Suatu siang sendu, seakan langit ikut berduka. Tidak seperti biasanya, matahari siang kali ini berselimut mendung, mendukung hati yang kian pundung. Di sebuah ruang tamu, tengah duduk bertiga, Haruka, bibinya yaitu Aiko dan pamannya yaitu Hideyoshi.
“Mulai sekarang kamu akan tinggal di sini. Ingat ya Haruka, kita adalah keluarga, jadi kamu tidak perlu merasa sungkan di sini,” ucap Hideyoshi kepada Haruka.
Haruka menatap lantai, kepala dan bahunya merunduk sebagai pertanda hormat kepada pasangan suami-istri itu.
“Di sini tidak ada aturan yang ketat, entah itu jam malam atau membawa teman masuk, silahkan saja. Bibi tahu kamu sudah cukup dewasa untuk menjaga sikapmu dengan baik,” ujar Bibi Aiko menimpali.
“Saya sangat berterima kasih kepada Bibi dan Paman yang sudah menerima saya di rumah ini. Gomenasai, bila kehadiran saya di sini nantinya akan membebani Paman dan Bibi,” ujar Haruka yang juga masih merunduk sebagai tanda menghormati.
“Ayolah, mana mungkin seperti itu. Kamu sudah kami anggap sebagai anak sendiri. Sekali lagi jangan pernah sungkan kepada kami,” ujar Paman Hideyoshi yang mendekat dan menepuk pundak Haruka.
Bibi Aiko memandangi mereka dengan sedikit kerutan di mata tanda ketidaksukaannya terhadap apa yang ada di hadapannya.
**
Hari ini adalah pertama kalinya Haruka tinggal sebagai penghuni di rumah itu. Haruka tidak bisa menafikan perasaan takutnya kepada bibinya yang ia kenal sebagai sosok yang angkuh.
Namun, Haruka selalu mencoba ber-positive thingking kepada bibinya itu. Hal itu sebagai upaya Haruka membalas budi karena Aiko sudah menerima dirinya tinggal di rumahnya.
Perasaan Haruka masih dirundung kesedihan karena kepergian ibunya dua hari yang lalu. Sejak saat itu hingga kini Haruka masih belum masuk sekolah, sebab masih dalam kondisi berduka.
Air mata Haruka kini telah terhenti menetes, namun kedua kantung matanya masih menggelayut, menandakan dalamnya duka yang membekas lama.
**
Suatu ketika Haruka sedang membenahi barang-barangnya yang masih terbungkus di kamar tidurnya yang baru. Kardus-kardus masih bergeletakan di sana-sini. Kemudian, aktivitas yang tercampur lamunan itu tersentak oleh ketukan pintu di kamar Haruka yang terbuka.
“Haruka...” panggil lelaki berusia 27 tahun, yaitu Paman Hideyoshi, dari sisi pintu itu dengan senyuman yang hangat sekali.
“Oh, Paman Hideyoshi. Gomena, di sini masih sangat berantakan,” ucap Haruka yang tengah duduk terkurung di antara kotak-kotak kardus dan barang-barangnya.
“Tidak apa-apa. Haruka, coba tebak, Paman datang membawakan kamu apa?” ucap Paman Hideyoshi masuk sambil menyembunyikan kedua tangannya di balik punggungnya.
Paman Hideyoshi masuk dengan jalan merendah, sedikit membungkukkan tubuhnya, kemudian duduk di hadapan Haruka.
Haruka mendelik ke belakang punggung Paman Hideyoshi, mencari tahu apa yang ada di sana. Berulang kali Haruka mendongak ke kanan dan ke kiri tubuh Paman Hideyoshi, namun berulang kali juga Paman Hideyoshi memutar tubuhnya, berusaha menutupinya.
“Ih, Paman! Jangan aneh-aneh deh!” ucap Haruka kesal dengan nada yang manja.
“Taadaa...” ucap Paman Hideyoshi memberikan roti lapis isi selai strawberi kepada Haruka.
“Waah..Arigato, Paman. Paman selalu tahu kesukaanku,” sambut Haruka dengan senang.
Sebelum Haruka memakan roti itu, terlebih dahulu ia memisahkan pinggiran roti dan menyisihkannya.
“Kamu, selalu melakukan kebiasaanmu itu,” ujar Paman Hideyoshi sambil tersenyum memperhatikan Haruka.
“Boleh ya, Paman? Ini untuk Dori dan teman-temannya” jelas Haruka kepada Paman Hideyoshi.
Dori adalah seekor burung gereja yang begitu jinak dengan Haruka. Haruka bertemu dengannya ketika ia duduk-duduk di taman kota. Ia selalu memberi remahan pinggiran roti untuk sekumpulan burung gereja di sana, termasuk untuk Dori.
Melihat Haruka yang mencoba untuk ceria namun wajahnya tidak bisa menyembunyikan kesedihan itu, Paman Hideyoshi pun merasa iba kepada Haruka. Awalnya ia mengusap kepala Haruka dan mendekatkannya ke dadanya. Napas Haruka menjadi tak beraturan, sesengukan. Haruka menutup mulutnya dengan tangannya, menahan tangis yang kembali tumpah.
“Sudah.. sudah.. ada Paman dan Bibi di sini. Kamu tidak usah sedih terus,” ucap Paman Hideyoshi menenangkan Haruka.
Di saat seperti itu rupanya tiga orang teman Haruka dan seorang guru dari SMA Kyoto datang. Mereka sudah sampai di depan kamar Haruka dan melihat Haruka sedang bersama Paman Hideyoshi.
Para tamu itu merasa kikuk melihatnya, lalu saat mereka hendak membalikkan tubuh mereka, Paman Hideyoshi pun memanggil mereka.
“Kalian sudah datang?” ucap Paman Hideyoshi yang dengan cepat melepaskan dekapannya kepada Haruka.
Haruka lalu mengusap kedua matanya.
“Teman-teman, Bu Veronica?” ujar Haruka senang melihat kehadiran mereka.
“Iya, paman Haruka mengabari Ibu jadi kami datang ke sini,” jawab Veronica, wanita berperawakan besar dengan senyumannya yang khas dan selalu tidak kehilangan kehangatannya. Ia adalah guru kesenian Haruka.
“Mari sini, kita ke ruangan depan saja. Di sana ruangannya lebih lega,” ucap Paman Hideyoshi.
“Iya, di sini berantakan sekali,” ucap Haruka menimpali.
Mereka pun sama-sama berjalan ke ruang tengah. Sakura, sahabat Haruka yang paling akrab, menyambutnya sambil merangkulnya. Mereka pun berjalan beriringan.
“Ih, kamu abis makan ya? Lihat mulutmu sampai belepotan gitu,” goda Sakura sambil menyeka tepi bibir Haruka dengan titik-titik noda merah, selai strawberi.
“Hah? Iya ya? Aduh, memalukan sekali. Gigi, gimana gigi? Ada yang nyelip ga?” ucap Haruka sambil menyeringai lebar kepada Sakura.
Haruka dan Sakura pun berbisik-bisik kemudian tertawa bersama pelan-pelan.
Kehadiran teman-teman dan guru Haruka yang mencoba menghibur Haruka membuat ia bisa merekahkan senyum. Cerita-cerita seru dan lucu yang dikatakan oleh teman-teman membuat suasana begitu hangat. Tak lama kemudian, terdengar gelak canda tawa di ruangan itu.
“Betapa beruntungnya aku dikelilingi orang-orang yang peduli kepadaku. Mereka terasa begitu menyayangiku. Ma, Haruka janji ga akan terus-terusan nangis, karena Mama pasti ga suka kalau Haruka menangis terus. Ini keluarga Haruka, Mama bisa tenang meninggalkan Haruka di tengah-tengah orang-orang ini,” batin Haruka.
Sementara dari dapur, Bibi Aiko bolak-balik dengan ekspresi yang kesal.
“Ih, rempong amat sih. Aku jadi harus menyiapkan ini itu, mana ramai sekali. Aslinya kan Aku ngantuk banget,” keluh Bibi Aiko membatin.
“Gula abis, ini yang terakhir! Yare yare, males amat Aku ngurusin tetekbengek perdapuran kaya gini,” batin Bibi Aiko.
Bibi Aiko berdiri menghadap cermin yang hendak ia lewati. Ia memandangi bayangan dirinya yang sedang kesal, kemudian tiba-tiba ia meregangkan dahinya yang semula berkerut.
“Ga usah kesal-kesal Aiko. Ga lama lagi kamu bakal dapet pembantu gratis,” batin Bibi Aiko sambil tersenyum licik.
**
Hari pun berganti. Kini sudah pukul 6 pagi lewat beberapa menit.
“Bau apa, ini? Hiis!” ujar bibi Aiko yang baru bangun.
Bibi Aiko pun berjalan ke sumber aroma yang membangunkannya itu. Ia mendapati Haruka sedang masak di dapur.
“Aduh, bau apaan sih ini Haruka?” ucap Bibi Aiko sambil mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajahnya.
“Eh, selamat pagi Bibi,” ucap Haruka membungkukkan tubuhnya.
“Haruka masak omelet, Bi. Itu yang lainnya sudah ada juga di meja, ada mie udon, ada nasi, baru aja matang. Bibi mau aku ambilkan?” tanya Haruka begitu antusias menawarinya sarapan.
“Aduh, Haruka! Kenapa kamu ga nanya dulu sih. Di sini biasanya kalau pagi sarapan roti, bukan masakan yang bikin bau-bau gini, bau telur, bau bawang. Yare yare! Aagh!” ketus Bibi Aiko.
“I-iya Bi. Gomenasai Bi. Besok Haruka akan siapkan roti aja untuk sarapan,”
ucap Haruka dengan wajah menyesal yang sedikit berlebihan.
“Nande suka? Kenapa ribut pagi-pagi?” tanya Paman Hideyoshi sambil menggaruk-garuk kepalanya. Penampilannya begitu berantakan, sangat berbeda dengan penampilan biasanya. Penampilan pria kece yang baru saja bangun tidur.
“Asik, sarapan! Udah lama Paman tidak makan masakan rumah pagi-pagi begini,” ucap Paman Hideyoshi dengan mata yang tiba-tiba terbelalak. Lantai ia pun langsung duduk di depan meja makan dan menuangi mangkuknya dengan masakan Haruka. Kemudian, ia menyeruput sedikit kuah yang ada di hadapannya.
Haruka berwajah kikuk. Sesaat ia hendak mengambilkan Bibi Aiko sarapan, namun sesaat kemudian ia menarik kembali tangannya sembari memperhatikan wajah kesal Bibi Aiko.
“Sayang. Kok kamu berdiri di situ aja? Sini, kita makan bareng. Memangnya kamu tidak lapar apa?” ucap Paman Hideyoshi kepada Bibi Aiko.
Bibi Aiko menahan diri. Ia gengsi untuk ikut bergabung, karena ia sudah terlanjur kesal dan marah-marah tadi.
“Alaah, tidak usah deh. Saya buru-buru, ada urusan pagi ini,” alibi Bibi Aiko.
“Sayang, tapi ini masih pagi banget loh?” ucap Paman Hideyoshi heran.
“Ada yang harus saya kerjakan dulu pagi ini. Klien minta meeting di awal waktu,” teriak Bibi Aiko yang sudah beranjak pergi.
“Suwek banget! Sekarang kamu bisa lolos ya bocah sialan. Tunggu aja di kesempatan lain, Aku hajar kamu!” ucap Bibi Aiko bergumam.
“Haruka, kok diam aja gitu? Yuk makan. Masa Paman makan sendirian?” ucap Paman Hideyoshi.
“I-iya Paman,” ucap Haruka sambil mengambil mangkuk dan hendak menuangi sarapannya.
“Udah. Omelan-omelan bibimu itu tidak usah dimasukkan ke hati. Dia pasti sebenarnya ingin makan juga, tapi gengsi,” ucap Paman Hideyoshi.
“Bibi Aiko bilang bibi tidak suka sama aroma telur dan bawang. Bodoh banget ya aku, Paman, pagi-pagi malah bikin bau macam-macam. Harusnya Haruka nanya dulu, jadi Haruka bisa nyiapin roti kaya sarapan-sarapan Paman dan Bibi biasanya,” ucap Haruka yang kemudian duduk di hadapan Paman Hideyoshi.
“Tidak gitu. Kami sarapan roti itu karena kami tidak pernah sempat masak-masak begini kalau pagi. Aslinya kalau dimasakin malah kami yang beruntung banget,” jelas Paman Hideyoshi.
“Tapi bibi sebenarnya bisa masak kan Paman?” tanya Haruka.
“Dulu. Dulu bibimu itu jago masak makanan eropa. Dulu, sebelum karirnya setinggi sekarang, memasak adalah kegiatan kesukaannya,” jelas Paman Hideyoshi.
“Oo, gitu,” ucap Haruka.
Paman Hideyoshi pun menyantap masakan Haruka dengan sangat lahap.
“Paman doyan apa lapar, Paman?” tanya Haruka sambil tertawa kecil memperhatikan Paman Hideyoshi makan.
Paman Hideyoshi hanya bergumam dengan makanan yang memenuhi mulutnya sambil mengangkat jempol dan menganggukkan kepalanya.
Melihat itu, Haruka tertawa geli. Di satu sisi, Paman Hideyoshi terlihat dingin seakan menjaga wibawanya. Namun, di sisi lain ia merupakan sosok yang selalu bertingkah konyol, seperti anak-anak.
Awal pagi Haruka yang nyaris menyeramkan. Kini suasana berganti sebaliknya. Ada sosok orang yang menyenangkan di dekatnya. Sejak dulu, Paman Hideyoshi memang sangat dekat dengan Haruka. Terkadang ia seperti kakak yang menjahili adiknya, terkadang seperti sebaya dengan Haruka, kadang ia seperti ayah bagi Haruka.
“Pagi ini kamu sudah mulai masuk sekolah kan?” tanya Paman Hideyoshi.
“Iya, Paman. Yare yare, tidak bisa dibayangkan deh, sebejibun apa PR Haruka di sekolah. Semakin lama aku tidak masuk sekolah, semakin bahaya. Bisa-bisa aku tidak bisa mengejar ketertinggalanku,” keluh Haruka.
“Paman yakin, kamu siswa yang jago. Jago mata pelajaran, jago lobi-lobi guru, asal jangan jago nyolong aja. Hahaha..” ucap Paman Hideyoshi.
Haruka menepuk lengan Paman Hideyoshi, namun masih menyisakan senyum riang di pipinya. Mereka pun melanjutkan aktivitas sarapan mereka.
“Wah, kalau gini terus nanti Paman bisa endut nih,” goda Paman Hideyoshi.
Mereka pun bercengkerama ria berdua di ruangan itu.
DISCLAIMER:
Novel ini sedang dalam proses rencana perbaikan kualitas, berupa penggunaan kalimat efektif dan PUEBI lainnya.
Mohon pembaca sabar menanti. Sambil menunggu perbaikan, silahkan baca novel author yang lain. Terima kasih.
Yuri dan suaminya tengah berlibur di Nusa Penida, Bali. Ini adalah liburan pertama mereka setelah 4 tahun menikah.
Di sebuah rumah panggung kayu, mereka berdua tengah menikmati sun rise. Yuri berdiri berpegang pada pagar kayu teras memandangi air laut yang bening hingga tampak ikan, karang dan bintang laut di dasarnya.
“Baru bangun ya?,”
teriak lembut suara lelaki dari dalam ruangan.
“Iya, perjalanan kemarin begitu melelahkan. Sampai sekarang tubuhku masih terasa pegal-pegal,”
jawab Yuri
sambil lalu memegangi bahu dan memiringkan kepalanya kiri kemudian kanan.
“Ya sudah, istirahat dulu saja,”
ucap lelaki itu yang datang kemudian menyodorkan secangkir teh hangat kepada Yuri.
Yuri lalu menyambut cangkir tersebut, kemudian ia sedikit terperanjat. Ia menyentuh bagian bawah cangkir, dan tangannya merasa kepanasan.
“Hati-hati,”
ucap lelaki itu yang kemudian menggenggam tangan Yuri.
Yuri memandang mata lelaki itu. Rupanya mata lelaki itu sudah lebih dahulu memandang matanya. Yuri kemudian tertunduk malu, sambil menahan senyum yang meronakan merah di pipinya.
Lelaki itu kemudian melakukan ekspresi yang sama. Ia nampak senang melihat senyuman Yuri yang malu itu.
Yuri kemudian melepaskan genggaman tangan suaminya, dan membawa secangkir teh itu menuju meja dan kursi yang tidak jauh dari tempatnya.
Sebelum sampai Yuri menjangkau kursi itu, suaminya dengan sigap menarik kursi itu dan mempersilahkan Yuri duduk di sana.
Persaan Yuri semakin berbunga-bunga.
“Terima kasih, suamiku,”
ucap Yuri sambil menunduk malu, menahan senyum bahagia.
“Tentu saja, istriku,”
jawab lelaki tampan itu.
Lelaki itu kemudian menarik kursi lainnya dan duduk di sisi Yuri. Tiba-tiba ia mengendus ke arah wajah Yuri.
“Bau apa ini?,”
tanya lelaki itu meledek Yuri.
“Hiyaaa... aku belum sikat gigi!!,”
teriak Yuri panik, kemudian menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Pantas saja bau naga.. hahaha,”
ledek suaminya sambil tertawa.
“Bau naga?! Enak sajaaa...!,”
ucap Yuri kesal sambil menarik kuat hidung suaminya.
“Aww... sakiiiiit..,”
ucap suaminya kesakitan.
“Eh, iya kah? Aduh, maaf, suamiku,”
ucap Yuri kemudian mengipas-ngipas hidung suaminya itu dan meniupnya lembut.
“Iiiih... napas naganya..,”
keluh suami Yuri.
“Aaaa...,” teriak Yuri kesal.
Belum sempat Yuri berekspresi menggerakkan kedua tangannya, suaminya langsung mendekap kepala Yuri menuju pundaknya.
Yuri lalu terdiam tenang. Nyaman sekali rasanya berada di dekapan suaminya itu. Suaminya lalu dengan agak ragu-ragu akhirnya membelai kepala Yuri perlahan.
Keragu-raguan tangan suami Yuri menyentuh lembut kepala Yuri dikarenakan suaminya itu menahan perasaan malu.
“Aku mencintaimu dengan segenap kekuranganmu, istriku. Aku tidak memperdulikan aroma, bahkan suatu saat mungkin aroma nafasmu lah yang selalu aku rindukan,”
ucap suami Yuri sambil membelai kepala Yuri lembut.
Yuri memejamkan mata, mengenyitkan dahi, menahan senyum di bibirnya. Tangannya ia dekap kuat di depan dadanya sendiri. Lutut Yuri lemas, tubuh Yuri jatuh sejatuh-jatuhnya di sisi tubuh suaminya. Hatinya begitu berbunga-bunga.
“Terima kasih, suamiku. Semoga kita bisa seperti ini selamanya,” jawab Yuri di dalam dekapan suaminya.
Di temani sun rise, kicau burung semakin ramai. Tinggi muka air laut masih rendah. Yuri melihat seekor burung menginjak pantai yang sedang surut itu. Kemudian ia menunjuk burung itu.
Yuri dan suami pun bercakap-cakap mesra membahas bahasan yang diada-adakan. Mereka masih terkukung perasaan malu satu sama lain ketika berdekatan seperti ini.
* * * * * *
Matahari semakin meninggi. Yuri tergoda dengan tempat tidur yang begitu empuk memanjakan tubuhnya yang terasa pegal-pegal.
Pintu kamar mandi pun terbuka, engsel pintu berdecit perlahan.
Yuri yang saat itu membaringkan tubuhnya miring menghadap ke arah kamar mandi kemudian terbelalak sejenak. Dengan cepat Yuri memejamkan matanya kuat-kuat.
Rupanya suami Yuri baru saja selesai mandi. Lelaki itu melilitkan handuk menutupi pinggang hingga lututnya. Suaminya terkejut dengan ekspresi Yuri, kemudian ia tersenyum.
“Aku ini bukan hantu, aku suamimu,”
ujar suaminya santai berjalan menuju tempat koper diletakkan.
“Oh iya, tentu saja. Aku hanya sedang menahan kebelet,” jawab Yuri yang kemudian segera bangkit dan berlari masuk ke kamar mandi.
Suaminya tersenyum sendiri dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara, Yuri yang sudah berada di kamar mandi dan menutup pintunya, ia terdiam di depan cermin. Ia menatap bayangannya sendiri di depan cermin.
Ia teringat dengan bahu suaminya yang terbuka kemudian lehernya yang masih basah oleh tetesan air dari rambutnya. Yuri kemudian memandangi lehernya sendiri, kemudian ia memandangi dagunya sendiri, kemudian ia memandangi mulutnya sendiri.
Yuri lalu memejamkan mata kuat-kuat, senyumnya lebar sekali. Kedua tangannya ia genggam sendiri di depan dadanya.
“Astaga, tampan sekaliiii...,”
ucap Yuri.
Lalu terdengar ketukan di pintu.
“Ada masalah, istriku?,”
tanya suami Yuri dari luar kamar mandi.
“Emmm.. Tidaak... Aku baik-baik saja,”
teriak Yuri dari dalam kamar mandi.
Yuri lalu membersihkan diri. Alasan yang ia katakan tadi bahwa ia sedang kebelet adalah bohong. Ia hanya merasa terkejut dan malu melihat suaminya bertelanjang dada seusainya mandi tadi.
* * * * * *
Yuri dan suaminya telah 4 tahun menikah, namun timbulnya perasaan cinta yang benar-benar mereka tunjukkan satu sama lain baru akhir-akhir ini saja.
Sebelum-sebelumnya, rumah tangga mereka biasa-biasa saja tanpa menunjukkan rasa suka satu sama lain. Mereka saling mengenal dan berperilaku akrab dan saling peduli, itu saja.
* * * * * *
Yuri tengah mengobrol dengan Debora melalui ponselnya. Saat itu suami Yuri sedang pergi membeli sesuatu di luar.
“Gimana liburannya, cintaaaa??,”
tanya Debora manja kepada Yuri.
“Yah, begitu deh. Baru juga 2 hari, yah masih cape di jalan lah,”
jawab Yuri.
“Ya kalau capek, pijet-pijetan kek... hihihi,”
ujar Debora.
“Kasihan doi lah, Bor. Doi kan capek juga, masa mau aku suruh mijet,”
jawab Yuri.
“Yah apa keq, transfer energi keq, pegang-pegangan tangan keq, pegang-pegangaaaaan...,”
ucap Debora menggoda Yuri.
“Ihh.. apaan sih, Bor,” ujar Yuri malu.
“Omaigaaat.. Jadi kalian masih belum ngapa-ngapain, Yur?,” tanya Debora.
“Ya ga begitu jugaaa, Bor..,” ucap Yuri.
“Kalian itu suami-istri! Masa lama amat sih prosesnya. Kalian belum saling.. Emmmmuah,”
ucap Debora memotong ucapan Yuri sebelumnya.
Debora tampak di layar ponsel Yuri tengah mencium ke arah kameranya. Mereka sedang dalam obrolan video call saat itu.
“No.. No.. Noo! Layar hapeku terinfeksi.. No.. Nooo!,”
ucap Yuri menimpali.
“Kamu ngapain cium-cium begitu sih. Kayak bekicot tau ga penampakannya!,” ucap Yuri kesal.
“Yaaa... habisnya aku gemes, Yur,” jawab Debora.
“Eh, by the way, bagaimana kuliah kamu di sana, Bor? Udah dapat kecengan bule belum?,” tanya Yuri kepada Debora.
Debora kini tengah berkuliah di London. Dulu Debora sering mengungkapkan harapannya agar mendapatkan pasangan seorang lelaki Eropa. Namun niatan Debora berkuliah di London bukan dikarenakan ingin mendapatkan pasangan, melainkan mewujudkan cita-cita yang sama-sama dibangun bersama Yuri sewaktu SMA dulu.
Yuri dan Debora dulu gemar dengan kelas seni, keduanya menyukai sastra. Dulu, sewaktu SMA, Debora adalah patner berlatih Yuri dalam berdrama dan berpuisi.
Namun, Yuri selepas SMA tidak melanjutkan pendidikannya. Ia menundanya karena memulai kehidupan baru bersama dengan lelaki yang menikahinya. Sementara Debora kini justru sedang menyelesaikan tugas akhir kuliahnya.
“Yey... udah dooong.. Emang kamu aja yang bisa punya cem-ceman.. welkkk,”
jawab Debora meledek.
“Waah.. Cerita dong.. ceritaa..,” pinta Yuri dengan semangat.
“Ada deeeeh..,”
jawab Debora kembali meledek.
“Liat ya, nanti juga bakal aku duluan yang ber-indehoy-indehoy bareng babang bule. Kamu sama suamimu nanti sama aja kayak sekarang, belum ngapa-ngapain. Bakal aku balap kalian nanti,” ucap Debora.
“Enaaak.. ajaaa.. Eh Wait..wait.. Emang kamu mau nikah?,” tanya Yuri.
Debora lalu memamerkan cincin di tangannya yang satu lagi, yang sedari tadi memegangi ponselnya sehingga tidak kelihatan.
“Waaa... selamat yaaa, Boorr. Aku sampe terharu gini,” ucap Yuri yang kemudian mengipas-ngipas matanya dengan sebelah tangannya.
Debora lalu menunjukkan foto-fotonya bersama tunangannya itu. Rencanyanya, setelah ujian skripsi nanti Debora akan menikah denga tunangannya itu. Mereka akan melangsungkan pernikahan di London.
Debora mengundang Yuri untuk menjadi pendamping mempelainya. Yuri tentu saja langsung menyanggupi undangan Debora. Ia tidak mau ketinggalan momen berharga sahabatnya itu.
Dengan kondisi perekonomian suami Yuri saat ini, segala hal sangat mungkin dilakukan, termasuk untuk berpergian ke luar negeri. Yuri tidak hidup dalam kesusahan seperti di masa lalunya. Suaminya pun sangat memanjakannya.
Walaupun begitu, Yuri tetaplah perempuan yang sederhana. Ia mengeluarkan harta untuk hal-hal yang dibutuhkan saja. Yuri jarang tergoda dengan mode-mode busana, tas, sepatu atau skin care sebagaimana wanita-wanita elit pada umumnya.
* * * * *
“Istriku, aku datang,” ucap suami Yuri yang baru saja kembali dari berbelanja
“Iyaa.. selamat datang..,” jawab Yuri di depan pintu sambil menundukkan badannya.
“Apakah engkau membelikan aku roti lapis kesukaanku? Arrrg aku lapar sekaliiii,”
ucap Yuri.
“Ya ampuuun.. Aku lupa!,” jawab suami Yuri.
“Yaaaa...” ujar Yuri sambil menekuk mulutnya.
“Tapi bohoooong.. ,” ucap lelaki itu sambil memberikannya sekotak roti lapis.
“iiii... Apa coba, sebel tauu,” ucap Yuri manja sambil memukul lembut dada suaminya.
Suaminya lalu menyeringai lebar, dan Yuri pun juga menyeringai lebar.
“Ini buat apa?,” tanya Yuri sambil menunjukkan sebotol krim yang didapatnya dari bungkusan belanjaan yang ditaruh suaminya di atas meja.
Yuri bicara sambil mengunyah roti lapis kesukaannya.
Suaminya lalu datang menghampirinya dengan pandangan yang dalam. Yuri terpana oleh pandangan mata suaminya, sampai-sampai kunyahannya terhenti.
Roti lapis yang dipegangnya pun diambil oleh suaminya dan diletakkannya di atas wadah kardus roti di atas meja. Lelaki itu mendekatkan tubuhnya dan menyandarkannya tepat di depan tubuh Yuri.
Lelaki itu mendekapnya dengan pandangan Yuri yang masih tertuju pada suaminya. Sebotol krim oles yang diperolehnya kemudian ia tekan hingga isinya keluar sedikit di ujung jari suaminya di tangan lainnya.
“Kamu kan sedang pegal-pegal karena capek..,” ucap suami Yuri sambil ngeoleskan jarinya di leher belakang Yuri.
Yuri tersenyum dan merasa sangan nyaman dengan posisi itu. Itu adalah sentuhan pertama suaminya yang begitu intim kepadanya. Perasaan malu masih ada di antara keduanya, namun perlahan satu demi satu perasaan seperti itu lepas dengan sendirinya.
* * * * * *
DISCLAIMER:
Novel ini sedang dalam proses rencana perbaikan kualitas, berupa penggunaan kalimat efektif dan PUEBI lainnya.
Mohon pembaca sabar menanti. Sambil menunggu perbaikan, silahkan baca novel author yang lain. Terima kasih.
DISCLAIMER:
Novel ini sedang dalam proses rencana perbaikan kualitas, berupa penggunaan kalimat efektif dan PUEBI lainnya.
Mohon pembaca sabar menanti. Sambil menunggu perbaikan, silahkan baca novel author yang lain. Terima kasih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!