Kesiur angin menerabas masuk melalui jendela yang sengaja Nadeen buka. Namun, dingin membuatnya harus berpamitan pada gemintang malam yang setia menemani tuntasnya setumpuk tugas. Sekali lagi ia tatap langit sebelum menutup jendela disusul tarikan gorden yang telak membuat angin tak mampu lagi menerpa kulitnya.
Usai menutup laptop dan merapikan buku-buku di atas meja yang menghadap jendela tersebut, gegas Nadeen beranjak untuk merebahkan diri di atas tempat tidur di dalam kamar indekos-nya yang hanya berukuran 5x5 meter persegi, tak lebih. Mata nyalang menatap lurus ke arah langit-langit kamar yang sudah disetting redup, demi mendapatkan sudut tenang sebelum ia pejamkan mata.
Maindfulness selama lima belas menit, gagal menghapus seseorang yang tak seharusnya muncul dalam ingatan. Ia pun bergerak mengulurkan tangan demi meraih sebuah pena di atas meja. Benda yang terjatuh tak sengaja tepat di depan matanya. Seraya memainkan lalu memutar pena itu tepat di depan wajahnya, ia terus berpikir sambil menghitung berapa kali benda kecil itu terjatuh, kemudian berakhir di tangannya.
“Kenapa selalu jatuh di depanku, hhh? Bikin susah aja balikinnya,” gerutunya sambil nunjuk-nunjuk benda di tangan kanannya menggunakan telunjuk tangan kiri.
Mencoba mengingat kembali kejadian tadi pagi, saat langkah Nadeen memburu waktu menuju ke kampus seperti hari-hari sebelum itu. Bedanya, hari ini ia bangun sedikit telat dan bergerak pun harus lebih cepat. Setengah berlari sambil mengingat mata kuliah pagi akan dimulai jam delapan, ujung mata pun tak bisa lepas fokus dari jam di pergelangan tangan. Apalagi ketika melewati tikungan, ia harus menunduk hanya menatap jalanan. Andaikan ada jalan lain menuju kampus, sudah pasti Nadeen tak melewati jalan ini lagi.
Belumlah sampai di gerbang kampus, langkahnya harus terhenti tiba-tiba. Demi menyadari seseorang yang berlalu begitu saja setelah membuat buku-buku dalam genggamannya berserakan. Ingin mengumpat, tetapi segera ia urungkan. Tak ingin menjadi "buruk muka cermin dibelah" Nadeen menyadari ini bagian dari kesalahannya akibat kecerobohan dan ketergesa-gesaannya yang berlebihan. Di saat bersamaan, seorang pria sudah berada di sana tengah memungut buku-buku miliknya, lalu meletakkan di atas tembok semen yang memanjang membatasi taman sebelum ia membuat jarak.
Bantuan sekecil apa pun selalu ia lakukan tanpa pandang bulu. Namun, begitulah lelaki bernama Ammar. Selalu menjaga dirinya untuk tidak bersentuhan dengan perempuan. Dalam hitungan detik, punggung pria bertubuh jangkung itu sudah menjauh di balik beberapa orang mahasiswa yang dilaluinya.
Entah bagaimana, sebuah pena tiba-tiba kembali menyita perhatian Nadeen persis di tempat pria itu berjongkok mengambil buku-buku tadi. Bisa dipastikan, itu adalah milik Ammar dan Nadeen harus mengembalikannya.
“Tunggu!”
Kata itu hampir lolos ia lontarkan, tetapi akhirnya diurungkan. Selain percuma, akan malu dengan orang di sekitar itu. Pikirnya.
"Nad!"
Panggilan Hanin disertai tepukan di pundak Nadeen membuatnya terkesiap untuk kedua kali. Penasaran dengan bayangan punggung pria yang baru saja berlalu dari hadapan sahabatnya dan saat ini bahkan masih dipandanginya, gadis yang datang tiba-tiba itu pun turut melempar pandang ke arah sana.
“Dari postur tubuhnya, itu seperti Pak Ammar?” tebak Hanin sambil mensejajarkan pundaknya dengan Nadeen yang sudah mulai melangkah lagi.
“Ya,” jawab Nadeen singkat seraya melirik.
“Pantesaaan. Wangi parfumnya nempeeel di idung aku.”
“Bisa-bisanya kamu ngomongin parfum Pak Ammar. Aku malah nggak tau dia pakai parfum atau enggak”
“Masa?” Hanin melirik sambil mengangkat alis. "Aku malah lebih kenal sama parfumnya ketimbang orangnya." Ia jelas sedang bercanda membuat Nadeen mengerutkan kening dalam-dalam.
"Kalau orangnya, jangan harap bisa kenal. Dideketin aja susah."
"Mau coba sekali lagi?" Nadeen menunjukkan sebuah pena di tangannya. Benda yang berkali-kali membuat Hanin mengejar pria itu demi mengembalikannya.
"What?! Lagi?" Hanin melotot demi melihat benda di tangan Nadeen. "Ini jatuh lagi atau dia sengaja ngasih ke kamu?" Rasa penasaran jelas terlihat di wajahnya.
"Mana ada dia ngasih ini ke aku." Nadeen hanya bergumam. Namun, Hanin masih bisa mendengar.
Hanin ambil pena itu lalu diselidiki dari semua sisi yang akhirnya dia tertawa. "Pantas saja selalu jatuh, klip di tutupnya sudah patah. Ya, nggak bisa nyangkut lagi, Nad."
"Ketawanya pelan-pelan aja, sih. Dikira orang kamu kenapa, lagi," bisik Nadeen seraya melirik orang-orang di sekitarnya lalu mempercepat langkahnya yang langsung disusul Hanin saat itu juga.
“Aku curiga.” Kali ini suara Hanin pelan membuat Nadeen melirik dengan dahi yang mengerut.
“Maksud?”
“Jangan-jangan Pak Ammar sengaja menjatuhkannya di depanmu. Atau dia patahkan klipnya supaya jatuh lagi dan lagi.” Hanin terkekeh yang langsung dihadiahi Nadeen sebuah pukulan ringan di lengannya.
“Kaaan? Mulai ngawur.”
“Astagfirullah, maaf Pak Ammar,” Hanin masih terkekeh. Namun, segera mengusap dadanya seraya beristigfar.
“Ya udah, balikin ya, ni balpennya.”
“No no no. Jangan minta aku ngelakuin itu lagi.” Hanin mengibaskan telapak tangannya berkali-kali, tak cukup dengan itu dia juga menggelengkan kepala tanda tak mau.
“Kenapa, sih? Biasanya 'kan nggak pernah bilang enggak buat aku?” Nadeen menggoyangkan lengan sahabatnya sambil merayu.
“Masalahnya, kalau keseringan aku jadi malu sendiri. Kaya orang caper, nggak, sih, Nad?”
“Iya juga, ya, Nin. Apalagi, kata Ustazah di kajian kemarin, kita harus ...."
"IFFAH!¹" seru mereka bersamaan. "Ye kan?" Nadeen memainkan alisnya.
“Tumben, bener.” Hanin melirik sambil membalas senyum simpul Nadeen.
Akhirnya gadis yang belum lama menggunakan hijab itu, menyimpan pena ke dalam tas, sebelum dia menemukan cara untuk mengembalikannya. Mungkin nanti bisa dititipkan pada seseorang. Pasalnya, sangat sulit bagi perempuan mana pun untuk bisa berkomunikasi dengan dosen yang menyandang gelar Ph.D di usianya yang ke-28 tahun ini.
Sejak kejadian beberapa bulan yang lalu, hati memang tak bisa dibohongi. Nadeen memang menyimpan sedikit kekaguman pada dosen muda bernama Ammar. Namun, dari pria itu pula ia belajar bagaimana cara menjaga hati dan juga mengendalikan perasaannya supaya tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang tercela. Kini, dia juga selalu menundukkan pandangannya, sebagaimana Ammar menjaga pandangannya dari wanita mana pun.
Dalam diam mereka hanya saling menjaga, menahan dan memelihara satu sama lain. Biarlah hanya Allah yang tahu dan mengatur perjalanannya, sekalipun mereka tidak berjodoh nantinya.
▬▬▬▬▬▬▬•◇✿✿◇•▬▬▬▬▬▬▬
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an
"Katakanlah kepada orang-orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kem\*luannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. \[An-Nur/24: 30\]
“Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, “Agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kem\*luannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya”.” (QS. An-Nur: 31)
▬▬▬▬▬▬▬•◇✿✿◇•▬▬▬▬▬▬▬
\_\_\_\_\_\_\_\_\_\_
¹Iffah \= menahan.
Adapun secara istilah : menahan diri sepenuhnya dari perkara-perkara yang Allah haramkan.
Nadeen bukanlah gadis alim dengan latar belakang yang religius. Ia hanya gadis biasa yang memutuskan mengubah cara berpakaian, setelah mengalami sedikit pelajaran dalam hidupnya.
Beberapa bulan yang lalu, ia tidak memiliki satu helai pun jilbab syar'i. Lemarinya hanya terisi penuh dengan pakaian-pakaian mini yang mengundang syahwat³ para lelaki.
Insiden kecil terjadi ketika ia berjalan di malam hari. Entah sejak kapan komplotan berandalan yang baru saja usai berpesta khamar⁴ mengikuti Nadeen dan mengincarnya di belakang. Serangan tanpa ampun telak membuat gadis itu tak mampu menghindar. Satu per satu hampir menggagahinya dan nyaris merenggut kehormatannya secara brutal. Kejadian yang akhirnya membuat ia berpikir bahwa Allah sedang memberi kesempatan padanya untuk memperbaiki hidup. Karena jika seseorang tidak kebetulan lewat di jalan sepi itu dan menolongnya, Nadeen mungkin akan sulit melepaskan diri dari trauma. Hal ini pula yang menjadikan awal dari perjalanan barunya.
“Terima kasih banyak.”
Tubuhnya menjadi sangat lemas dan bergetar. Namun, ia tak menunggu detak jantung reda untuk mengucapkan patahan kata 'terima kasih' pada pria di depannya. Tak peduli jika penampilannya kini menjadi sangat tak karuan. Bisa lolos dari bahaya saja, sudah sangat membuatnya lega.
Dosen muda bernama Ammar yang berdiri di hadapannya hanya mengangguk lalu melepas jaket di tubuhnya yang langsung ia sorongkan ke arah Nadeen.
Gadis itu termangu menatap seluruh pakaiannya saat ini. Memang cukup terbuka dan sedikit menonjolkan bentuk tubuh, tetapi ia sangat menyukai penampilannya. Sebelum ini bahkan ia bisa memakai yang lebih terbuka lagi. Ia selalu nyaman dengan itu.
Masih diam sambil berpikir, menatap Ammar dan jaket itu bergantian. Tingkah Nadeen membuat dosen muda tidak yakin jika niat baiknya akan diterima dan dimengerti. Sedetik sebelum Ammar menarik jaket itu kembali, Nadeen sudah lebih dulu mengambil dari tangannya.
"Saya ...," ucapnya ragu. "Apa saya harus memakai ini?" Sambil menunjuk jaket Ammar di tangannya.
"Kalau tidak mau, tidak usah," jawab Ammar dingin.
Ammar berusaha membuang muka ke arah lain sementara tangannya meminta kembali jaket itu. Sikap Ammar membuat Nadeen tersadar jika lelaki sepertinya sedang tidak nyaman melihat pakaian seterbuka itu. Kini Jaket itu sudah menempel di badannya, meski tidak menutupi seluruhnya.
"Kalau gitu, saya pinjam jaketnya."
"Di sepanjang jalan ini mungkin masih banyak lelaki yang akan memandangmu dengan mata binal."
Gadis berpenampilan sensual itu hanya mengangguk pelan. Sementara pria di depannya tampak menarik napasnya dalam-dalam.
“Maaf." Dia menjeda ucapannya. "Saya seorang lelaki, dan bisa tahu apa yang ada di pikiran lelaki lain saat melihatmu. Mereka tidak bisa sepenuhnya disalahkan."
Seketika wajah Nadeen menunduk. Rasa malu tak sanggup ia sembunyikan sejak pipinya berubah merah. Dia tahu Ammar sedang menasehatinya secara halus. Meski sia-sia, tangannya terus berusaha menurunkan rok mini yang memang dari sananya sudah kekurangan bahan.
“Lain kali, jangan jalan sendirian malam-malam, di tempat seperti ini."
Setelah mengecek jam di pergelangan tangan kirinya, Ammar mempersilakan Nadeen berjalan lebih dulu. "Sudah malam, saya antar pulang."
Dia masih berdiri menunggu hingga gadis rok mini itu berjalan sampai lima meter di depannya, barulah ia mengikuti di belakang pelan-pelan.
Jarak ke indekos memang sudah tak terlalu jauh, tetapi memang daerah itu sedikit rawan jika dilewati malam-malam. Hanya belasan menit saja mereka sudah sampai. Itu pun dilewati dengan langkah pelan dan hening tanpa ada yang bersuara hingga Nadeen berhenti di depan sebuah kompleks yang ditinggalinya.
"Sudah sampai." Sembari membuka resleting jaket milik Ammar yang hendak ia kembalikan.
“Jangan dibuka dulu, nanti saja di kamar,” cegahnya cepat. "Saya tunggu di sini sampai kamu benar-benar masuk ke kamar."
Ammar membuat Nadeen salah tingkah yang akhirnya hanya mengangguk sambil menarik kembali resleting jaket. Setelah berjalan dua langkah, gadis itu menoleh hanya untuk mengucapkan, “terima kasih.”
Dari jendela kamarnya, Nadeen bisa melihat, Ammar hanya ingin memastikan dirinya sampai di kamar dengan selamat setelah itu dia pulang. Tanpa ia tahu, selama ini Ammar tinggal di rumah pamannya yang tak jauh dari sana.
Di kamar indekos tempat Nadeen tinggal selama kuliah di Jakarta, ia duduk terpaku cukup lama di ujung tempat tidurnya. Lalu berdiri di depan cermin memandangi tubuh yang hampir saja dinodai secara brutal. Itu membuatnya tak ada keberanian untuk keluar dari kamar selama beberapa hari. Rasa takut terus menghantui. Pun ada rasa malu teringat ucapan Ammar malam itu.
Bersembunyi selama berhari-hari cukup untuk mengumpulkan keberaniannya lagi. Banyak hal mengharuskan ia keluar, terutama urusan kuliah tak bisa diabaikan begitu saja. Selain itu, ia perlu mengembalikan jaket milik Ammar yang baru kering setelah dicuci. Sayang sekali, keberadaan lelaki itu cukup sulit ditemui. Ia selalu menolak untuk bertemu dengan berbagai macam alasan. Entah dia sibuk, *atau mungkin enggan melihat gadis sepertiku*. Nadeen sempat menduga-duga. Ketika itulah, Nadeen untuk pertama kalinya meminta bantuan Hanin, sahabat karibnya.
“Jaket Pak Amar? Yakin ini punyanya?” Hanin tak percaya lalu coba mengintip isi bungkusan yang dititipkan Nadeen padanya. "Udahlah ngilang berhari-hari, sekarang muncul bawa-bawa jaket Pak Ammar. Pada ngapain?" Tatapannya seakan tengah menghakimi.
“Nanti saja aku cerita. Sekarang bantu aku balikin ini, ya.” Setahu Nadeen, teman-teman Hanin jauh lebih banyak karena memang orangnya pandai bergaul. Salah satu dari mereka mungkin dekat dengan Ammar dan bisa ia mintai bantuan.
Nadeen kembali berpikir. Kenapa laki-laki baik tidak suka melihat penampilannya. Padahal, tubuh seksi yang ia miliki saat ini selalu menjadi kelebihan yang ia banggakan. Ammar sangat berbeda dengan pemuda-pemuda lain yang dikenalnya. Jika mereka hampir tidak bisa berkedip menatap dengan pandangan liar, lain halnya dengan Ammar yang risih dan malu melihat hal itu.
“Nin, kamu gak malu temenan sama aku?” Obrolan di sela-sela mengerjakan tugas kampus siang itu.
“Maksudnya?” Hanin menoleh dengan dahi mengerut.
“Kamu bisa dicap perempuan tidak baik, loh, gara-gara berteman denganku.”
“Aku memang bukan perempuan yang baik, kok. Hanya cara berpakaian kita saja yang berbeda,” ucap Hanin yang kembali sibuk mencatat sesuatu.
“Pakaianku ini ... sangat buruk ya, Nin?”tanya Nadeen patah-patah.
Hanin memicingkan matanya seraya memindai tampilan Nadeen dari ujung kepala hingga ke kaki. “Hmm ... jujur ya, aku sedikit cemburu melihat tubuh molekmu terekspos begitu saja. Tapi, siapa yang tahu jika suatu hari nanti kamu berubah pikiran. maybe.” Hanin mengangkat bahunya. Ia memang bijak, tidak pernah menilai Nadeen dari tampilannya yang berbeda.
Saat itu juga Nadeen putuskan untuk berhijrah secara bertahap dimulai dengan merubah cara berpakaian menjadi sedikit tertutup meski tidak sebaik Hanin, sahabatnya. Seperti yang Ammar katakan malam itu, Mata lelaki tidak sepenuhnya salah. Kita sendiri yang mengundang pikiran jahat mereka. Semoga kejadian itu tidak terulang lagi.
Meskipun belum benar-benar sempurna, tetapi sedikit perubahan pada Nadeen cukup membuat Ammar terpana saat tak sengaja berpapasan menuju ke kampus.
Mereka sempat beradu pandang, bibir Ammar bergerak seakan ingin menyunggingkan sebuah senyuman yang tertahan. Ia segera tersadar dan memalingkan wajahnya. Ammar hanya ingin memastikan, apa benar gadis seperti Nadeen bisa berubah?
Astagfirullah “Maafkan saya,” ucapnya sambil mengusap dada lalu pergi dari hadapan Nadeen yang sedari tadi menatap kesalahtingkahan Ammar dengan wajah polosnya.
Sejak saat itu, entah kenapa semesta menciptakan banyak kebetulan di antara mereka. Seringnya bertemu di pertigaan jalan, meskipun jarak mereka tidak pernah lebih dari 5 meter saat berangkat ngampus, tetapi Nadeen merasa jika Ammar selalu berada di belakang mengawasinya.
Ammar bukanlah laki-laki dingin yang tidak menginginkan pendamping hidup di usianya saat ini. Namun, dia masih harus mendahulukan seorang kakak yang juga belum berkeluarga. Siapa pun wanita yang Ammar sukai saat ini, sementara dia simpan rapat-rapat dalam hati sampai nanti tiba waktunya dia akan mendengar kabar baik dari sang kakak yang memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya. Saat itu pula Ammar pun akan memilih proses ta'aruf ⁵ dengan wanita pilihannya.
__________
²Hijrah \= Awal dari seseorang menuju untuk sesuatu yang lebih baik meninggalkan sesuatu yang buruk (sebelumnya).
³Syahwat \= Nafsu atau keinginan bersetubuh; keberahian.
⁵Ta'aruf \= Perkenalan atau saling mengenal yang dianjurkan dalam Islam, maksudnya yaitu interaksi yang dilakukan antara dua orang atau lebih dengan disertai maksud atau tujuan tertentu.
Di hari keberuntungannya, Nadeen berjalan di belakang Ammar ketika hendak menuju ke kampus. Ia yang tengah bersemangat belajar ilmu agama, tiba-tiba memberanikan dirinya untuk menyapa. Sang dosen yang juga memiliki gelar M.Ag ini, memang memiliki kapasitas menjadi tempat konsultasi para mahasiswa di kampus, bukan hanya Nadeen.
“Pak Ammar!” seru Nadeen dengan nada suaranya yang nyaring. "Assalamualaikum."
Ammar berhenti sesaat tanpa menoleh. Namun, ia sudah bisa menebak dari suaranya.
“Waalaikumsalam. Iya, Ukhty?” jawabnya.
“Saya … ingin memperdalam ilmu agama. Pak Ammar bisa bantu saya?” ucapnya malu-malu.
Ammar terdiam beberapa saat lalu membalikkan badannya sambil menunduk.
“Alhamdulillah.”Ekspresinya menunjukkan seakan ia tak peduli bahkan tidak tertarik.
“Jadi gimana? Pak Ammar bisa bantu saya?” Nadeen sedikit tidak sabar mendengar jawaban Ammar.
“Saran saya, luruskan dulu niatmu supaya bisa beristikamah⁶. Semoga niat baikmu ini dimudahkan jalannya oleh Allah.”
“InsyaAllah, niat saya sudah bulat.”Mata Nadeen semakin berbinar hingga semangatnya terlihat jelas di wajah cantiknya.
“Niatkan karena Allah semata. Setelah itu, Ukhty bisa datang pada budeku. Belajarlah padanya!”
Ammar menatap jam di pergelangan tangannya. “Saya mohon maaf tidak bisa berlama-lama, ada jadwal kelas pagi,” pungkasnya ketika mengakhiri obrolan lalu pergi dari hadapan Nadeen.
Nadeen belum beranjak dari tempat berdiri saat ini masih memandangi punggung Ammar yang berjalan terburu-buru dari hadapannya. Ia merasa bingung dengan jawaban sang dosen yang diucapkannya beberapa saat yang lalu.
Kenapa begitu? Aku pikir dia akan mengajariku karena dia dosen. Ternyata malah menyuruhku untuk menemui budenya.
Dan sikapnya selalu formal untuk ukuran seorang dosen terhadap seorang mahasiswa sepertiku.
Namun, karena Nadeen sudah membulatkan niat untuk belajar, tak ada salahnya jika dia datang menemui budenya Ammar yang belum diketahui oleh Nadeen di mana rumahnya.
Sore hari sepulang dari kampus, Nadeen lewat di depan masjid, lalu singgah untuk salat ashar sebelum tiba di tempat kost. Ada majlis taklim⁷ yang biasa mengadakan kajian setiap sore. Tak sengaja telinga Nadeen menangkap beberapa penggalan ceramah yang dibawakan seorang wanita paruh baya. Suaranya memang tidak terlalu lantang, tapi artikulasinya sangat jelas dan tutur katanya sangat mengutamakan sopan santun.
“Jalan hijrah memang tak mudah. Namun, jadikan Allah satu-satunya alasan untuk tidak menyerah ....”
Meskipun sayup-sayup, tetapi isinya terdengar sangat menyentuh dan cukup membuat Nadeen penasaran. Kalimat itu bisa Nadeen ingat ketika tekadnya mulai goyah karena benar yang dikatakan Ammar bahwa hijrah dan Istikamah itu tidak mudah.
Di kesempatan yang lain, diam-diam Nadeen masuk kedalam kumpulan Ibu-ibu. Seraya tersenyum ia coba membelah barisan supaya bisa duduk di jajaran paling depan. Maklum, di belakang sangat riuh dengan suara anak-anak. Sehingga isi ceramah tidak bisa ia tangkap dengan benar. Bahkan Nadeen melupakan rasa malunya sesaat demi melakukan pendekatan pada sang ustazah supaya bisa bertanya banyak hal padanya.
Pengajian sore telah usai, Nadeen duduk sebentar sambil menunggu azan magrib yang tinggal beberapa menit lagi. Tak perlu menunggu lama, azan pun berkumandang dengan sangat merdu dari Indra pengecap seorang pria. Saat itu juga, jemaah berdatangan.
Bagian terpisah dari masjid ini yang ditutup dan dibatasi oleh tabir pemisah, akhirnya menjadi penuh dengan para wanita yang sama-sama ingin menjalankan ibadah salat magrib. Terlihat jemaah saling merapikan barisan shaf⁸ saat iqamat⁹ dibacakan pelan. Nadeen hanya mengikuti gerakan-gerakan mereka tanpa tahu apa maksudnya, dan suara merdu itu pun kembali terdengar sayup-sayup ketika sang imam memimpin salat magrib berjamaah.
Setelah selesai salat dan melipat kembali mukenanya, Nadeen baru menyadari bahwa tepat di depannya adalah seorang ustazah yang biasa menyampaikan ceramah di pengajian rutin setiap sore.
Sengaja Nadeen tidak beranjak dulu karena ingin menunggu sampai ustazah selesai dengan wiridnya. Sampai akhirnya Nadeen duduk di sebelahnya. Tak lupa ia menunjukkan sikap takzim¹⁰ sebelum bertutur kata.
“Assalamualaikum, Ustazah,” sapa Nadeen seraya mencium punggung tangannya. Disambut seulas senyum dari sang Ustazah saat menjawab salam, membuat mahasiswi calon penyandang gelar sarjana komputer (S.kom) ini semakin bersemangat.
“Jika diizinkan, Nadeen ingin pulang bersama Ustazah. Boleh?”
“Tentu saja Nadeen.” Ustazah yang memiliki nama lengkap Astuti Anggraeni ini kembali tersenyum. “Tapi ingat, jangan sematkan lagi embel-embel itu padaku. Panggil 'ibu' saja,” tegasnya. Karena ke-tawadhu¹¹-annya membuat Bu Astuti tidak nyaman dengan panggilan Ustazah.
“Senang sekali bisa berkenalan dengan Ibu. Nadeen sangat menantikan saat-saat seperti ini. Duduk bersama dengan seorang guru yang sangat Nadeen kagumi.”
“Kata-katamu sangat berlebihan, Nad. Sebenarnya, kapan pun kamu bisa datang ke rumah Ibu, untuk sekedar duduk menikmati secangkir teh,” ucap Bu Astuti yang sudah siap untuk pulang.
Akhirnya Nadeen mendapat tawaran yang sangat ia tunggu. “Apa tidak mengganggu jika Nadeen datang ke rumah Ibu, nanti?”
“Ibu tunggu kapan pun kamu ada waktu.”
“Ayo, ngobrolnya sambil jalan saja, suami ibu mungkin sudah menunggu di luar,” ajak Astuti sambil bangkit dari duduknya.
“Ibu tidak keberatan 'kan jika nanti Nadeen banyak tanya sama Ibu?” Nadeen turut bangun, tatapannya tidak lepas dari wanita paruh baya yang baru dikenalnya itu.
“Tentu saja tidak. Bertanya itu kan hak setiap orang, meskipun ibu tidak yakin akan bisa menjawabnya.” Menggelengkan kepalanya pelan.
“Nadeen gak tahu lagi harus berkata apa, Ibu ini terlalu merendah.”
Bu Astuti pun tersenyum kecil menanggapi ucapan gadis itu sambil mengusap lembut pundak Nadeen.
“Jujur, ibu salut sama kamu, karena begitu bersemangat. Mengingat ... betapa wajibnya kita untuk selalu menuntut ilmu terutama ilmu agama.”
▬▬▬▬▬▬▬•◇✿✿◇•▬▬▬▬▬▬▬
Dalam sabda Rasulullah SAW sebagai berikut,
Artinya : "Barang siapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka
Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)
▬▬▬▬▬▬▬•◇✿✿◇•▬▬▬▬▬▬▬
▬▬▬▬▬▬▬•◇✿✿◇•▬▬▬▬▬▬▬
Diriwayatkan Turmudzi
Artinya : "Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah hingga ia pulang"
▬▬▬▬▬▬▬•◇✿✿◇•▬▬▬▬▬▬▬
▬▬▬▬▬▬▬•◇✿✿◇•▬▬▬▬▬▬▬
Diriwayatkan At-Tabrani,
Artinya :"Belajarlah kalian ilmu untuk ketentraman dan ketenangan serta rendah hatilah pada orang yang kamu belajar darinya."
▬▬▬▬▬▬▬•◇✿✿◇•▬▬▬▬▬▬▬
▬▬▬▬▬▬▬•◇✿✿◇•▬▬▬▬▬▬▬
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Artinya : "Jika seorang manusia mati, maka terputuslah darinya semua amalnya kecuali dari tiga hal; dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak shalih yang mendoakannya." (HR. Muslim no. 1631)
▬▬▬▬▬▬▬•◇✿✿◇•▬▬▬▬▬▬▬
__________
⁶Istikamah atau istiqamah dalam terminologi Islam adalah hal berpendirian kuat atau teguh pendirian. Dalam Islam, istikamah secara spesifik adalah sebuah komitmen dan konsisten dalam tauhid, ibadah, dan akhlak.
⁷Taklim \= Kegiatan pengajaran ilmu agama dari seseorang kepada sekumpulan khayalak pada suatu tempat tertentu
⁸Shaf \= Barisan kaum muslimin dalam shalat berjamaah.
⁹Ikamah, kamat, atau iqamat \= Panggilan atau seruan segera berdiri untuk salat.
¹⁰Takzim \= Amat hormat dan sopan.
¹¹Tawadhu \= Rendah hati, tidak sombong.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!