Catatan Author:
Tentang masa nifas dan masa Iddah.
Nifas itu keluar darah kotor, sama seperti mens. Yang dilarang keras itu shalat dan baca Alquran. Kalau kita mens, kita tetep boleh nikah kan? begitulah gambaran gampangnya.
Masa Iddah, kenapa ada masa Iddah? untuk melihat apakah di rahim istri yang ditinggal suaminya meninggal ada janinnya atau tidak. Jadi kalau wanita hamil di masa Iddah bisa tau dengan jelas siapa Ayahnya. Kalau suami meninggal disaat istri hamil, maka masa Iddahnya selesai saat dia melahirkan.
Happy Reading,
Sharing is caring, don't judge, spread love 🌹
Jangan lupa selalu like dan komen di tiap bab, bentuk dukungan untuk penulis 🙏
☘☘☘☘☘
"Saya percaya, saya memang orang yang harus merawat istri kakak saya dan anak mereka."
Kata-kata itu terdengar sangat indah ketika aku mendengarnya. Arick meyakinkan kedua belah pihak keluarga bahwa dia siap menikahi ku.
Aku dirundung kebingungan, sebenarnya aku tak menginginkan pernikahan ini. Turun ranjang? yang benar saja. Tak pernah sekalipun aku terpikirkan akan hal itu.
Tapi anakku yang baru berusia 3 hari butuh sosok seorang ayah, ia terus saja menangis dan tenang ketika dalam dekapan Arick.
Kenapa? mungkin karena Arick adalah adik kembar mendiang suamiku Arend.
Aku sungguh tidak tahu apa yang terjadi, kenapa hidupku jadi seperti ini? sebenarnya apa rencana mu Tuhan?
"Jihan."
Ibu menyadarkan ku dari lamunan, aku sadar kini mereka semua sedang menunggu jawaban ku. Pak Mardi dan Ibu Sofia, kedua orang mertua ku. Juga ibuku Nami, kakak ku Faruq dan istri kakak ku Aluna. Mereka semua menunggu jawaban ku atas pernyataan Arick tadi.
Aku kembali berpikir, benarkah keputusan ini? demi menjaga kehormatan ku dan tumbuh kembang Zayn anakku, aku harus menikah dengan Arick. Air mata ku mengalir tanpa permisi, mengingat makam mas Arend yang masih basah.
Bagaimana ini ya Allah, bolehkan aku meminta waktu?
Oeeek oeekk, anakku menangis, cepat-cepat aku berlari menuju kamar. Ku dekap Zayn dan langsung aku susui dan dia kembali tenang.
Ku tatap wajah kemerahan Zayn, wajahnya sangat mirip dengan mas Arend kecil, yang juga berarti mirip dengan Arick.
Aku tersenyum getir, kembali teringat atas permintaan ibu dan mertua ku.
"Bolehkah ibu egois Nak? ibu ingin sekali egois dan menolak pernikahan ini. Tapi setiap kali ibu melihat wajah mu, ibu tak lagi memiliki ego. Zayn adalah anak ibu dan apapun akan ibu lakukan untuk kebahagiaan Zayn."
Aku kembali menangis, mencoba memantapkan hati untuk menerima pernikahan ini.
Mas Arend, apakah kamu juga menginginkan aku menikah dengan Arick?
"Nak, Zayn sudah tenang, ayo kita ke depan lagi." Ibu Sofia datang menjemput ku ke kamar. Kali ini aku bawa Zayn di gendongan ku. Dengan melihat Zayn maka aku bisa berkata IYA.
Aku kembali duduk di samping ibu, ku rasakan ibu mengelus pundak ku memberi ketenangan.
"Bagaimana Nak? Arick sudah setuju untuk menikahi mu, lalu apakah kamu bersedia menikah dengan Arick?" Tanya papa Mardi.
Semua orang menatap padaku dan aku sangat takut, aku mencoba melirik Arick. Ternyata dia pun sedang menatap ku seperti yang lainnya.
Selama ini aku hanya menganggap Arick sebagai seorang adik, kami juga tidak terlalu dekat. Sikap Arick sangat dingin berbeda sekali dengan mas Arend yang memiliki sikap hangat.
Lama ku lihat ke arah Arick, hingga ku lihat Arick sedikit mengangguk dan mengedipkan matanya pelan. Arick memberi isyarat pada ku untuk menjawab IYA.
Ku tatap anakku yang mulai belingsatan tidak jelas, jika sudah seperti ini maka hanya Arick lah yang bisa menenangkannya.
Mengetahui Zayn yang mulai tak nyaman berada di gendongan ku, Arick bangkit dari duduknya, ia berjalan mendekati aku dan mengambil Zayn.
Semua orang tersenyum, ketika melihat dalam sekejab saja Zayn kembali tidur di gendongan Arick.
Aku sudah tidak memiliki alasan.
"Jihan bersedia Pa untuk menikah dengan Arick." Ucap ku ragu-ragu.
Kembali ku selami hatiku yang masih berombak besar.
Mas Arend. Aku hanya bisa menyebut nama ini didalam hati ku, lelaki yang sangat aku cintai yang kini sudah berada di surga.
Aku akan menikah dengan adik mu Mas.
"Saya terima nikah dan kawinnya Jihana Putri binti almarhum Abdullah dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"
"Sah?"
"SAH! Alhamdulilah."
Hatiku kembali bergetar ketika mendengar Arick melafalkan ijab kabul untuk mempersunting ku. Jujur saja, aku selalu melihat Arick sebagai mas Arend dan sekarang pun seperti itu.
Seolah kenangan ku menikah dengan mas Arend satu tahun yang lalu kembali terulang. Aku sedih dan merasa sangat jahat.
Aku mencium punggung tangan kanan Arick takzim. Dia pun mencium keningku. Terasa hangat dan menenangkan.
Mas Arend. lirih ku dalam hati.
Setelah pagi tadi aku menyetujui pernikahan ini, papa Mardi memutuskan untuk malamnya segera menggelar pernikahan. Kenapa bisa cepat sekali? karena aku dan Arick hanya menikah siri.
Sebagai seorang janda beranak 1, status ini sudah menguntungkan bagiku bukan? aku kembali mendapatkan imam bahkan disaat makam suamiku belum kering. Aku mendapatkan perlindungan dan rejeki yang akan suami baru ku berikan. Kehormatan ku terjaga dan anakku mendapatkan kembali ayahnya.
Ku dengar pak Ustad mulai memberi wejangan kepada kami sebagai pengantin baru.
Beliau membacakan Surah al-Rum (30): 21 berbunyi, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara mu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
Air mata ku mengalir, mereka semua mungkin melihat ini adalah air mata kebahagiaan. Tapi bukan, ini adalah air mata kesedihan ku yang paling mendalam.
Mungkin memang benar akan ada rasa kasih dan sayang di pernikahan ku ini, tapi itu semua hanya tercurah untuk Zayn, sedangkan untuk ku dan Arick tidak ada.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jam 9 malam semua acara sudah selesai, kini aku sudah menjadi istri Arick meski hanya menikah dibawah tangan. Sah secara agama namun tidak tercatat di pemerintah, hanya dengan talak yang keluar dari mulut Arick maka aku bisa langsung diceraikannya.
Papa Mardi menenangkan ku, bahwa status ini hanya sementara. Arick akan segera mengurus berkas-berkas untuk mendaftarkan pernikahan kami dan aku hanya mengangguk mengiyakan.
Ku rasakan nuansa kamar ku saat ini.
Canggung.
Itulah satu kata yang kini menyelimuti kamar ku. Manusia berjenis kelamin laki-laki yang bernama Arick ini memang sangat dingin, berbeda dengan mas Arend. Aku semakin bingung harus bagaimana.
Zayn sudah tidur selepas isya tadi, biasanya jika sudah masuk kamar begini aku langsung melepas jilbab ku dan mengganti pakaian tidur.
Dan kini? Aku hanya bisa menggigit bibir bawah ku sambil terus berpikir. Jika Arick tidak bersuara rasanya mulut ku pun enggan untuk memulai pembicaraan.
Aku masih duduk di sebelah ranjang tidur Zayn, ku lirik Arick yang sudah naik ke atas tempat tidur ku. Tempat tidur ku dengan mas Arend sampai 10 hari kemarin.
Ya, mas Arend meninggal 10 hari lalu karena kecelakaan tunggal. Mas Arend dan sekretarisnya Lila saat itu sedang dalam perjalanan pulang dari Bandung setelah mengikuti acara perusahaan di sana. Malangnya saat itu hujan badai hingga penglihatan mas Arend kabur dan terjadilah kecelakaan itu. Masih bersyukur karena Lila selamat dan kini masih dalam perawatan di rumah sakit. 7 hari setelah mas Arend meninggal, aku melahirkan Zayn.
"Mbak, kenapa belum tidur?" Tanya Arick, ia duduk bersandar di ranjang dan menatap ku.
Mbak?
Ku ulangi panggilan Arick untuk ku didalam hati 'Mbak', aku tersenyum kecil mungkin Arick pun melihat senyum ku ini. Dengan panggilan itu entah kenapa aku merasa Arick mulai memberi batas pada hubungan kami, semacam ada jarak berupa dinding pembatas diantara kami. Mungkin bagi Arick aku tetaplah istri kakaknya, karena umur kami pun sama, 29 tahun.
Bodoh.
Selema ini aku hanya memikirkan tentang diriku sendiri, aku lupa berpikir dari sudut pandang Arick. Mungkin Arick pun sebenarnya terpaksa untuk menikahi ku. Mungkin ia menerima pernikahan ini karena desakan papa Mardi. Mungkin juga sebenarnya Arick sudah memiliki kekasihnya sendiri.
Benar, laki-laki berusia matang seperti Arick tidak mungkin belum memiliki calon istri. Aku tersenyum getir, kenapa baru sekarang aku menyadari itu semua.
"Mbak, kenapa belum tidur?"Arick kembali bertanya karena aku terlalu sibuk dengan pikiran ku sendiri.
"Iya M..Rick." Lirihku, hampir saja aku terceplos memanggil Arick dengan sebutan Mas. Sebenarnya terlepas dari semua masa lalu, terlepas dari cintanya aku kepada mas Arend, aku tetep ingin menghargai Arick sebagai suamiku saat ini. Dengan menyebutnya dengan sebutan Mas. Tapi dari caranya yang tetap memanggil ku Mbak, sepertinya aku harus mengurungkan niat ku itu.
Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir Ji. Ikuti saja alurnya, yakinlah bahwa Allah sebaik-baiknya penulis cerita dalam hidup mu.
"Mbak bicara apa? saya tidak mendengar dengan jelas." Jujur Arick.
"Iya Rick, Mbak akan tidur sebentar lagi. Kamu tidur duluan saja." Jawabku dengan jelas, Arick mengangguk, ia pun menarik selimut dan mulai tidur.
Ku tunggu hingga Arick benar-benar tertidur barulah aku beranjak. Melepas jilbab ku dan mengganti baju.
Ya Allah, bajuku pendek semua. Bagaimana ini?
Ku periksa satu per satu bajuku yang tergantung di lemari, juga yang terlipat di laci bawah. Aku lupa, aku tidak memiliki baju yang pantas untuk ku kenakan sekarang.
Baju tidur ku semuanya sangat tipis dan pendek-pendek. Sejak hamil hingga kini aku selalu merasa kegerahan, itulah kenapa aku mengganti semua baju tidur ku dengan baju tidur yang bisa dibilang kurang bahan.
Baju tidur dengan tali kecil dan panjang sampai di paha ku.
"Ya allah. Aku tidak akan bisa tidur dengan gamis ini." Gumam ku pelan dan hanya didengar oleh telingaku sendiri.
Ku lihat lagi Arick yang sepertinya sudah tertidur pulas. Baiklah, aku sudah mengambil keputusan. Aku terpaksa menggunakan baju tidur ini, besok baru aku akan membeli baju tidur yang baru.
Aku yakin nanti malam saat Zayn bangun untuk menyusu, Arick tidak akan terbangun dan besok pagi aku akan bangun lebih awal. Dengan begitu Arick tidak akan melihat ku menggunakan pakaian ini.
Selesai aku mengganti baju, aku langsung bergegas ke ranjang dan merebahkan tubuh. Ada guling yang menjadi pembatas diantara aku dan Arick.
Aku sangat lelah hari ini, benar-benar mengantuk.
"Em em em oeekk oekk."
Baru sekejab saja aku terlelap, Zayn terbangun. Ya Allah.
Aku segera bangun dan menyusui Zayn. Aku duduk di kursi khusus untuk menyusui bayi.
"Zayn kenapa?"
Deg! jantungku serasa akan copot ketika aku mendengar suara dingin ini.
Arick bangun.
Untunglah aku memunggunginya.
"Iya Rick, kamu tidur saja. Setelah menyusu Zayn akan tidur lagi."
Aku menoleh kebelakang dan ternyata Arick sedang menatap ku. Jantungku semakin berdetak kencang, aku merasa takut dan gugup. Walau kami sudah menikah tetap saja rasanya masih sangat asing. Aku merasa tidak nyaman saat Arick melihat aurat ku. Rambut panjang ku tergerai, bahu dan lenganku yang terbuka. Juga paha hingga ke kakiku tanpa penutup.
Secepat kilat aku memalingkan wajah dari Arick.
Ku dengar ada pergerakan yang dilakukan Arick, sepertinya Arick akan turun dan menemui ku.
Aku sangat takut.
Mas Arend.
Aku menggigit bibir bawah ku dan menutup mata, derap langkahnya semakin dekat. Ingin sekali aku melepas Zayn dan berlari mengambil apapun untuk menutupi tubuh ku. Tapi kini Zayn sedang menyusu dengan lahap, sangat tenang dan matanya terpejam. Aku tidak tega.
Akhirnya aku hanya pasrah, membiarkan Arick melihat semua aurat ku. Kini Arick sudah berdiri tepat dihadapan ku, bahkan dia pun mengelus pipi Zayn dengan lembut.
Saat ini aku benar-benar merasa seperti wanita murahan, Arick pun melihat sebelah payudaraku yang sedang di susu Zayn.
Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatapnya.
"Mbak tidak kedinginan memakai baju itu?" Tanyanya, pertanyaan ini juga sering sekali ditanyakan mas Arend dulu. Hanya akulah yang mengerti betapa panasnya dunia ini, meskipun AC sudah menyala.
Aku menggeleng, "Tidak." Jawab ku pelan. Aku masih menunduk, menahan malu yang sudah sampai di ubun-ubun.
Tidak apa-apa Ji, bagaimanapun keadaannya sekarang dia adalah suami mu. Dia berhak atas tubuh mu.
Aku hanya bisa terus mencari pembenaran dalam diriku. Mencoba menghilangkan kecemasan ini dan berpikir bahwa ini adalah wajar.
"Mbak, sepertinya kita harus bicara terlebih dahulu." Arick berjongkok dihadapan ku. Mungkin ia kesal melihatku yang selalu menunduk.
Dengan penuh keterpaksaan, aku memberanikan diri menatap matanya.
Mata mas Arend. Bukan! ini adalah Arick.
Mereka benar-benar sangat mirip.
"Maafkan Mbak Rick, kalau cara berpakaian Mbak tidak sopan dan membuat kamu tidak nyaman." Aku sadar diri, aku langsung meminta maaf kepada Arick.
"Semenjak Mbak hamil sampai sekarang Mbak selalu merasa kegerahan, Mbak tidak bisa tidur jika memakai baju yang tebal dan tertutup." Aku mencoba jujur, tidak ingin Arick menilai bahwa aku sedang menggodanya. Tidak seperti itu.
"Bukan itu maksud saya mbak." Jawab Arick, entah kenapa setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya membuat ku takut. Kata-kata dengan nada bicara dan wajah yang sama-sama datar, tanpa ekspresi.
Aku terdiam, bingung mau menjawab apa.
"Kita sudah menikah, Mbak dengan masa lalu Mbak dan saya pun begitu. Jadi alangkah baiknya jika mulai saat ini kita bisa saling mendekatkan diri. Agar pernikahan ini semata-mata bukan hanya karena Zayn. Tapi juga karena kita ingin mencari ridho Allah."
Hatiku tertegun mendengar penuturan Arick. Laki-laki yang biasanya selalu diam dan bersikap dingin bisa juga bicara seindah ini.
Arick memang masih menjadi misteri untuk ku dan sepertinya akan terus seperti itu. Meskipun sudah dengan jelas dia berkata untuk menerima satu sama lain, kami tetap saja merasa canggung.
"Baiklah Rick, kalau begitu bolehkah aku memanggil mu Mas?" Tanya ku dengan ragu-ragu.
"Jika hanya berdua Mbak boleh memanggil saya Mas, tapi jika Zayn sudah bangun panggil saya Ayah."
Aku dan Arick sama-sama tersenyum dengan mata kami yang saling mengunci, merasa lucu dengan panggilan itu.
Saat Arick tersenyum seperti itu, aku seperti melihat mas Arend.
Astagfirulahalazim.
Cepat-cepat aku membawa kesadaran ku kembali. Mas Arend sudah meninggal dan saat ini yang menjadi suami ku adalah Arick. Arick bukan Arend, kesalahan besar jika aku menganggap Arick adalah mas Arend.
Selesai menertawakan tentang panggilan Ayah, kami kembali terdiam canggung.
Ingin sekali aku meminta Arick untuk tidak memanggilku Mbak, tapi aku tidak punya cukup nyali.
Plup! Zayn sudah puas menyusu, tanpa ada rasa bersalah ia melepas *****.
Ya allah aku malu sekali saat Arick melihat itu semua. Cepat-cepat aku menaikkan baju ku dan tanpa ku duga Arick langsung bergerak mengambil Zayn dan meletakkannya di box bayi Zayn.
Arick sangat sigap dan aku sangat tersentuh akan hal itu.
Buru-buru aku mengambil cardigan yang tergantung di samping lemari pakaian. Setidaknya cardigan ini bisa sedikit menutup aurat bagian atas ku.
Selesai dengan itu aku menghampiri Arick yang masih berdiri didamping tempat tidur Zayn.
"Zayn sudah tidur, sekarang ayo kita tidur." Aku mengajak Arick untuk tidur, berusaha menghilangkan kecanggungan diantara kami.
Arick mengangguk dan kemudian berjalan menuju tempat tidur kami, aku mengikutinya dan berjalan kesisi lain ranjang.
Kini kami sudah sama-sama berbaring, tak ada obrolan pengantar tidur seperti yang selalu aku lakukan dengan mas Arend. Ya, wajar saja, karena ini Arick dan bukan mas Arend.
Lambat laun kami pun terlelap, keadaan kamar yang sunyi benar-benar membuat kami mengantuk.
Malam ini Zayn bangun sebanyak 4 kali dan tiap kali dia terbangun Arick juga menemaniku menyusui Zayn. Sumpah aku sangat tidak menyangka akan hal itu. Dalam benakku, Arick akan tertidur hingga pagi dan tidak akan mendengar tangisan Zayn meminta susu.
Aku salut sekaligus iba, ingin sekali aku bertanya tentang dirinya. Apakah kamu benar-benar ikhlas menjalani ini semua? menikahi ku dan membantu merawat Zayn. Apakah sebelumnya kamu sudah memiliki kekasih, namun kamu putuskan karena harus menikahi ku?
Banyak sekali pertanyaan yang berenang di kepalaku, namun tak satupun yang keluar. Melihat Arick yang rela berkorban, benar-benar membuat aku merasa egois.
Apalagi hingga kini aku masih memikirkan mas Arend.
Selesai mas Arick shalat subuh, aku mencium punggung tangan kanannya takzim.
"Terima kasih Mas." Ucap ku, aku memberanikan diri untuk menahan tangannya agar tetap berada di dalam genggaman tangan ku.
Bukannya menjawab, Arick malah kembali bertanya, "Kenapa tangan Mbak dingin sekali?" Tanyanya, Arick kemudian menarik tangan ku yang kiri kemudian menggenggam keduanya. Ia menggosok-gosok tanganku agar menjadi hangat.
Ini bukan karena aku kedinginan Rick, ini karena aku gugup.
Aku membiarkannya menghangatkan telapak tangan ku, meski tangan ini akan tetap dingin karena aku masih saja gugup.
"Jangan-jangan mbak masuk angin karena semalam tidur menggunakan baju itu." Tebak Arick dan aku menggeleng.
"Bukan Mas, aku baik-baik saja."
"Kalau Mbak sakit, kasihan Zayn nanti. Ayo biar saya balur punggung Mbak menggunakan minyak kayu putih." Arick menarik tangan ku untuk berdiri, aku benar-benar ingin lari dari situasi ini.
Ingin sekali aku menarik tangan ku dan melepas genggamannya.
Tapi niat itu aku urungkan, melihat betapa tulusnya dia kepadaku dan anak ku. Membuatku ingin menghargainya, menghargainya sebagai suami ku yang sesungguhnya.
Bukan hanya sebagai suami pengganti.
Aku melepas cardigan dan Arick mengambil minyak kayu putih di atas nakas. Tanpa babibu dia langsung duduk dibelakang ku dan membalurkan minyak itu di pundak ku yang terbuka. Aku belum mengganti baju dan kaki ku, ku tutupi menggunakan cardigan.
Tangan hangatnya terus menyentuh ku hingga ku rasa tangan itu menelusup dan masuk ke dalam bajuku. Arick membalur pinggangku juga.
Ya allah, jantung ku berdetak tak beraturan saat ini, rasanya jantung ini akan copot.
Tidak apa-apa Ji, dia berhak atas tubuh mu. Jika kamu menolaknya maka kamu yang akan menanggung dosa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!