• Perhatian. Cerita ini asli hanyalah karangan penulis semata. Tidak dikutip dari judul atau cerita manapun. Jika ada kesamaan kisah, lokasi atau nama tokoh, itu murni sebuah kebetulan.
\~\~\~\~\~\~\~
Darian please...
Elisabeth menatap khawatir pada papanya yang duduk tanpa expresi diwajahnya.
"Teng teng teng," dentuman suara lonceng memecah keheningan dalam ruangan itu.
Seorang pastor berjalan mendekati Elisabeth. "Sudah lebih lima menit dari waktu yang ditetapkan. Sepertinya pengantin pria tak akan datang."
"Pastor Yakub, tunggulah lima menit lagi. Mereka pasti sedang dalam perjalanan ke sini," pinta Elisabeth.
"Maksud saya coba ditelpon dulu. Apa mereka baik baik saja. Kita tidak tau jika mereka terkendala suatu hal hingga terlambat." saran pastor Yakub.
"Baik." Kekhawatiran Elisabeth semakin menjadi, mengingat tak satu pun keluarga Darian hadir diruangan itu.
Elisabeth berjalan menuju bangku dimana adiknya duduk. Ponselnya dititip di tas sang adik. Dengan cemas Elisabeth menghubungi Darian.
Rejected? Darian menolak panggilanku? Oh no, Darian please!
Elisabeth berulang ulang menghubunginya namun hasilnya tetap sama. Elisabeth memberanikan diri menghubungi kakak Darian.
"Tuuutt tuuut tuuut"
"Elis?" jawab Delilah kakak Darian.
"Kak apa yang terjadi?" tanya Elisabeth.
"Elis maaf, terjadi masalah besar dirumah. Sepertinya pernikahan kalian dibatalkan."
"Batal?" teriak Elisabeth. "Masalah apa kak?"
"Mendingan kamu minta penjelasan dari Darian soal wanita yang mengaku ngaku tengah hamil anaknya. Sudah dulu ya kakak buru buru ini." Sambungan telpon dengan Delilah langsung terputus saat itu juga.
"Apa yang terjadi? Batal? Apa pernikahannya batal?" bentak papa William Petra dengan wajah merah padam. Satu tangan kanannya melayang mendarat dipipi Elisabeth. "Bikin malu keluarga. Kamu berhasil membuat papa malu. Sejak awal papa sudah bilang tidak setuju dengan Darian itu. Tapi kamu begitu keras kepala. Papa menyesal hadir disini sekarang."
"Maafin Elis pa, Elis nggak bermaksud mempermalukan papa," jawab Elisabeth dengan mata memerah. Bulir airmata yang sudah menumpuk dipelupuk matanya jatuh berderai membasahi pipinya.
Bukan tamparan papanya yang membuatnya menangis. Tapi fakta bahwa Darian tak kunjung tiba lah yang membuat dadanya sesak menahan kecewa.
"Ayo Ma, Fred, Jenie pergi dari sini. Papa tidak ingin menjadi tontonan disini." Papa menarik lengan istrinya dan adik adiknya agar meninggalkan tempat itu.
Elisabeth menoleh ke arah para undangan yang mulai bergunjing dibelakangnya. Sebagian dari mereka adalah keluarga, namun beberapa adalah orang orang penting yang diundang papanya untuk menjadi saksi pemberkatan nikahnya.
Tante Lilian adik dari papa menghampiri Elisabeth.
"Kamu yang sabar Elis, papamu sangat tempramen jadi wajar jika dia marah seperti itu. Btw gimana bisa batal? Kamu nggak telpon keluarga mereka lagi, ada masalah apa?" Wajah Lilian dipenuhi penasaran yang begitu besar. Yang pastinya sebagai info untuk bahan pergunjingan di grup keluarga.
"Elis juga masih belum tau tante," jawab Elis sembari menarik nafas panjang. Elisabeth berusaha menahan tangisnya namun cairan bening itu tetap saja lolos dari bendungan pelupuk matanya.
"Ya sudah, coba kamu lap air matamu itu. Dandanan mu jadi belepotan gitu," ucap Lilian kemudian meninggal kan Elisabeth yang masih tersedu.
Daniah dan Suny saudari ibunya menghampiri Elisabeth.
"Sayang, sudah lah. Jangan nangis terus seperti itu. Kamu lihat? Orang orang makin bergunjing melihat mu menangis seperti itu. Toh kamu wanita yang sangat cantik, masih banyak pria pria diluar sana yang ingin menikahi mu," ucap Dania keluar begitu saja dari mulutnya.
What? Banyak pria? ucapan Daniah begitu menohok. Elisabeth masih berharap Darian akan datang menemuinya saat itu.
"Yah, jika memang pernikahannya batal. Biar tante yang bicarakan ke pastor. Para undangan masih menunggu loh," ujar Suny.
Elisabeth tak mengeluarkan sepatah katapun. Suny langsung menghampiri pastor dan mengumumkan pembatalan pemberkatan nikah sore itu.
Para undangan satu persatu keluar dari ruang gereja itu. Pergunjingan tak pernah berhenti keluar dari mulut mereka. Sesekali para tamu itu melirik ke arah Elisabeth yang masih terdiam dikursi paling depan.
....
Elisabeth keluar paling terakhir dari gedung bermenara menjulang tinggi itu. Gaun putih satin melekat indah dibadannya. Segegenggam buket bunga masih dipegangnya erat.
Elisabeth duduk ditangga depan gereja sembari melepas tiara dan veil dari kepalanya.
Kemana aku akan pergi sekarang? Tiada tempat untukku menyandarkan kepalaku. Jika pulang sekarang pasti papa akan mengusirku. Seperti biasa saat papa sedang emosi papa sering mengusir Elisabet dari rumah.
Elisabeth teringat akan sosok Darian. Satu satunya pria yang menjadi sandaran hidupnya. Darian satu satunya orang yang menjadi tempat curhatnya. Tak terasa air mata kembali mengalir dari kedua pelupuk matanya.
Pukul 19:15. Jam digital dari ponselnya terus mergerak meninggalkan waktu.
"Allahu akbar Allahu Akbar. Allahu akbar Allahu akbar." Suara adzan dari masjid terdekat melantun merdu ditelinga Elisabeth.
"Ya Allah, jika Engkau benar ada, berikan yang menurutmu terbaik untukku," gumam Elisabeth sembari menatap kubah masjid berjarak 100 meter diujung jalan. Dalam hatinya nya membayangkan Darian akan datang menemuinya saat itu. Walaupun terlambat Elisabet pasti akan memaafkan Darian.
Darian, aku yakin kamu pasti akan datang menemuiku. Kamu berhutang penjelasan kepadaku...
Elisabeth melipat tangan didadanya. Gaun satin tipis itu tak mampu menahan angin malam yang berhembus menusuk kulitnya.
Sementara tiga orang pria pejalan kaki dengan gamis dan peci melintas dihadapannya. Elisabeth nampak memundurkan sedikit badannya masuk ke dalam pagar gereja sembari menutupi belahan bagian dadanya yang nampak sexy. Sesekali Elisabet mengelus lengannya berulang ulang agar mengurangi hawa dingin yang menusuk pori pori kulitnya.
Setelah sepuluh meter pria pria itu melintas, seorang pria muda kembali kehadapan Elisabeth.
"Nona?" ucap pria itu sembari menyodorkan shal yang dipakainya kepada Elisabeth.
Elisabeth menengadah ke wajah pria itu. Silau lampu membuatnya kurang menyimak wajah pria tersebut. Tanpa berkata kata pria itu langsung melingkarkan shal itu ke leher Elisabeth, menutupi sebagian dada.
"Pakailah, anda pasti kedinginan." Suara beratnya begitu lembut. Sepoi angin berhembus menguak aroma wangi dari shal itu.
"Ini," Elisabeth tak sempat berterimaksih. Pria itu langsung meninggalkannya seraya berlari kecil mengejar kedua orang pria lainnya yang sudah hampir tiba dimasjid.
Shal putih itu membantu Elisabeth melawan dinginnya malam. Dalam sekejap kehangatan itu membuatnya terlelap, mengobati rasa lelah dan pedih yang dialaminya hari itu.
Sejam setelah Elisabeth tertidur...
"Tin tiin tiiiinn." Suara klakson mobil.
"Elish," suara seorang wanita berulang ulang memanggil Elisabeth dari dalam mobil. Tak digubris oleh Elisabeth wanita itu akhirnya turun dari mobil.
"Elisabeth Cahaya Petra, bangun. Sempat sempatnya kamu tertidur disini? Ayo cepat ikut aku pulang," ucap Resty sembari menarik tubuh Elisabeth agar bangun dari duduknya.
"Resty." Elisabeth terbangun menatap Resty. Semburat kemarahan nampak dari wajah Resty.
"Kamu ngapain disini? Apa batal menikah sudah membuat otakmu rusak? Ayo cepat kita pulang," Resty menarik pergelangan tangan Elis agar bangkit dari duduknya.
"Tapi Res, gimana jika Darian datang?"
"Haha, Elis, jika Darian akan datang. Mereka pasti sudah datang sejak sore tadi. Sekarang ini sudah hampir jam 9 malam. Come on, pernikahan kalian tuh udah batal," Resty menceramahi sepupunya yang lemot itu dengan perkataan yang lumayan pedas agar dirinya sadar.
Darian... Inikah akhir dari hubungan kita?
Sesak dan perih dalam batinnya terasa benar benar menyiksa. Elisabeth membayangkan jika Darian kini bukan lagi tunangannya. Darian bukan lagi calon suaminya. Darian kini bukan bagian dari dirinya lagi.
"Tidak, Res. Darian bukan orang seperti itu. Sejak kecil dia sangat menyayangiku. Dia pria yang sangat bertanggung jawab." Air mata terurai seketika. Isak tangis Elisabeth pecah seakan tak ingin percaya kenyataan yang dihadapinya.
"Huuffffftttt, buktinya Darian nggak ada disini Lis. Dia sudah meninggalkanmu. Sekarang kamu ikut aku dulu. Besok kamu bisa menemui Darian dan minta penjelasan darinya." Resty menarik tangan Elisabeth masuk kedalam mobilnya.
Sambil sesenggukan Elisabeth pasrah dibawa pergi Resty dari tempat itu.
*Next **🔜*
Satu malam berlalu tanpa kejelasan pasti.
Disebuah kamar, Elisabeth bolak balik tak tentu arah. Pikirannya masih melayang menunggu pagi menjelang. Tak bisa tidur, tentu saja! Gelisah? ya pasti. Siapa sih yang bisa tenang setelah gagal dihari pernikahannya.
"Sudah pukul 7," guman Elis sambil melompat dari ranjang nyaman dan empuk namun tak bisa membawanya tertidur semalaman.
Elisabeth menuju ruang tengah apartemen Resty. Sebuah ponsel yang batrainya telah terisi penuh diraihnya dari atas nakas. Sambil melepas kabel carging dari ponselnya, Elisabeth langsung menghubungi nomor ponsel Darian.
"Tuuuut tuuutp tuuut," suara pertanda ponsel Darian sedang aktif namun tak kunjung diangkatnya.
Berulang ulang Elisabeth menggubungi Darian namun hasilnya sama, tidak diangkat Darian.
"Ah, kak Delilah." Elisabeth menghubungkan panggilan ke nomor Delilah kakak Darian.
"Tuuut tuuutt tuut."
"Hai Elish," sapa Delilah masih dengan suara malas dan serak pertanda baru saja bangun tidur.
"Kak, Darian dimana kak. Elish ingin bicara dengannya," ucap Elisabet lembut sedikit memohon.
"Loh, dia belum hubungi kamu?"
"Belum kak, Elis telponin tapi nggak diangkatnya. Apa Darian disitu, berikan ponsel kakak padanya, Elis ingin ngomong sebentar dengannya."
"Jam berapa ini? Jam 7? Bentar kakak cek dulu. Nanti kakak telpon kamu balik," ujar Delilah langsung menutup ponselnya.
Elisabeth mondar mandir diruangan tengah berukuran sedang, berharap harap cemas Darian akan menghubunginya kali ini.
Beberapa saat, ponsel dalam genggaman Elisabeth berbunyi.
"Kak Delilah?"
"Elish, Darian baru saja ke bandara. Dia sudah kembali ke Bandung pagi tadi. Maaf Elis, kakak tak bisa membantu apa apa, sebaiknya kamu ikhlaskan Darian untuk Reyna, dia sekarang tengah mengandung anak Darian..."
Kedua tangan Elisabeth jatuh terkulai dikedua sisi badannya. Delilah masih sedang bicara namun Elish tak mampu lagi mendengar ucapan dan petuah dari wanita yang lebih 7 tahun diatasnya.
Nggak, Elish harus menemui Darian. Sebelum Elish mendengar langsung dari Darian, Elish nggak akan percaya ucapan kalian. Elish percaya Darian nggak akan menyakiti Elish. Dia sudah janji akan selalu mencintai Elish hingga maut memisahkan. Elish harus ke Bandung sekarang.
Elisabeth bergegas kembali ke kamar mengambil shal putih dan hampir menabrak Resty yang juga sedang terburu buru karena hampir terlambat masuk kantor pagi itu.
"Loh udah bangun Lis?"
"Res, aku pergi dulu," pamit Elisabeth.
"Kamu mau kemana?" teriak Resty pada Elish yang sudah bergerak keluar dari pintu apartemennya.
"Pulang Rey," sahut Elisabeth yang sudah berada diluar.
Elisabeth menghubungi Jenie adik perempuannya.
"Tuuuuttt."
"Jen kamu dimana?" tanya Elisabeth.
"Aku sudah dijalan menuju sekolah, kenapa kak?" tanya Jenie.
"Papa masih dirumah?"
"Seperti biasa, jam 7 pagi papa sudah ke toko. Kakak pulang aja, kayaknya papa sudah nggak marah deh." ujar Jenie.
"Oke Jen, kakak dalam perjalanan pulang sekarang. Udahan dulu ya. Bye.”
"Iya kak, bye." sambungan telpon berakhir.
Beberapa menit Elisabeth tiba dirumahnya. Rumah nampak sepi seperti biasanya. Ayah dan Ibu setiap hari sibuk mengurus toko sepatu yang dikelola ayahnya sejak Elisabeth masih bayi. Ayahnya keluar rumah pukul 7 pagi dan akan pulang ke rumah pukul sepuluh malam. Kesibukan ayahnya membuat Elish jarang bertemu ayahnya.
Pagi itu pak Dadang dan istrinya bi Minah yang mengurus rumah. Pak dadang sedang membersihkan taman sedangkan bi Minah sibuk memasak didapur. Kedatangan Elisabeth tak dihiraukan kedua orang tua tersebut. Bahkan saat Elish kembali keluar dengan koper ditangannya tidak mereka sadari.
Elish langsung menuju bandara dengan taxi yang telah menunggunya didepan rumah.
...
Elisabeth tiba dibandara Husein Sastranegara pukul 12:25 siang itu.
Sepanjang perjalanan Elis mengenang setiap kenangan yang dilewatinya bersama Darian dikota pelajar itu. Walaupun beda jurusan namun Elisabeth bahagia bisa terus bersama Darian disatu universitas yang sama.
Kebersamaan mereka sejak kecil membuat Elisabeth tak bisa jauh dari pria pujaan hatinya itu, apapun yang terjadi hidup Elisabeth hanyalah untuk Darian.
Elisabeth akhirnya tiba disebuah rumah sederhana yang disewa Darian selama dua tahun terakhir setelah diterima bekerja disebuah perusahan bonavit dikota itu.
Elisabeth dengan hati hati membuka pagar besi yang hanya dikait asal dari dalam. Dengan sebuah harapan besar akan segera bertemu Darian, Elisabeth melangkah pasti menuju pintu rumah tersebut.
"Tok tok tok."
"Tok tok tok."
Tak sampai beberapa saat, gagang pintu bergerak, kemudian pintu terbuka separuh.
"Elish? kamu ngapain disini?" Mata Darian terkejut setengah mati melihat Elisabeth yang sedang berdiri didepan pintu.
"Aku terus menghubungimu, tapi kamu nggak angkat," jelas Elish.
"Kamu paham nggak sih situasi sekarang, aku..." Darian menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan wajah frustasi. "Aku akan mengurus masalahku dulu baru aku akan menghubungimu," lanjut Darian.
"Ada masalah apa?" Wajah polos Elisabeth meminta penjelasan lebih.
"Pokoknya sekarang kamu pergi dulu, aku akan menghubungi mu saat keadaanku sudah lebih baik. Percayalah, aku pasti akan selalu bersama mu," ujar Darian. Ucapannya bergetar seolah ada keraguan pada ucapannya.
"Aku ke sini hanya ingin tau, kenapa kemaren kamu nggak datang? Apa kamu baik baik saja?" tanya Elisabeth dengan suara lemah namun dengan wajah yang sarat akan keingintahuan.
"Aku, belum bisa jelasin sekarang. Ceritanya panjang."
Elisabeth menatap lekat wajah Darian. Pandangannya tak pernah menatap mata Elisabeth seperti biasanya. Kepanikan bercampur khawatir terpancar disana.
"Sayang?" suara seorang wanita memanggil Darian.
Mata Elisabeth langsung tertuju ke arah sumber suara. Pintu telah seutuhnya terbuka. Sosok Reyna berdiri tegap disitu.
"Rey, Elisabeth datang kesini karena," Darian berusaha memikirkan cara memberi sebuah penjelasan yang tepat kepada Reyna.
"Reyna? Kamu Reyna Widodo teman satu angkatan jurusan Teknik..." Elisabeth teringat sosok Reyna teman satu angkatan namun beda jurusan. Saat ada kelas gabungan Reyna pasti akan datang menemui Elisabeth dan duduk bersamanya.
"Ya saya Reyna, kamu sudah ingat saya?" tanya Reyna dengan senyuman mengulum menahan ejekan diwajahnya.
"Reyna," tegas Darian mencoba memperingati Reyna.
"Haha." Tawanya pecah seketika. "Elisabeth kamu jangan terlalu naif. Jangan berpikir kalau kamu bisa menikahi Darian. Dia menikahi kamu hanya karena kasihan. Kalian berpacaran? Cih, Itu hanya perasaan mu saja Elish, selama ini Darian telah membohongi mu! Aku tengah hamil anaknya, mana mungkin dia menikah denganmu! Kamu wanita bodoh...," Dibalik tertawa Reyna yang terbahak. Wajahnya melotot garang menatap Elisabeth, wanita yang selalu dilindungi Darian.
"Hentikan Reyna," bentak Darian.
"Benarkah itu Darian?" Wajah Elisabeth memelas menatap Darian. Elisabeth berharap sebuah sanggahan keluar dari mulut Darian atas ucapan Reyna.
"Sejak kuliah semester satu hubungan kami sudah sangat intim, mana mungkin aku bohong." Reyna kembali berucap dengan sarkastik. Sembari melangkah dan memeluk lengan Darian.
"Darian? Jadi selama ini?" wajah memelas Elisabeth berubah menjadi sebuah kesedihan yang tak terbendung. Seakan tak sanggup lagi menatap kedua orang dihadapannya yang saling menggandeng satu sama lain.
"Maafkan aku Elish, aku selalu berjanji akan menjaga mu. Tapi nyatanya, aku ingkar. Aku nggak bisa memenuhi janjiku, Reyna sekarang tengah mengandung anakku," ucap Darian sambil menunduk. Bahasa tubuhnya berbicara maaf, wajahnya menyiratkan sebuah penyesalan.
Jadi aku harus pergi sekarang? Jadi aku harus meninggalkan Darian sekarang? Aku harus melupakannya?
"Darian?" Tangisan telah terurai di pipi Elish.
"Pergi, kamu tuli. Apa kamu nggak punya otak?" bentak Reyna.
Seketika Darian melepas tangan Reyna yang menggandeng lengannya erat. Tangan Darian berpindah ke atas bahu Elisabeth. "Elish, walaupun hubungan kita bukan hubungan spesial lagi, tapi aku akan memenuhi janjiku. Aku akan menjaga mu, kamu bisa menganggapku sebagai kakakmu. Kamu nggak usah sedih. Jika kamu butuh sesuatu aku akan membantumu, ok?" Ucapan Darian begitu tulus. Senyuman lembut keluar dari kedua sudut bibirnya.
"Tapi aku mencintaimu Darian, sedari dulu aku hanya mencintaimu." Kepalanya tertunduk, airmata tak henti hentinya keluar dari pelupuk matanya.
"Salah mu dewe, siapa suruh kamu nggak bisa membahagiakan Darian?" gumam Reyna.
"Jadi selama ini kamu tidak bahagia bersamaku?" tanya Elisabeth.
"Mana mungkin dia bahagia, lihat dirimu. Kamu pasti tidak tau bagaimana membuat lelaki bahagia." Reyna kembali memeluk Darian mesra.
Pemandangan menyakitkan itu membuat Elisabeth menutup matanya.
Aku bisa apa? Darian tak bisa ku pertahankan lagi. Dunia ku akan runtuh tanpa Darian, raga ku hidup namun hatiku akan mati untuk selamanya...
Elisabeth meninggalkan tempat itu membawa asa yang terkoyak.
*Next **🔜*
Terik sang mentari tak menghentikan langkah Elisabeth menyusuri trotoar menuju terminal Leuwi panjang. Ia ingin secepatnya meninggalkan kota tua yang sarat akan kenangan manisnya bersama Darian. Ups jangan menyebut nama pria itu lagi, Elish sedang berusaha sekuat hati pergi dari bayangan pria itu. Mungkin akan susah karena jejaknya telah melekat sejak kecil dalam benak Elish, namun apa salahnya jika dia sok kuat dan bertekat lepas dari bayangan pria pembohong sekaligus penghianat itu?
Elisabeth bergegas menuju antrian Bus paling depan yang sudah hampir penuh terisi penumpang. Artinya Elish tak perlu lagi menunggu berjam jam hingga bus penuh. Mendapat jatah kursi kedua paling belakang sudah membuatnya puas. Tinggal dua penumpang lagi maka Bus akan melesat jauh meninggalkan kota itu.
Elish bukan lah orang yang mawas akan situasi disekelilingnya. Entah siapa atau apa yang terjadi disekitarnya dia tak peduli. Memasuki tol Cimahi kenangannya bersama Darian terbesit dalam benaknya. Airmata yang tak bisa dibendung disertai isak yang tersedu sedu membuat semua penumpang menoleh ke arahnya. Dan memang Elish tak peduli, dirinya asik dengan memori memori lama diselingi irama isak tangis bersama bumbu airmata yang semakin deras.
Sesekali Elish melap airmata dan ingus dari hidungnya dengan shal putih yang melingkar dilehernya. Syal harum dan lembut berasal dari seorang pria asing dari dunia antah berantah.
"Nona?" suara lembut pria yang duduk disamping Elish menyapa.
Elish tak mengindahkan suara itu. Matanya yang merah dan membengkak terus menatap keluar jendela.
"Nona?" panggil pria itu sekali lagi dengan suara yang ngebas khas pria kekar nan perkasa.
Ihhh apaan sih? nggak liat orang lagi nangis apa?
"Saya hanya..." terdiam.
"Apa apaan sih? Nggak liat apa kalau aku lagi sedih?" Elish berucap dengan tiba tiba dan kasar. Matanya masih menoleh keluar jendela. Dirinya tau persis jika saat itu dirinya berada dalam keadaan terjelek seumur hidupnya. Mata panda akibat nggak tidur semalaman, mata bengkak akibat nangis sepanjang hari dan hidung merah akibat terus menerus menarik ingus yang selalu saja keluar dari hidungnya.
Sekali lagi Elish menarik shal yang menggantung dileher kemudian membuang ingus yang terus menerus meler dari kedua lobang hidungnya.
Tanpa bicara sepatah katapun, pria itu langsung menyodorkan sapu tangan kecil kedepan wajah Elisabeth kemudian menyilangkan tangan didadanya.
Selang beberapa saat Elisabeth terlelap...
Entah berapa jam dirinya terlelap, tiba tiba Elisabeth terbangun saat bus memasuki pintu terminal Cililitan. Saat mobil bus melambat, Elish langsung melompat turun dari mobil tersebut, khasnya para penumpang yang hidup diibukota Jakarta.
Jarak terminal dengan tempat kos kosan Elis tak seberapa jauh. Elish memutuskan tinggal di sekitar situ agar aksesnya untuk menemui Darian di Bandung tak terlalu ribet karena begitu dekat dengan terminal.
Sambil menarik koper kecil, Elish akhirnya tiba didepan pagar kos kosan wanita yang lumayan ketat peraturannya.
Setelah menaiki tangga samping Elisabeth tiba didepan pintu kamarnya. Kamar yang telah ditinggalkannya sejak seminggu yang lalu tampak rapih tertata. Beberapa foto Darian dan dirinya terpajang di dinding kamar tersebut.
"Sampah," gumam Elisabet marah sembari menarik semua bingkai bingkai itu kemudian membuangnya kedalam tempat sampah.
Beberapa boneka beruang pink dan pinguin yang tertata di sandaran ranjangnya masuk kedalam kantong sampah besar. Baju baju serta sepatu pembelian Darian ikut bergabung dalam kantong sampah berwarna hitam menjadi barang rongsokan. Selimut lembut serta serta bantal berbentuk hati tak luput menemani beberapa temannya.
Setiap barang yang memiliki kenangan dengan Darian disingkirkan dari kamar itu. Empat kantong sampah besar berwarna hitam telah penuh terisi. Elisabeth sadar jika selama ini hidupnya terlalu bergantung dengan Darian. Kamar itu hampir terlihat kosong tak ada apapun.
Elish menarik kantong kantong sampah itu keluar dari kamar dan membuang mereka disebuah bak sampah besar di sebrang jalan.
"Non Elish, anda disini?" sapa pak Dodi seorang pria tua yang bertugas membersihkan halaman kos kosan itu. Pak Dodi sedikit heran, Elish pamitan waktu itu mau pulang menikah. Kok dia disini?
Elisabeth tersenyum simpul. "Iya pak, saya hanya kembali sebentar."
"Ooohhh." pak Dodi manggut manggut pertanda mengerti. Elish meninggalka pak Dodi terburu buru sebelum beberapa pertanyaan beruntun menyerangnya.
"Elish," teriak Linda sahabat seatap yang kamarnya terletak dipaling ujung koridor.
"Yes," sahut Elis.
"Loh balik cepat banget?" Linda berjalan cepat menghampiri Elish.
"Gue balik bentar doang. Ada keperluan lain di Jakarta jadi sekalian mampir," jelas Elisabeth.
"Hmmm, tapi dari undangan yang kamu share seharusnya kan hari ini adalah resepsi pernikahan mu. Oh ya, jam 7 kan?" ujar Linda penuh tanya.
"Hhmmm iya, undangan ditunda." Elish berbohong. Dirinya tak ingin mengumbar kisah pahitnya saat itu. Dirinya pasti akan menangis terisak, dan semua orang pasti akan semakin kepo bahkan mungkin mereka akan menertawakan Elish. "Oh ya Lind, aku buru buru nih. Harus langsung pergi, soalnya masih banyak urusan."
Elisabeth masuk ke kamar mengambil tas dan ponselnya kemudian keluar lagi. Linda masih berada didepan pintu. Sosok Linda si tukang gosip pasti sedang memperhatikan mata sembab Elisabeth.
"Bye Lin." Elisabeth bergegas meninggalkan tempat itu.
Remang senja mulai berganti gelap, dalam hati Elisabeth begitu bahagia. Dirinya tak perlu menundukkan kepala menyusuri lorong itu hingga ke jalanan depan. Beberapa tetangga dan warung warung makan langganan pasti langsung mengenalinya jika saat itu terang benderang. Elish hanya berusaha menghindari rasa haus gosip dari emak emak kopleks situ. Dirinya benar benar tak ingin mendapat serangan mulut mulut pedas yang siap menghardiknya atas kegagalan hidupnya kini.
Ah, aku harus secepatnya pergi dari sini. Lagian cutiku masih ada dua minggu lagi. Selama dua minggu aku akan menenangkan diriku. Aku butuh sebuah rencana matang sebelum kembali menemui teman kampus dan teman kerjaku. Sekarang aku hanya ingin secepatnya melupakan Darian.
"Shi iitt," Elisabeth membayangkan Darian saat ini sedang bermesraan, berduaan bersama Reyna.
"Laki laki penipu, kamu tega meninggalkan ku. Kamu penghianat. Aku akan membencimu seumur hidupku. Aku tak akan pernah lagi menyebut namamu, dan aku tak pernah ingin melihat wajah sok baikmu itu. Go to hell you bastard," teriak Elisabeth sembari menginjak menendang dan melompat diatas sebuah kemasan air mineral yang tergeletak dipinggir jalan.
Elisabeth menatap marah ke arah botol tersebut seolah itu adalah Darian. Dalam sekejap botol itu telah kempes dan tak berbentuk lagi.
Elisabeth menghentikan sebuah taxi yang sedang melintas. "Taxi," teriak Elish.
Taxi yang lampunya tengah menyala pertanda sedang tak berpenumpang, langsung berhenti tepat didepan Elisabeth.
"Bang, cafe The Beaten di jalan cendrawasih."
"Baik Neng."
Mobil meluncur perlahan menembus kemacetan kota Jakarta saat itu. Sopir taxi yang tahu akan seluk beluk jalanan Jakarta Timur, berusaha menghindari kepadatan arus dari arah Bogor. Setelah melewati beberapa jalanan kecil, Elisabet akhirnya tiba ditempat tujuannya.
The Beaten. Sebuah cafe yang sedang populer dikalangan anak muda. Makanan yang serba lezat dengan harga yang serba murah.
Elisabeth langsung menarik selembar menu makanan kemudian duduk di sala satu kursi yang paling luar.
"Mi goreng, dan Es cincau," Elisabeth memesan salah satu makanan dan minuman yang paling tidak disukai Darian.
Beberapa saat kemudian, seporsi mi goreng bersama minuman cincau telah tersaji dihadapan Elisabeth. Ia segera menghabiskan makanan itu tanpa sisa.
"Mulai sekarang aku akan melakukan semua hal yang kamu tidak suka. Aku pasti bisa melupakanmu." gumam Elish sambil menatap sebuah menu makanan berkuah. "Aku nggak akan pernah makan lontong sayur, bahkan semua makanan yang ada lontongnya nggak akan ku makan. Kamu begitu menyukai sate dan lontong sayur."
Mata Elisabeth kembali berkaca kaca. Teringat betapa rakusnya Darian saat makan menu lontong diwarung Bu Darsih seorang penjual lontong dekat kampus.
Jika saja pernikahan kita tidak batal. Saat ini kita sedang bersama. Namun kenyataannya, kamu malah sedang bersama wanita lain. Kamu jahat Darian.
Elisabeth kembali larut dalam kesedihan. Sambil menangis Elisabeth berpikir keras bagaimana caranya agar dia bisa menyingkirkan Darian dari otaknya.
*Next **🔜*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!