel milik ayahnya.
"Ara lagi apa?" Arfan mendekat.
"Video call." jawab gadis kecil itu, dengan logat cadel khas nya.
"Ara bisa?"
"Bisa." jawab Ara lagi.
"Video call siapa?"
"Kakak Dita."
"Kakak Dita?" Arfan mengerutkan dahi, dia mengingat nama kontak di ponselnya, namun tak ada satupun kontak dengan nama itu.
"Hum, ..." Ara mengangguk. "Kakak Dita." dia menunjukkan layar ponsel kepada ayahnya, yang menampilkan sambungan video call dengan nomor Dygta. Yang dengan serius nya juga menatap layar ketika Arfan mendekat.
Dygta menatap layar ponselnya dengan mulut menganga, ketika melihat tampilan pemilik nomor yang tengah bervideocall ria bersamanya.
Menatap asisten ayah sambungnya yang bertelanjang dada terpampang dilayar.
"Mm ... hai om?" katanya, yang tersadar. Melambaikan tangan dengan raut gugup.
"Hmm ...om kira siapa? Ara menyebut kamu kakak Dita." Arfan yang hampir mengenakan pakaian rumahannya.
"Eee ...." Dygta menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Aku kira om yang telfon. Taunya Ara. Hehe ..." Dygta terkekeh dengan kedua pipi yang merona.
Pemandangan di layar ponsel sungguh mengganggu konsentrasinya. Dada bidang, lengan kekar dan perut kotak-kotak. Ini pertama kalinya dia menatap tubuh shirtless seorang pria dewasa selain Satria. Itupun sudah jarang terjadi, ketika dirinya sudah beranjak dewasa seperti ini.
"Ng ... Ara sayang, udahan dulu ya? Kakak ada pr." Dygta mengalihkan perhatiannya ke sembarang arah.
"Hum?" bocah itu kembali menghadapkan layar ponsel dengan wajahnya.
"Dadah Ara!" Dygta melambaikan tangannya, lalu mengakhiri panggilan tanpa menunggu jawaban.
*
*
*
*
"Dygta!" seseorang memanggil gadis itu dari belakang, membuat dia menoleh.
"Hmm ..." dia menggumam.
"Kamu ikut?" seorang gadis sebayanya berlari menghampiri. Vivian.
"Apa?" Dygta mengerutkan dahi.
"Camping wekend ini? sebelum UTS." Vivian menunjukkan selembar famflet yang dia dapat dari majalah dinding di lorong sekolah.
"Ng ... mau sih, tapi aku belum ijin." mereka berjalan bersisian menuju kelas. "Kamu sendiri?"
"Ikut, dong. Pasti seru." jawab gadis itu.
"Hm ... aku nggak yakin kali ini di ijinin."
"Masih juga?" Vivian terkekeh. "Aneh banget?"
Dygta menggendikkan bahunya.
"Udah dewasa, tapi masih diperlakukan kayak anak TK!" cibirnya.
"Diamlah!" Dygta mengibaskan tangan kepada Vivian. Gadis itu tertawa mengejek, lalu berlari kedalam kelas.
"Hey!" seseorang menghadangnya diambang pintu kelas.
Pemuda yang juga masih sebaya dengannya. Evan.
"Apa lagi sih?" keluh gadis itu yang merasa perjalanannya terganggu.
"Obrolan kita belum selesai kemarin." Evan berujar.
"Obrolan yang mana?"
Evan melipat kedua tangan di dada. "Kamu pura-pura lupa?"
Dygta menghela napasnya, lalu mendorong tubuh pemuda itu. Dan segera masuk kedalam kelas.
"Dygta!" sergah Evan.
"Udah ah, ..."
"Kamu belum jawab aku kemarin?"
"Aku belum mau pacaran!" gadis itu setengah berteriak, membuat sebagian isi kelas menoleh ke arah mereka.
"Tapi ...
"Kalau itu yang mau kamu denger, aku jawab nih. Aku belum mau pacaran! aku nggak suka sama kamu!" ulang Dygta.
Evan terdiam dengan wajah memerah. Ini pertama kalinya seorang gadis menolak dirinya. Dari sekian nama gadis di sekolah itu yang pernah dia dekati baru Dygta yang menolak pernyataan cintanya.
"Serius?" Evan dengan rahang mengetat, menghalau rasa malu yang menyeruak. Seiring bisikan yang dia dengar terlontar dari teman sekelas mereka.
"Apa aku kelihatannya bercanda?" Dygta menunjuk wajahnya sendiri. "Aku nggak ada minat pacaran sekarang-sekarang ini. Ngerti nggak sih?" ucapnya.
Pemuda itu melengos, keluar dari kelas dengan rasa kesal yang amat besar.
*
*
*
"Apa ini?" Arfan meraih selembar kertas berwarna warni dari tangan Dygta, lalu membacanya dengan teliti.
"Camping?" tanyanya kemudian.
Dygta mengangguk.
"Acara apa?" Arfan seraya melepaskan kacamata baca nya.
"Refreshing sebelum UTS." jawab Dygta.
"Refreshing?" Arfan menatap gadis itu yang tersenyum lebar ke arahnya.
"Semua siswa ikut?" lanjutnya, menyelidik. Dia harus memastikan gadis itu tak sedang berbohong.
"Nggak." Dygta menggeleng pelan.
"Kenapa?"
"Cuma yang ikut ekstrakulikuler pecinta alam aja. Tapi kalau misalnya ada siswa diluar PA yang mau ikut juga boleh kayanya."
"Hmm ..." Arfan berpikir sejenak. "Tidak boleh."
"Om ..." Dygta mulai merengek.
"Tidak boleh. Papi kamu sudah pasti tidak akan mengijinkan." jelas Arfan.
"Om bantuin dong biar papi kasih ijin."
"Sudah pasti tidak akan memberi ijin."
"Yaah ...
"Mungkin kamu bisa minta mama mu untuk meminta ijin pak Satria." Arfan mulai melajukan mobilnya keluar dari area sekolah.
"Nggak mungkin. Mama udah pasti nggak akan kasih ijin kalau papi bilang gitu. Dan nggak akan bisa merubah itu." Dygta menempelkan punggungnya pada sandaran kursi sambil bersedekap.
Dia tengah berpikir.
"Itu kamu tahu?" Arfan yang fokus mengemudikan kendaraan beroda empat nya.
"Aneh banget deh, ikut ekstrakulikuler pecinta alam tapi nggak bisa ikut camping atau hiking?" gerutu Dygta.
"Siapa suruh?" sergah Arfan.
"Aku sukanya itu. Seru loh om!"
"Hmm ..." Arfan hanya menggumam.
"Kadang papi lebay, masih menganggap aku kayak anak TK! apa-apa dianggap bahaya." Dygta cemberut.
"Dia hanya terlalu menyayangi kamu."
Dygta memutar bola matanya, jengah.
"Om juga begitu sama Ara."
"Oh ya? om juga akan mengekang Ara kalau dia udah besar nanti?" gadis itu memiringkan kepalanya, menatap pria dewasa disamping yang tengah mengemudikan mobilnya membawa mereka menuju arah pulang. Sesuatu bergetar didalam hatinya.
"Bukan mengekang, itu melindungi." Arfan melirik sekilas.
"Itu ... mengekang namanya." dia terbata.
"Bukan, Dygta. Itu namanya melindungi. Kamu tahu pergaulan diluar sana seperti apa?"
"Aku udah dewasa, om."
"Tapi kamu tidak tahu seburuk apa pergaulan diluar sana."
"Ya nggak akan tahu, kan aku di kekang?" Dygta mendelik.
Arfan menarik napas dalam, lalu menghentikan laju mobil hitamnya saat melihat lampu lalu lintas di depan berubah merah.
"Bukan di kekang, tapi sedang dilindungi. Banyak bahaya diluar sana, dan kamu ceroboh, seperti mama mu." Arfan menoleh.
"Oh ya?"
Arfan mengangguk.
"Ah, ... pokoknya aku mau camping! om harus bantuin aku minta ijin sama papi. Kalau om yang bilang papi pasti percaya."
"Tidak bisa, Dygta."
"Ayolah om!"
"Tidak." Arfan menggelengkan kepala.
"Om, ..." Dygta memelas.
"Tidak bisa ..."
Gadis itu menatap nya dengan mata bulat yang berkaca-kaca. Persis seperti Sofia ketika sedang memohon kepadanya untuk diijinkan pergi ke suatu tempat tanpa sepengetahuan suaminya.
Hati Arfan sedikit terenyuh, tapi tidak! dia tak boleh mengambil resiko apapun. Bisa saja di tempat camping akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan, sementara dirinya takan bisa mengawasi gadis itu dengan baik. Karena tidak mungkin juga dia mengikuti kegiatan camping dengan gadis itu. Akan kelihatan sangat aneh ketika dirinya mengawasi putri dari atasannya itu dengan begitu dekat. Walaupun memang tanggung jawab itu Satria bebankan kepadanya hingga Dygta benar-benar sudah dewasa kelak dan mampu bertanggung jawab dengan dirinya sendiri nanti.
"Om, .." Dygta menarik-narik ujung jas Arfan untuk memperngaruhi pria itu.
"Kamu tahu, kalau terjadi sesuatu om juga akan kena akibatnya." Arfan setelah berpikir beberapa saat.
"Om berlebihan! ini hanya camping di taman perkemahan. Bukan mendaki gunung Himalaya!" sergah Dygta.
Arfan menggelengkan kepalanya lagi. Gadis ini memang sama seperti ibunya. Sama-sama keras kepala.
"Om, ..." Dygta kembali menarik kain ujung jas Arfan. "Ya?"
"hhhh ...." Arfan menghembuskan napas, frustasi. "Baiklah, ..." akhirnya dia menyerah.
"Yes!" Dygta bertepuk tangan.
"Tapi kalau pak Satria benar-benar tidak memberi ijin kamu harus menurut ya?"
Dygta mengangguk, sambil tersenyum. "Kalau ternyata papi ngasih ijin?" tukasnya.
"Hhh ... kamu harus janji untuk bisa jaga diri dengan baik." Arfan menyentuk puncak kepala gadis itu yang tengah menatapnya. "Om pasti tidak akan bisa menjaga kamu seperti biasanya." katanya.
"Mm ... aku ... bukan anak TK, om!" Dygta mengingatkan. Mata bulatnya mengerjap-ngerjap pelan.
"Iya, ..." Arfan terkekeh, lalu mengacak rambut gadis itu. "Tapi buat om kamu masih seperti anak TK!" katanya lagi sambil tergelak, yang kemudian kembali pada kemudi di depannya. Menghidupkan mesin dan kembali memacu mesin beroda empatnya membelah jalanan ibu kota yang padat pada jam pulang kerja sore itu.
*
*
*
*
Bersambung ...
Iya, anak TK yang butuh bimbingan kan om?😂😂😂😝
Iike,
koment,
hadiah
😊😊😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!