🐌
Wanita berparas ayu dengan sneli putih itu berlari kecil bersama seorang perawat.
Tsabitha Mahliga, dokter kandungan berwajah cantik dengan balutan pasmina yang menutupi kepalanya.
"Sus Nana calling dokter Adam ya buat siapin anastesinya, ini saya lagi di lift.... Iya! ... Ok!."
Sahutnya setelah menerima panggilan telepon karena situasi urgent.
.
.
.
Tiga jam berlalu, Tsabitha telah selesai dengan urusannya di ruang bersalin, setelah operasi dadakan seorang pasien dengan trauma kehamilan ia melanjutkan visit beberapa pasiennya yang sempat tertunda sebelumnya.
Menuju lantai lima rumah sakit tempatnya bekerja ia dipertemukan dengan seseorang dari masa lalunya, Azam. Sosok pria yang pernah singgah dihatinya, memberinya harapan sekaligus membuatnya kecewa dan hilang kepercayaan akan suatu hubungan.
Bitha sadar tak seharusnya hatinya kembali merasakan sakit. Kepiawaiannya membawa diri membuatnya nampak baik - baik saja saat hatinya tengah bergemuruh. Hingga tak seorang pun akan menyangka jika si hati ingin menjerit.
"Bith!, apa kabar?!."
"Eh, baik! Kamu sendiri gimana?. Diana?! Sehat?!."
Sambutnya dengan senyum cerah, secerah hati si pria yang tengah bersamanya.
"Dia...baik!." Ucap azam dengan seulas senyum tipis
Tiiing...
Denting lift memisahkan keduanya.
"Aku duluan!."
Pamitnya saat pintu telah terbuka, terlihat anggukan kecil dari pria yang menyapanya tadi.
Hatinya begitu perih jika mengingat kisah mereka. Susah dan senang yang mereka lalui bersama nyatanya tak bisa memberikan kebahagiaan sampai akhir.
Bitha dan Azam pernah menjalin hubungan, kedekatannya dari masa sekolah menjadikan keduanya merasa nyaman satu sama lain, namun kisah cinta mereka tak seindah wajah ayu nya.
Penghianatan Azam membuat Bitha kecewa, merasa disia-siakan, ia tak pernah menyangka jika Azam yang ia kenal baik sejak bangku sekolah tega bermain dibelakangnya. Profesi Azam yang membuatnya terlena hingga menghamili teman satu kantornya, dan mengharuskannya menikahi wanita itu. Wanita dengan segala obsesinya juga tingkah yang tak patut untuk ditiru.
Cukup sudah Bitha merasakan sakitnya dihianati. Kini waktunya untuk menikmati kerja kerasnya. Yang lalu biarlah menjadi pelajaran sejarah! Karena pahitnya hidup tidak akan bisa masuk budi mengerti!.
"Tinggal kamar 2013 dok yang belum. Ibu yang kemaren hampir mberojol di ambulan itu!."
"Oh, iya!! Ih suka deh sama ibu itu. ceria banget!. Lucu, dengerin banyolannya!." Kesahnya sambari melihat lembar rekamedik ditangannya.
Setiba dikamar 2013 seorang ibu terlihat antusias menanti kedatangannya,
"Ibu solikah apa kabar nih!? si cantik udah enen belum sayang?!."
Ucapnya dengan wajah berbinar melihat bayi mungil didalam box.
"Dokter cantik kok baru kesini sih!?. Ditungguin dari pagi loh?!."
Si ibu merajuk.
"Hihi...kangen ya sama saya?."
"Dokter tau aja! Abisnya cantik banget, ngangenin! Moga nanti si minul ikut cantik kaya dokter kalau sering ditengokin!!."
"Lah si ibu bisa aja deh ngomongnya. Cantikan si adek lah bu entar."
.
.
.
Selesai visit Bitha kembali keruangan prakteknya, jam pulang telah lewat beberapa menit. Mengemasi tas dan perlengkapannya, ia berlalu dari ruangan menuju parkiran para pegawai rumah sakit.
Sekilas matanya menangkap wajah seseorang yang pernah ia kenal saat tiba di dalam mobilnya yang terparkir tak jauh dengan mobil yang ditumpangi si wanita.
'Tante Meri?', bukan ya?'. Batinnya
Ia membuka ponsel miliknya dan melakukan panggilan pada nomor sang ibu,
Tuuuuttt...
"Assalamualaikum, Ma?!."
📱"Mama gak ada! Lagi ngerumpi di sebelah!." Sahut seorang pria diseberang sana.
Bian, adik lelaki Bitha dengan kepribadian super judes lah yang menjawab teleponnya.
"Ya udah, entar bilangin mama. Aku telepon balik kalo'...........
Tuuttt...
Tuuuttt...
Belum selesai Bitha bicara, telepon sudah diputus sepihak oleh Bian.
"Kebangetan sih judesnya ya Allah!." Keluhnya sembari menatap ponselnya yang masih menyala.
"Awas aja ya kamu bujang!. Minta dipites-pites!." Geramnya
Bitha melajukan mobilnya menyusuri jalan protokol, menuju sebuah Bank swasta dimana sahabat sekaligus teman satu atapnya mengais rupiah.
Saat hendak memasuki lahan parkir, mobil mininya hampir bersenggolan dengan sebuah range rover yang hendak keluar dari barisan parkir.
"Ya Rabb!. Bikin kaget aja. Selesai bola-bola kalo ampe nyeruduk tuh banteng!."
Tak beberapa lama seorang wanita membuka pintu penumpang di sisi kirinya dan menyamankan sandarannya.
"Bith' ... tau gak sih! si Ibram! Dia sukses naik level! Iiiihhh aku seneng bangeeetttzzz!!."
Sarah yang begitu antusias saat bercerita membuat Bitha menutup sebelah telinganya dengan rapat.
"Ya lah, lumayan buat modal nambahin biaya lamaran kamu entar!." Ucap Bitha santai
"Satu lagi!. Tadi ada customer ganteng gak pake jeda!."
"Kek gimana lagi tuh ganteng gak pake jeda?." Tanyanya sembari memutar kemudinya dipertigaan lampu merah.
"Ganteng Bangets Bitha!. kalo enggak inget Ibram aja udah aku kedipin tuh si tampan!."
"Gendeng kamu!. Ganteng-ganteng, kalo player juga ya sama aja!. Gak ngeri apa!?."
"Iya sih, hehe..." Sarah tertawa sumbang
"Ngeri loh colok sana - sini!."
"Ih, udah ah jangan diterusin!." Ucap Sarah
"Edukasi nih, sekalian ingetin Ibram tuh!. Jangan sampek enak di awal doank gak mikir dikemudian hari nya!."
"Ih amit-amit jabang bayik! Awas aja kalo dia sampek berani kek gitu!." Sarah mengepalkan tangannya
"Sar kamu inget tante Meri gak?."
"Ha! Tante Meri siapa?."
"Itu yang punya depo air di sebelah mebelnya pak Juki?. Yang suka marahin genknya Bedu kalo lewat sambil geber-geber motor!. Inget?."
"Ah iya!, inget inget. Kenapa emang?!."
"Aku lihat diparkiran rumah sakit."
"Yakin tuh orang yang sama?!."
"Emh, enggak juga sih!."
Tante Meri merupakan pemilik depo air isi ulang yang berada di lingkungan tempat tinggal mereka.
Sarah dan Bitha mengenalnya dengan baik sejak mereka anak-anak karena sering bermain dengan anak perempuannya, Isna Haris.
"Bith, kamu gak mau nyoba buat ...
"makasih deh Sar, mau nikmatin kerja keras aku aja dulu." ucapnya dengan santai.
"atasan ku lagi jomblo Bith!. kali aja kamu tertarik buat kenalan, lagian orangnya juga gak kalah ganteng sama si kuntil kok."
"his, kamu ini!. ogah!. aku lagi puasa!." serunya
"sayang Bith, entar kesalip ama yang lain gimana?."
"hedeeh, please ya ibu Sarah! mau disalip kek, si tikung kek, gak ada urusannya juga kali sama aku."
"ada donk! berkurang satu stok jodoh kamu!."
"lama-lama aku kreditin loh itu mulut biar gak ngoceh kemana-mana!." sarkasnya
Sarah terbahak-bahak karenanya. Ia selalu bisa membuat si dokter cantik itu mengeluarkan kutbahnya dalam perjalanan. Dan Bitha memang tak pernah menyadari jika dirinya gampang sekali emosi jika membahas tentang pria terlebih jika itu menyangkut masalah dirinya yang pernah tersia-siakan.
.
.
.
terimakasih telah membaca. tulisan ini dibuat sekedar untuk mengisi waktu ya. like atau tidak terserah saja. tidak memaksa. suka syukur, tidak pun tak jadi masalah asal hati pembaca senang itu sudah lebih dari cukup. ^^
2.🐌
Minggu pagi yang begitu cerah. Hari libur seperti ini adalah waktu yang sangat berharga untuk memanjakan diri.
Bitha bersama Sarah sahabat sekaligus tetangga dikampung halamannya yang juga merantau ke kota orang untuk meneruskan pendidikannya disalah satu PTN favorit seperti dirinya dan kini telah bekerja sebagai customer servis disalah satu Bank swasta dengan logo berwarna biru.
Dua wanita itu tengah bercengkrama di salah satu kursi taman dekat komplek perumahan tempat mereka sewa rumah. Sekedar mencari sarapan bukan untuk berolahraga sebab mereka kemari juga dengan berjalan kaki, dan itu cukup untuk membakar kalori meskipun tak banyak.
"Bith, tau gak aku kemaren ketemu siapa?!."
Tanyanya Sarah
"Siapa emang!?."
"Istri mantan elo mak!."
"Terus kenapa?!."
"Elaah,,,Kamu gak mau nanya gitu sekarang dia kek gimana?!."
"Harus banget ya tau urusan orang?!, aku sih Ogah!!." Ketusnya
"Idih ngomong ogah tapi nadanya sewot." Sarah cekikikan melihat raut wajah Bitha, ia sangat tahu seperti apa kisah kasih sahabatnya itu.
"Aku ketemu dia pas dimeja teller, eemmhh Penampilannya udah gak kaya dulu." Pancingnya
"Apanya?!."
"Kepo juga dia!." Sarah terbahak karenanya
"Enggak ya! Sory!. Aku gak kepo, kamu aja yang over!." Cibir Bitha
"Serah deh! Yang atit emang gitu suka judes-judes kepiii tapi gak mau ngaku!." Ucapnya
"Sialan!." Umpat Bitha sembari melempar kacang telur ke pada Sarah.
Menjelang siang mereka kembali kerumah. Berjalan kaki dengan santai sembari menenteng kantong belanjaan dimasing- masing tangan, sesekali mereka tertawa membahas hal-hal kecil ditempat kerja masing-masing.
Sekitar delapan ratus meter jarak antara rumah sewa dengan taman tempat mereka sarapan tadi, lumayan untuk membakar kalori sebenarnya jika saja langkah mereka tidak menggunakan mode siput.
Dipertengahan jalan keduanya menoleh, menatap bangunan rumah tiga lantai setengah jadi tepatnya masih dalam proses pembangunan.
"Widiih,,,calon rumah aku ini lama banget jadinya." Ujar Sarah
"Mimpi neng?!."
"Aminin napa Bith?!. Masih sewot aja!." Sarah berdecak kesal
"Haha...iya iya nyonyaahhh!."
"Mudahan Ibram mau bikin yang kek gitu nanti." Ucapnya dengan mata berbinar
"Aaaaaamiinn!!!!!!!." Bitha bersuara lantang layaknya makmum sholat jamaah.
"Mbak, ngangak-nya jangan lebar-lebar!." Tegur seseorang disebelah mereka.
keduanya reflek menoleh setelah mendengar teguran dari seseorang.
Seorang pria bertubuh tinggi dengan balutan kaos dan kemeja lusuh, juga celana jeans yang robek dibagian lutut menyadarkan posisi mereka saat ini. Dua wanita itu masih berdiri di pinggir jalan tepat didepan bakal rumah yang diakui sisi oleh Sarah tadi.
Sarah memindai sosok pria yang tengah berdiri disamping mereka. sedangkan Bitha langsung membuang muka karena malu setelah mendapat teguran darinya.
"Eh! Sory mas. Ayok Bith!." Sarah mengangguk sembari menarik lengan Bitha agar menjauh dari sana.
Pria itu menggeleng dengan senyum tipis menatap dua wanita tadi jalan beriringan dan sesekali terlihat berbisik.
"Malu banget aku Sar!. Sialan kamu!. ...Iiihhh...." Bitha memukul lengan Sarah berkali-kali guna melampiaskan kekesalannya karena malu.
Sarah tergelak hingga matanya terasa basah melihat raut wajah Bitha yang putih itu merona menahan rasa malu sekaligus marah.
"Udah, bawa santai aja napa Bith!?."
Bitha melirik tak suka dengan ucapan Sarah barusan.
"Seneng di kamu, malunya di aku inem!." Geramnya dengan wajah mendongak keatas. Menatap langit siang yang begitu menyilaukan mata.
Setibanya dirumah, mereka meng-istirahatkan diri disofa ruang tamu.
"Eh!. Bith, kamu perhatikan gak muka tukang tadi?!."
"Enggak lah! Ngapain coba, bikin emosi aja!." Sewotnya
"Ndak usah judes-judes!. " Sarah melempar bantal sofa kearah Bitha
"Abisnya dia nyebelin sih, bikin malu aku tauk!. Untung cuman dia aja yang disitu." Keluhnya
"Kaya pernah lihat ya?!." Ucap Sarah sembari mengingat-ingat wajah tukang tadi yang terlihat tampan namun tak terawat
.
.
.
Senin menyapa mereka para pejuang rupiah. Sarah lebih dulu berangkat kerja dari Bitha yang memang tidak memiliki jadwal pagi ini.
Pukul 10.15 jadwal Bitha Visit, dan praktek pada pukul 13.00 waktu setempat. Selesai dengan kegiatan paginya ia bersiap untuk pergi ke rumah sakit.
Bitha menjalankan mobilnya keluar komplek namun tiba dipertengahan jalan tepatnya didepan rumah idaman Sarah, seorang pekerja menghalau laju mobilnya di ikuti dua orang lain yang tengah membopong seseorang diantaranya yang terlihat lemah.
Bitha menurunkan kaca jendelanya,
"Ada apa pak?."
"Mbk tolong!. Saya butuh tumpangan ke rumah sakit!." Ucapnya terburu-buru
Bitha yang memang seorang dokter merasa jiwanya terpanggil untuk bergerak cepat.
Ia membuka pintu belakang Hatchback miliknya, menyuruh kedua tukang yang membopong temanya itu untuk segera membaringkannya didalam.
"Kronologinya gimana pak?!." Tanyanya setelah ketiga pekerja tadi membaringkan si pria di kursi belakang mobilnya.
"Tadi ngeluh pening mbk, terus jatuh perutnya sebelah kiri kena paku." Terang salah seorang diantara mereka
"Oke!." Setelahnya Bitha melakukan pemeriksaan awal, mengecek jika pria tadi ada kelainan ataupun lukanya yang terlampau parah.
"Mari pak ikut saya ke rumah sakit." Ajaknya kepada seseorang yang dianggapnya tahu mengenai si Pria.
Si korban yang tengah berbaring di jok belakang itu sebenarnya ingin tertawa hanya saja ia sudah tidak memiliki tenaga untuk melakukannya akibat menahan rasa sakit yang menderanya.
"Dilokasi pembangunan gak ada pengawasnya pak?." Tanya Bitha memecah kecanggungan diantara keduanya saat membelah jalanan kota yang selalu ramai.
"Ada mbk, tapi tadi lagi keluar, beliau pergi ke kantor pusat." Jelasnya
Bitha meng-anggukan kepalanya tanda mengerti.
Tiba di dropzone UGD, Bitha berlari kecil masuk kedalam memberitahu kepada dokter jaga untuk segera mengangkut seorang pasien dari dalam mobilnya.
"Gimana dok?!." Tanya Dirga, dokter umum yang berjaga saat itu
Bitha menjelaskan kronologi, serta kadaan pasien saat ia membawanya tadi. Kemudian menyerahkan semuanya kepada yang berwenang.
Bitha berjalan menghampiri tukang yang ikut bersamanya tadi di ruang tunggu UGD.
"Pak!, temannya sudah ditangani didalam ya." Ucapnya
"Oh iya mbk! Terimakasih banyak!."
"Sip! Sama - sama, Saya tinggal ya pak!." Ucapnya dengan dua jempol terangkat pada pria usia pertengahan yang ia kenali sebagai tukang itu.
.
.
Diruangan prakteknya Bitha tengah melihat chat Sarah yang terlihat sedang mengetik...
📩Bith, makan siang bareng yuk?!."
📨"Gak bisa!. Aku ada jadwal OP entar 14.25, ini masih nunggu giliran." Balasnya
📩ya udin!. Tapi entar pulang jemputin yah markonah😘!? Ayank Ibram ada jam lembur😞." Chatnya mengiba
📨"Hisss,,, resek deh kamu! Giliran gitu aja baru inget sama aku!."
📩😁😁😁
📨"😠"
📩jan mayah - mayah bu doktel!. Rumah idaman aku buat kamu deh! Gimana?!
📨"Itu rumah orang inem!! Ndosah kepedean😒"
📩🤣
.
.
.
Selesai OP Bitha berjalan menyusuri lorong menuju kantin, menjelang sore perutnya terasa sedikit perih karena siang tadi ia hanya mengganjal lambung dengan sup krim dan kroisan yang dibawakan oleh seorang bidan yang biasa menemaninya praktek.
Bita menempatkan dirinya disalah satu meja kantin yang saat itu terlihat lenggang.
"Boleh duduk disini?!."
Ujar seorang pria dihadapannya.
3.🐌
Bitha yang tengah asik memainkan ponselnya mendongak mendapati Azam tengah berdiri menatapnya.
Terlalu tiba-tiba, hingga tak ada kata 'silahkan' yang keluar darinya.
Azam menarik kursi dihadapan Bitha. Menyamankan tubuhnya disandaran kursi.
"Kenapa?!." Tanya Azam
"Apanya?!." Bitha tetap terlihat santai meski dadanya terasa nyeri. Terlebih perutnya belum terisi.
"Kamu gak suka aku duduk disini?!."
"Enggak, biasa aja!." Ucapnya sembari menyeruput jus apel.
Batin Bitha berperang menghalau ego nya yang ingin sekali mencakar pria dihadapannya yang sungguh bermuka tebal.
Azam tersenyum menatap wanita yang pernah mendiami hatinya dulu, atau mungkin masih sampai saat ini.
"Kamu gak takut ketahuan isterimu berduaan gini?!."
"Takut kenapa?."
"Ya takut kalo nanti dia cemburu gitu!."
"Kita udah pisah!." Lirihnya dengan senyum hambar
Bitha kembali tercengang dengan jawaban Azam. 'Gila! Belum setahun nikah udah cerai aja!' Batinnya bergumam.
Dokter cantik itu tetap memasang wajah woles nya meski hatinya kepo, tampak tak berniat membahas masalah sang mantan yang terlihat sebaliknya.
"Kamu gak mau nanya kenapa gitu?!."
"Buat apa?!."
"Buat mastiin keadaan hati kamu ke aku!."
"Gak usah macem-macem deh!."
"Seriusan Bith."
"Itu urusan kalian. Gak ada hubungannya sama aku."
Azam terkekeh mendengar jawaban santai namun pedas dari wanita dihadapanya.
"Bith, bisa gak kita kaya dulu lagi?." Ucapnya tak tahu malu
Belum sempat Bitha menjawab, Seorang pramusaji menyela dintara mereka membawakan pesanan keduanya.
Bitha makan dengan lahap, begitu yang terlihat padahal nyatanya ia sedang berburu waktu agar segera selesai guna menghindari manusia bermuka tebal yang sedang bersamanya.
"Pelan-pelan." Ujar Azam yang tengah memegang cangkir espresso
Namun Bitha sama sekali tak mengindahkannya, terlihat kepulan asap dari kuah soto yang menandakan bahwa itu panas tak ia pedulikan asal cepat selesai dan pergi dari situ.
Duabelas menit, Bitha telah merampungkan makan sorenya. Ia pamit kepada Azam untuk melanjutkan urusannya. Sebuah anggukan ia dapati dari pria itu sebagai jawaban.
......
Senja menyapa, Bitha melajukan mobilnya menuju Bank tempat Sarah bekerja. Menanti wanita itu diparkiran sembari memainkan ponselnya.
Pintu penumpang nampak terbuka, Sarah melepas heelsnya dan mengganti dengan sandal jepit kemudian menyamankan duduknya sembari memasang seatbelt.
"Bith! Gosip!." Sarah benar-benar seperti lambe lumrah.
"Ih, males ah. Gosip melulu kamu tuh!." Keluh Bitha dibalik kemudi
"Eh, beneran ini gosip buat kamu!."
Bitha hanya melirik sekilas karena posisi mereka di tengah padatnya jalanan kota.
"Aku ketemu sama Tari tauk, adeknya Azam!! Ternyata dia baru kerja di bagian pemasaran."
"Terus kenapa?!."
"Dia cerita kalo Azam ternyata udah pisah sama bini nya, dan sedihnya anak mereka baru aja meninggal tiga bulan lalu. Ya ampun kasian banget Bith!."
Bitha yang mendengarkan cerita Sarah hanya diam,
"Tari sih gak ceritain detailnya, cuman yang dia tau si Diana (iparnya) itu ternyata simpanan bosnya Azam." Sarah menggeleng tak percaya,
Bitha, Sarah dan Azam adalah teman satu sekolah yang berarti juga satu daerah asal.
Pertama tahu jika Azam menjalin hubungan dengan Bitha, keluarga Azam sangat senang. Bahkan Azam sendiri sempat mengutarakan rencana lamarannya kepada kedua orang tuanya akhir tahun lalu, sebelum akhirnya Azam menikahi Diana karena kebobolan.
Disitu orang tua Azam nampak sekali kecewa, terlebih sang ibu yang tak pernah menganggap Diana sebagai menantu mereka karena perilakunya yang kurang sopan terutama dalam hal berpakaian. Maklum ibu Azam sangat menjunjung tinggi adab dalam berbusana.
Bitha menyambungkan cerita Sarah dengan kejadian di kantin tadi.
'Oh...begitu toh alurnya' batinya.
Ia sudah menduga ada udang dibalik rempeyek melihat sifat yang ditunjukan Azam.
.
.
Dua hari berlalu sejak dirinya dilarikan ke UGD. Herland Alexander, kondisinya kini membaik. Ia berjalan dikamar rawat dengan mendorong tiang infus sembari tersenyum dengan dua orang pasien yang juga menempati kamar yang sama dengannya.
Pria tinggi itu hendak membuka pintu kamar, bersamaan dengan itu seseorang juga tengah mendorongnya dengan kuat dari arah berlawanan hingga menghantam jidat Alex yang kala itu tengah memperhatikan aliran infus ditangannya karena sedikit mengeluarkan darah kedalam selang.
AWWW!!!
Pekiknya,
Seketika Alex terhuyung kebelakang karena tubuhnya yang tak siap menerima tekanan.
Sontak dua orang yang tadi membuka pintu terkejut dan langsung menghampirinya.
Sembari memegang ranjang pasien disebelahnya, Alex berusaha berdiri, ia mendongak menatap kedua manusia yang baru saja menyebabkan ia limbung.
"Kamu?!." Ucap Bitha saat mata mereka bertemu.
Yang Bitha ingat adalah pria ini yang membuatnya malu. Ia tak sadar saat menolongnya waktu itu, sama sekali tak memperhatikan wajahnya. Yang ia lakukan adalah melakukan pertolongan pertama tanpa melihat siapa orangnya.
"Apa?!." Tanya Alex dengan mimik aneh
"Kamu yang waktu itu ngatain aku kan?!." Kesalnya
"Siapa?!."
"Kamu!!!."
"Bukan, kamu siapa?!."
Bitha melipat tangannya ke dada dan menggigit bibirnya sendiri karena kesal.
"Kamu yang ngatain aku 'jangan ngangak lebar-lebar!." Geramnya
Alex tambah mengerutkan dahinya.
"Gak ada tuh aku ngatain orang!."
Habis sudah kesabaran Bitha, segera ia pamit meninggalkan ruang rawat itu, melupakan niat awal yang ingin menengok tukang bangunan yang pernah ia antar kemari.
Entahlah, sejak teguran itu ia menjadi lebih sensitif terhadap pria. Terlebih itu adalah orang yang sama.
BLAMM...
Wanita dengan setelan gamis itu berlalu dari hadapan ke duanya. Semua orang dalam ruangan itu nampak bingung, pun dengan Alex dan seorang pengawas proyek yang bernama pak Usman, mereka saling pandang.
"Mbaknya kenal sama sampean mas?!." Tanya pak Usman.
"Gak tahu juga pak!."
Pria berwajah campuran Dayak - Manado - palembang itu hanya menggedikan asal bahunya.
Batinnya tertawa melihat wajah cantik itu terkejut saat menatapnya, dari awal ia sudah menduga jika wanita itu tidak mengenalinya, bahkan saat melakukan pemeriksaan didalam mobil sebelum kemari, karena Buff yang Alex kenakan masih terpasang sampai tiba di UGD.
"Pak Usman tinggal aja, saya besok sudah boleh keluar kok!." Ujarnya
"Iya mas, saya kasian sampean gak ada yang nungguin, sama bawain jajanan." Medok khas pak Usman
"Aman pak, ada GoGo bisa pesan antar." Jawabnya sembari menyebutkan salah satu Aplikasi pesan-antar makanan online.
"Ah iya! Saya lupa kalo sekarang jaman onlen!." Ucap pak Usman seraya menepuk jidatnya sendiri
"Kasihan temen-temen dibangunan entar gak ada yang ngurusin kalo bapak disini."
"Ya sudah, kalo gitu saya tinggal ya mas Alex. Kalo perlu apa-apa telepon aja!." Jelasnya
"Sip!." Alex mengacungkan jempol tangannya
Pria itu kembali berjalan menuju pintu. Ia ingin turun ke lantai bawah untuk menghibur diri, menghilangkan rasa jenuh karena terus berada dikamar.
"Kak?." Panggil seorang wanita dari arah belakang saat hendak memasuki lift.
Alex menoleh, memastikan apakah dirinya yang baru saja dipanggil.
"Isna?. Sama siapa?." Tanyanya saat gadis itu mendekat
"Sama papa, nemenin mama abis OP !."
"Tante? Kenapa?."
"Mama Op benjolan diperut." Jelasnya santai
Keduanya memasuki lift. Baru menuruni dua lantai, lift kembali berhenti dan terbuka.
Seorang wanita yang tadi berdebat dengannya dikamar nampak terkejut mendapati manusia yang sama berada didalam lift yang akan ia masuki.
Sedikit ragu namun dengan terpaksa ia tetap masuk demi menghemat waktu. Saat melangkah Bitha sempat menatap dua manusia yang bersamanya, wanita dibelakangnya tengah melingkarkan tangannya dilengan si pria layaknya kekasih.
Tatapan keduanya bertemu melalui pantulan dinding elevator. Postur Alex yang tinggi sangat kontras dengan tinggi Bitha yang hanya sebahunya.
Bitha buru-buru mendongak, melihat kearah monitor yang menampilkan nomor lantai.
Pria itu tersenyum tipis. Beruntung ada Isna disampingnya, jika tidak bisa-bisa wanita cantik dihadapannya ini sudah menjerit akibat kehilafannya. Eh?
"Kak, kamu gak mau mampir kerumah ketemu anak-anak?." Tanya Isna setengah berbisik
Alex hanya menggeleng tanpa mengubah tatapan matanya dari pantulan dinding yang menampakan wajah sang dokter.
"Iih, mata kamu nakal banget!." Tegurnya saat ia melihat Alex tengah memindai tubuh dengan balutan gamis dihadapannya.
Isna mencubit pinggang pria disebelahnya. Memberinya tatapan tajam untuk menyudahi acara terawang-nya.
Bukannya tidak mendengar percakapan mereka, Bitha sudah tak sabar ingin segera keluar hanya saja itu tidak mungkin mengingat jika box besi ini memiliki pintu otomatis.
Alex mengedipkan sebelah matanya saat tatapan mereka kembali bertemu. Bitha segera mengusap kedua lengannya terlihat jika bibir manis itu tengah komat-kamit bak melafalkan mantra.
TIING!.
pintu terbuka tepat dilantai dua dan Bitha segera keluar dengan hati tak menentu.
"Gendeng!." Gumamnya saat mengingat kelakuan pria tadi
Alex tertawa ketika pintu telah tertutup rapat.
"Apa sih kak?! Nakal. Kasian tau perempuan baik-baik kamu gituin!." Isna tak habis pikir dengan kelakuan usil pria setengah tua yang tak lain adalah sepupunya sendiri itu.
Isna tidak pernah tahu jika perempuan yang merek bicarakan adalah teman sepermainannya saat anak-anak. Terlebih Bitha yang telah berhijab sejak bangku SMP.
Isna berteman dengan Sarah dan Bitha hanya sampai kelas empat sekolah dasar. Setelahnya ia memilih ikut bersama neneknya karena tak ingin berpisah dengan sang kesayangan. Itulah kenapa mereka sama sekali tak mengenali satu sama lain.
"Seneng aja gangguin dia!." Ucap Alex santai
"Ngaco', ditabok lakinya baru tau!." Ketusnya
"Gak akan!." Dengan mantabnya ia menyangkal
"Dihh, tua-tua ganjen!."
"Enak aja tua!. Muda loh yang dibawah!."
"Gilak!." Isna melepas tautan lengannya dengan kasar
Alex pun terbahak-bahak melihat respon sang sepupu yang auto connect dengan perkataannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!