Dalam ruangan yang gelap tangan lelaki itu mencakar lantai berkali-kali seperti hewan buas yang sangat kelaparan. Mulutnya mengeluarkan air liur, matanya terbuka lebar menahan sakit yang diderita. Kukunya sudah penuh dengan darah, disitulah air matanya tertetes setelah rasa sakit menghilang.
Saat ini yang dia bisa hanyalah mengatur napasnya, dia terengah-engah dengan sekujur tubuh penuh darah dan sprei yang sangat kotor berwarna merah. Lelaki itu mengambil botol kaca penuh obat, dia hendak membukanya.
Namun, lemas diseluruh tubuhnya itu tidak membiarkan dia membuka tutup botol tersebut sehingga membuatnya harus memecahkannya. Dia melemparkannya sekuat tenaga...
Alhasil botol itu pecah mengeluarkan obat yang berhamburan, dia mengambil seluruh obat itu memasukannya ke dalam mulutnya mengunyah obat itu tanpa minum. Ia menahan pahit demi melepaskan penyakit dalam tubuhnya.
"Akhirnya berakhir... Aku bisa melewatinya," ucapnya diiringi senyum bahagia. Ia menyentuh dadanya merasai kalau tubuhnya sangat dingin, ia mencoba tegak bertumpu pada kaki walau lemas.
Pandangannya itu masih tertuju pada pegangan pintu, ia mencoba meraihnya tapi terjatuh dan tetap saja dia tidak memiliki tenaga sedikitpun...
Sedangkan diluar kamarnya, mereka sedang bercanda dengan suara tawa yang cukup keras dengan pesta yang sangat besar. Anak yang paling mencolok memakai gaun pesta, hari dimana dia dilahirkan sedang dirayakan.
Waktu akhirnya berlalu ketika seluruh pesta susah selesai, gadis yang memakai gaun itu matanya melirik-lirik seakan mencari sesuatu yang sangat penting. Tidak lama seseorang lewat gadis itu menghentikannya.
"Tunggu, apa kamu tahu di mana Ryan ?" Tanyanya dengan sopan dan senyum. Orang yang ditanyai menggelengkan kepalanya menandakan ketidaktahuannya, gadis itu tersenyum dan menunduk dengan sedih. Beberapa lama setelahnya dia merenungi kemana orang yang dia cari, padahal ini hari yang amat penting baginya.
Seseorang menepuk pundaknya, "Ya! Apa kamu menikmati pesta ini ternyata..."
"Huh ?!" Dia kaget dengan apa yang dilakukan orang itu atau tekanannya, dia menoleh padanya dan bertanya keberadaan orang itu. Namun sangat disayangkan dia juga tidak mengetahuinya.
Matanya menatap cincin yang ada dijari manisnya yang sedang dia pakai, begitu indah dalam pikirannya memikirkan pemberitaan lelaki itu yang bernama Ryan tersebut. Namun mungkin saat inilah kebahagiaan itu akan berubah jadi keheningan.
Suara gedebuk mengagetkan semua orang yang ada dalam ruangan. Berasal dari gudang, salah satu pelayan disuruh untuk melihat apa yang jatuh atau suara apa itu. Pelayan itu mengangguk kemudian membuka pintunya, tapi tidak disangka...
"Ryan! Kamu kenapa ?!" Teriak gadis itu sembari berlari menuju Ryan. Orang-orang sangat tidak percaya dengan apa yang terjadi, remaja itu memiliki banyak luka dan sangat kelihatan kesakitan bahkan merintih menahan sakit.
"... Rani.. maaf aku mengacaukan.."
"Tidak, jangan mengatakan itu sekarang. Kamu ke rumah sakit saja!" Ucapnya setengah membentak pada Ryan yang kelihatan sangat merasa bersalah. Kini dia dilarikan ke rumah sakit diangkat oleh dua orang, hanya saja gadis yang berulang tahun hari ini merasa sedih sekali.
Rani keluar dari rumah setelah mengganti bajunya dan dia masuk ke dalam mobil, melihat kalau orang yang dicintainya sedang menderita membuatnya merasa sakit. Mobil pun bergerak menuju rumah sakit.
Beberapa kali ada macet namun karena ada orang yang sedang dibawa menuju rumah sakit, para polisi menyuruh mobil-mobil untuk menepi terlebih dahulu seakan ambulan. Akhirnya sesudah mobil menepi, supir tancap gas dan melaju kencang.
Sesampainya di rumah sakit, ada perawat yang datang membawa ranjang memiliki empat roda untuk membawa pasien ke UGD rumah sakit.
Ryan dinaikan ke sana dan mulai didorong oleh empat orang, mereka masuk ke dalam ruang UGD segera karena keadaan Ryan sangat kritis...
Rani menutup mulutnya, "kenapa dia tidak mengatakan punya penyakit itu ?"
"Nona, sebaiknya anda pulang saja biar kami yang mengurus semuanya," ucap salah satu anak buah ayah Rani. Mendengarnya mengatakan itu, dia Munduk dan tetap duduk di kursi besi itu.
Di lorong rumah sakit Rani hanya terdiam merenung alasan kenapa Ryan menyembunyikannya, dia sangat syok dengan apa yang dilihat oleh kedua bola matanya sendiri. Sesaat sedang menahan tangisan, handphonenya berdering dan dia mengambilnya melihat kalau nama pemanggil adalah temannya.
Dia menekan tombol jawab dan mengatakan halo sembari menyimpan speaker ponsel dekat telinganya...
"Rani, apa Ryan tidak apa ?"
"Hmm.. dia sedang ada di UGD saat ini."
"Aku sedang dalam perjalanan, bagaimana dengan keluarganya ?"
"Pihak rumah sakit harusnya sedang mengurusnya," jawab Rani dengan rintihan tangisan. Bisa saja dia menangis saat ini, tapi tidak ingin karena Ryan selalu saja memintanya untuk berusaha untuk menahan tangisan karena dia gampang menangis.
Tidak ada yang mengejeknya karena sudah jelas ayahnya orang kaya, tidak ada yang mau berurusan dengannya kecuali mau mencari masalah atau ada kesalahpahaman. Dalam hal itu dia jarang mendapatkan teman, tapi Ryan lah yang selalu bersamanya.
Remaja lelaki itu tetap saja bersamanya apapun yang terjadi sesampainya, seorang Rani yang pendiam dan jarang bicara itu malah menaruh rasa kasih pada seseorang itu. Namun, Rani tidak menyangka kalau Ryan memiliki penyakit itu.
Memiliki nama heartlosive yang sangat berbahaya, sudah dipastikan oleh semua dokter di dunia kalau penyakit ini tidak menular hanya saja turun temurun dan Ryan lahir dari rahim ibunya yang memiliki penyakit tersebut.
Rani mengepalkan tangan, "Kenapa harus heartlosive sih ?!"
"Rani!" Teriak seseorang. Di lorong rumah sakit ada yang berteriak seperti itu, pasti ada banyak yang melirik padanya dan itu adalah temannya Rani bersama Tasya yang membawa seseorang bersamanya.
Sekarang dia duduk di sampingnya Rani, tangannya yang gemetaran itu dipegang dan Tasya tersenyum lembut di hadapannya. Rani mengangkat wajahnya melihat ada seseorang, dia menatapnya dengan heran karena belum pernah melihatnya.
Rani bertanya, "Siapa yang bersamamu ini ?..."
"Dia pacarku."
"Salam kenal..."
"Aku Rani.. kamu..?" Tanya Rani padanya, tapi tidak dijawab. Malah memberikan sebuah kartu identitas dan Rani mengetahui namanya kemudian kartu identitas itu diambil kembali oleh pemiliknya.
Beberapa saat berlalu mereka duduk dan hanya lelaki itu yang terdiam, wajahnya sangat menatap ruang sakit dengan tajam begitu dingin tatapan yang diberikan olehnya.
Pintu UGD terbuka dan ada dokter keluar dari dalamnya, Rani sontak kaget lalu berdiri datang pada dokter itu bertanya keadaan Ryan saat ini dan setelah mendengar penjelasan dari dokter Rani langsung lega.
"Dia baik-baik saja," ucap dokter dengan senyum. Mendengar perkataan dokter itu, Rani tidak bisa menahan tangisnya dan menyeka air matanya yang mengalir di pipinya.
Masuk ke dalam dia sendirian melihat Ryan sedang duduk di atas ranjang, mata mereka saling bertemu dan yang pertama kali bicara adalah Ryan yang mengucapkan salam padanya...
"Aku bersyukur banget."
"Ahaha kamu ini khawatir banget sih!" Timpal Ryan dengan tawa yang cukup keras. Dia melambaikan sedikit tangannya, meminta Rani datang padanya dan tentu saja Rani menyanggupinya dengan datang padanya.
Ryan mengambil pergelangan tangan Rani sontak membuatnya kaget, menatap tajam matanya dan membuka mulutnya dengan sorot mata yang serius...
Hari itu Rani menulis beberapa materi pelajaran bahasa karena tanggal ujian sudah dekat, dia mengukir, menulis, dan mengerjakan latihan soal dengan teliti. Tapi seseorang menganggu dirinya, membuatnya kaget tidak main ketika ada sebuah es krim di atas meja miliknya.
Untung bukunya tidak basah karena es itu belum meleleh dan masih dalam bungkusnya, tapi matanya menatap kepada orang yang melemparnya yang tidak lain dan bukan adalah Ryan dengan senyum menyeringainya.
"Makanlah."
"Gak mau."
"Mentang-mentang ini barang murah, dasar tuan putri."
"Baik-baik aku makan!" Tegas Rani dengan cemberut. Dia mengambil es krim itu dan mengigitnya, walau Ryan agak terkejut karena gadis ini sama sekali tidak merasakan linu atau semacamnya.
Hanya saja lelaki ini tidak terkejut lagi dengan apa yang terjadi, beberapa saat kemudian bel berbunyi menandakan waktunya untuk pulang dan sembari ada es krim di mulutnya Rani membereskan barangnya. Ryan juga tidak tinggal diam melihatnya.
Dia ikut turut membantu Rani membereskan barangnya, tapi entah kenapa saat itu Rani menghabiskan es krimnya dengan cepat dan wajahnya begitu memerah apel.
Mereka berdua bersama para murid keluar dari kelas dan berjalan di lorong kelas menuju gerbang sekolah untuk pulang ke rumah masing-masing...
Walau ada beberapa anak yang berlarian tapi kebanyakan mereka sudah pada pulang karena banyak yang membolos, walau Ryan agak jengkel dengan perilaku teman-temannya tapi tetap bersabar saja untuk saat ini. Entah dimasa yang akan datang.
"Kamu dijemput ayahmu ?"
"Tergantung aku meneleponnya atau tidak."
"Kalau begitu mau jalan kaki saja ? Itu sehat lalu jarak rumahmu cukup dekat.."
"Aku takut sendiri."
"Hahh.. kamu mah, kalau begitu mau bersamaku ?" Usul Ryan dengan senyum khas miliknya. Namun saat Rani mendengar usulannya itu, dia memerah kembali dan memalingkan wajahnya ke samping.
Begitu juga dengan Ryan yang bingung kenapa temannya ini malah memalingkan wajahnya, hanya saja dalam hati dia merasakan sesuatu yang aneh dan begitu menyakitkan tapi masih bisa untuk ditahan olehnya. Namun, itu takkan lama.
Sehingga dia meminta maaf pada Rani untuk pulang duluan, dia tahu kalau penyakitnya mulai kambuh lagi dan tidak membawa obat karena persediaannya habis. Sekali meminum obat adalah beberapa tidak satu-satu karena efek obat itu sangat rendah, makanya membutuhkan setengah botol agar penderita penyakit merasa tenang.
Ryan berlari menjauh, "Maaf aku duluan!"
"Ah iya! Hati-hati sampai rumah dan besok ulang tahunku! Aku mengundangmu! Nanti aku chat!" Teriak Rani seraya melambaikan tangannya. Kedua remaja itu berpisah dengan senyum diantara mereka, tetapi Ryan hanya memasang senyum palsu semata.
Disebuah gang dia muntah darah dengan batuk yang sangat kencang, tangannya tak bisa diam dengan getaran yang tinggi. Para preman hanya memandang padanya saja, mereka tidak berani untuk memalak orang seperti Ryan.
Karena penyakit heartlosive sangat membuat penderita menjadi agresif bahkan tenaga mereka menjadi berkali-kali lipat, itulah alasan mereka mengamuk dan sebagainya. Banyak juga yang mengaitkan kalau penyakit ini berasal dari para orang tua yang mabuk-mabukan, membuat anak mereka memiliki penyakit semacam ini.
Sedangkan gadis itu sedang naik taksi menuju rumahnya sambil terus menguap karena mengantuk, semalaman belajar dan tidak tidur sama sekali makanya sangat mengantuk.
Setelah sampai tujuannya ia meminta supir untuk berhenti kemudian turun, Rani memberikan sejumlah uang padanya dan taksi itu pergi.
saat berjalan ada kedua orang pasangan suami-istri sedang berdiri di depannya...
"Kenapa naik taksi ? Bukannya ayah bisa jemput."
"Ayah bukannya sedang mesra-mesraan sama ibu ?"
"Kamu masih kecil, jangan sok tahu deh."
"Baik, ibuku yang cantik manis..." Kata Rani dengan agak mengejek. Ia mendorong gerbang untuk sedikit terbuka membiarkan dia masuk, Rani melihat halaman rumahnya sedang ada orang yang memotong rumput di sana.
Ia tahu kalau kedua orang tuanya sedang mempersiapkan pesta kejutan untuk anaknya, walau harusnya tidak usah memberikan kejutan karena Rani sudah beberapa kali mengalaminya.
Gadis itu masuk ke dalam rumah melihat kalau seperti biasanya rumah besar, memiliki semuanya tapi dia merasa kesepian. Rambutnya yang diikat itu terurai oleh angin dari jendela, dia membuka ikat rambutnya dan merasa kalau semuanya hampa ketika Ryan tidak ada.
Begitulah apa yang ada dipikirannya dan diwaktu yang sama lelaki itu sedang menyiksa dirinya sendiri dengan cukup sadis...
"Besok.. rasa sakit ini harus menghilang, aku tak boleh mengecewakan Rani!" Ucapnya dalam hati sembari membulatkan tekad. Dia terus meminum obat itu seperti mabuk, wajahnya sangat menahan pahit. Walau seperti itu dia tak mau menyerah.
Berserah pasrah itu tidak dia kenal dalam hidupnya, tujuannya hanya menikmati sisa hidupnya yang hanya sebentar lagi tanpa siapapun dan membuat kesan buruk pada Rani agar meninggalkannya.
Semakin mereka dekat, semakin juga tinggi tidak akan menjamin menyimpan kasih sayang pada satu sama lain dan sebelum itu terjadi Ryan ingin mengakhiri semuanya...
"Apa kamu tidak apa hah ?"
"Aku baik."
"Aku merasa kalau kau tidak baik."
"Sudah kubilang kalau aku tidak apa, Fauzan."
"Sudahlah terserah padamu tapi jangan terlalu banyak memakan obat itu," ucap Fauzan dengan senyum. Ryan yang menatap sahabatnya itu hanya terdiam ketika melihatnya babak belur, dia kelihatan kacau dan tangannya berdarah.
Sebuah luka yang kelihatan serius mulai terlihat, pupil mata Ryan seperti mulai kehilangan warnanya dan dadanya sangat sesak tidak bisa bernapas dengan tenang. Sadar akan hal itu Fauzan menendang dadanya, segera Ryan tersadar dan muntah darah.
Melihat temannya begitu, Fauzan hanya bisa melihat dan memberikan dukungan semata walau hanya itu yang bisa dilakukan olehnya sebagai sahabat.
"Kamu masih saja mau temenan sama aku."
"Benar! Aku masih suka sama kakak lidi!"
"Sudah lupain saja, kenapa kamu masih menyebutku begitu ? Aku ini manusia dan lihatlah aku sudah tidak kurus seperti beruang lagi. Aku sudah terisi."
"Aku tahu dan beruang itu gede bukan kurus, hanya saj---"
Ada yang menyela perkataan Fauzan tapi bukan dengan kata-kata melainkan dengan tindakan yang cukup membuat semua orang kaget, tentu mereka termasuk dan keduanya kaget dengan wajah yang tidak main kagetnya.
Sebuah boneka mirip dengan setan dari film yang baru keluar jatuh, mereka berdua sangat kaget dengan kejadian itu dan itu bukanlah angin karena jendela ditutup. Namun, ada orang yang menjatuhkannya.
Ryan tahu itu ulah siapa langsung melempar batu pada pintu lemari, setelah mengenai pintunya tercipta suara benturan antara pintu kayu dan batu membuat suara nyaring...
Tak lama pintu terbuka memperlihatkan seorang boneka cantik sedang berdiri, Fauzan menatapnya dengan tajam dan keringat bercucuran dari dahinya. Walau dia tahu kalau ada seseorang di dalamnya.
Seseorang keluar, "Baa!!"
"Kau ini anak kecil ?"
"Ah, maaf aku hanya ingin kalian jantungan saja."
"Kau kurang ajar banget!" Kata Ryan sambil mengepalkan tangannya. Kedua lelaki itu mengepalkan tangannya, tetap saja gadis itu hanya tersenyum masam ketika menghadapinya karena hanya iseng saja dan dia mengatakan itu tanpa sengaja dia keluarkan dari mulutnya.
Saat itu juga ada yang aneh dengan Ryan, dia seketika berteriak dengan keras dan menekan-nekan dadanya. Heartlosive kambuh lagi... Begitulah dalam pikirannya yang kacau, dia ingin segera untuk bebas dari penyakitnya ini.
Gadis yang bersama Fauzan dan Ryan sekarang menduduki kasurnya, kelihatan sedang memperhatikan temannya yang sedang menahan sakit dan tangisannya. Walau seperti itu kedua orang itu tidak bisa melakukan apapun, Ryan sudah kelihatan sangat menderita.
Fauzan bertanya pada hadis itu, "Widya, apa kamu tidak merasakan kalau Ryan butuh sesuatu ?"
"Aku tidak tahu pasti tapi ya Ryan perlu melawan penyakitnya itu."
Jendela yang sedang terbuka membuat angin masuk menyibakkan rambut mereka berdua, dengan rambut Widya yang panjang sampai ke punggung dan saat itu pun juga Ryan seketika terjatuh tergeletak pingsan, kedua remaja itu sadar kalau temannya pingsan dan melihat keadaannya.
Fauzan bersama Widya mengangkatnya untuk membaringkannya di atas kasur, tetapi dalam hati Fauzan dia mau berteriak dan menangis melihat temannya menderita begini. Itu sangat membuat hatinya sangat kesal.
Mereka keluar dari kamar Ryan, sekejap mata Ryan meronta-ronta di atas kasur dan mereka hanya bisa melihat saja kemudian pergi membiarkannya...
"Hei Fauzan, apa Ryan pernah mengeluh ?" Tanya Widya dengan sembari menunduk. Orang yang ditanya hanya terdiam kemudian pergi begitu saja, tanpa bicara sepatah kata sekalipun. Melihat rumah yang sepi begini sangat membuat Widya begitu merasakan begitu luasnya rumah ini, bukan ukurannya tapi suasananya.
Ryan tinggal di rumah sendirian tanpa orang tua, dia dibuang karena memiliki penyakit itu karena itulah dia dianggap sebagai seorang anak yang akan membuat malapetaka dalam keluarga.
Semua ruangan sangat luas, hanya dengan suara kecil saja sangat bergema dan begitu sunyi senyap sekali seluruh bagian rumah...
Widya melangkahkan kaki, "kuharap kamu bisa datang ke pesta ulang tahun Rani, kuharap."
Gadis itu pergi berlari keluar dari rumah Ryan sambil mengepalkan tangannya, tetap saja berat baginya meninggalkan teman masa kecilnya sendirian tapi mau bagaimana sekalipun tetap saja tidak boleh terlalu lama. Banyak juga yang mengatakan kalau heartlosive akan tambah parah jika penderita merasakan terlalu banyak emosi, seperti marah atau sebagainya.
Termasuk bahagia sampai tertawa, jika terlalu banyak tertawa maka akan kambuh dan itu akan membuatnya langsung memecahkan jantungnya. Walau kedengarannya gila tapi benar...
Setiap detak jantung para pengidap heartlosive akan merasakan tekanan, setelah mereka gugup akan merasakan seperti sesak napas dan kebanyakan saat melakukan hubungan akan membuat mereka menjadi tambah buruk, begitu lupa akan bagaimana bernapas sebentar saja akan buruk.
Banyak kasus dimana para pengidap akan lupa caranya bernapas...
"Apa kita sebaiknya tidak membelikannya makanan saja."
"Tidak usah, banyak sekali larangan untuk penyakitnya dan dia sudah mengisi kulkasnya penuh dengan makanan jadi tak usah khawatir."
"Begitu yah..."
"Kamu menyukai Ryan ?"
"Huh ?"
"Ya kau sangat kelihatan cemas," kata Fauzan sembari terus berjalan. Namun.. Widya hanya terdiam, dia melihat ke atas langit dan menendang punggung Fauzan dengan cukup keras sampai remaja lelaki itu terjatuh tersungkur.
Lelaki itu berdiri menatap gadis yang menendangnya dengan tatapan sinis...
"Dari pada itu! Bagaimana surat untuknya ?!" Tanya Widya dengan wajah memerah. Fauzan yang mendengar langsung darinya tersenyum jahil, dia menggelengkan kepalanya serentak membuat Widya begitu terdiam dan pergi menutup wajahnya sambil berlari dengan cepat.
Bagaikan jet tempur dia melesat hanya meninggalkan debu saja disepanjang jalan, membuat Fauzan merasa heran...
Dia tersenyum masam dan menggaruk kepalanya, "Dia sonik apa ? Cepet amat sih dan ya kurasa sebaiknya aku main game itu lagi..."
Dia mulai melangkahkan kakinya untuk menuju ke rumahnya walau sesekali melihat ke belakang pada rumah Ryan, ada sebuah pohon di depannya yang terlihat sangat begitu tua dan sekarang sudah tumbuh beberapa bunga warna biru. Itu pemandangan yang indah bagi Fauzan.
Malam hari datang dengan bulan yang menampakan dirinya bersama para bintang yang mengelilinginya, Ryan keluar dari rumahnya dan dia menatap pada pohon yang ada di halamannya. Dia melihat kalau sudah ada beberapa bunga, walau kebanyakan sudah mulai mau mati.
Dia duduk di teras sambil menatap pohon itu, begitulah pertemuannya dengan Rani yang mengubah hidupnya...
Kini dalam pikirannya dia memikirkan, apakah Rani ingat soal masa di mana gadis itu menyelamatkan seorang lelaki yang sudah berputus asa dan sebagainya telah hancur. Dia tidak memiliki sesuatu yang berharga lagi, tujuan hidup sekalipun tidak punya, tetapi Rani lah orang yang membukakan matanya membuatnya tersadar.
Dia membuka mulutnya, "Hey Rani, kukira aku takkan bisa ingin hidup lagi tapi cukup untuk kebaikanmu."
Remaja itu bicara sendiri sambil merenungi pertemuannya dengan gadis itu, mereka bertemu dengan pertemuan yang tidak terduga dan kesan pertama yang sangat buruk sekaligus mengerikan. Walau sangat sakit tapi hingga saat ini Ryan masih menahannya, dia hanya ingin melihat sesuatu.
Sesuatu yang diharapkan olehnya, Rani bahagia bersama orang yang dicintainya...
"Apa aku terlalu egois, ayah ?" Tanya dia pada ayahnya yang sudah tiada. Sampai saat di mana napas terakhirnya remaja itu tetap mengharapkan ayahnya pulang, sedang terdiam di teras rumah melihat gerbang rumah.
Tidak ada yang melewatinya, tidak ada motor yang masuk ke halaman, tidak ada pula orang-orang yang bicara dan membahagiakan dirinya. Menunggu saja waktu sampai ia kehilangan semuanya dan tersenyum diakhir.
Gadis itu sedang merapihkan bukunya sambil melihat keluar jendela, dia memperhatikan pohon yang sedang ditebang mengingatkan dirinya soal pertemuannya dengannya. Waktu itu bagaikan mimpi buruk, dia baru keluar rumah tapi melihat hal itu sampai tidak bisa melakukan apapun.
Bagaikan mimpi buruk yang sangat menghantui, tetapi sekarang si mimpi buruk itu berubah menjadi impian baginya untuk ingin selalu bersama mimpi buruk itu apapun yang terjadi...
"Rani, apa kamu susah selesai ?" Seseorang bertanya padanya. Rani pun membalasnya, "Ah, aku sebentar lagi selesai."
Dia menunduk, "begitu yah..."
"Ada apa ? Wajahmu sangat pucat, ada apa ?" Tanya balik Rani padanya. Gadis yang sedang bersamanya hanya terdiam dengan pertanyaan darinya, tidak lama dia berdiri dari tempat duduknya dan keluar ruangan dengan jalan kaki yang begitu manis.
Rani mengambil ponselnya dan mengirimkan beberapa pesan pada orang yang dituju. Begitulah kehidupannya, walau dia tidak meminta terkadang atau seringkali juga orang tuanya memberikan apa yang diminta atau tidak tetap saja.
Walau seperti itu Rani merasa banyak yang hampa, sebelum dan sebelum dia tidak bisa melupakan orang itu sampai sekarang. Kini Ryan juga tidak diinginkan jadi seperti orang itu, begitulah dalam pikiran gadis itu saat ini.
Rambutnya yang diikat begitu indah ditengah ruangan, tetap saja itu terurai oleh angin dan mengurai seperti rambut pada umumnya yang menyibak karena angin...
"Anak itu bodoh banget," katanya sambil tersenyum. Dia merona merah sambil membayangkan dia bersamanya, sebentar saja ingin dia bicara soal hatinya jika saja dia bisa melakukannya dan kuat untuk mengatakannya. Ia pikir hatinya memberanikan diri saja, tapi tetap saja dia masih ingin lelaki duluan bukan perempuan duluan.
Sekali saja gadis itu diterima tidak akan mengecewakan yang memilih, tetapi entah siapa yang tahu masa depan akan tercipta seperti apa dan semacam apapun, manusia hanya perlu memberikan yang terbaik untuk dirinya sendiri...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!