KEMARAHAN DUA SAUDARA
Bila mencintaimu adalah ilusi, maka ijinkan aku berimajinasi selamanya.
Brak!
Pintu ruangan pamujan dimana Panembahan Somawangi biasa bersemedi hancur berantakan. Pintu kayu jati setebal satu hasta itu tumbang dihajar tendangan kaki Santika. Sambil menggandeng tangan Miryam. Santika masuk ke dalam ruangan itu.
Diujung ruangan, diatas batu gepeng dan bundar, Panembahan duduk terpekur. Matanya terkatup rapat, wajahnya begitu tenang, terselubung asap dupa yang dibakar didepannya. Memakai kain putih yang diikat dipinggang dan diselempangkan ke bahu kanannya, penguasa tanah perdikan Somawangi sepertinya sedang menunggu kedatangan mereka. Rupanya dia sudah tahu, segala kebohongannya pasti akan terbongkar.
“Keparat Somawangi! Jangan berlagak menjadi orang suci. Kejahatanmu tidak diampuni sampai tujuh turunan!” teriak Santika.
Sambil menghunus pedangnya Santika berlari menerjang tubuh Panembahan. Namun baru beberapa langkah berlari, Panembahan mengibaskan tangan kanannya. Terasa hawa dingin menyergap ruangan itu. Menyelubungi tubuh Santika, merasuk ke dalam saluran darah dan urat-urat syarafnya, membuat tubuhnya membeku dan tidak bisa digerakkan sama sekali.
Di belakang Santika, Miryam berdiri mematung. Wajahnya terlihat marah, namun ada titik air di sudut matanya. Hati dan perasaannya seperti di aduk-aduk. Disaat rasa hormat mulai tumbuh di dalam hatinya, tiba-tiba kebenciannya membuncah kepada Panembahan Somawangi. Rasa simpatinya kepada perjuangan suaminya yang begitu telaten membimbingnya, berganti dengan rasa dendam yang ingin sekali dia lampiaskan saat itu juga.
“Akhirnya kau mengetahui semuanya Miryam,” kata Panembahan dengan suara tersendat. “Santika pasti sudah menceriterakan semuanya.”
Miryam memandang wajah suaminya dengan penuh kebencian. Bibirnya nampak bergetar menahan kemarahan, tapi tidak ada kata-kata yang sanggup dia ucapkan. Sekarang dia sudah tahu kebenarannya. Santika memang telah menceriterakan siapa pembunuh ayahnya yang sebenarnya. Panembahan Somawangi telah membunuh Lurah Reksoyudho, ayah Santika dan ki Jogoboyo, ayah Miryam, secara bersamaan.
“Aku sudah siap isteriku. Puluhan tahun aku hidup bersamamu, aku juga menderita, karena harus menanggung kebohongan ini kepadamu. Tetapi rasa cinta ini telah membutakan hatiku. Selalu saja ada yang menghalangi saat aku ingin mengungkapkan kebenaran ini kepadamu,” ujar Panembahan.
“Cinta? Terbuat dari apa hatimu Somawangi. Betapa teganya kau memisahkan kepala ayahku dari jazadnya. Lalu kau tunjukkan kepadaku agar aku mempercayai segala kebohonganmu? Tidak ada cinta di dalam hatimu, yang ada hanyalah nafsu untuk memiliki,” sahut Miryam.
Perlahan tubuhnya melayang mendekati Panembahan. Sesampainya didepan tubuh Paembahan dia berhenti. Ditatapnya wajah Panembahan dengan tajam. Tapi titik air di sudut matanya tetap menetes.
“Maafkanlah kesalahanku isteriku. Setelah itu kau boleh melampiaskan dendammu,” pinta Panembahan dengan suara menghiba. “Aku sudah lelah, sudah saatnya menyelesaikan sesuatu yang sudah aku mulai. Bunuhlah aku, biar aku dapat membayar semua dosa-dosaku kepadamu.”
Miryam tak bergeming. Ingin rasanya mencabut kepala Panembahan secepatnya, tapi entah kenapa hatinya tak sanggup melakukannya. Padahal Panembahan sudah melepaskan semua kekuatan yang dimilikinya. Kini tubuhnya kosong, bahkan anak kecilpun sanggup membunuhnya.
Perlahan kedua tangan Miryam memegang bahu Panembahan. Matanya terpejam, wajahnya ditengadahkan ke atas. Panembahan merasakan ada hawa dingin yang merasuki tubuhnya, dari leher sampai ke kaki. Membuat sebagian tubuhnya itu membeku.
“Apa yang kau lakukan isteriku?” tanya Panembahan terkejut. Mulut, mata, dan pendengarannya masih berfungsi tetapi dari leher sampai kaki tidak bisa digerakkan. Rupanya Miryam telah melumpuhkannya.
Santika yang telah terbebas dari kekuatan Panembahan segera berjalan dengan cepat, bermaksud menghabisi laki-laki tua yang telah membunuh ayahnya, tapi Miryam mencegahnya.
“Jangan kakang. Tidak perlu mengotori tanganmu dengan darah kotornya,” kata Miryam. “Biarkan dia menderita sebelum ajal menjemputnya.”
Miryam memeluk tubuh Santika, mengusap punggungnya, lalu memegang kedua pipi Santika. Dipandanginya wajah laki-laki muda itu penuh cinta. Santika merasakan hawa sejuk merasuki kepala dan tubuhnya. Meredakan amarah di dalam hatinya. Santika menganggukkan kepalanya, lalu membalas pelukan Miryam. Merasakan cinta sejati yang bergejolak di dalam jiwa.
Ow, betapa sakitnya hati Panembahan Somawangi melihat pemandangan didepannya. Perempuan yang sangat dicintainya dipeluk oleh laki-laki lain. Betapa siksaan Miryam jauh lebih menyakitkan daripada hunjaman pedang di ulu hatinya.
Lalu keduanya berbalik. Tanpa menoleh sedikitpun, sepasang manusia yang sedang dimabuk cinta itu meninggalkan ruangan itu. Meninggalkan tubuh Panembahan yang terpuruk di depan altar pemujaan, disaksikan patung dewata yang selalu dipujanya.
***
Selama berbulan-bulan roda pemerintahan di tanah Perdikan Somawangi tidak berjalan. Miryam yang dianggap pewaris kekuasaan setelah Panembahan Somawangi mengalami kelumpuhan malah pergi begitu saja bersama kekasihnya. Hal itu menimbulkan kemarahan di kalangan rakyat dan prajurit Somawangi. Tapi untuk begerak sendiri tanpa ada perintah pimpinan, mereka juga merasa sungkan, karena Panembahan yang masih bisa berbicara itu melarangnya. Rasa bersalah dan cinta yang begitu dalam membuatnya rela disakiti oleh Miryam.
Akhirnya beberapa telik sandi di kirimkan untuk mengabarkan keadaan sang Panembahan kepada Roro Lawe dan Eyang Karangkobar, kakak dan adiknya sendiri. Tentu saja tanpa sepengetahuan sang pemimpin tanah Perdikan itu. Betapa marahnya mereka mendengar kelakuan Miryam yang tega menyiksa suaminya sendiri demi hasrat pribadi dan pergi bersama kekasihnya.
“Dasar perempuan tak tahu malu! Berani memperlakukan adikku serendah itu. Bahkan Kanjeng Sultan Panembahan Senapati Ing Ngalaga saja begitu menghormatinya,” ujar Roro Lawe dengan geram.
Dia benar-benar tidak rela adiknya di perlakukan begitu kejam oleh Miryam. Sudah dilumpuhkan kemudian ditinggal pergi begitu saja dengan kekasihnya.
“Perempuan rendah! Tidak punya etika sama sekali! Bagaimanapun Panembahan masih menjadi suaminya,” umpat sang Dewi Pengetahuan tiada henti.
Tubuh perempuan si segala tahu itu melayang di udara dengan tenang. Lalu terbang melesat keluar dari gua meninggalkan puncak bukit Lawe menuju tanah Perdikan Somawangi. Diantara tiga bersaudara itu, sesungguhnya Roro Lawe adalah yang paling sakti disbanding kedua adiknya. Kalau Karangkobar menguasai kekuatan inti api dan Somawangi menguasai kekuatan inti air, maka Dewi Pengetahuan itu menguasai kekuatan inti tiga elemen kehidupan. api, air dan angin.
Yang paling mengerikan adalah kemarahan Eyang Karangkobar. Dia adalah Dewa Kemarahan. Tidak pernah sedetikpun perasan Eyang Karangkobar terlepas dari kemarahan.
Dia selalu berteriak marah untuk menghilangkan kewarahan di dalam hatinya yang tidak marah. Tapi sekarang, Hatinya pun diliputi kemarahan. Begitu marahnya Eyang Karanagkobar sampai sekujur tubuhnya diselubungi api yang sangat panas. Hal yang membuat para telik sandi yang menyapaikan berita itu, lari lintang pukang. Lalu manusia api ini melayang, lalu melesat keluar gua Batu Hitam meninggalkan gunung Sewu menuju tanah perdikan Somawangi.
Panembahan Somawangi masih tenggelam dalam puja-puji kepada sang dewata, saat kedua saudaranya dating menyambanginya. Tidak ada rasa terkejut yang tersirat di wajahnya yang begitu pucat. Rupanya dia sudah tahu para prajuritnya pergi ke gnung Lawe dan gunung Sewu untuk mengabarkan keadaanya kepada saudara-saudaranya itu.
“Salam Somawangi!” ucap kedua saudaranya.
“Selamat datang kakakku Roro Lawe sang Dewi Pengetahuan dan adikku Karangkobar sang Dewa Kemarahan,” sahut Panembahan.
Senyum tipis tersungging di wajahnya yang nampak begitu rapuh.
BANGKIT SETELAH KEHILANGAN
“Jika hati ini tak mampu membendung segala kerinduan, apa daya tak ada yang bisa aku lakukan selain mendoakanmu."
Bibir Panembahan Somawangi Nampak terus bergerak mengucapkan doa-doa dan kalimat pujian untuk Sang Hyang Widhi Wasesa. Semakin bertambahnya usia, semakin menyadarkan dirinya bahwa hidup hanyalah tipuan rasa semata. Semua keinginannya bisa dia raih, hanya satu yang gagal di rengkuhnya, rasa cintanya kepada Miryam bertepuk sebelah tangan.
“Oh Dewata Yang Agung, maafkanlah kesalahanku karena telah membuatnya menderita. Semayamkan rasa bahagia di dalam hatinya. Biarkan aku yang memikul beban ini, memendam kerinduan sampai ajal menjemputku,” bisiknya.
Tok! Tok! Tok!
Salah satu pelayannya masuk dan memberitahukan kedatangan eyang Karangkobar dan Roro Lawe.
“Persilahkan mereka masuk,” ujarnya.
Pelayan itu keluar kamar lagi. Sesaat kemudian kedua saudaranya masuk ke dalam kamarnya yang cukup luas. Diantara putera dan puteri Begawan Wanayasa, yang tertarik dengan kehidupan keramaian hanyalah Panembahan Somawangi.
Pada usia muda dia meninggalkan padepokan untuk mengabdikan dirinya menjadi prajurit di Kotaraja. Sebagai putera Begawan Wanayasa yang sangat dihormati, disamping kemampuan olah kanuragannya yang mumpuni Somawangi muda mendapat pangkat Lurah. Tugasnya memimpin satu kompi prajurit khusus dalam operasi penyergapan dan pembumihangusan daerah-daerah musuh.
Keberhasilannya dalam setiap operasi, membuatnya diangkat sebagai Senopati, salah satu panglima perang kerajaan dibawah perintah langsung Rangga dan Rakyan Tumenggung. Dalam peperangan besar menaklukkan kadipaten Surabaya, Somawangi dan para prajuritnya berhasil menerobos benteng pertahanan musuh. Atas jasanya Sultan, langsung memberikan hadiah berupa tanah perdikan, daerah otonom yang bebas di pimpin oleh Somawangi. Diperbolehkan membentuk angkatan perang sendiri, namun tetap bersumpah setia kepada kerajaan.
Sedangkan kedua saudaranya tidak tertarik masuk kemiliteran. Mereka lebih suka malang melintang di dunia persilatan. Kalau Somawangi menguasai kekuatan inti air yang dikenal ajian Tirtanala, maka adiknya Karangkobar menguasai kekuatan inti api yang dikenal sebagai Geni Sawiji. Karakternya mudah panas dan suka marah-marah. Dalam keadaan apapun, Karangkobar selalu mengumpat. Di dunia persilatan dia dijuluki Dewa Kemarahan.
Sedangkan Roro Lawe adalah Dewi Pengetahuan karena pengetahuannya akan berbagai ilmu. Bahkan orang-orang juga menjulukinya si Segala Tahu. Tanyakan apa saja yang menjadi masalahmu, dia pasti memiliki jalan keluarnya. Dia menguasai kekuatan inti angin, yang dikenal sebagai Bayu Godham. Walaupun sebenarnya dia juga menguasai Tirtanala dan Geni Sawiji. Tapi karena jarang berkelahi dia lebih dikenal karena kecerdasannya.
“Salam saudaraku Somawangi!” ucap kedua saudaranya.
“Selamat datang kakakku Roro Lawe sang Dewi Pengetahuan dan adikku Karangkobar sang Dewa Kemarahan,” sahut Panembahan.
Senyum tipis tersungging di wajahnya yang nampak begitu rapuh.
“Senang sekali bertemu kalian kembali,” bisiknya lirih.
Roro Lawe berjalan menghampiri tubuh adiknya yang terbaring lemah. Di peluknya tubuh itu dengan rasa sayang. Terakhir mereka bertemu saat Panembahan berkunjung dengan Miryam, yang masih menjadi istrinya. Saat itu tubuh Panembahan Somawangi masih terlihat gagah dan berwibawa.
“Apa yang telah dilakukan perempuan itu kepadamu adikku?” tanya Roro Lawe.
Mata Eyang Karangkobar terlihat merah bergejolak, dan rambutnya nampak membara karena menahan kemarahan.
“Perempuan Sundal dan kekasihnya itu harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi denganmu, kakang Soma,” ujar Karangkobar geram.
Roro Lawe memegang kedua pundak Panembahan, mengalirkan hawa hangat dari kekuatan Geni Sawiji. Membebaskan tubuh Panembahan dari kekuatan Tirtanala yang membuatnya lumpuh. Sesaat kemudian kedua kaki dan tangannya sudah bisa digerakkan kembali. Bahkan Roro Lawe menarik tubuhnya untuk duduk dengan tegak.
“Bangunlah Somawangi. Tidak pantas seorang pemimpin sepertimu menyerah menunggu takdir kematian,” ujar Roro Lawe. “Kau adalah Senapati, panglima perang tangguh kebanggaan Mataram. Kanjeng Sultan pasti kecewa kalau melihat keadaanmu begini.”
Panembahan Somawangi terdiam. Kata-kata kakak perempuannya itu menyentuh hatinya. Kemudian Roro Lawe membuka pintu kamarnya lebar-lebar. Nampak para lurah, pemimpin prajurit tanah perdikan duduk bersimpuh di luar kamarnya.
“Lihatlah para prajuritmu yang setia menunggu perintahmu. Di alun-alun, pasar, di pendopo rakyat dan abdi menunggu titahmu. Apa kau tak memikirkan penilaian rakyatmu terhadap pemimpinnya?” kata-kata Roro Lawe semakin menohok. “Panembahan Somawangi yang Agung, sedang terpuruk karena cinta? Karena isterinya dibawa kabur oleh kekasihnya?”
Panembahan Somawangi tersentak. Matanya tajam menatap Roro Lawe.
“Bangkitkan kemarahanmu Somawangi. Tunjukkan ketangguhanmu sebagai panglima perang yang tak pernah terkalahkan. Tunjukkan bahwa rakyat masih memilki kebanggaan terhadap pemimpinnya!” tegas Roro Lawe.
“Tidaaak!! Aaarghh!!!” teriak Panembahan Somawangi.
Kata-kata Roro Lawe berhasil membakar kembali semangat hidupnya. Jiwa petarungnya yang sombong, angkuh dan dingin perlahan tumbuh kembali.
“Kembalikan kekuatanku kembali. Berikan aku kekuatan Tirtanala, kakakku Roro Lawe,” ucapnya.
Nada suaranya terdengar dingin dan datar.
Roro Lawe terdiam sejenak, menatap api yang hidup kembali di kedua mata adiknya.
“Kalau kau ingin Tirtanalamu kembali, kau harus pergi ke Dataran Tinngi Dieng, negeri para Dewa. Minta maaf di depan makam ayah, lalu bersemedi di bawah Curug Plethuk disaat Purnama. Mohon berkah para Dewa agar mengembalikan kekuatanmu.”
Panembahan Somawangi berdiri tegak. Dia siap menjalani kembali ritual mendapatkan kekuatan Tirtanala dari awal. Dia akan menempuh perjalanan sunyi demi kekuatan dahsyat yang dilepasnya demi cintanya kepada Miryam.
Akhirnya mereka berbagi tugas. Panembahan Somawangi akan pergi ke negeri Kahyangan, di Dataran Tinggi Dieng, tempat para Dewa bersemayam. Roro Lawe akan memimpin tanah Perdikan untuk sementara. Sedangkan Eyang Karangkobar akan mencari jejak keberadaan Miryam dan Santika.
Tubuh Eyang Karangkobar diselubungi api. Sesaat kemudian Dewa Kemarahan itu melesat meninggalkan Dalem Perdikan Somawangi menuju desa Jalatunda. Tujuannya disamping melacak jejak orang yang telah mengkhianati kakaknya juga akan membumuhanguskan seluruh penduduk Jalatunda sampai tak bersisa.
***
Malam itu langit diatas Jalatunda sangat gelap. Awan hitam menutupi sebagian besar bentang alamnya yang begitu kelam, membuat suasana begitu mistis dan mencekam. Tidak ada suara manusia atau desah napas yang terdengar. Sudah berbulan-bulan Jalatunda menjadi desa mati sejak seluruh penduduknya di jadikan santapan oleh Nyai Nagabadra, siluman naga penguasa hutan Kecipir. Manusia terakhir yang hidup adalah Miryam, sudah membekukan tubuhnya bersama jasad suaminya di bawah pohon cinta.
Namun mendadak langit menjadi terang benderang. Gulungan api sebesar gubuk di sawah melesat membelah kegelapan langit Jalatunda. Bola api turun dengan cepat, menabrak gerbang masuk desa hingga habis terbakar. Terus menggulung, meninggalkan jejak kebakaran hebat di setiap benda yang di lewatinya. Sesaat kemudian gulungan api itu berhenti di depan bangunan besar, Dalem Kelurahan Desa Jalatunda.
Kobaran api semakin mengecil dan berganti dengan sosok tubuh manusia yang berdiri tegak memandang bangunan kosong itu. Walaupun apinya sudah padam, tapi sekujur tubuh eyang Karangkobar tetap mengeluarkan cahaya merah membara. Jangankan manusia, iblis yang tercipta dari api pun mungkin bergidik melihat sosoknya.
PENGGANTI MIRYAM
Desa Jalatunda yang tadinya gelap gulita, mendadak terang benderang. Kobaran api yang menyala semakin besar membakar kayu-kayu kering dan rumah-rumah warga yang kosong tak berpenghuni. Karangkobar sampai terbengong sendiri menjumpai keadaan itu. Kemana semua penduduk Jalatunda perginya? Batinnya.
Rumah-rumah dan bangunan megah yang tak terawat, pepohonan dan rerumputan yang tumbuh liar di sana-sini, menyisakan pertanyaan mendalam di hati Dewa Kemarahan itu. Teringat saat kecil dulu pernah diajak ayahnya berkunjung ke Jalatunda, desa yang sangat makmur dan kaya. Jalanannya bersih dan rapi, penduduknya ramah, setiap singgah ke rumah pasti ada banyak makanan di dalamnya. Bahkan saking kayanya, desa Jalatunda juga memiliki pasukan keamanan yang dibayar dengan kas Desa.
“Miryam! Santika! Keluar kalian semua!” teriaknya.
Suaranya menggema, menabrak dinding udara dan memantul kembali kepadanya.
“Miryam! Santika! Atau siapapun yang masih bernafas di desa ini, keluarlah kalian semua!!” teriaknya lebih keras.
Lalu dia terdiam , menunggu jawaban. Tapi sepi tetap menyelubungi desa itu, bahkan suara hewan malam pun sama sekali tak terdengar. Aneh, batinnya.
“Miryam! Santika! Wush! Keluar!”
Selarik api merah yang sangat panas melesat dari kedua matanya. Membakar rumah-rumah yang ada di depannya. Memaksa Miryam dan Santika untuk keluar dari persembunyiannya. Lalu tubuhnya kembali terbang keudara. Mulutnya terus berteriak-teriak dan mengumpay nama Miryam dan Santika, sambil menebarkan api mautnya. Sebaran sinar panas seperti pita terpancar kesana-kemari, melibas dan membakar habis rumah-rumah, pepohonan dan rerumptan yang terkena sebarannya.
***
Pagi yang cerah. Matahari bersinar terang dengan cahayanya yang menghangatkan hati. Menghadirkan suasana gembira bagi siapapun yang menyambut kedatangannya. Suasana yang damai nampak dari kehidupan penduduk di Kademangan Wanasepi. Sejak ayam jantan berkokok, mereka sudah mulai menyibukkan dirinya dengan kegiatan rutin yang menjadi keseharian mereka.
Setelah meneguk kopi panas dan makan ‘godhogan boled’, makanan khas pedesaan yang terbuat dari ubi kayu, para penduduk yang sebagian besar petani mulai pergi untuk mengerjakan ladangnya. Dengan peralatan cangkul, sabit serta keranjang di kepalanya mereka bergegas menyambut matahari sambil berharap tanaman mereka semakin tumbuh subur.
Di Dalem Kademangan, Riyani sudah sibuk memasak di dapur. Memang dia harus mempersiapkan makanan sejak pagi, karena biasanya ada tamu-tamu ayahnya yang datang pagi-pagi. Ayah biasanya mengajak mereka makan pagi di ruang amperan sambil menikmati bunga-bunga yang tumbuh di taman. Namun pagi itu dia kedatangan tamu yang penampilannya ‘aneh’.
“Kulanuwun!” sapanya dengan nada yang kaku.
Sepertinya tamunya kali ini tidak biasa berbasa-basi. Riyani mengamatinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Seorang kakek tua, dengan tubuh tinggi tegap, berdiri gagah di depan pintu. Pakaiannya putih-putih, rambutnya, jambang, kumis dan jenggotnya yang panjang menjuntai juga berwarna putih. Tapi yang paling aneh, kedua matanya tertutup kain merah menyala.
“Monggo,” sahut Riyani halus. “Tapi maaf, kalau mau bertamu tunggulah sebentar, Romo Demang sedang pergi ke ladang memeriksa persediaan air untuk para petani.”
Lelaki tua itu nampak terhenyak. Suara Riyani begitu lembut dan halus. Lelaki yang selalu menutup matanya dengan kain itu rupanya bisa menebak kecantikan perempuan hanya dari suaranya saja. Dan dia tahu, Riyani adalah gadis desa yang sangat cantik. Suaranya begitu menggetarkan jiwanya.
“Baiklah,” lelaki tua itu menganggukkan kepalanya. “Aku akan pergi dulu. Sampaikan pada ayahmu, sahabatnya Karangkobar datang untuk berkunjung.”
Riyani menganggukkan kepalanya. Ternyata kakek tua itu adalah sahabat ayahnya. Hm, tapi kok penampilannya aneh gitu ya?
***
“Apa!”
Seperti mendengar petir di siang bolong, tubuh Demang Wanasepi hamper terloncat ke belakang karena kaget mendengar apa yang disampaikan puterinya, Riyani.
“Karangkobar katamu?”
Riyani menganggukkan kepalanya. Ada rasa cemas yang tersirat dari wajah ayahnya.
“Kenapa Romo? Dia temanmu kan?” tanya gadis itu heran.
Demang Wanasepi menganggukkan kepalanya. Karangkobar memang dikenalnya dahulu saat dia masih nyantrik atau belajar di padepokan milik Begawan Wanayasa, ayah Karangkobar. Sebenarnya orangnya baik dan lurus, dan masuk dalam jajaran pendekar aliran putih yang disegani. Saat dia masih nyantrik, Karangkobar sudah menjadi pendekar.
Tapi Karangkobar sangatlah pemarah. Dan kalau sudah marah, dia tidak ingat lagi siapa kawan dan siapa lawan. Semua yang menghalangi jalannya akan dibakar habis.
“Eh, Riyani, sebaiknya kau mengemasi pakaianmu. Pergilah sementara keluar kademangan, aku akan menyuruh Jogoboyo untuk mengantarmu,” kata ki Demang.
Riyani menatap wajah ayahnya semakin heran.
“Ada apa Romo? Kenapa Riyani harus pergi? Apa ada bahaya yang mengancam?”
Pertanyaan bertubi-tubi dilontarkan gadis cantik yang mencintai Santika itu.
“Romo belum bisa menjelaskan sekarang, karena kamu harus pergi secepatnya.”
Ki Demang memanggil sais dan pengawal Kademangan untuk mengantarkan Riyani ke rumah bibinya, di Kebondalem. Lalu dia mempersiapkan segalanya. Sudah lama sekali Karangkobar menyendiri bertapa di Gua Batu Hitam diatas pegunungan Sewu. Kabarnya dia sudah mundur dari dunia persilatan. Tapi kenapa dia muncul lagi?
Tak lama,lelaki tua yang diceritakan puterinya datang lagi. Ki Demang langsung menyambutnya.
“Ternyata benar kau yang datang, kakang Karangkobar. Sudah lama sekali sejak kita berpisah duapuluh tahun yang lalu,” katanya.
“Kau tidak terkejut melihatku Wanasepi?”
“Tentu saja aku terkejut, tapi anakku tadi sudah menceritakan kedatanganmu, sehingga aku tidak terlalu terkejut lagi.”
Karangkobar tersenyum. Hidungnya mencium bahu harum tubuh perempuan yang masih belia di sekitar rumah itu.
“Ada apa kakang? Apakah ada hal yang sangat mendesak sehingga kau turun gunung dari pertapaanmu?”
“Ya. Ada dua hal penting yang perlu aku sampaikan kepadamu.”
Demang Wanasepi terdiam menyimak kata-kata putera gurunya itu.
“Yang pertama aku sedang mencari Santika. Begundal yang telah berani membawa kabur Miryam, isteri kakakku Panembahan Somawangi. Apakah dia disini?”
Demang Wanasepi terkesiap kaget saat mendengar Karngkobar menyebut nama Santika.
“Santika? Kenapa kakang berprasangka orang itu ada disini?” ki Demang balik bertanya.
“Jawab saja pertanyaanku dengan jujur Wanasepi. Kau tahu kan siapa aku?”
Ki Demang menghela nafas panjang.
“Ya. Santika memang pernah kesini. Bahkan tinggal lama disini, lima tahun lebih. Tapi dia datang kesini untuk berobat, sampai dia sembuh dari penyakitnya. Kemudian pamit pulang ke Jalatunda. Diluar itu, aku tidak tahu urusannya dengan isteri kakakmu.”
Karangkobar mulai mengumpat. Suaranya mulai meninggi.
“Wedhus Gembel! Kalau kau tidak tahu urusannya, kenapa kau memerintahkan saismu untuk mengantarnya pulang dan lewat tanah perdikan? Kau bohong!”
Wanasepi terdiam lagi, rasanya sia-sia membantah perkataan Karangkobar. Tapi dia waspada.
“Maafkan aku kakang Karangkobar kalau kau menganggapku berbohong. Terus apa lagi yang kau inginkan dariku?”
“Yang kedua! Aku akan melamar puterimu!”
“Apa!”
Untuk kali kedua Demang Wanasepi benar-benar terkejut.
“Puterimu akan aku nikahkan dengan kakakku. Menggantikan kedudukan Miryam sebagai isteri penguasa tanah Perdikan, Panembahan Somawangi.”
Suara Karangkobar begitu dingin, sombong dan penuh tekanan. Seolah melarang ki Demang untuk menolak kemauannya melamar putrinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!