Om Duda Teman Bapak
Part 1
"Cari siapa, Om?" tanyaku dari balik pintu.
Seorang laki-laki perawakan tinggi, hidungnya bak perosotan anak TK. Senyumnya irit banget, seirit mak ngasih gula dalam kopi bapak.
"Pak Bani ada?" tanya lelaki tampan itu.
"Bapak belum pulang kerja, Om."
"Kalau Bu Ida?" kembali ia bertanya.
"Emak? Emak sudah lama meninggal. Om siapa, ya?"
"Kamu Dea, kan?" lelaki itu malah balik bertanya. "Yang dulu suka manjat pohon tapi gak bisa turun?"
Lah, siapa sih dia? Kok tahu aib masa laluku. Kan jadi malu, ketahuan bahwa aku pernah manjat pohon tapi tiba-tiba gak tahu cara turun, padahal itu pohon bukan sekali, dua kali aku panjat.
"Aih ... Mak jang, siapalah Om ini?" tanyaku heran dengan ekspresi wajah dibikin seolah sedang berpikir padahal gak mikirin apa-apa juga.
"Saya, loh. Om Yudi. Masa kamu lupa?
Om Yudi? Ah, aku ingat. Dulu waktu aku masih kecil sekitar umur delapan tahun. Bapak mempunyai usaha produksi meubel dan Om Yudi karyawannya. Bukan sebatas karyawan tetapi orang tuaku sudah menganggap Om Yudi seperti adiknya sendiri.
"Jadi tamu dibiarkan berdiri diluar, nih?" ledek Om Yudi karena dari tadi aku hanya berdiri di balik pintu yang kubuka sedikit saja. Jaga-jaga seandainya itu orang jahat, aku bisa dengan cepat menutup pintunya. Ya, secepat menyebarnya gosip.
"Om mau nunggu Bapak? Di luar aja, ya, Om!" pintaku. Tidak mungkin aku menerima tamu lawan jenis walaupun itu kerabat orang tuaku.
Setelah mempersilahkan Om Yudi duduk, aku masuk ke dalam rumah untuk membuatkan minum. Rencanaku ingin membuatkan teh es tetapi apa mau dikata, gula sudah bersih sampai dasar toples, gula saja enggan berlama-lama bersama kami di rumah ini. Apa lagi kamu yang punya segalanya, eh?
"Silahkan diminum, Om! Minuman paling sehat di muka bumi ini." Aku menyodorkan segela air putih dicampur beberapa petak batu es.
Om Yudi hanya tersenyum mendengar ucapanku. Lalu meneguk hampir setengah gelas.
"Enak, ya, minuman paling sehat di muka bumi ini," ucap Om Yudi sambil mengangkat gelas seperti orang ingin bersulang.
Kami tertawa bersama sesaat kemudian.
"kenapa bisa pindah ke sini?" tanya Om Yudi sedikit heran.
Rumah ini jauh berbeda dengan rumahku dulu, dulu Bapak seorang pengusaha. Hingga suatu saat sekitar dua tahun yang lalu saat aku kelas dua SMA, usaha Bapak bangkrut. Bapak ditipu rekan bisnisnya. Untuk memenuhui pesanan yang cukup besar, Bapak menggadaikan serifikat rumah. Namun setelah barang jadi dan diantar kepemesan ternyata pembayaran barang itu telah lunas dan diambil oleh rekan bisnis Bapak seluruhnya. Dia menghilang, tidak ada lagi perjanjian tujuh puluh persen untuk Bapak.
Untuk menalangi gaji karayawan Bapak terpaksa jual aset yang ada. Termasuk rumah kami. Rumah itu dijual uang nya sebagian ditutupi untuk pinjaman bank, sebagian untuk gaji karyawan dan sisanya inilah dibelikan lagi rumah oleh Bapak. Rumah tipe 36.
Pernah kubertanya, "Kenapa rumahnya dijual, kenapa tidak biarkan saja disita bank."
Bapak menjelaskan, kalau disita bank, kami tidak dapat apa-apa dan gaji karyawan tidak bisa terbayar, mungkin saja kami juga tidak tahu akan tinggal dimana lagi. Akan tetapi, kalau rumah ini dijual kami bisa menutupi pinjaman di bank, gaji karyawan terbayar dan kami juga bisa beli rumah walaupun sederhana.
Pemikiranku tidak sampai kesitu saat itu. Aku hanya tahu sekolah dan minta uang jajan. Sebagai anak tertua seharusnya aku membantu memikirkan masalah yang ditanggung orang tuaku tetapi Bapak dan Emak menyuruh kami anaknya tetap saja fokus dengan sekolah.
Hampir satu jam aku menemani Om Yudi mengobrol di teras depan rumah, barulah Bapak pulang mengendarai motor metic, satu-satunya peninggalan di masa kejayaan kami setelah semuanya terjual.
"Om, itu Bapak pulang. Dea masuk dulu, ya," pamitku dan langsung berdiri. Meninggalkan Bapak dan Om Yudi dalam obrolan mereka.
Pekanbaru, 15 maret 21
Om Duda Teman Bapak
Part 2
Tidak lama bapak pulang, aku melihat Widi--adikku juga pulang dari sekolah. Kami berjarak sekitar lima tahun, sekarang Widi berusia tiga belas tahun dan duduk di kelas dua sekolah menengah pertama (SMP). Aku yang mengintip dari balik jendela dapat melihat Widi menyalami Bapak dan Om Yudi lalu dia pun masuk kedalam rumah.
"Hayo, ngitip, ya? Entar bintilan, loh, matanya ngintip-ngitip," ledek Widi saat melihatku mengintip dari balik jendela.
"Kata emak, kalau ngintip orang mandi baru bintilan," kelakarku sampai lupa menahan tawa, syukur tidak terdengar sampai luar.
"Siapa, sih, Kak, teman Bapak itu? Cakep, ya, seperti capten Ri." Aku lihat ekspresi wajah Widi tersenyum malu-malu.
"Apaan, sih, ganjen." Aku menolak pelan kepala Widi menggunakan jari telunjuk.
"Itu Om Yudi. Dulu waktu kakak umur delapan tahun, Om Yudi pernah bekerja dengan Bapak. Kamu masih kecil saat itu jadi nggak ingat apa-apa." Kembali Dea menjelaskan.
***
Sepiring ikan tongkol balado campur jengkol dan sayur bening bayam telah selesai aku masak. Setelah melaksanakan salat Magrib, kami akan makan malam bersama, duduk lesehan diruang tengah beralaskan tikar singguh moment penting di rumah ini.
Biasanya saat makan ini lah kami saling bercerita tentang apa saja yang kami alami, Bapak selalu siap menjadi pendengar yang baik. Beliau berusaha menjadi pengganti sosok emak bagi kami anaknya.
"Pak, teman bapak yang tadi sore cakep, ya." Widi membuka pembicaraan.
"Wis jangan aneh-aneh, masih kecil mata udah jelalatan," sanggah Bapak.
"Tadi kenapa dikasih air putih saja, De?"
"Maaf, Pak. Gula kita habis." jawab Dea setelah selesai mengunyah makanannya. "Pak, kenapa belum ada satu pun lamaran kerja yang Dea kirim diterima, ya, Pak? Kerja apa aja asal halal Dea mau, Pak. Jadi pembantu juga nggak apa-apa."
"Kalau Kak De jadi pembantu, Entar nyonya rumahnya kalah saing, masa ada pembantu cakep," celetuk Widi membuat Bapak tertawa. "Kalau nggak, Kak De nikah aja, hitung-hitung ngurangi beban Bapak." Widi tertawa lepas setelah mengatakan itu.
Dea hampir saja melempar sendok yang dipegangnya ke arah Widi.
"Widi, nggak ada yang jadi beban bagi Bapak. Nggak ada yang jadi beban. Kalian memang tanggung jawab Bapak."
"Maaf, Pak. Canda nikah!" Widi nyengir kuda.
***
Di depan cermin aku berdiri merapikan pakaian. Baju kemeja lengan panjang dan celana kulot aku kenakan dipadukan dengan pasmina menutup kepala, penampilan yang cukup sederhana. Pagi ini ada panggilan interview di sebuah baby shop, semoga saja aku diterima bekerja disana dengan modal ijazah SMA.
Saat keluar rumah ternyata sudah ada Om Yudi dan Bapak yang sedang mengobrol.
"Ngapain Om, pagi-pagi udah bertamu?"
"Kamu, ya, De, nggak pernah berubah. Ngomong asal nyeplos aja,"
"Emang Dea power ranger pake berubah segala. Dea pamit, ya, Pak." Aku menyalim tangan Bapak.
"Dea pamit, Om. Assalamualaikum ...," ucapku santun.
Aku berjalan keluar komplek menunggu angkot tujuan baby shop tempat aku akan interview. Aku tidak boleh telat. Baru saja interview masa harus telat.
Tidak ada satu angkot pun yang lewat. Sudah tiga puluh menit aku menunggu. Ojek pangkalan juga tidak ada lagi, semenjak ojek online menjamur. Ojek pangkalan tergerus karena kata mereka tarif ojek online lebih murah daripada ojek pangkalan.
Bagaimana aku akan order ojek online, tidak ada aplikasi ojek online di hp jadulku yang telah retak seribu ini. Hp dengan RAM 1, tidak akan cukup mendownload bermacam aplikasi.
"Ya Allah. Tolonglah hamba-Mu yang cantik ini, adalah orang yang baik hati sudi memberiku tumpangan." Doaku di tepi jalan sambil menegadahkan tangan.
Tinggal lima belas menit dari jadwal. Apa mungkin terkejar ini. Wajahku mulai berkeringat karena panik, untung saja perutku tidak mules, aku punya kebiasaan jelek, kalau sudah panik pasti perut tiba-tiba mules.
Tiiiittttt ...
Suara kelakson mobil yang berhenti tepat di depanku. Saat kaca mobil turun, ternyata itu Om Yudi.
"Ayuk naik! Biar saya antar," seru Om Yudi.
Ah, tidak sempat basa basi. Aku naik saja yang penting sampai tempat tujuan.
"Kamu mau interview, ya?" tanya Om Yudi setelah aku masuk ke dalam mobil.
"Kok tau, Om?" tanyaku heran.
"Bapak kamu tadi bilang."
Mobil melaju ketempat tujuanku. Setelah tiba di depan toko, aku segera turun dan mengucapkan terima kasih kepada Om yudi.
Dengan langkah terburu-buru aku memasuki toko, sehingga aku menabrak seorang ibu muda yang sedang menenteng pakaian bayi, sehingga berjatuhan di lantai.
"Maaf, Bu, saya tidak sengaja," mohonku.
Tetapi bukannya memaafkan, Ibu itu langsung marah-marah dengan hinaan.
"Kamu tau, nggak? Pakaian-pakaian anak saya ini lebih mahal dari harga pakaian kamu," caci ibu muda itu.
Ibu ini lebay sekali, bukan juga kotor pakaian anaknya itu, sudah bicara dengan nada teriak, niat banget dia mempermalukan orang-orang miskin seperti aku.
Karena ibu tersebut tidak berhenti mengomel, akhirnya karyawan toko memanggil pemilik toko tersebut untuk meredah omelan nyonya kaya.
"Kamu Dea, yang akan interview hari ini?" tanya wanita yang menurutku dialah pemilik baby shop ini.
"Iya, Bu," jawabku santun.
"Alah, mau jadi karyawan aja udah ceroboh, bagaimana sudah jadi karyawan. Kalau saya jadi Mba, nggak akan saya terima karyawan model begini," omel Nyonya kaya itu.
"Saya juga nggak akan betah ngadapi consument seperti anda," celetukku.
Aku kesal, dari tadi cuma menghina aja kerja Nyonya kaya itu. Hanya karena lihat penampilan saja. Lihat saja entar, mana tau saja aku jadi cinderella yang ketemu pangeran.
Nyonya kaya itu ternyata bukan mulutnya saja yang cepat, tetapi tangannya juga. Dia hendak melayangkan tamparan ke arahku mungkin tidak terima dengan ucapanku.
Tiba-tiba ada tangan kekar menahan tamparan itu. Setelah kulihat ternyata Om Yudi. Loh, kok, bisa dia tiba-tiba muncul.
"Saya tidak suka anda menghina dia dan bersikap kasar, bukannya dia sudah minta maaf." hardik Om Yudi kepada Nyonya kaya itu.
Melihat dari penampilan Om Yudi, sudah terlihat bahwa dia berkelas. Raut malu dan serba salah terlihat dari wajah Nyonya kaya dan pemilik baby shop.
"Anggun, saya tidak izinkan Dea kerja di tempat kamu. Sepertinya kamu tidak bijaksana jadi atasan." Om Yudi menarik tanganku keluar toko dan masuk ke dalam mobilnya.
"Kenapa Om tiba-tiba muncul?" tanyaku heran.
"Karena saya memang nungguin kamu, saya kenal pemilik toko ini, dia teman mantan istri saya. Orangnya sombong, arogan. Saya nggak yakin aja kamu betah kerja dengan dia. Filling saya ternyata benar," jelas Om Yudi lalu iya meneguk air mineral yang dari tadi sudah ada di mobilnya.
"Makasih, ya, Om. Udah membela Dea,"
"Nggak usah manggil, Om. Umur kita cuma beda dua belas tahun. Panggil Mas Yudi!"
"Ogah, kan Om teman Bapak, tentu Dea harus panggil Om."
"Terserah kamu, entar kamu yang dikira jalan sama Om-om. Jadi sugar baby." Om Yudi tertawa puas.
Aku hanya merungut memajukan bibirku beberapa centi meter.
"Siapa juga yang mau jalan sama, Om," upatku kesal.
Pekanbaru, 22 maret 21
Om Duda Teman Bapak
Part 3
Semangatku tiba-tiba hilang, sudah terbayang dari rumah akan mendapatkan pekerjaan ternyata ambyar.
"Kamu kenapa, De?" tanya Om Yudi setelah aku menghembuskan nafas berat seakan penuh beban.
"Gimana, ya, Om? Tadi De udah ngebayangin dapat kerjaan. Bulan depan udah bisa bantu-bantu Bapak dari gaji Dea. Ternyata bertemu Ibu nggak ada akhlak, padahalkan, bajunya nggak kotor, Om. Lebay banget," omelku tak jelas.
"Begitulah manusia, De. Saat mereka berada di atas lupa suatu saat pasti ada masa dia turunnya ...."
"Seperti kami, ya," selaku memotong perkataan Om Yudi.
Om Yudi hanya tersenyum. Kami terdiam dalam lamunan masing-masing. Sudah pasti aku memikirkan bagaimana cara mendapatkan pekerjaan lagi. Kasihan Bapak harus kerja sendiri memenuhi biaya harian dan biaya sekolah Widi.
Aku tak tahu kalau Om Yudi memikirkan apa. Tetapi aku bisa menangkap dari sudut mata ini bahwa sesekali dia mamandangku. Ah, mungkin dia sedang mengasihaniku.
"Om, Dea jadi pembantu di rumah Om Yudi aja, deh. Bisa, nggak?" tanyaku tiba-tiba. Aku lihat Om Yudi kaget dengan pertanyaanku.
Dia menatapku cukup lama. "Om, lihat jalan, Om. Entar nabrak," ucapku terlihat Om Yudi seperti salah tingkah.
"Kita makan siang dulu, yuk!" mobil ditepikan Om Yudi tepat di depan warung soto padang. "Om yang traktir. Cepat jangan bengong aja!" Om Yudi keluar dari mobil.
Keadaan warung sederhana ini sangat ramai. Mungkin karena sudah jam makan siang. Masih tersisa dua bangku di sebuah meja panjang. Mau tidak mau, kami duduk di situ. Om Yudi duduk disebelah kananku. Di depan kami ada ibu-ibu sedang menyantap semangkok soto dan ada sepiring nasi putih juga.
"Kamu mau minum apa, De?" tanya Om Yudi kepadaku sesaat soto pesanan kami diantar.
"Teh es aja, deh, Om," jawabku tanpa malu dan basa-basi.
Tiba-tiba ibu di depan kami duduk, tersedak kuah soto. Ia buru-buru menghabiskan segelas air putih. Tatapan ibu itu seakan menghakimiku.
"Anak zaman sekarang, lebih suka jalan sama Om-om," upat ibu itu. Upatannya masih bisa kudengar.
Kesal banget dengarnya. Tetapi Om Yudi kenapa seperti sedang menahan ketawa. Aku menoleh ke kanan, Om Yudi sedang menahan tawa. Aku lihat ke depan, ibu itu sedang berbicara dengan orang di sebelahnya dengan bibir yang maju mundur syantik. Ah, ciri khas emak-emak kompleks menggosip.
"Makanya, sudah saya bilang jangan panggil om. Kena gibah, kan?" ledek Om Yudi tepat di telingaku.
"Kita bikin ibu-ibu itu tambah sewot, Om." Membalas bisikan Om Yudi.
"Kamu mau ngapain, De? Jangan ngadi-ngadi!" Raut wajah Om Yudi tampak bingung.
Secepatnya aku menjalankan aksiku. Sendok dan garpu yang terletak di dalam tempat sendok, kuambil dan mengelapnya dengan tissue.
"Ini Om sendoknya." tuturku manja sambil sambil meletakkan sendok ke dalam mangkok soto.
"Teh nya biar aku yang adukkin, ya, Om?"
Om Yudi mengangguk seakan mengikuti permainanku.
"Udah, yuk, Om makan, entar kita jadikan shopping-nya."
Ibu-ibu itu semakin sinis melihatku. Buru-buru mereka menghabiskan makanannya dan segera pergi.
"Pelakor!" gumamnya saat akan meninggalkan meja.
Aku seakan tidak mendengarnya, agar mereka tambah kesal. Siapa suruh ikut campur urusan orang. Tidak tahu apa-apa sudah ikut campur. Sakit jantung sekalian, deh, aku bikin.
"Kamu jail, ya, De," ucap Om Yudi setelah ibu-ibu itu pergi.
"Siapa suruh ngegosip, di depan orangnya langsung pula, tuh," ucapku sewot.
Om Yudi hanya senyum-senyum mendengarku mengomel.
"Kenapa Om senyum-senyum?" hardikku.
"Gila, nih, bocah. Tiba-tiba bisa ganjen, tiba-tiba bisa jadi nenek lampir. Masih waras, kan, De?" Om Yudi memegang keningku denga punggung tangan kanannya.
"Eh, berani nyentuh-nyentuh anak gadis orang!"
Om Yudi kembali tertawa.
"Kamu beneran mau jadi pembantu di rumah saya?" tanya Om Yudi
"Beneran Om, asal digaji!" jawabku antusias.
"Pembantu udah punya, sih. Jadi baby sitter anak saya aja, mau? Tapi kamu 24 jam dengan dia." Kembali Om Yudi mengajukan tawaran. "Kalau masalah gaji, jangan khawatir, lumayan, kok, gajinya. Asal jangan kamu galakin anak saya!"
"Anak Om umur berapa?" tanyaku sebagai bahan pertimbangan.
"Masih bayi. 6 bulan."
"Gila, anak masih bayi, udah ditinggal ibunya?" gumamku tanpa rem.
"Ups, pertanyaan out of topic" balas Om Yudi tampaknya dia tidak suka membahas itu.
"Dea mau Om, tapi Dea bicarakan lagi sama Bapak."
Om Yudi memberikan nomor ponselnya. Kabari dia jika diizinkan oleh bapak. Agar dia bisa menjemputku dan meminta izin sama bapak.
***
Seperti biasa, makan malam menjadi waktu favorit kami. Selesai makan malam aku mengutarakan semua rencanaku. Bekerja menjadi babt sitter anak Om Yudi. Bapak keberatan kalau aku harus nginap di sana. Tidak baik dilihat dan dinilai orang. Anak gadis dan duda tinggal serumah walaupun status majikan dan pembantu.
"Jadi bagaimana, Pak?" Aku memastikan lagi kepada Bapak.
"Kalau kamu boleh pulang hari, masuk pagi pulang sore. Pasti Bapak izinkan, De," gumam Bapak.
"Coba Dea bicarakan lagi sama Om Yudi, ya, Pak."
Bapak mengangguk menanggapi pernyataanku.
Selesai makan malam, kami bersiap salat Isha berjamaah, Bapak sebagai imam. Setelah selesai salat, kami melakukan kegiatan masing-masing. Aku dan Widi masuk kamar. Widi mulai mengambil buku dan mengerjakan tugas-tugasnya.
"Kak, sekarang ujian nasional harus pakai laptop sendiri. Bagaimana nasibku, Kak?" pertanyaan Widi membuatku bangun. Sekarang aku sudah duduk di tepi tempat tidur.
"Doain aja kakak jadi kerja jadi babu sitter, ya. Gaji pertama cukup untuk DP, entar kita kredit laptop," gumamku menghibur hati Widi.
Aku tahu rasanya jadi Widi saat ini. Bagaimanapun aku harus bisa bantu Bapak. Minta ke bapak juga tidak mungkin, bapak saja kerja serabutan. Di sebuah pabrik kayu.
"Hubungi cepat om ganteng itu, Kak. Nego sama dia. Pasti Om itu mau aja. Sepertinya dia suka sama Kakak," celoteh Widi.
"Apaan, sih, buruan belajar kakak mau tidur," Aku mengambil bantal, lalu menutup wajahku dengan bantal.
Tiba-tiba ponsel jadulku berdering. Membuatku terpaksa bangun lagi saat mata akan terpejam.
"Cie, cie, cie! Yang dibicarakan langsung merasa," ledek Widi.
"Apaan, sih," gerutu Dea, kesal diledekin adiknya terus.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan, aku mengutarakan keberatan Bapak jika harus menginap. Beruntungnya, Om Yudi setuju. Dengan jam kerja pukul 7 pagi sudah harus tiba di rumah dan pulang setelah Om Yudi tiba di rumah.
Setelah panggilan diakhiri aku bersorak girang. "Om Yudi setuju, Wid. Bentar lagi kamu punya laptop untuk belajar."
"Alhamdulillah, Kak. Terima kasih, ya, Kak. Kakak benar-benar pengganti emak." Widi memelukku erat.
Pekanbaru, 29 maret 21
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!