Seorang gadis menangis di bawah guyuran hujan yang begitu deras sore itu, tidak ada orang lain di sana, hanya dirinya seorang. Ia menangis begitu keras sambil menatap dua makam kedua orang tuanya yang dikuburkan beberapa jam yang lalu.
Di saat semua orang sudah kembali ke kediaman masing-masing, gadis itu tetap memilih menangis di depan makam. Ingin pulang, tapi tak tahu pulang ke mana. Mengingat jika saat ini dirinya tak punya apa-apa. Kedua orang tuanya pergi untuk selamanya, meninggalkan dia sendirian dengan utang di mana-mana.
"Ayah, Ibu." ucapnya lirih, menjatuhkan kepalanya di atas makam sang ayah.
"Nona Rania."
Gadis bernama Rania itu menoleh kala mendengar seseorang memanggil namanya, seketika ia menenggakkan punggungnya menatap pria dengan setelan jas rapi sambil memegang payung di hadapannya. Menatapnya dengan wajah datar tanpa ekspresi.
Rania menelan salivanya dengan susah payah, mulai takut menatap wajah pria itu. Ia takut, jika orang itu adalah salah satu rentenir tempat ayahnya meminjam sejumlah uang. Ia takut jika pria itu menyeretnya dan membawanya ke tempat aneh.
"Jangan takut, Nona. Saya bukan orang jahat," ucap pria itu, seolah menyadari hal yang tengah difikirkan oleh gadis di hadapannya.
Pria itu melangkah mendekati Rania, berhenti tepat di hadapan gadis itu lalu mengulurkan tangannya.
"Nama saya Bian, sekertaris sekaligus tangan kanan Tuan Muda Argantara." ucap pria bernama Bian itu, masih mengulurkan tangannya pada Rania.
Gadis itu tetap diam, ia sangat mengenali nama yang diucapkan oleh Bian. Argantara, nama keluarga terpandang di kotanya. Keluarga yang sangat di hormati dengan begitu banyak perusahaan di mana-mana. Salah satu tempat sang ayah meminjam uang.
"Tu-tuan, sa-saya mohon beri saya waktu, saya janji akan membayar Tuan Muda. Jadi sa-saya mohon berikan saya waktu untuk mengumpulkan uangnya," mohon Rania, berharap pria itu memberikan kesempatan padanya.
Bian tidak berkutik, ia tetap diam di tempatnya sambil memandangi wajah pucat Rania dengan bibir yang gemetar karena dingin. Bayangkan saja, Rania sudah duduk selama satu jam di bawah guyuran hujan yang begitu deras, jika dibiarkan sedikit lagi. Maka gadis itu memungkinkan akan sakit.
"Mari kita pergi dari tempat ini terlebih dahulu, Nona. Kita akan bicarakan di jalan nanti," ucap Bian dengan wajah datarnya.
Rania terdiam sejenak, dengan ragu mengangkat tangannya dan meraih uluran tangan Bian padanya.
Gadis itu terdiam saat menghentikan langkahnya tepat di samping sebuah mobil sedan berwarna hitam, menoleh pada Bian yang kini membukakan pintu kursi samping kemudi padanya.
"Silahkan masuk, Nona." ucap Bian, mempersilahkan Rania untuk masuk.
"Sa-saya basah, na-nanti mobilnya kotor." lirih gadis itu, menundukkan kepalanya sambil memainkan jari tangannya yang gemetar.
"Tidak apa-apa, Nona. Silahkan masuk, Tuan Muda menunggu Anda di Mansion."
Rania menoleh menatap pria di sampingnya dengan mata terbelalak, sangat terkejut mendengar ucapan Bian yang mengatakan jika Tuan Muda Argantara tengah menunggunya di Mansion.
Bian menghela nafas pelan, terlihat jelas jika gadis di hadapannya itu sangat terkejut mendengar ucapannya.
"Anda tenang saja, Nona. Tuan Muda tidak akan membunuh Anda," ucap Bian, mencoba menenangkan Rania. Tapi wanita itu justru terlihat semakin takut sambil mengigit kuku jarinya sendiri, "Ayo, Nona!"
Rania tersentak, dengan ragu memasuki mobil dan duduk tenang dengan jantung yang berdetak dua kali lebih cepat karena takut.
Bian segera menutup pintu, mengitari mobil lalu masuk ke kursi kemudi sambil menutup payung yang ia gunakan tadi. Setelah menutup pintu mobil, Bian menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraan roda empat itu menjauh dari sana.
Di tengah perjalanan, Bian sesekali melirik ke arah Rania yang kini memeluk tubuhnya yang gemetaran. Gadis itu tersentak kala tiba-tiba mobil berhenti di tepi jalan yang sepi, ia menoleh dan membelalakkan mata saat Bian membuka jas hitamnya, membuat fikiran buruk mulai hinggap di benak gadis itu.
"Pakailah ini, agar tubuh Anda tidak terlalu merasakan dingin." ucap Bian lembut sambil menyodorkan jasnya pada gadis di sampingnya.
Wajah Rania merona mendengar hal itu, meraih jas itu perlahan dengan rasa malu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Terima kasih," lirih Rania yang hanya dibalas deheman oleh Bian.
Mobil kembali melaju dengan kecepatan sedang ke tempat tujuan, tidak ada yang berbicara hingga mobil tiba di sebuah Mansion yang cukup mewah.
Rania terdiam menatap keluar jendela, keluarganya pernah memiliki mansion atau properti lainnya. Hanya saja semuanya telah hilang, dijual untuk melunasi hutang ayahnya.
"Mari, Nona." ucap Bian, sambil membuka pintu untuk Rania.
Gadis itu mengangguk patuh, keluar dari mobil sambil mengekori Bian mendekati pintu utama Mansion yang mewah itu. Rania tak henti-hentinya kagum saat pintu terbuka, memperlihatkan ruang tamu yang begitu luas di hadapannya.
"Nona Rania."
Rania tersentak menoleh pada Bian yang kini menatapnya dengan seorang wanita paruh baya di sampingnya, menatap pada Rania dengan senyum lembut di bibir, membuat gadis itu teringat akan mendiang sang ibu.
"Ini Bibi Susi, kepala pelayan di Mansion ini." ucap Bian, memperkenalkan wanita paruh baya di sampingnya.
Rania mengangukkan kepalanya sambil tersenyum ke arah wanita paruh baya itu.
"Tolong bantuannya, ya, Bi. Dia harus rapi beberapa menit lagi, setelah itu diantar ke ruangan Tuan Muda." ucap Bian pada Bi Susi.
Bi Susi mengangguk mengerti, lalu menarik lembut tangan Rania hingga mengikutinya. Sedang Bian berjalan keluar dari mansion, meninggalkan Rania yang terus menatap penuh tanya padanya.
"Ayo, Nak."
Rania hanya menunduk sambil mengikuti langkah Bi Susi yang entah ingin membawanya ke mana, sesekali gadis itu akan menatap sekeliling, melihat beberapa wanita yang memakai pakaian pelayan, tengah menatap sinis dan tajam padanya.
"Siapa wanita itu?"
"Apa dia pelayan baru?"
"Ya Tuhan, kenapa wajahnya begitu menyebalkan, ingin sekali aku menghancurkan wajahnya yang sok cantik itu."
Rania hanya diam mendengar hal itu, terus mengikuti langkah kaki Bi Susi hingga tiba di depan sebuah pintu kamar.
"Masuklah, Nona. Bersihkan diri Anda, setelah itu saya akan mengantar Anda untuk bertemu dengan Tuan Muda." ucap Bi Susi dengan senyum lembut di wajahnya.
Lagi-lagi gadis itu mengangguk patuh, mengikuti perintah Bi Susi tanpa bertanya atau membantah.
Setelah selesai mandi dan berpakaian, kini Rania kembali mengekori Bi Susi ke ruang kerja sang Tuan muda. Ia kini hanya mengenakan kaos berwarna kuning yang begitu kebesaran di tubuhnya, dipadukan dengan rok panjang berwarna hitam. Karena hanya pakaian itu yang ia temukan di dalam lemari di kamar itu, selain pakaian pelayan.
Rania menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah pintu ruangan berwarna coklat, ia menelan kasar salivanya saat melihat Bi Susi mengetuk pintu.
Tok! Tok! Tok!
"Tuan Muda, ini saya. Saya datang mengantar Nona Rania," ucap Bi Susi, sedikit berteriak pada sosok di dalam ruangan itu.
"Masuk!"
Tubuh Rania merinding seketika kala mendengar suara dingin nan berat dari balik pintu yang perlahan kini terbuka di hadapannya.
Rania memasuki ruangan itu dengan kepala menunduk, berhenti saat melihat langkah Bi Susi terhenti.
"Bi Susi bisa keluar!"
"Baik, Tuan Muda." patuh Bi Susi, berbalik untuk keluar dari ruangan itu.
Rania menatap punggung Bi Susi yang perlahan-lahan lenyap di balik pintu, menyisakan dirinya dengan sang pemilik Mansion.
"Halo, Nona Rania Odelia." suara dingin nan tajam itu mengagetkan Rania, hingga membuat ia menoleh perlahan dan menatap wajah pria yang memanggil namanya.
Tubuh Rania gemetar ketakutan saat iris matanya bertemu dengan iris mata berwarna biru yang menghanyutkan itu.
Refleks kepala Rania menunduk dalam, mengigit bibirnya yang gemetar ketakutan.
'Ibu, ayah,' batin Rania berteriak memanggil kedua orang tuanya. Gadis polos itu sungguh sangat ketakutan sekarang ini, bagaimana jika pria di hadapannya itu memukulnya?
Pria beriris mata biru itu diam di kursinya, mengetuk pelan jari tangannya di atas meja. Menatap dalam pada sosok gadis yang kini berdiri tidak jauh darinya dengan tubuh gemetar yang terlihat jelas.
Ia menghela nafas kasar, ekspresi dinginnya tidak berubah. Tatapannya tetap tajam bagai belati.
"Tenanglah, Nona Rania. Saya tidak akan membunuh Anda atau menyiksa Anda. Jadi berhenti gemetar ketakutan seperti itu," ucap Revan menekan setiap ucapannya dengan raut wajah dinginnya.
Rania tetap diam menunduk, ia masih takut untuk mendogak menatap wajah sang Tuan Muda.
"Aku bilang angkat kepalamu!" Teriak Revan yang mulai kesal karena gadis di hadapannya tak kunjung mendogak. Memangnya apa yang menarik dari sebuah lantai marmer? Wajahnya bahkan lebih menarik daripada lantai itu.
Seketika Rania mendogak dengan air mata yang mengenang di pelupuk matanya. Nyalinya semakin ciut mendapati tatapan tajam itu, meski Rania akui jika wajah sang Tuan Muda memang sesuai dengan rumor yang pernah ia dengar.
Tampan rupawan, tapi tidak tersentuh sama sekali.
"Kemarilah!" Titah Revan mendominasi, tidak ingin dibantah.
Perlahan Rania melangkahkan kakinya yang gemetar mendekat meja kerja nan panjang milik Revan, berhenti di depan meja dan kembali menundukkan kepalanya.
Rania memejamkan matanya, tersentak kala sebuah map dilemparkan ke atas meja oleh Revan.
"Baca itu!" Perintah Revan, menyandarkan punggungnya dengan wajah angkuh nan dingin sambil melipat tangan yang bertumpu kursi kebesarannya.
Rania diam sejenak, menatap bergantian map di hadapannya dengan Revan.
Lagi-lagi Revan menghela nafas kasar, kenapa gadis di hadapannya itu harus begitu lelet.
"Aku bilang baca itu! Jangan membuat aku mengulang ucapanku untuk ketiga kalinya, karena aku sangat benci dengan hal itu!" Ucap Revan tajam.
Dengan cepat Rania meraih map tersebut, membukanya lalu membacanya dengan seksama.
Bait demi bait ia baca, tidak ada yang salah tapi begitu aneh menurutnya.
Dengan ragu Rania mendogak, memberanikan diri menatap wajah Revan. Meminta penjelasan dari sosok pria di hadapannya.
Revan yang menyadari hal itu, dengan malas meraih ponselnya. Menelfon orang kepercayaannya, karena ia adalah tipikal orang yang tidak suka berbicara panjang kali lebar kali bagi dua sisi.
Rania hanya diam menatap percakapan Revan dengan seseorang di seberang telfon, memejamkan mata karena kaget saat Revan membuang kasar ponsel berlogo Apple itu ke atas meja.
'Ya Tuhan, kasar sekali.' batin Rania.
Mereka tetap diam hingga tiba-tiba pintu terbuka, menarik perhatian Rania yang seketika menatap sosok Bian berjalan mendekatinya dengan keringat di kening.
"Maaf, saya telah, Tuan Muda. Ada apa?" Tanya Bian, menghentikan langkahnya tepat di samping Revan.
Pria itu tidak menjawab, hanya memberi isyarat pada tangan kanannya itu lalu membalik kursi kerjanya hingga memunggungi Rania.
Bian yang mengerti isyarat sang bos, kemudian menatap ke arah Rania lalu tersenyum pada gadis di hadapannya.
"Biar saja jelaskan, Nona Rania."
Rania diam, dan mulai menyimak apa yang akan Bian katakan padanya.
"Ayah Anda memiliki utang yang cukup besar pada, Tuan Muda. Karena beliau telah tiada, utang itu menurun pada Anda. Demi melunasi utang itu, Anda akan bekerja di mansion ini sampai hutang ayah Anda lunas. Batas waktu tidak di tentukan."
Rania hanya bisa melongo mendengar hal itu, menjadi pelayan? Tidak buruk. Tapi apa dia sanggup bekerja selama beberapa bulan atau mungkin tahun pada pria kasar yang tengah memunggunginya itu.
"Anda tidak perlu khawatir soal gaji Anda. Kami hanya akan memotong sebagian gaji Anda, dan sebagiannya lagi bisa Anda simpan atau tabung untuk jaga-jaga jika utang ayah Anda telah lunas, mungkin persiapan untuk meniti kehidupan suatu hari nanti," jelas Bian membuat Rania menunduk dengan fikiran berkecamuk.
Bekerja di tempat itu tidaklah rugi sama sekali, malahan ia akan diuntungkan di sini. Bian dengan senang hati menunggu jawaban gadis yang tengah berfikir keras di hadapannya itu, sedang Revan membalik kursinya lalu mengetuk meja dengan jarinya. Tidak sabaran menanti jawaban yang akan Rania berikan.
Rania yang merasa terganggu dengan suara ketukan di atas meja, seketika berbicara dengan suara agak tinggi.
"Bisakah kamu berhenti melakukan hal itu?! Aku tengah berfikir keras sekarang ini!!" Kesal Rania, seketika membungkam mulutnya sendiri saat menyadari siapa yang ada di depan matanya.
Revan menatap tajam gadis itu, seseorang yang dengan berani meninggikan suara padanya. Meski sebenarnya tidak sengaja.
"So-soal itu ... sa-saya menyetujuinya, Tuan Bian." jawab Rania cepat, dengan kepala menunduk.
Bian tersenyum kecil, sedang Revan masih dengan wajah dinginnya.
"Kalau begitu, Anda bisa keluar dan bertemu Bi Susi untuk mengantarkan Anda ke kamar." Bian mengarahkan dengan suara lembut.
Rania mengangguk mengerti, bergegas keluar dari ruangan itu, meninggalkan dua pria tersebut.
Sepeninggal Rania, Revan berdecak kesal. Membuat sang sekertaris menoleh penuh tanya.
"Ada apa, Tuan Muda?" Tanya Bian, mendapat tatapan dingin dari bosnya itu.
"Keluar!" Titah Revan, tidak menjawab pertanyaan Bian.
Bian mengangguk patuh, segera keluar dari ruangan itu, meninggalkan sang bos sendiri.
"Apa gadis lelet seperti itu bisa bekerja? Mendadak aku ragu," monolog Revan dengan wajah datarnya.
Sementara itu, Rania berjalan pelan mendekati dapur untuk bertemu dengan Bi Susi, meminta bantuan wanita paruh baya itu.
"Aduh!" Rania meringis sakit saat tiba-tiba seseorang mendorong tubuhnya kasar hingga tersungkur ke lantai.
Ia menoleh ke belakang, menatap beberapa wanita yang berpakaian pelayan tengah menatapnya sambil bersedekap dada.
"Makanya, kalau jalan itu hati-hati," ketus salah satu wanita berpakaian pelayan, berlalu dari hadapan Rania dengan beberapa temannya untuk segera melakukan pekerjaan lain di mansion itu.
Rania hanya menunduk dalam, ia tahu jika para pelayan itu sengaja melakukannya. Ia hanya bisa mengelus dada pelan, sabar akan keadaannya sekarang ini.
Rania merapikan sedikit pakaiannya, mendesis saat tanpa sengaja menyentuh luka kecil di lututnya akibat terjatuh di lantai tadi. Ah, ralat. Bukan terjatuh, tapi di dorong dengan sengaja.
Perlahan ia berjalan tertatih mencari Bi Susi. Saat menemukan wanita paruh baya itu, Rania segera menghampirinya.
"Bi Susi," panggil Rania saat tiba di samping wanita paruh baya tersebut.
Bi Susi berbalik, menatap Rania dengan senyum di wajahnya.
"Iya, Nak. Ada apa?" Tanya Bi Susi lembut dengan senyum hangatnya.
"Itu, Bi... ada yang bisa Rania bantu?"
Rania tersenyum canggung melihat ekspresi penuh tanya Bi Susi yang begitu bingung karena dirinya.
"Rania baru aja diterima jadi pelayan di mansion ini, Bi. Jadi apa yang bisa Rania bantu?"
"Owalah, nak. Kamu istirahat aja dulu, besok baru mulai kerja. Semua pekerjaan sudah hampir selesai, jadi kamu istirahat aja hari ini. Muka kamu juga pucat banget, kamu udah makan, kan?" Tanya Bi Susi, terluka begitu khawatir pada gadis di hadapannya.
Rania hanya menunduk, jujur ia lapar. Namun malu untuk mengatakannya. Terlebih ia baru saja datang dan belum mengerjakan apapun, masa langsung makan. Kan tidak enak, mungkin begitu fikir Rania.
Bi Susi yang melihat ekspresi wajah Rania tersenyum kecil, sungguh jika mencari gadis yang memiliki sikap pemalu seperti Rania sangatlah jarang sekarang ini.
"Rara, sini dulu!" Teriak Bi Susi, seketika seorang gadis dengan rambut dikepang dua dan berkacamata, datang menghampiri mereka.
"Iya, Bi?" Tanya gadis bernama Rara itu sambil merapikan letak kacamata bulatnya.
"Ini, ajak Rania makan abis itu istirahat di kamarnya," ucap Bi Susi yang segera di laksanakan oleh Rara, meski awalnya Rania terlihat menolak dan sungkan, tapi akhirnya mau menurut juga.
Tidak jauh dari mereka, terlihat seorang wanita menatap penuh benci pada Rania, bahkan kedua tangannya terkepal kuat karena amarah.
"Cih! Sok cantik banget sih jadi cewek," ucapnya kesal, berlalu dari tempatnya dengan perasaan kesal.
Rania menatap sekeliling kamarnya yang tidak terlalu besar, tidak pula terlalu kecil. Ia tersenyum senang, setelah tadi mendapat perlakuan kasar dari beberapa pelayan, ternyata ada juga beberapa orang yang begitu baik padanya.
Seperti Bi Susi, Rara, dan sang koki di mansion itu. Sambil makan tadi, Rara terus berceloteh tanpa henti pada Rania, membuat gadis polos itu tersenyum manis. Dari percakapan dengan Rara tadi, Rania jadi mengetahui jika Rara seumuran dengannya dan bekerja di mansion itu untuk melunasi utang kedua orang tuanya. Sama seperti yang Rania lakukan sekarang.
'Ternyata aku tidak sendiri,' batin Rania sedikit mendogak menatap langit-langit kamarnya.
"Ayah, ibu, Rania janji akan memulai kehidupan baru dan lebih baik lagi di sini. Rania janji, akan bekerja keras untuk melunasi utang," monolog Rania, seolah kedua orang tuanya mendengar apa yang ia katakan.
Dengan senyum yang masih merekah di bibirnya, Rania berjalan mendekati ranjang di dalam kamar itu. Dengan ukuran yang hanya memuat satu orang.
Perlahan Rania merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, senyum di bibirnya terus mengembang sejak tadi hingga perlahan-lahan ia menguap dan memejamkan matanya.
Pagi menjelang, tepat pukul enam Rania telah terbangun dari tidurnya. Rania mendudukkan diri perlahan di atas tempat tidur, menyibakkan selimut tipis berwarna putih polos itu dan beranjak dari sana untuk segera membersihkan diri.
Tiga puluh menit berlalu, kini Rania telah rapi dengan pakaian berwarna hitam dan putih, sama seperti yang Rara dan para pelayan lain kenakan kemarin.
Setelah memastikan penampilannya rapi, Rania segera keluar dari kamarnya. Berjalan ke arah dapur untuk mencari Rara atau Bi Susi yang bisa memberitahukan padanya, hal apa yang harus ia kerjakan.
Setibanya di dapur, Rania menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari Bi Susi. Tapi hasilnya nihil, tidak ada Bi Susi di dapur. Saat Rania berniat mencari Bi Susi di tempat lain, seorang pelayan menghadang jalannya.
"Eh," Rania mendogak menatap wajah wanita di hadapannya itu, wanita yang semalam berlaku kasar padanya.
"Mau ke mana?" Tanya wanita itu dengan ketus.
"Saya mau cari Bi Susi, kak." ucap Rania lirih dengan kepala menunduk.
"Mau tanya soal tugas, ya?" Rania hanya menganggukkan kepalanya.
Seringaian terbit di bibir wanita itu, menatap Rania dengan tatapan penuh arti.
"Itu, banyak cucian di kamar mandi. Kamu kerjain itu! Abis nyuci, kamu sapu lantai dan pel lantai. Jangan lupa beresin setiap kamar yang ada di Mansion ini!" Ucapnya tegas.
Rania mendogak, ia tidak percaya jika mendapat pekerjaan sebanyak itu. Tak mau menunggu, Rania pun mengangukkan kepalanya pada wanita yang lebih tua di hadapannya itu, bergegas memasuki kamar mandi untuk mencuci pakaian.
Setelah Rania pergi, wanita itu memberitahukan pada beberapa pelayan untuk beristirahat dan tidak mengerjakan apapun. Menyerahkan semua tugas pada Rania. Dengan senang hati beberapa pelayan itu melakukannya, bersantai tanpa melakukan apapun.
***
Pukul setengah tujuh, Revan keluar dari kamarnya dengan setelan jas rapi berwarna hitam yang melekat di tubuh atletisnya. Wajah tampannya benar-benar memikat hati para pelayan wanita di rumah itu, hingga beberapa pelayan siap memberikan tubuh mereka. Tapi sayangnya, Revan adalah orang yang pemilih. Sampai kapanpun ia tidak akan pernah membawa pelayan di rumahnya ke dalam kamar.
Revan Argantara, seorang pria dengan ketampanan bak dewa Yunani. Mampu memikat hati para kaum hawa yang melihatnya, tapi di balik itu ia memiliki sifat yang dingin. Sangat dingin bagai kutub Utara dan juga terkenal sangat kejam pada siapapun yang menghalangi tujuannya.
Revan adalah tipikal pria yang suka bergota-ganti pasangan one night stand, meski tidak setiap malam ia melakukan hubungan panas itu. Hanya saat ia benar-benar lelah dengan urusan Perusahaan hingga mencari kesenangan di club malam.
Kaki Revan melangkah menuruni anak tangga, matanya menyipit kala melihat hanya ada satu pelayan yang membereskan ruang tamu luas Mansion itu.
Revan mengeleng pelan, mengabaikan hal itu, memilih untuk segera memasuki ruang makan dan sarapan pagi.
Seperti hari-hari sebelumnya, hanya ada keheningan saat Revan menyantap sarapan paginya. Para koki hanya diam saat selesai mengantar makanan di meja makan.
Beberapa menit kemudian, Revan menyudahi sesi sarapannya, beranjak dari duduknya dan berjalan keluar ruang makan.
Revan menghentikan langkahnya saat melihat sang sekertaris tengah berbicara dengan sosok gadis yang ia temui kemarin.
Bian yang baru masuk ke mansion, memiringkan kepalanya saat hanya melihat Rania sendiri membersihkan ruang tamu mansion. Ia pun melangkahkan kakinya mendekati gadis polos itu.
"Pagi," sapa Bian dengan wajah datarnya, berhenti tepat di hadapan Rania.
Gadis itu tersentak, memeluk erat sapu yang hampir lepas dari genggamannya. Bian menahan senyum melihat raut wajah terkejut Rania.
"Hanya sendiri?" Tanya Bian menatap sekeliling.
"I-I-iya," jawab Rania gugup dengan kepala menunduk.
"Kamu sudah sarapan?" Tanya Bian lagi, entah mengapa mendadak ia penasaran dengan gadis di hadapannya. Padahal ia tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Rania hanya mengeleng menanggapi pertanyaan Bian, hingga terdengar suara deheman yang hampir membuat jantung Rania copot.
"Ekhem!"
Sontak Rania dan Bian menoleh, mendapati sosok Revan yang kini berdiri di hadapan mereka.
Mata gadis itu membulat sempurna, dengan cepat ia pergi dari hadapan Bian dan Revan. Mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda.
"Sudah selesai mengobrolnya?" Tanya Revan dengan raut wajah datarnya.
Bian menganggukkan kepalanya, lalu mengikuti langkah Revan yang berjalan lebih dulu mendekati pintu mobil.
Bian segera membuka pintu mobil sedan berwarna hitam itu, menutup pintu dan bergegas masuk ke kursi kemudi, melajukan kendaraan roda empat itu meninggalkan mansion menuju Perusahaan.
Rania mencoba mengatur nafasnya yang tidak beraturan karena terkejut, sekali lagi ia mengakui ketampanan sang pemilik Mansion. Setelah kemarin melihat Revan dengan balutan kemeja putih tanpa jas, kini ia melihat paket komplit Revan dengan setelan jasnya.
'Ya Tuhan, dia tampan sekali,' batin Rania lalu mengeleng pelan menyingkirkan semua hal yang hinggap di benaknya.
"Apa yang aku fikirkan?" Tanya Rania pada dirinya sendiri, menepuk pelan pipinya.
'Aku tidak boleh jatuh hati pada, Tuan Muda. Tugasku di rumah ini hanya untuk bekerja melunasi utang ayah dan ibu,' batinnya, menolak keras perasaan aneh yang sempat hinggap di benaknya.
Rania pun kembali melanjutkan kerjaannya, tak peduli dengan panggilan Bi Susi dan Rara, yang memanggilnya untuk sarapan pagi terlebih dahulu.
***
Pukul empat tepat, Revan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kebesarannya. Melonggarkan sedikit dasi di keras kemejanya.
Hari ini ia benar-benar lelah dengan tumpukan dokumen penting yang harus ia periksa.
'Malam ini aku harus ke club,' batin Revan lalu bangkit dari duduknya untuk segera pulang.
Saat Revan keluar dari ruangannya, Bian sudah menyambut kedatangannya sambil membungkukkan setengah badan.
"Selamat sore, Tuan."
"Hm," Revan hanya membalas dengan deheman. Berjalan lebih dulu mendekati lift untuk segera tiba di lantai dasar.
Dengan senang tiasa Bian mengekori Revan hingga memasuki lift, memencet tombol lift ke lantai dasar.
Ting!
Pintu lift terbuka, Revan dan Bian berjalan keluar dari lift. Semua karyawan yang ada di lobi, membungkukkan setengah badan saat Revan melewati mereka.
Revan hanya mengabaikan hal itu, masuk ke dalam mobil saat Bian membuka pintu penumpang untuknya.
Dalam perjalanan pulang hanya ada keheningan hingga mobil tiba di Mansion. Bian segera keluar dari kursi kemudi, membuka pintu untuk Revan.
Revan berjalan mendekati pintu masuk, diikuti oleh Bian yang membawa beberapa dokumen penting.
Sesaat setelah mereka melewati ambang pintu mansion, tiba-tiba terjadi sesuatu yang tidak terduga di depan mata mereka.
"NONA RANIA!" teriak Bian, bergegas berlari mendekati tubuh Rania yang terkapar lemas di atas lantai mansion.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!