Airin adalah seorang gadis berusia 22 tahun, berparas ayu dengan tubuhnya yang mungil. Dengan kulit putih-nya semakin membuat dia terlihat menggemaskan, tapi terkadang dia tidak peduli apa kata orang.
Karena menurutnya. "Hidup Gue, gue yang jalanin kenapa harus ngurusin kata orang."
Tapi ada satu yang membuatnya selalu sakit hati, sikap keluarganya terhadap Airin.
Sikap kedua orang tuanya dan kedua saudaranya.
Apa yang di lakukan Airin selalu saja salah di mata mereka atau tak berarti.
Pernah sang kakak yang bernama Metta mengatakan. "Dulu Ibu sama Ayah itu cuma pengen punya anak dua, perempuan sama laki-laki. Jadi sebenarnya kehadiran lo itu nggak di harapkan."
Betapa sakit hati Airin mendengar ucapan Metta, bahkan sampai dia dewasa kata-kata itu masih tertancap jelas di hatinya.
Bahkan Airin sejak SMP sudah belajar mencari uang dengan jerih payah-nya sendiri, untuk membeli sesuatu yang dia inginkan.
Karena tidak mungkin baginya untuk meminta kepada orang tuanya, pasti akan selalu mendapat jawaban yang sama. "Ibu dan ayah tidak punya uang."
Tapi kemandirian Airin semakin dirinya tak di perdulikan oleh kedua orang tuanya.
Apalagi adik laki-laki Airin yang selalu menjadi prioritas mereka, dengan alasan sewaktu kecil pernah menderita sakit TBC Tulang.
Lengkap sudah luka yang mereka berikan. Hingga Airin dewasa nyatanya juga tidak ada yang berubah dari sikap mereka.
Perkenalan tokoh.
Airin Mariana ( 22 tahun )
Metta Aprilia, kakak Airin ( 26 tahun )
Faris Prianto, adik Airin ( 19
Watini, ibu Airin.
Bambang, ayah Airin.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Airin, lo gak pesan makanan?" Ucap teman Airin yang bernama Lusi.
Sekarang mereka sedang beristirahat di kantin tempatnya bekerja, Airin bekerja di pabrik sepatu yang jaraknya dua kilometer dari rumahnya. Airin hanya sebagai buruh biasa, karena hanya ijazah SMK yang dia punya.
Airin mendengus saat Lusi mengagetkannya. "Lo nggak pesenin gue sekalian?" Tapi Lusi hanya tersenyum setelah itu menggelengkan kepalanya.
"Ck." Airin hanya berdecak melihat Lusi, kemudian berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah ibu kantin yang juga sibuk melayani pesanan buruh lainya.
Hingga beberapa saat Airin kembali ke tempat duduknya semula yang ada Lusi di sana.
"Udah?" Tanya lusi.
"Hmm ...."
"Kok lo gak bawa bekal?" Tanya Lusi.
"Nggak, lagi males."
"Kenapa?"
"Udah, jangan di bahas. Gue males ceritanya," jawab Airin.
"Pasti kesel sama ibu lo kan?"
Airin hanya memutar bola matanya malas. Teringat kejadian tadi pagi yang membuatnya batal sarapan karena apa yang di ucapkan ibunya.
Saat Airin menyendok kan lauk pauk ke dalam piringnya yang berisi nasi, ibunya berdiri di sampingnya. "Ini tadi itu belanja habis lima puluh ribu," ucapnya.
Seketika Airin meletakkan sendok dan piringnya, berjalan mengambil tas-nya kemudian berangkat kerja.
Airin heran selalu itu yang di ucapkan ibunya saat ia makan, padahal waktu ayah dan adiknya makan, ibunya hanya diam.
Bahkan Airin berangkat kerja kadang di antar oleh pak Bambang ke pabrik, tidak jarang juga harus menunggu di depan rumah untuk menumpang pada sesama buruh pabrik yang melintas di depan rumahnya.
"Ini Neng pesanannya," suara ibu kantin yang mengantarkan pesanannya seketika membuyarkan lamunannya.
"Terima kasih bu," ucap Airin dan Lusi bersamaan.
Airin dan Lusi segera menyantap dua mangkok soto ayam yang berada di depannya.
"Airin kenapa sih lo gak coba ngekos aja?" Tanya Lusi di sela-sela makanya. Lusi sedikit tahu permasalahan apa yang di alami Airin dengan keluarganya.
"Udah pernah gue coba, tapi nggak di bolehin ibu. Katanya anak gadis gak boleh ngekos," ujarnya.
"Pasti bukan itu alasannya, pasti ibu lo cuma nggak mau jatah uang dari lo berkurang," cibir Lusi.
Airin tidak menanggapi celotehan Lusi, dan melanjutkan acara makan siangnya.
...----------------...
Jangan lupa vote, like dan komen. Terima kasih, semoga sehat selalu. Amin 😊
Hari sudah beranjak malam, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sebuah gerbang pabrik sepatu terbuka, menandakan para pekerja-nya sudah memasuki jam pulang.
Dan benar saja, para pekerja satu persatu keluar dari gedung pabrik. Rasa lelah jelas mendera mereka, karena terlihat jelas dari raut wajah mereka yang tampak lesu.
Di pabrik itu terbagi beberapa gedung dengan kerja operasi yang berbeda berbeda, dan jam operasional yang berbeda juga.
Ada gudang bagian bahan mentah, gudang karton, gudang in sol dan out sol, gudang lem dan latek. Dan ada beberapa ruangan untuk mengerjakan proses pembuatan sepatu mulai dari tahap cutting, sablon, jahit dan Assembling.
Dari beberapa bagian tersebut, di assembling lah yang selalu kerja lembur. Bahkan saat akan mengejar waktu pengiriman, karena assembling adalah pengerjaan tahap akhir sepatu sebelum di packing.
Karena jam kerja di mulai pukul enam pagi hingga hampir tengah malam, membuat rasa lelah menghinggapi di sekujur tubuh. Tak terkecuali Airin.
"Airin gue pulang dulu," teriak Lusi, karena Lusi menuju ke arah parkiran sepeda.
"Ok," sahut Airin.
Airin melangkahkan kakinya menuju ke arah gerbang, mengedarkan matanya saat sudah di luar gerbang. Mencari sosok sang ayah yang biasa menjemputnya.
Airin melihat satu persatu orang yang berjejer juga untuk menjemput anggota keluarganya, tapi Airin hanya menghembuskan nafasnya pasrah saat tak mendapati ayah-nya di sana.
Maka jalan terakhir adalah menunggu salah satu pekerja yang ia kenal untuk bisa menumpang.
Hingga jam 22.30 Airin baru sampai di rumah, dan terlihat Metta juga suaminya sedang bekerja di ruang tamu. Suami Metta adalah seorang tukang jahit tas yang ia bawa pulang untuk di kerjakan di rumah.
Airin masuk ke dalam rumah begitu saja tanpa memperdulikan Metta dan suaminya, hubungan mereka memang tak cukup baik. Entah apa penyebabnya Airin juga tak mengerti, hubungan mereka memburuk begitu saja.
Airin menuju ke kamarnya untuk melepas lelah, membaringkan diri di kasur lantai yang tidak terlalu empuk karena sudah sedikit menipis. Di tempat 3x3 meter itu lah tempat ternyaman saat Airin pulang ke rumah, rumah orang tuanya yang sederhana.
Di rasa rasa lelah sudah sedikit menghilang, Airin keluar dari kamar dengan handuk dan baju ganti yang tersampir di pundaknya. Tujuannya sekarang adalah menyegarkan tubuh-nya dengan mandi di kamar mandi yang terletak di samping dapur.
"Segar ...." Ucapnya dengan memejamkan mata, saat air dingin itu menyentuh dan mengguyur kulit putihnya yang polos.
Hingga 20 menit kemudian Airin baru menyelesaikan ritual mandi-nya, Airin menuju kamar untuk menaruh handuk dan kembali lagi ke dapur. Setelah menaruh baju kotor di keranjang baju, Airin mengambil piring untuk mengisi perutnya yang lapar.
Tapi Airin harus menutup lagi rice cooker karena nasi sudah tak tersisa di sana.
"Huft ... selalu saja seperti ini," gumamnya. Karena tidak hanya sekali Airin mengalami hal seperti ini, meskipun Metta sudah memasak lauknya sendiri untuk dia dan suaminya tapi, untuk nasi dia masih jadi satu dengan ibunya.
Airin segera meletakkan kembali piring yang tadi sempat ia ambil, dan mengambil dompet yang berada di dalam tas kerjanya. Mengambil beberapa lembar uang untuk dia belikan makanan.
Airin berjalan keluar rumah, dengan sedikit menyebrang jalan Airin bisa mendapati tukang penjual nasi goreng yang biasa mangkal di seberang di pinggir jalan.
"Pak, bungkus nasi goreng satu," ujar Airin.
"Iya Mbak Airin," sahut penjual nasi goreng yang seumuran dengan ayahnya.
"Baru pulang Mbak?"
"Iya Pak."
"Lembur terus kerjanya!"
"Alhamdulillah."
Hingga beberapa saat pesanan nasi goreng Airin sudah siap. "Ini Mbak!"
"Terima kasih," ucap Airin seraya memberikan beberapa lembar uang.
Airin kembali melangkahkan kakinya menuju rumah, dengan kantong kresek yang berisi sebungkus nasi goreng di tangan kananya.
Airin membuka bungkusan nasi goreng saat berada di dalam kamarnya, menikmati makan malam di temani televisi 14" dan segelas air putih.
Hanya hiburan dari televisi kecil itu yang menemani hari-hari Airin saat berada di dalam kamar. Dan kipas kecil yang dapat mengurangi hawa panas di kamar itu.
Setelah selesai dengan acara makan malamnya, Airin mengecek ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Hanya ada beberapa pesan dari media sosialnya, teman laki-laki yang ia kenal lewat jejaring media sosial.
Airin tidak berniat untuk membalas pesan itu, karena rasa ngantuk sudah menderah nya. "Duh ... datang kan penyakitnya," keluh Airin. Memang apalagi, kalau perut kenyang setelah itu mata yang mengantuk.
Membaringkan tubuhnya, mencari posisi yang pas untuk membuatnya tidur nyenyak. Tak perlu membutuhkan waktu lama, Airin sudah terbang ke alam mimpi.
Rasa lelah dan kenyang, mudah untuk membuatnya tertidur pulas. Mengistirahatkan tubuhnya untuk bekerja esok hari.
*
*
Langit malam telah berganti pagi, alarm di ponsel Airin sudah berbunyi nyaring. Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi, bahkan matahari saja masih malu-malu untuk keluar dari persembunyiannya.
"Ya ampun perasaan baru merem," ucap Airin dengan suara serak khas orang bangun tidur dan tangan yang meraba-raba mencari keberadaan ponselnya.
Dengan malas Airin bangun dari tidurnya, setelah mematikan alarm pada ponselnya. Airin mencari sandal jepit yang biasa ada di kamarnya. "Ini sandal kemana lagi, masih pagi udah jalan-jalan," gerutunya.
Mata Airin berbinar saat melihat sandal yang ia cari terselip di samping lemari. "Sukanya petak umpet melulu lo," cibir Airin pada sendal jepitnya.
Kebiasaan Airin saat mandi pagi, adalah tak lupa memakai sandal jepit. Karena menurutnya bisa mengurangi rasa dingin dari air.
Saat menuju kamar mandi Airin bisa melihat ibunya yang juga sudah bangun dan sedang memasak.
Hingga 20 menit kemudian, Airin sudah selesai dengan ritual mandinya dan memakai seragam kerja.
Semua orang masih tertidur, menikmati mimpi mereka. Sedangkan Airin harus bersiap untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah.
"Airin sarapan dulu," teriak sang ibu.
"Iya," sahut Airin.
Airin yang sudah rapi berjalan ke arah meja makan, di sana sudah tertata rapi masakan ibu.
Hari ini ibunya tak seperti biasanya yang menyebut nominal jumlah uang yang ia pakai untuk belanja.
Oleh karena itu Airin bisa sarapan dengan tenang.
"Bu, Airin berangkat kerja dulu," pamitnya. Setelah menghabiskan sarapannya.
"Iya, ini bekalnya," ibu Airin menyodorkan kotak bekal yang sudah terisi nasi dan lauk pauk.
Airin segera menggapai tangan ibunya untuk ia cium, dan memasukkan kotak bekal ke dalam tasnya.
Saat berjalan keluar rumah ternyata ayahnya sudah bangun, dan memanasi sepeda motor.
"Ayo berangkat," ajak ayah.
"Iya."
Tidak butuh waktu lama, Airin sudah tiba di pabrik tempat ia bekerja. "Ayah, Airin masuk dulu," pamitnya setelah turun dari sepeda motor dan mencium punggung tangan ayah.
"Iya, hati-hati," pesan ayah.
Airin berjalan memasuki ke arah gedung assembling tempatnya bekerja, di sana juga sudah ada beberapa orang yang sampai terlebih dahulu.
Airin mendudukkan dirinya di tumpukkan kertas, dengan punggung bersandar pada tembok. "Ya ampun ... masih terasa lelah sisa kerja kemarin."
...----------------...
Jangan lupa vote, like dan komen. Terima kasih, semoga sehat selalu. Amin 😊
Airin sejenak memejamkan matanya, meresapi rasa ngantuk yang masih tertinggal sedikit di matanya.
Hingga suara langkah kaki yang semakin ramai berbenturan dengan lantai membuat Airin terbangun.
Airin dan Lusi bekerja di bagian yang sama, bagian assembling tapi di khusus inner (bagian melipat karton untuk tempat sepatu)
Sebenarnya ada juga pekerja yang lainya satu ruangan dengan Airin, tapi mereka sudah sedikit berumur. Hingga Airin hanya nyambung jika bercerita dengan Lusi, karena mereka yang termuda di ruangan itu.
"Hei, lo tumben datangnya pagian?" Tanya Lusi yang baru datang.
"Iya, tadi di anterin ayah."
"Kena angin apa?"
"Mungkin lagi pengen."
"Halah ... lo gak inget hari ini kita gajian, pastilah ada udang di balik bakwan," cibir Lusi.
Airin hanya memutar bola matanya malas, yang masih pagi sudah mendengarkan celotehan Lusi yang seperti burung beo.
Hingga beberapa saat bel di pabrik itu sudah berbunyi, menandakan jam sudah pukul enam pagi. Waktunya untuk memulai kerja.
Bel akan berbunyi jika jam 06.00, 07.00, 12.00, 13.00 dan 15.00. Setelah di atas jam tiga sore bel akan berbunyi setiap satu jam sekali.
Airin dan Lusi memakai Appron mereka dan bersiap untuk memulai pekerjannya. Di assembling terdapat tiga line, dan ruang kerja Airin terdapat di lantai atas yang masih terhubung dengan assembling.
Airin dan Lusi harus bisa memenuhi target satu line, begitupun dengan teman Airin yang lainya. Satu line di jatah dua orang pegawai. Sedangkan satu line harus memenuhi target 230 inner per jam.
"Rin kalo aja kita gak pulang malam terus, pengen deh jalan-jalan kemana gitu," ucap Lusi, dengan tangan yang cekatan melipat inner.
"Ck, jangankan jalan-jalan Lus, pulang agak sorean dikit aja syukur," sahut Airin, dengan tangan yang juga cekatan melipat inner.
"Hei, kalo ngobrol jangan keras-keras nanti ketahuan sama kabag (kepala bagian)" tegur mbak Endang pengawas Airin.
Airin dan Lusi hanya tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang putih. Beruntung Airin memiliki pengawas yang tak segarang pengawas lainya.
"Lus gue ke gudang dulu, dah habis tuh ...." ucap Airin seraya mengedikkan dagunya ke arah inner yang mulai menipis persediannya.
"Ok," sahut Lusi.
Airin berjalan ke arah gudang dengan hand pallet yang berada di tangannya, memang saat persediaan inner-nya habis mereka tidak bisa berdua untuk mengambilnya. Karena ada yang harus tinggal untuk memasok inner ke line.
Untung saja gudang tempat Airin mengambil inner hanya di ruang sebelah. "Mbak, aku mau ambil inner," teriak Airin kepada mbak Yuyun, pegawai yang bertugas mencatat keluar masuk barang, usianya yang jauh di atas Airin.
"Iya," sahut mbak Yuyun yang keluar dari ujung ruangan, sepertinya habis mengecek persediaan barang.
"Mbak aku ambil tujuh ratus ya," ucap Airin seraya memberikan buku nota.
"Ok, barangnya ada di sebelah sana," tunjuk mbak Yuyun pada ujung gedung.
"Jauh sekali mbak," keluh Airin, seraya melangkahkan kakinya ke tempat yang di tunjuk mbak Yuyun.
Mbak Yuyun hanya tersenyum melihat keluhan Airin.
Airin dengan perlahan memindahkan gebokan inner pada hand pallet, satu gebok berisi 50 lembar inner.
Mbak Yuyun berdiri di samping Airin, menghitung inner yang di ambil oleh Airin agar tidak salah. Airin melarang mbak Yuyun membantunya karena sedang hamil.
"Ok, selesai," ucap Airin seraya mengusap keningnya yang sudah di banjiri keringat.
"Ok, pas ya," sahut mbak Yuyun seraya mengembalikan nota nya yang sudah di tandatangani.
Dengan perlahan Airin memompa hand pallet agar sedikit meninggi, supaya tidak terlalu berat saat di tarik.
"Mbak, aku balik dulu!" Teriak Airin kepada mbak Yuyun yang sudah beranjak dari sana.
Dengan perlahan Airin menarik hand pallet yang sudah terisi inner berjalan ke ruangannya.
"Ya ampun, gimana aku mau tinggi, tiap hari kerjaannya angkat inner. Tapi ada hikmahnya juga anggap saja habis fitnes," gerutunya, seraya mengusap keningnya yang sudah di penuhi keringat lagi.
"Huft ..." Airin menghembuskan nafasnya kasar, dan segera menenggak minumannya hingga habis, saat sudah sampai di ruangannya.
"Lus, gantian," ujar Airin.
"Ok," sahut Lusi yang segera berdiri dari duduknya. Dan gantian sekarang Airin yang duduk.
Memang seperti itu pekerjaan mereka setiap hari, ada plus minusnya. Plus dapat pengawas yang baik, minusnya pekerjaan yang seperti kuli menguras tenaga.
Lusi dengan perlahan memindahkan inner yang tadi di ambil Airin ke tempat persediaan mereka. Hingga beberapa saat Lusi juga mengalami hal yang sama seperti Airin, keringat yang membasahi keningnya.
Tapi menurut Airin dan Lusi itu tidak masalah. Asal teman kerja mereka tidak suka nyinyir seperti mulut tetangga.
***
Siang hari telah tiba, sudah waktunya bagi pekerja untuk mengisi perut mereka. Termasuk Airin dan juga Lusi yang sudah berada di kantin.
"Lus pesenin gue juga, tapi minum aja," ucap Airin.
"Lo nggak makan?"
Airin mengeluarkan kotak bekalnya dari dalam tas dan menaruh di atas meja.
"Tumben lo?" cibir Lusi mengetahui Tiara membawa kotak bekalnya.
"Lo aneh tau gak, gue bawa salah, gue gak bawa salah juga."
"Ck." Lusi hanya berdecak pinggang. Kemudian otaknya mengingat sesuatu. "Ah ... hari ini kan gajian," ujarnya.
Airin hanya mencebikkan bibirnya.
Setelah itu Lusi melangkahkan kakinya ke arah ibu kantin untuk memesan makanannya dan minuman Airin.
"Udah?" Tanya Airin saat Lusi sudah kembali kemejanya.
Lusi menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, dan mengeluarkan ponsel di sakunya. Mengotak atik seraya menunggu pesanannya tiba.
Sedangkan Airin sudah membuka kotak bekalnya dan bersiap untuk melahapnya. Tapi ia urungkan saat matanya melihat Lusi yang menatapnya. "Lo mau?"
Lusi dengan cepat menganggukkan kepalanya, entah kenapa Lusi juga ingin mencicipi bekal yang di bawa Airin.
Airin hanya memutar bola matanya malas, kemudian mengeluarkan satu sendok yang selalu ia bawa. Buat jaga-jaga kalau ibunya lupa membawakannya sendok, dan ia berikan kepada Lusi.
Akhirnya kotak bekal itu Airin makan berdua dengan Lusi, hampir saja isi bekal itu habis, ibu kantin datang membawa pesanan Lusi. "Ini neng pesanannya," meletakkannya di atas meja. Mata ibu kantin melihat Airin dan Lusi yang sudah makan. "Loh, kalau kalian sudah makan! ini di makan siapa?" Tanya ibu kantin heran.
"Tenang saja bu, masih muat kok," sahut Lusi seraya mengelus perutnya yang rata.
Airin hanya menggelengkan kepalanya melihat porsi makan Lusi yang besar tapi dengan tubuh kecil seperti dirinya.
Ibu kantin pergi dari sana, untuk melayani pekerja lainya yang juga ingin makan.
Dengan lahap Lusi menyantap makan siang ronde keduanya. Airin hanya memperhatikannya seraya menyesap minumannya.
"Lus, perut lo gak kenyang?" Tanya Airin di sela-sela Lusi memakan makanannya dengan lahap.
Lusi menggelengkan kepalanya, dan menelan makanan yang ada di mulutnya. "Tadi itu baru ke isi perut gue yang sebelah kanan, nah ... biar gak iri gue isi yang sebelah kiri," jawabnya sambil tersenyum.
Airin hanya tepuk jidat melihat kelakuan sahabatnya itu.
...----------------...
...Jangan lupa vote, like, dan komen. Terima kasih, semoga sehat selalu. Amin 😊...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!