Semakin hari. Semakin bertambahnya bulan. Caca mulai kesulitan menyembunyikan kehamilannya.
Perutnya yang semakin membesar membuat gadis itu tak bisa menyangkal lagi dari cecar sang nenek.
Padahal ia sudah mencoba menyembunyinkan perutnya yang semakin membesar dengan baju-baju yang lebih longgar. Menyamarkan anak yang sudah semakin besar dalam perutnya. Untung saja perawakan kecil dan kehamilan pertama, membuat ia tak terlalu ketara jika sedang hamil.
"Sekarang kamu jujur sama nenek. Anak siapa itu, Ca?" mama Shinta sedang menangis tersedu-sedu dalam dekapan sang suami.
Ada sorot kecewa dari mata tua keduanya, meski pun mereka tak menghakimi dan menyalahkannya yang mungkin saja terlibat pergaulan bebas hingga membuahkan anak.
Caca menunduk. Ikut menangis. Menangis karena merasa bersalah telah mengecewakan nenek dan kakek yang sudah sangat menyayanginya.
"Harus bagaimana kami mempertanggung jawabkan ini kepada bundamu nanti, jika kami bertemu di atas sana, Ca?"
Caca tak berani menjawab. Juga tak berani melihat mata yang menatap kecewa ke arahnya.
"Siapa laki-laki itu Caca? nenek tidak akan marah. Anakmu perlu ayah. Dan laki-laki itu harus mempertanggung jawabkannya."
Setelah berbagai usaha tak membuahkan hasil. Kedua pasangan paruh baya itu menghubungi Tara-anak mereka sekaligus ayah angkat Caca-untuk membujuk gadis yang masih setia menunduk untuk memberitahukan siapa ayah dari bayi di kandungnya.
"Mama kenapa menangis?" Tara di buat heran begitu memasuki rumah orang tuanya.
Pria itu bukan tidak pernah datang ke sana. Hampir setiap hari ia datang untuk memastikan keadaan istri siri dan anak dalam kandungannya dalam keadaan sehat. Meski Caca tidak pernah mau menyapa atau berbicara padanya.
Bagi Tara, asal bisa melihat Caca sehat, itu sudah lebih dari cukup.
"Coba kamu bujuk anakmu supaya mau memberitahu kita siapa ayah bayi yang di kandungnya itu! anak itu perlu ayah. Dan laki-laki brengssek itu harus bertanggung jawab!" mama Shinta yang sudah sangat frustasi karena cucunya tetap bungkam, meluapkan amarahnya pada Tara. Bahkan jantungnya sudah terasa nyeri saat Caca mengaku hamil begitu wanita paruh baya itu memergoki Caca yang baru selesai mandi dan hanya mengenakan handuk. Terlihat jelas perutnya membulat dan menonjol.
"A-apa?" Tara bukan kaget mendengar kabar Caca hamil. Ia hanya kaget orang tuanya tahu gadis itu tengah hamil.
"Anakmu hamil! katanya beberapa minggu lagi sudah memasuki bulan ke tujuh! dan ini pasti terjadi saat Caca tinggal di rumahmu!" mama Shinta semakin tidak bisa mengontrol emosinya.
"Bagaimana caramu menjaga anak gadismu Tara?! bagaimana bisa Caca sampai hamil?! Mama harus bilang apa sama Nindi di alam sana?!" pertanyaan yang tidak bisa mama Shinta ucapkan pada Caca, wanita itu luapkan pada putranya.
"Mah. Mama tenang dulu ya." Tara mendekati mamanya yang mulai memegangi dadanya. Takut terjadi apa-apa. "Bibi tolong ambilkan minum!!" pinta Tara pada asisten rumah tangga orang tuanya.
"Bagaimana mama bisa tenang... Caca hamil.. Tara.. Caca hamil.." mama Shinta masih tergugu dalam tangisnya.
"Kamu tanya siapa laki-laki itu! siapa tahu Caca mau memberitahu jika kamu yang bertanya."
Tara menelan ludahnya kelat. Menatap Caca yang juga menatapnya-tatapan pertama setelah Caca memberitahukan kabar kehamilannya berbulan yang lalu-menggelengkan kepala halus. Seakan tahu jika Tara akan mengungkap kebenarannya.
"Mah.. Sebenarnya.. itu.." Caca menggeleng kuat dengan mimik khawatir. Mencegah Tara mengakui anaknya.
"Kita nggak bisa terus-terusan seperti ini, Ca! mama sama papa juga berhak tahu! karena itu cucu mereka sendiri." Tara sudah tidak tahan lagi dengan Caca yang selalu melarangnya untuk memberitahu kedua orang tuanya.
Caca membulatkan matanya dan menatap khawatir ke arah mama Shinta yang mengernyitkan dahi bingung. Begitu juga dengan papa Tara.
"Maksud kamu apa? kalau bayi Caca lahir, itu bukan cucu mama. Tapi cicit mama." ralat mama Shinta.
"Bukan mah. Itu cucu mama dan papa." Tara sudah tidak peduli lagi dengan tatapan tajam istri sirinya.
"Cucu bagaimana?"
"I-itu.. Itu.. Anak Tara." meski awalnya sempat ragu dan takut. Akhirnya Tara mampu mengungkapkannya juga.
Hening sesaat. Baik Caca maupun Tara menunggu dengan was-was reaksi kedua orang tua Tara.
Bukan hanya takut pasangan paruh baya itu akan menentang hubungan mereka. Tapi juga takut akan kesehatan mama Shinta.
"Mama tahu Caca anak kamu. Makanya mama bilang, anak dalam kandungan Caca itu cicit mama."
Mama Shinta masih belum mengerti maksud perkataan putranya. Atau sedang mencoba menyangkalnya.
"Maksud Tara. Anak dalam kandungan Caca itu anak Tara mah, pah." cicit Tara yang bisa di dengar semua yang ada di ruang keluarga.
Caca sudah menunduk pasrah. Jika nanti ia akan di usir karena di tuduh menggoda ayah angkatnya sendiri. Tak apa. Asal bukan sang nenek yang jatuh sakit.
"Maksud kamu, apa?!" papa Tara terlihat menahan emosi dengan menggeratkan rahangnya. "Jangan main-main kamu, Tara!"
"Tara tidak sedang bercanda pah. Sudah satu tahun lebih kami memiliki hubungan spesial. Dan beberapa hari sebelum aku menikahi Devi, aku sudah menikah secara siri dengan Caca." aku Tara dengan wajah menunduk. Takut dengan amarah sang ayah.
Karena meski pria itu penyayang. Tapi juga sangat tegas. Tak menolerir kesalahan.
Tara dan Nindi adalah orang tua angkat Caca. Mereka sudah lama menikah dan belum juga mendapatkan keturunan. Saat itu Nindi mengunjungi sahabatnya yang sakit keras. Hidup banting tulang demi membiayai putrinya yang baru menginjak bangku menengah pertama, karena suaminya telah meninggal dunia.
Sayang, nyawa ibu kandung Caca tidak bisa di selamatkan. Membuat Nindi memutuskan untuk mengangkat Caca sebagai anak angkatnya yang juga di setujui oleh suami dan keluarga besar mereka.
Nindi dan Tara menyayangi Caca layaknya anak kandung mereka sendiri. Hingga saat Caca menginjak bangku SMA, Nindi ikut berpulang untuk selamanya.
Dari kesedihan dan kesendirian Tara yang di tinggal istri tercinta untuk selama-lamanya itu, Tara mulai menatap Caca sebagai seorang wanita. Timbul benih-benih cinta yang tidak bisa ia kendalikan hingga membawanya pada hubungan yang rumit dengan Caca.
Kini bahkan gadis yang dulu ia anggap anak tengah mengandung buah hatinya. Di saat status Tara sudah menjadi suami dari wanita lain.
Tara memang lebih dulu menikahi Caca sebelum menikah secara resmi dengan Devi, istri sahnya secara hukum dan agama.
Dan karena Tara yang tidak bisa mencintai dan menyentuh Devi, wanita itu kembali berhubungan dengan mantan kekasihnya, dan mengandung anak dari pria yang bukan suaminya itu.
BUGH
"Dasar bajjingan!! kau dititipi Caca oleh Nindi untuk kau jaga!! bukan untuk kau rusak seperti ini!!" papa Tara yang murka langsung menarik kerah kemeja Tara dan menghajarnya.
Membuat Caca dan Mama Shinta memekik. Takut Tara tak selamat melihat bagaimana cara ayah itu memukuli anaknya.
"Papa menyayanginya seperti cucu papa sendiri!! dan kau malah menghamilinya!!"
BUGH
"Jika kau menyukainya, kau bisa katakan itu baik-baik dan menikahinya secara baik-baik!! bukan merusaknya dan menyakitinya seperti ini!! bagaimana pun kau sudah menikah dengan Devi!! dan dia juga tengah mengandung anakmu!!'
Tara pasrah mendapat setiap amukan dari papanya. Darah segar keluar dari beberapa titik yang robek seperti bibir, hidung dan pelipis matanya.
Orang tua Tara memang belum mengetahui jika anak yang Devi kandung bukanlah anak dari Tara.
"Devi bukan hamil anakku, pah! itu anak dengan kekasihnya! selama ini aku tak pernah menyentuhnya, karena aku sudah menjalin hubungan dengan Caca!!" biarlah. Biar sekalian orang tuanya tahu semua kebenarannya.
Mama Shinta yang sudah syok dengan kabar kehamilan Caca. Di tambah pengakuan Tara. Juga melihat bagaimana putranya di pukuli oleh suaminya. Di tambah lagi pengakuan Tara jika ia tak pernah menyentuh Devi dan wanita itu hamil anak kekasih gelapnya. Membuat wanita paruh baya itu mengerang kesakitan.
"Nenek!!" seru Caca yang langsung berlari ke arah neneknya. "Nenek kenapa? nenek kuat, nek!!" tangis Caca pecah melihat neneknya kesakitan seperti itu karena dirinya.
Jeritan Caca membuat Tara dan sang papa langsung menengok dan panik. Mereka langsung melarikan mama Shinta ke rumah sakit karena wanita itu sudah tidak sadarkan diri.
*
*
*
Dicerita ini alurnya sedikit berbeda dengan "Cunta Terlarang" ya. Karena ketidak tahuanku tentang hukum menikah dengan anak tiri, jadi di cerita ini aku rubah menjadi anak angkat.
Semua menunggu mama Shinta dengan cemas di depan UGD. Papa Tara masih menatap tajam Tara. Seakan sangat membenci anaknya sendiri.
"Lihat akibat perbuatanmu, hah?! kamu hamili cucu papa. Dan kamu buat mama sekaratt!"
Tara langsung mengangkat wajahnya ketika sang ayah mengucapkan kata sekaratt.
"Punya anak satu, tapi tak tahu di untung! lebih baik tak punya anak!!"
Hati Caca mencelos saat mendengarnya. Begitupun Tara yang merasa amat bersalah. Bahkan pria itu tak berani menatap wajah Caca. Takut melihat tatapan iba dari gadis itu. Mengingat dirinya begitu berantakan sehabis di pukuli oleh ayahnya.
"Mas, di obatin dulu ya?" bujuk Caca dengan suara mencicit.
Tara menggeleng. Enggan meninggalkan tempatnya kini. Ia harus tahu keadaan mamanya sekarang.
"Kalau di obatin disini aja, gimana?"
"Terserah!" sahut Tara dengan suara yang terdengar ketus. Bukannya ia marah dengan Caca. Hanya rasa khawatir dan bersalah membuatnya reflek mengucapkannya dengan ketus seperti itu.
Caca yang tadi langsung menunduk sekarang berdiri dan akan melangkah pergi. Merasa Tara tak menginginkan keberadaannya. Tapi ia juga tak tega meninggalkan.
"Mau kemana?" cegat Tara dengan suara yang masih dingin. Tak hangat seperti biasa.
"Mau panggil suster buat obatin, kamu." Caca berlalu tanpa menunggu tanggapan dari Tara.
"Sabar, nak. Ayahmu hanya sedang banyak pikiran." mengusap perutnya yang sudah terlihat membesar dengan belaian lembut.
***
Hari-hari berlalu. Keadaan masih sama. Mama Shinta masih tak sadarkan diri dalam masa kritisnya. Tak ada yang bisa di lakukan selain menunggu keajaiban. Dokter sudah mengupayakan segala yang terbaik yang mereka bisa.
Tara masih sama. Diam dan hanya menjawab ketika di tanya. Hanya sesekali pulang untuk membersihkan diri.
Begitu pun ayah Tara. Tapi pria paruh baya itu masih lebih terlihat hidup di banding dengan putranya.
Devi? wanita itu datang satu kali dengan kedua orang tuanya.
Kedua orang tua Devi yang sudah tahu masalah yang membuat mama Shinta masuk rumah sakit, mengucap beribu maaf atas kesalahan putri mereka yang cukup memalukan.
Bahkan orang tua Devi sendiri yang akan mengajukan gugatan cerai. Mereka akan membebaskan anaknya memilih sendiri kebahagiaan dalam hidupnya. Termasuk menikah dengan ayah dari bayi yang di kandung.
"Makan dulu mas. Nanti kamu sakit." bujuk Caca untuk kesekian kalinya.
Tara tidak akan makan jika tidak di paksa. Semakin hari semakin susah membujuk Tara yang sedang putus asa karena mama Shinta tak kunjung sadar.
"Kamu bisa diem gak sih?! kepala aku udah cukup pusing! denger kamu ngomong bikin tambah pusing tau gak?!" bentak Tara yang merasa bosan mendengar Caca membujuknya untuk makan.
Pria itu sangat menyayangi mamanya. Jadi sebenarnya wajar jika Tara bersikap demikian. Apa lagi mengingat kondisi mama Shinta yang kian menurun.
Tapi karena hormon kehamilan membuat Caca syok dan semakin merasa jika kehadirannya tidak di harapkan.
"Maaf.." cicit Caca dengan mata berlinang. "Aku pulang dulu. Makanannya aku taruh disini. Nanti kalau mas sudah lapar-"
"Iya. Iya. Bawel banget sih kamu!"
Caca menelan ludahnya kelat. Berdiri dan meninggalkan Tara dengan hati bergemuruh.
***
Semalaman penuh Caca menangis. Hingga rasa lelah membuat wanita berbadan dua itu tertidur menjelang pagi.
Merasa bersalah. Merasa di acuhkan dan tak dibutuhkan.
Bahkan hingga hari berganti sore lagi dan Caca tidak datang ke rumah sakit pun, tidak ada yang mencari atau hanya sekedar menanyakan kabarnya. Apa ia baik-baik saja? atau kenapa ia tak datang ke rumah sakit?
Caca tertawa getir. "Dia bilang menyayangiku. Tapi nyatanya dia tak peduli."
Otaknya tak mampu lagi berpikir jernih. Dengan keputusan yang sudah bulat ia ambil, Caca mengemas semua barang-barangnya. Bersiap meninggalkan rumah itu dan segala kenangan dan orang-orang di dalamnya.
Bukannya ia tak tahu keadaan Tara yang tengah mengakhawatirkan mama Shinta. Tapi rasanya sudah cukup ia membuat kekacauan dalam keluarga yang dulu sangat menyayanginya itu.
"Non Caca mau kemana?" seorang asisten rumah tangga menghampirinya dengan tergopoh dan khawatir melihat Caca menuruni tangga dengan membawa sebuah koper.
Caca tersenyum dan mengusap lengan atas wanita paruh baya itu.
"Terimakasih ya bi. Selama Caca di sini, bibi udah baik banget sama Caca. Manjain anak Caca juga." Caca mengelus perut besarnya.
Biasanya jika ia mengidam sesuatu selalu asisten rumah tangga itu yang mencarikan atau membuatkan.
Meski sejak lama wanita itu tahu Caca hamil. Tapi tak sekalipun ia membocorkan rahasia Caca. Justru ia sangat menjaga dan memanjakan Caca yang bernasib malang itu.
"Non Caca mau kemana?" tanya wanita itu lagi karena belum mendapatkan jawaban.
"Caca mau pergi. Sudah cukup Caca buat keributan di sini. Sampai bikin nenek kritis." air mata mengalir begitu saja.
"Tapi nanti tuan Tara pasti khawatir nyariin, non." Karena Tara yang menitipkan Caca pada asisten rumah tangga ibunya itu. Untuk menjaga dan menuruti semua keinginan Caca.
"Dia sudah gak peduli bi." lirih Caca dengan getir.
"Maksud non Caca?" bukanya tidak mendengar. Hanya rasanya tidak mungkin saja majikannya tidak peduli pada istri dan anak yang di kandungnya itu.
"Dia pasti lagi khawatir banget jagain nenek. Aku gak mau bikin dia tambah pusing."
Tak mau semakin lama berada di rumah itu, Caca melenggang pergi. Sebelum keberanian dan niatnya yang sudah bulat menguap begitu saja.
Meski entah kemana ia akan pergi nanti. Tak mungkin ia pergi ke rumah Rani. Karena pasti sahabatnya itu akan menjadi orang pertama yang di cari Tara begitu pertama kali sadar dirinya menghilang.
Caca menghela napas. Dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Membawa mobilnya berputar-putar tak tentu arah.
Hingga pada sebuah jalan sepi, mobilnya terasa aneh. Dan ketika turun untuk melihat apa yang terjadi, ternyata roda belakangnya kempes.
"Pantesan goyang. Gimana dong.. Aku gak pernah ganti ban mobil." menengok kanan dan kiri yang begitu lengang. Tak ada satupun kendaraan atau orang berjalan kaki yang lewat.
Jam di pergelangan tangannya menunjukan pukul sebelas malam.
Pantas saja jalan begitu sepi. Terlebih itu bukan jalan raya yang di lalui banyak kendaraan jika siang hari.
Mencoba mencari bengkel atau montir yang bisa di panggil ke tempat, di internet.
Dari banyak bengkel yang ia hubungi. Tak satu pun dari mereka yang bisa membantunya.
Hingga sebuah ketukan pada kaca jendela di sampingnya membuatnya berjingkat kaget. Pasalnya ia tak mendengar kendaraan lewat sebelumnya.
Tak berani menoleh, Caca langsung mengunci mobilnya agar tidak bisa di buka dari luar. Takut-takut jika itu orang jahat, mengingat tempat itu begitu sepi.
Tapi bukannya pergi. Gedoran semakin mengencang.
*
*
*
Caca hadir lagi.. maaf jika lama hihihi
Rasanya baru beberapa beberapa menit Tara terpejam ketika papanya membangunkan dirinya.
"Mama sadar." hanya satu kata itu yang terucap dari mulut pria yang sangat ia hormati.
Ia langsung berlari berdiri di depan pintu ruang ICU dimana mama Shinta terbaring lemah.
Mama Shinta tengah di periksa dokter dan beberapa tenaga medis lainnya.
"Tadi papa lagi jagain mama. Tiba-tiba mama bangun. Mamamu manggil Caca. Lebih baik kamu jemput dia kemari. Mama sepertinya merasa bersalah pada gadis itu." tak sedikitpun papa Tara menatap anaknya ketika berbicara.
"Nanti setelah Tara melihat mama, Tara jemput Caca, pah." Ia bahkan sampai melupakan gadis yang sudah dua hari tak kelihatan itu. Dan pertemuan terakhir mereka juga jauh dari kata baik.
Entah apa Caca mau bertemu dengannya lagi.
"Kondisi pasien sudah stabil dan bisa di jenguk. Tapi tolong jangan membuat pasien syok atau emosi dulu, atau kondisinya akan kembali memburuk."
Tara mengangguk dan mengucapkan terimakasih pada dokter yang sudah merawat ibunya. Menyusul papanya yang sudah lebih dulu masuk untuk melihat keadaan sang ibu.
"Caca mana, Tara?" suara lemah dari mama Shinta menyambut Tara yang baru memasuki ruangan.
"Caca di rumah, mah. Kasihan kalau disini. Gak baik untuk kandungannya."
Mama Shinta mengangguk. "Besok mama mau ketemu. Mama mau minta maaf."
"Mama tidak usah banyak pikiran dulu. Caca pasti ngerti."
"Kasihan anak itu. Kamu harus segera menikahinya Tara."
"Iya. Nanti Tara akan mengurus pernikahan Tara dengan Caca setelah mamah sembuh. Makanya mama harus sembuh. Mama gak mau menyambut cucu mama lahir nanti."
Mama Shinta meneteskan air matanya begitu mendengar kata cucu. Teringat pada Devi yang sudah begitu ia manjakan. Tapi ternyata itu anak dari selingkuhannya.
Tapi mama Shinta juga tidak bisa menyalahkan Devi. Karena anaknya sendiri pun melakukan hal yang sama. Anaknya menghamili wanita lain.
"Bagaimana dengan Devi?"
Tara menghela napas. Kenapa ibunya keras kepala sekali, memikirkan banyak hal di saat kondisinya sendiri saja sedang tidak bagus.
"Devi akan segera mengajukan cerai, biar ayah dari anaknya bisa segera bertanggung jawab."
Mama Shinta mengangguk. Kali ini lebih bisa lapang dada menerima semua. Karena semua tidak bisa dirubah. Nasi telah menjadi bubur yang hanya bisa kita nikmati dan syukuri.
"Maafin mama yang sudah memaksa kamu untuk menikah dengan Devi. Seharusnya kamu bilang jika kamu menyukai Caca."
Tara tak tahan melihat ibunya menangis. "Sudahlah, mah. Aku nggak pernah nyalahin mama kok. Justru aku yang minta maaf sudah membuat mama susah dan sakit seperti ini."
***
Pagi sebelum subuh, Tara sudah kembali ke rumah orang tuanya. Niat hati ingin tidur sejenak sebelum nanti mengajak Caca ke rumah sakit.
Tapi alangkah terkejutnya pria itu ketika mendapati kamar yang istrinya tempati sudah kosong. Sampai ke kamar mandi ia mencari istrinya dan hasilnya nihil.
Bahkan hampir semua baju yang ada di lemari tidak ada.
Hanya tertinggal kaos-kaos yang mungkin sudah tidak muat jika di pakai istrinya yang tengah hamil besar itu.
"BI! BIBI!!" suara Tara menggelegar memecah keheningan pagi buta di rumah besar itu.
Dengan rahang mengeras Tara menuruni tangga dan mencari asisten rumah tangga mamanya berada.
Wanita paruh baya yang tengah berada di dapur datang tergopoh dengan wajah tegang. Tahu apa yang majikannya inginkan.
"I-iya tuan."
"Dimana Caca?!" tatapan tajam Tara membuat wanita itu gemetar.
"Anu.. itu tuan.."
"APA?!" bentak Tara yang tak sabar menunggu jawaban.
"Du-dua hari yang lalu.. Non Caca pergi." suara bibi terdengar mencicit takut. Takut di salahkan, juga takut melihat kemarahan tuannya.
"Pergi kemana maksud bibi?!"
"Bibi ndak tau tuan. Non Caca hanya bilang sudah cukup dia bikin keributan di rumah ini. Begitu katanya tuan. Non Caca juga bawa koper. Tapi ndak bilang mau kemana."
"ARGHH!!!" Tara yang kalap menghamburkan semua barang yang ada di bufet ruang keluarga hingga hancur berkeping-keping. Berserakan memenuhi ruangan yang rapi itu.
Bibi yang takut langsung menjauh dari sana. Takut-takut ia yang kena imbasnya.
"Kamu kemana sih sayang?? maaf jika kemarin aku selalu kasar. Aku hanya sedang kalut." tertunduk menyesali perbuatannya pada sang istri yang bahkan saat ini entah dimana.
Tiba-tiba terlintas tempat yang mungkin di kunjungi Caca jika pergi dari rumah.
Tara langsung menyambar kunci mobilnya dan berlari keluar.
***
Perumahan itu masih sepi dari aktifitas. Jam menunjukan setengah 6 pagi, ketika Tara sampai di depan gerbang rumah Rani.
Hanya Rani satu-satunya sahabat Caca yang ia tahu. Bahkan hubungan kedua gadis itu sudah seperti saudara. Jadi tidak mungkin kan jika Rani tidak tahu keberadaan Caca saat ini.
Setelah menunggu beberapa saat, Rani muncul di ruang tamu masih dengan wajah ngantuk dan baju tidur yang melekat.
"Kenapa, Om?"
Sebenarnya Rani heran kenapa Tara pagi-pagi seperti ini sudah datang bertamu ke rumahnya. Padahal sebelumnya pria itu tidak pernah datang kecuali menjemput Caca yang kadang menginap di sana.
"Caca mana?" tanya Tara langsung tanpa basa-basi.
Dahi Rani mengernyit. "Caca? maksud Om Tara?"
"Caca pasti menginap di sini kan? dia pasti kabur kesini?"
Rani langsung melotot mendengarnya. Apa lagi wajah serius dan panik Tara membuatnya yakin jika pria itu tidak sedang bercanda.
"Maksud Om, kabur apa?"
"Tolong kamu bilang dimana Caca saat ini, Rani. Om khawatir sama dia juga janin dalam kandungannya."
"Janin? Caca hamil?" Rani sangat kaget mendengar kabar ini.
Caca tidak pernah cerita tentang kondisinya yang tengah hamil. Tapi memang tingkah Caca beberapa bulan terakhir terasa aneh. Kadang ingin sesuatu dan harus dapat. Kadang tidak napsu makan dan muntah-muntah.
Tapi Rani tidak pernah berpikir jika sahabatnya itu tengah hamil. Karena jika ada apa-apa pasti Caca cerita padanya. Tapi nyatanya ini tidak.
Apa lagi selama satu bulan ini ia tak bertemu sahabatnya itu.
Caca selalu menghindarinya di masa libur semester ini dengan alasan sedang berlibur dengan keluarga Tara. Yang Rani tidak ketahui sebenarnya Caca hanya tidak ingin Rani melihat keadaan perutnya yang sudah sulit di sembunyikan.
"Caca hamil hampir tujuh bulan. Aku tidak sengaja berkata kasar ketika di rumah sakit. Aku sedang kalut karena mamaku masuk rumah sakit. Tapi begitu aku pulang, Caca sudah meninggalkan rumah beserta baju-bajunya."
Rani masih terpaku dengan kabar yang ia dengar. Semua sungguh mengagetkannya.
"Tapi Caca bawa mobil kan, Om?"
Tara yang tengah menunduk mengangguk lemah.
"Kenapa Om gak minta tolong orang buat ngelacak mobil Caca berada. Mungkin kita bisa tau dimana lokasi terakhir Caca. Karena saya sungguh tidak tau dimana Caca."
Tara langsung mendongak seperti baru saja mendapatkan jakpot. Kenapa ia tak berpikir ke sana. Lagi pula ia juga sudah memasang GPS di mobil Caca ketika baru di beli dulu.
*
*
*
Ayoo dong pencet favorit ❤ sama lieknya 👍 biar othornya semangat.
Ajakin juga yang laim buat meramaikan hihihi
Lopelope kalian semua 🤗🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!