NovelToon NovelToon

Kenaya

Satu

Langkahnya terus berjalan menapaki ubin lantai koridor sekolah. Matanya lurus ke depan, seakan fokus pada satu tujuan. Langkah kakinya terdengar menggema, dan di telinganya terpasang earphone yang selalu siap sedia. Rambutnya terurai, nampak indah dipandang mata. Wajahnya yang ayu rupawan, hasil perpaduan wajah kedua orang tuanya yang beda negara membuat sosok itu menjadi gadis cantik jelita.

Nampak terlihat jelas, dan semua orang mengakuinya. Hanya saja sebagian orang menganggapnya aneh. Ya, mereka menganggapnya aneh lantaran mata yang dipunyanya. Kedua matanya memiliki warna yang berbeda, satu berwarna violet dan yang satu berwarna coklat terang.

Baru saja kakinya menyentuh ruangan kelas, namun suara bisikan itu mulai berdatangan. Tidak, semua teman sekelasnya tidak berbicara sama sekali. Mereka hanya membatin, membicarakan keluh kesahnya kepada diri sendiri. Dan hanya dia yang bisa mendengarnya.

Dia Kanaya, salah satu murid dari SMA Galaksi, di mana kesendirian adalah temannya. Gadis yang kerap disapa 'Kay' itu tengah duduk di kursi sambil membaca buku yang kemarin baru dipinjamnya dari perpustakaan. Sedangkan telinganya sibuk mendengarkan musik dari earphone.

Beruntungnya hari ini semua guru sedang rapat. Hal itu membuat semua siswa maupun siswi bersorak girang. Mereka tampak berpencar, saling berkumpul untuk bergosip ria bersama teman-temannya. Sedangkan di kursi paling pojok, Kanaya hanya bisa duduk dalam kesendirian.

Tidak ada suara bising lagi yang terdengar. Membuat Kanaya bergumam lega. Semua ini karena earphone kesayangannya. Satu hal yang tak pernah lupa ia bawa ke sekolah atau di manapun langkahnya berpijak.

Kanaya menutup bukunya. Lalu kakinya mulai beranjak dari kursinya menuju keluar kelas. Masih tetap menggunakan earphonenya, Kanaya terus melangkah menuju perpustakaan sekolah. Dia berkeliling mencari buku cerita tentang thriller. Namun sayangnya tidak ditemukannya.

Terpaksa, Kanaya mengambil buku tentang novel random yang ia ambil dari rak. Kanaya duduk di kursi panjang, lalu mulai sibuk membaca. Sebenarnya di perpustakaan banyak orang-orang yang sedang membaca buku, tapi kebanyakan dari mereka lebih banyak berbisik-bisik dengan temannya. Sedangkan petugas perpustakaan sedang sibuk mencatat jurnal kedatangan pengunjung perpustakaan.

Terasa dingin, seperti ada yang meniupi tengkuknya dengan sengaja. Kanaya menoleh ke arah samping dan mendapati teman tak kasat matanya tengah tersenyum padanya. Selanjutnya Kanaya memutar bola matanya malas.

Dia Clara, satu-satunya teman yang Kanaya miliki. Meskipun bukan berwujud manusia, setidaknya Clara selalu ada di saat Kanaya membutuhkannya. Clara menjadi arwah sekitar 150 tahun yang lalu, tepatnya dia terpaksa menjadi arwah karena pembantaian yang dilakukan musuh keluarganya. Wajah Clara hancur, penuh dengan darah, namun tetap saja tidak membuat Kanaya takut. Ia hanya melihat bagaimana sikap menyenangkan Clara, bukan melihat fisik arwah itu.

Clara sudah dianggap sebagai keluarga, selain itu ia sudah menganggap Clara seperti saudaranya sendiri. Clara adalah arwah yang baik, sering membantu dan membuatnya merasa nyaman. Kadang kala saat Kanaya tidak bisa tidur, Clara selalu menceritakan kisah yang bisa membuatnya mengantuk hingga tertidur lelap.

"Ada apa, Cla?" bisik Kanaya hampir tak terdengar. Namun Clara masih tetap bisa mendengar. Arwah itu lalu duduk di samping Kanaya dan mengamati wajah ayu itu.

"Aku bosen. Nggak ada teman main, Kay." Clara mengerucutkan bibir lalu memainkan rambutnya.

"Lalu? Kamu kan tahu kalau aku sedang sekolah," ujar Kanaya kalem. Ya, jika sedang bersama Clara, Kanaya akan berusaha menjadi pribadi yang hangat dan sabar. Kanaya tidak mau Clara mendapati sikap dingin darinya, sikap yang selalu Kanaya tunjukkan pada semua orang.

"Tapi aku mau main sama kamu. Kamu cuma bisa nemenin aku main waktu malam hari. Sedangkan pagi hari sampai sore, kamu sibuk." Clara merajuk.

"Aku kan ada keperluan." Kanaya lalu beranjak mengembalikan buku yang ia pinjam ke tempat semula. Clara mengekorinya dari belakang, sambil bersiul pelan. "Clara jangan bersiul, ganggu tahu!"

Clara meringis. "Maaf, tapi kan kamu masih pakai earphone."

"Tapi tetep aja ganggu. Telinga aku tajam, ya!" hardik Kanaya.

"Iya maaf. Baiklah, aku akan pergi, tapi nanti malem kamu harus main sama aku." Kanaya hanya bergumam. Sedangkan Clara kini sudah menghilang seperti angin yang berhembus.

Kanaya keluar dari perpustakaan dan duduk di taman belakang sekolah. Di sana tampak banyak pepohonan juga bunga hias yang tertanam apik di kebun. Kanaya melepas earphonenya, lalu berbaring di kursi panjang yang sekarang ia duduki. Matanya terpejam namun ia tak tertidur. Tempat ini sangat sepi, tidak ada seorang pun yang datang kemari. Hanya ada beberapa orang, tapi itupun tidak bertahan lama. Karena di menit selanjutnya mereka akan memilih pergi ke tempat lain.

"Heuh... malam nanti aku akan sibuk," gumamnya pada diri sendiri. Bayangan wajah Clara mulai melintas di benaknya, lalu senyum tipis itu mulai muncul. "Clara... dia terlihat menyeramkan tapi juga menyenangkan dalam waktu bersamaan."

Beberapa jam kemudian, ketika panas matahari mulai menyengat, Kanaya bangkit dari kursi. Dia berjalan menuju ke kelas, kali ini ia ingin segera duduk dan menelungkupkan kepalanya ke sana. Tak lupa Kanaya memasang earphonenya kembali.

Setelah berada di dalam kelas, semua orang tampak bersemangat. Ada apa? Kanaya sempat bertanya-tanya dalam hati. Namun setelahnya ia memilih acuh tak acuh.

Seorang guru masuk, guru yang notabenenya adalah wali kelasnya itu sedang berjalan dengan langkah lebar diikuti seorang laki-laki di belakangnya. Kelihatannya lelaki itu adalah murid baru. Semua orang yang ada di dalam kelas terdiam, diikuti bisik-bisik yang mulai terdengar. Bisik-bisik kagum itu mulai berdatangan, itu karena murid baru di depan.

"Selamat siang anak-anak maaf karena sebelumnya ada rapat mendadak. Ya, hari ini saya akan mengenalkan kalian kepada murid baru. Silahkan kamu mengenalkan diri," titah Bu Salma, sang wali kelas.

Senyum lelaki itu tampak ramah, ditambah dengan kadar ketampanan di luar nalar manusia. Semua bisikan mulai terdengar saat senyum maut itu mulai terbit. Matanya menyipit, menjelajahi satu persatu calon teman sekelasnya dengan teliti. Hingga matanya menentukan satu objek yang sedang menunduk membaca buku di kursi paling pojok sendirian.

"Ayo, tunggu apa lagi?" titah Bu Salma lagi.

"Namaku Kenzo Allarick Putra, kalian bisa memanggilku Kenzo. Aku harap kalian bisa menerima kedatanganku di sini dengan baik," ujarnya ramah. Hal itu menambah kesan plus bagi para gadis yang ada di kelas.

"Baiklah Kenzo, kamu bisa duduk di samping Kanaya," kata Bu Salma. Kenzo mengernyitkan dahi. "Kanaya silahkan angkat tangan!"

Kanaya mendongak lalu mengangkat tangan, wajahnya nampak datar namun dibalas senyuman oleh Kenzo. Lalu akhirnya Kenzo pun berjalan menuju bangkunya, dan duduk di samping Kanaya, gadis misterius yang tak tertarik padanya.

Setelah itu, Bu Salma berpamitan untuk pergi karena ada rapat susulan. Para murid bersorak bahagia. Setelah Bu Salma pergi, semua murid perempuan berbondong mendatangi bangku Kanaya dengan tujuan ingin mengenal lebih sosok Kenzo yang tampan. Kanaya hanya sibuk membaca buku, tak peduli pada sekitarnya yang nampak bising.

Setelah beberapa menit kemudian Kanaya dapat merasakan suasana sepi di bangkunya. Dia melirik ke samping, ternyata para perempuan itu telah pergi. Kanaya bersyukur dalam hati.

Diam-diam Kenzo melirik Kanaya. Ia tampak aneh, tak terlihat seperti para gadis lainnya. Kanaya tidak banyak bicara, tak banyak bergerak layaknya patung yang selalu diam dan tak berulah. Jika gadis lainnya mungkin akan berulah dan banyak bicara, membicarakan ini-itu yang membuat telinga berkedut ingin dilepas, tapi yang ini berbeda. Kenzo penasaran, dia tidak bisa melihat wajah Kanaya karena sedari tadi gadis itu hanya menunduk. Memang waktu Bu Salma menyuruhnya mengangkat tangan wejah gadis itu mendongak, namun sialnya Kenzo tak benar-benar memperhatikannya.

"Kamu Kanaya, kan?" ujar Kenzo memecah keheningan. Dia melihat ke arah gadis itu dengan tatapan ragu. Apakah Kanaya mendengarnya di saat gadis itu memakai earphone? Batin Kenzo bertanya-tanya.

"Hmm," jawab Kanaya tanpa menoleh ke sumber suara.

"Kamu nggak mau keluar, misalnya ke kantin?" tawar Kenzo yang masih saja mengajaknya bicara.

"Tidak." Kenzo diam mendengar jawaban itu. Ini kali pertama ada yang menolaknya. Jika dulu semua orang selalu berlomba mengajaknya pergi, kini teman sebangkunya sendiri enggan pergi bersamanya. Bahkan berbicara pun terlihat enggan.

"Kita ke kantin?" ajak Kenzo tak mau menyerah.

"Tidak."

"Kenapa?" tanya Kenzo cepat.

"Berisik. Pergilah, jangan ganggu aku."

Kenzo diam. Lalu mengamati gadis itu intens. Dari samping wajahnya tidak terlihat jelas karena tertutupi oleh rambut. Lalu kesadarannya muncul saat gadis itu mulai menutup bukunya dan menatap Kenzo tajam.

Kenzo terpaku saat melihat sosok malaikat di sampingnya. Benarkah ini adalah teman sebangkunya yang sedari tadi mendiaminya tanpa sebab? Kenzo terus bertanya-tanya dalam hatinya. Astaga mata itu, kenapa terlihat begitu indah dan unik di waktu bersamaan? Juga kenapa Tuhan bisa menciptakan wajah seproposional itu? Kenzo tidak bisa berkata-kata lagi di saat jantungnya mulai berdisko seperti dugem tanpa diminta.

Hingga saat sosok cantik itu sudah tak terlihat lagi di matanya, tapi tetap saja Kenzo masih belum tersadar. Beberapa menit kemudian bibirnya tersenyum. "Astaga malaikatku!"

Dua

Setelah tersadar dari terkejutannya, Kenzo segera pergi menyusul Kanaya. Lelaki itu berlari, terburu-buru saat melihat punggung Kanaya yang mulai menghilang dari balik dinding sekolah. Matanya berniat layaknya baru menatap daging segar, dengan cepat Kenzo segera menghampiri Kanaya yang sedang duduk di taman belakang sekolah.

Perlahan, Kenzo mengernyitkan dahi. Ia merasa aneh dengan tempat ini. Tempat ini sangat indah, tapi kenapa tidak ada seorang pun yang datang kemari? Hanya ada satu orang di sana, hanya Kanaya yang sedang berbaring sambil membaca buku. Kenzo melihat itu, melihat kaki jenjang milik Kanaya tengah tergantung di pinggir kursi. Tanpa pikir panjang, Kenzo menyingkirkan kaki Kanaya lalu duduk di sampingnya.

Kanaya tersentak kaget saat ada yang menarik kakinya hingga menyentuh tanah. Lalu ia bangun dan duduk dengan menyilangkan kaki. Kanaya diam, memilih sibuk membaca dan mendengarkan musik dari earphonenya.

Kenzo kesal tentu saja. Dengan sengaja Kenzo menarik earphone Kanaya hingga kepalanya sedikit tertarik. Tanpa diduga Kenzo memakai earphone itu dan mendengarkan lagu. Dia tak menghiraukan tatapan tajam milik Kanaya yang saat ini menghujam dirinya.

"Kembalikan!" desis Kanaya. Namun Kenzo hanya menatapnya sekilas dan tersenyum setelahnya. Mendapat respon itu, Kanaya berang. "Kembalikan atau---"

"Aku tidak mau. Lagumu asik juga, pantas saja kamu selalu mendengarkan musik dari benda ini," ujar Kenzo berkomentar.

"Kembalikan!" kembali Kanaya mendesis.

Kenzo menatapnya santai lalu tertawa ringan. "Kembalikan-kembalikan, seperti tidak ada perintah yang lain saja. Aku hanya meminjamnya sebentar, tidak mungkin juga aku akan mencurinya." Kanaya tak tinggal diam, dia pun mulai mencoba mengambil paksa earphone miliknya. Namun, Kenzo selalu mengelak. Tak sengaja Kanaya menyentuh leher Kenzo, lalu gadis itu terdiam.

Kanaya menatap Kenzo dalam diam. Kenapa kemampuannya tidak bekerja? Apakah kemampuannya sudah hilang? Seharusnya jika kulitnya menyentuh anggota tubuh seseorang pasti ia dapat melihat masa depan orang itu. Tapi kenapa semua itu tidak berlaku untuk Kenzo?

"Kenapa melihatku seperti itu? Apa kamu mulai menyadari kalau aku ini tampan?" tanya Kenzo percaya diri.

"Tidak. Sekarang kembalikan milikku!" titah Kanaya. Kenzo tersenyum lalu melepas earphone itu dari telinganya. Kemudian, Kenzo memakaikan earphone itu ke telinga Kanaya. "Begini lebih baik."

"Aku merasa kalau kamu selalu sendirian. Apakah kamu tidak merasa bosan?" tanya Kenzo penasaran. Lalu helaan napas terdengar dari bibirnya. Dia menatap gadis di sampingnya dengan senyuman tipis. "Bukannya aku sok tahu, tapi aku merasa kamu tipe orang yang sedikit acuh tak acuh kepada lingkungan sekitar. Aku merasa kamu mencoba menghindar dari semua orang. Kenapa?"

"Aku tidak menghindar." Hanya itu yang bisa Kanaya katakan, selebihnya ia akan menyembunyikannya rapat-rapat. Kanaya tidak merasa perlu memberitahukan semuanya pada Kenzo yang hanyalah orang asing. "Untuk apa kamu bertanya demikian?"

"Tidak. Aku juga merasa banyak anak-anak di kelas yang tidak menganggap dirimu ada. Aku hanya penasaran sebenarnya kamu ini manusia atau hantu," kata Kenzo jujur.

"Manusia." Kenzo mendengus mendengar jawaban sesingkat itu dari gadis di sampingnya. Baru kali ini ada seorang wanita yang menolak pesonanya. Padahal di luaran sana, banyak wanita yang memujanya. Entah itu karena ketampanan ataupun kekayaan keluarganya.

"Aku tak yakin," dengus Kenzo.

"Terserah." Setelah itu Kanaya bangkit dan pergi dari sana. Kenzo mengikutinya dan berdiri di sampingnya saat berhasil menyamakan langkahnya dengan Kanaya.

Selama perjalanan, Kenzo selalu mengajak Kanaya berbicara namun tak ada respon sama sekali. Kenzo tak menyerah, lelaki itu masih terus berbicara. Walau baru masuk ke sekolah selama satu hari, namun sifat Kenzo yang ramah sudah tersebar luas. Semua orang yang bertemu dengannya, pasti mendapatkan senyuman dari lelaki itu tanpa terkecuali.

Banyak tatapan yang menghujam Kanaya. Tatapan itu membuat Kanaya sedikit kurang nyaman. Kanaya sudah tahu alasannya, tidak lain adalah lelaki di sampingnya. Tatapan tajam dan sinis tertuju untuknya, membuat Kanaya ingin mengubur tubuhnya ke dalam tanah. Namun Kanaya terus berusaha mempertahankan ekspresi datarnya di hadapan semua orang, ia tak ingin pamornya hancur hanya karena tatapan sinis dari semua orang, terutama kaum wanita.

Kanaya duduk di kursinya, lalu ia mulai membaca buku novel. Di sampingnya Kenzo menghela napas. Sudah lama sekali ia berbicara, namun tetap saja tak ada respon. Kenzo tidak menyangka jika Kanaya sejenis dengan patung. Tanpa ekspresi, tak ada suara, bahkan bayangannya pun terasa bisu dan lenyap.

"Kamu punya rahasia?" tanya Kenzo tiba-tiba. Kanaya diam, namun ia berhenti membaca. "Kamu percaya anugerah Tuhan?"

Kanaya menutup bukunya. Ini adalah kelima puluh lelaki itu berbicara. Namun kali ini pertanyaan Kenzo tersirat makna yang entah apa itu. Kanaya menghembuskan napasnya lalu menatap langit-langit kelas. "Percaya," katanya lirih.

Kenzo tersenyum. Kenapa baru sekarang Kanaya memberinya respon? Tanya Kenzo dalam hati. Ada rasa kesal bercampur senang di dalam sana, namun yang paling dominan adalah perasaan senang. "Aku sebenarnya tidak percaya, tapi setelah apa yang aku alami sedari dulu, aku percaya."

Kanaya mengernyitkan dahi. "Punya keistimewaan?"

"Punya," jawab Kenzo sembari tersenyum miring. Mendengar jawaban itu sukses membuat Kanaya melihat lelaki itu dengan tatapan sedikit tertarik.

"Apa?" tanyanya penasaran.

Kenzo lagi-lagi tersenyum miring. Lalu ia bersandar pada kursi. "Anugerahku karena aku terlahir tampan. Kamu lihat banyak anak perempuan yang menyukaiku. Ya, tapi kamu pengecualian."

Kanaya memalingkan wajah. Merasa dongkol karena sempat penasaran. Kini ia menyesal. Kenzo hanya tersenyum, entah senyuman yang ke berapa, tapi ia tak menyesalinya. "Dan aku tahu apa rahasiamu," lanjutnya berbicara.

Tubuh Kanaya menegang. Batinnya memberontak, tak mempercayai ucapan Kenzo. Tidak mungkin lelaki yang baru mengenalnya sehari itu bisa mengetahui rahasia yang ia sembunyikan rapat-rapat, bahkan teman sekolahnya pun tidak ada yang tahu sama sekali. "Sejak kapan?" tanya Kanaya tercekat.

"Sejak aku baru mengenalmu. Saat aku mengajakmu berbicara," jujurnya.

"Apa kamu mau menyebarkannya?" tanya Kanaya takut-takut.

Kenzo tertawa renyah. "Aku bukan tipe orang yang seperti itu. Aku tidak akan menyebarkan aibmu. Tapi kamu harus mau menjadi temanku. Setuju?"

Kanaya terdiam. Ia tak pernah memiliki teman. Bahkan tidak ada yang menawarinya berteman. Dan sekarang Kenzo melakukan itu untuknya. "Tapi---"

"Menjadi temanku tidak seburuk yang kamu kira. Aku janji padamu." Kenzo mengatakan dengan mantap.

"Baiklah. Tapi jangan menyebarkannya," ujar Kanaya dengan berat hati.

"Baik, lagi pula siapa juga yang menyebarkan aib temanku sendiri." Kenzo tersenyum. Namun hatinya sedikit gundah. "Aku hanya menyangkan gadis secantik dirimu bisa memiliki sikap menyimpang seperti itu."

Alis Kanaya terangkat. Perilaku menyimpang? Apa lelaki ini bercanda?

"Maksudmu apa?" tanya Kanaya tidak mengerti.

"Kamu lesbi, kan? Kamu penyuka sesama jenis. Aku sangat menyayangkan hal itu, Kay. Jujur saja aku tidak tahu kamu bisa memiliki sikap menyimpang itu. Mungkin itulah yang membuat kamu menjauh dan dijauhi oleh orang-orang," terang panjang lebar Kenzo.

Apa? Kanaya tertegun dengan jawaban itu. Kenzo menganggapnya penyuka sesama jenis?

"Aku---"

"Aku akan membantumu untuk sembuh dan hidup normal kembali. Aku akan membuatmu jatuh cinta kepadaku. Aku janji," ujar Kenzo lebih tekad.

Gila, batin Kanaya.

Tiga

Mungkin jika ditanya siapakah orang yang paling sok tahu di muka bumi ini, maka jawabannya hanya satu; Kenzo. Kanaya berusaha mengabaikan ocehan Kenzo dengan cara memakai earphone, namun rupanya bayangan suara Kenzo masih saja terngiang di kepalanya.

Penyuka sesama jenis? Apakah yang Kenzo maksud adalah seorang lesbian? Apa lelaki itu sudah gila telah melabelinya dengan julukan hina semacam itu? Kanaya normal dan tidak sedikitpun memiliki sifat belok. Ia gadis normal yang bisa menyukai lawan jenis. Tapi sampai sekarang ini masih belum ada yang membuatnya tertarik.

Kanaya menatap atap kamarnya dengan tatapan kosong. Banyak pemikiran juga pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya. Salah satunya tentang bagaimanakah masa depannya nanti jika ia masih memiliki ilmu menyebalkan ini? Jangan harap gadis itu senang, jingkrak-jingkrak dan melompat-lompat kesenangan. Nyatanya Kanaya justru lebih memilih menghilangkan semua ilmu yang dipunyanya agar bisa menjadi orang normal seperti pada umumnya.

Helaan napas terdengar. Entah kenapa sekarang ia bermimpi aneh. Semua mimpinya tentang teka-teki yang membingungkan. Mobil rusak, tawa anak kecil, dan darah. Anehnya setiap kali Kanaya mengingat semua itu akan membuat kepalanya pusing luar biasa. Alhasil, yang ia lakukan hanyalah diam dan tak menghiraukan, serta menganggap mimpinya itu hanyalah bunga tidur.

Tapi setiap kali Kanaya menganggap semua itu hanyalah bunga tidur, entah kenapa hatinya selalu saja tidak tenang. Terasa ada yang mengganjal, namun apa itu Kanaya tak tahu. Ada banyak hal yang belum terpecahkan. Andai saja ia dapat menerawang masa lalunya sendiri, maka dengan senang hati ia akan melakukannya. Namun sayang, ia tak bisa melakukannya dan hanya bisa melakukannya kepada orang lain saja.

Tidak ada yang menarik dengan melihat masa lalu orang lain. Semuanya tak ada yang normal. Ada banyak hal di luar diri manusia yang disembunyikan secara diam-diam dan rapat. Itu juga yang membuat Kanaya sangat membenci juga muak terhadap mereka.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 12 malam. Kanaya masih terjaga, dengan mata terbuka lebar sambil menatap layar ponsel. Tangannya sibuk mengetik rentetan kata, sedangkan telinganya masih saja dipasang earphone. Katakanlah Kanaya tidak normal karena tidak merasa ngantuk walau tengah malam sekalipun. Insomnia yang dialaminya membuat Kanaya selalu terlihat kelelahan di setiap waktu, padahal nyatanya tidak sama sekali.

Tiupan di telinganya sukses membuat gadis itu kehilangan konsentrasi. Bibirnya berdecak, lalu menghembuskan napas kesal. Ia menoleh ke kiri, mendapati Clara dengan senyuman jenaka. Kanaya hanya menggeleng lalu menekuni aktivitasnya kembali dan tak menghiraukan keberadaan hantu Clara.

"Rasanya aku sangat bosan melihatmu belum tidur di jam-jam seperti ini," kata Clara memulai pembicaraan. Hantu itu duduk di atas lemari sambil bersidekap dada menatap Kanaya yang hanya bergumam saja. "Andai saja aku manusia, bukan hantu seperti ini, mungkin aku akan menjitak kepalamu saat ini juga."

Kanaya mengangkat kepalanya dan menatap Clara. "Memang kamu hantu, kan?"

"Heh, dasar sahabat laknat. Aku kan hanya berandai, dan kamu langsung membuat mood-ku hancur," decak Clara kesal.

Kanaya tersenyum tipis lalu mengangguk. Kemudian ia menyimpan ponselnya di bawah bantal serta meletakkan earphone miliknya di atas nakas. Kanaya membenarkan selimutnya yang melorot sampai pinggang lalu menatap Clara yang kini sudah berbaring di sampingnya.

Heuh, hantu itu memang sudah terobsesi untuk menjadi manusia. Apa tidak ada keinginan yang lain lagi selain itu? Batin Kanaya menggerutu. Memang mengesalkan ketika Clara selalu saja mengutarakan keinginannya untuk menjadi manusia. Entah itu setiap kali mereka bertemu, setiap detik, menit, bahkan jam sekalipun. Kanaya tahu jika kejadian tragis yang membuat Clara tewas bukanlah kemauannya. Bukan juga kemauan keluarganya. Tapi bukankah ini sudah takdir Tuhan? Mana ada hantu yang bisa berubah menjadi manusia kembali. Clara memang memiliki pemikiran absurd.

"Aku pernah punya impian. Sangat sederhana, indah, dan menyenangkan. Aku berandai ketika aku belum menjadi hantu, ketika aku masih hidup dan memiliki keluarga bahagia, aku tersenyum dan bercanda bersama mereka. Aku memiliki suami, anak, atau cucu. Tapi semenjak kejadian itu, aku harus menghanguskan mimpi yang kurajut dengan indah. Hingga kini aku sangat ingin menjadi manusia kembali, tapi setelah aku pikir-pikir ucapan kamu benar adanya. Aku tidak boleh melawan takdir, bagaimanapun juga menjadi hantu sudah menjadi takdirku. Seharusnya aku bersyukur dengan menjadi hantu aku bisa bertemu denganmu." Clara terus menerus mengoceh, terselip nada getir di sana.

Kanaya tersenyum. Ia tak menyangka akan mendengar kalimat Clara yang sebijak itu. Biasanya Clara sangat suka mengeluarkan candaan, kalimat basa-basi, atau sesuatu yang tidak penting. Tapi kali ini, entahlah. "Syukurlah. Sekarang kamu harus bisa belajar menerima takdir. Mengeluh, bosan, dan merasa tertekan karena keadaan itu memang wajar, tapi kita harus menyesuaikan diri. Apakah yang kita lakukan itu berlebihan atau tidak."

"Jadi selama ini aku terlalu berlebihan?!" teriak Clara membahana.

"Ya, kamu terlalu mendramatisir semua kejadian yang kamu alami. Kamu tidak menyadarinya, tapi aku tahu semuanya. Kadang kita memerlukan bantuan orang lain untuk memberi penilaian terhadap diri kita sendiri. Mereka tidak bisa berbohong, tapi kita?" ujar Kanaya bijak.

Clara tiba-tiba saja menjadi lesu. Dia mengacak rambutnya kasar, lalu menatap Kanaya yang sudah memejamkan mata. Clara tahu dan menyadari kalau ucapan Kanaya memang benar adanya. Seharusnya dari dulu ia mendengarkan ucapan Kanaya, toh itu mudah dilakukan. Sedari dulu ia hanya bisa mengeluh dan tak bisa menerima keadaannya yang sudah menjadi hantu. Selalu saja tak bisa mensyukuri semua apa yang ia dapat. Mungkinkah ini sudah waktunya ia harus berubah?

Clara teringat ibunya, teringat ayahnya, juga adiknya yang sudah tewas. Di dalam kecelakaan itu semuanya telah meninggal di tempat. Hal disayangkan saat mengingat usia adiknya yang masih 3 tahun. Seharusnya adiknya bisa hidup lebih lama untuk bisa melihat luasnya dunia. Tapi Tuhan berkehendak lain, semua keluarga serta dirinya tewas ditempat. Sakit di sekujur tubuhnya tak bisa mengalahkan rasa sakit saat ia melihat anggota keluarganya bersimbah darah dan memejamkan mata. Itu semua tak bisa dijelaskan oleh kata-kata, semuanya tampak menyakitkan dan membuatnya merasa putus asa.

Setelah diingat lebih dalam lagi, kecelakaan itu murni karenanya. Itu semua karena keinginannya untuk pergi liburan di puncak. Jika saja ia tak meminta itu, mungkin keluarganya masih hidup, adiknya bisa melihat dunia lebih lama lagi, dan semuanya akan bahagia, terlebih ia tidak akan menjadi hantu gentayangan seperti ini. Jujur itu melelahkan. Tidak ada tujuan hidup, semuanya berjalan layaknya air yang mengalir.

****

Keesokan harinya Kanaya terbangun, dia menguap. Rasa kantuknya masih belum hilang. Kanaya beranjak dari ranjang lalu pergi keluar kamar, tepatnya dapur. Kanaya membuka kulkas, di sana masih ada beberapa sayur yang bisa ia masak menjadi masakan sehat. Setelah berkutat dengan alat dapur, dalam beberapa menit kemudian masakannya telah selesai. Lalu Kanaya bersiap untuk mandi dan berangkat sekolah.

Kanaya berjalan menyusuri jalanan dengan earphone di telinganya. Sejujurnya ia sangat malas pergi ke sekolah. Jika boleh memilih, Kanaya ingin menghabiskan waktunya untuk bekerja dan menulis novel. Ya, selain seorang pelajar, Kanaya juga bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran sederhana dekat rumahnya. Selain menjadi pelayan restoran, Kanaya juga menjadi seorang penulis novel. Ia menggunakan nama samaran disetiap karya-karyanya. Banyak yang bertanya-tanya siapakah nama asli dari penulis terpopuler itu? Kanaya sadar dengan menjadi pelayan restoran sederhana, gajinya tidak akan cukup untuk mengisi perutnya yang tiba-tiba saja merasa lapar. Untuk itulah Kanaya melakukan pekerjaan sampingan sebagai seorang penulis novel yang kini sudah banyak penggemarnya. Semenjak menjadi seorang penulis, Kanaya tidak merasa kekurangan lagi untuk mencukupi kebutuhannya. Ia tak masalah dengan biaya sekolahnya, karena sedari dulu ia adalah anak beasiswa yang beruntung karena memiliki otak yang cerdas. Untungnya tidak ada adegan bully-membully antar siswa di sana.

Sesampainya di sekolah, Kanaya langsung pergi ke kelas. Ia duduk di kursinya dan mengeluarkan buku catatan yang ingin ia baca. Selang beberapa lama kemudian, tiba-tiba saja earphone miliknya ditarik oleh seseorang hingga membuat Kanaya terkejut. Kanaya mengepalkan tangannya lantaran emosi. Dia menoleh ke arah samping dan berusaha merebut kembali earphone miliknya namun gagal. Orang itu lebih dulu mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Kembalikan," desis Kanaya geram. Ia marah, tentu saja. Apalagi saat melihat ekspresi seolah tanpa dosa orang di sampingnya itu. Kanaya tidak ingin mendengar gerutuan hati orang lain. Ia tidak ingin mengetahui apapun tentang mereka. Tapi orang di sampingnya ini sudah bertindak keterlaluan. "Kubilang kembalikan!"

"Ayolah, Kay. Apa kamu tidak capek dengan terus memaki earphone itu? Kurasa telingamu sudah dungu karena terlalu sering memakainya," ujar Kenzo. Ya, orang yang menggangu Kanaya adalah Kenzo. Tidak ada yang berani mengganggu gadis itu kecuali Kenzo. "Aku akan menyimpannya."

"Kembalikan---"

"*Ih, dasar tidak peka. Padahal aku kan pacarnya, tapi kenapa sahabatnya selalu yang diprioritaskan?!"

"Aku tidak terima dia memperlakukanku seperti ini. Aku harus membalasnya, apapun caranya aku akan melakukan pembalasan."

"Ahh, Kenzo sangat tampan. Andai saja aku jadi pacarnya."

"Ih kenapa Kenzo dekat dengan cewek aneh itu?!"

"Aku malas jika harus berpura-pura baik-baik saja. Aku ingin dia tahu perasaanku, bagaimana aku mencintainya. Tapi dia seolah membentangkan jarak antara kami. Kenapa?"

"Tidak keluarga, teman, atau pacar, semuanya sama saja. Setan semua*!"

Kanaya menutup telinganya rapat-rapat. Tak kuat bila harus mendengar suara hati semua teman sekelasnya. Semuanya tampak berniat jahat, dan Kanaya tidak mau tahu tentang semua itu. Kepalanya bertambah pusing karena ocehan tanpa henti semua orang.

Lain dengan Kanaya yang tampak frustasi, Kenzo justru menatap Kanaya dengan khawatir. Lelaki itu langsung memegang bahu Kanaya dan mengguncangkan tubuhnya pelan. "Kay, kamu kenapa?!"

"Kembalikan earphone milikku!" sentak Kanaya lalu merebut paksa earphone miliknya dan memakainya dengan cepat. Perlahan suara ocehan semua teman sekelasnya tidak terdengar lagi. Kanaya menghembuskan napas lega. Dia menoleh ke arah Kenzo dan menajamkan matanya. Dia sangat marah dengan lelaki lancang itu. Bagaimanapun juga Kenzo sudah bertindak semaunya, dan ia benci itu. "Keterlaluan!"

"Hei, kamu baik-baik saja?" tanya Kenzo khawatir.

"Tidak usah bertanya. Urusi saja urusanmu!"

Kenzo diam dan tak bersuara. Mendengar nada marah dan geram yang dilontarkan Kanaya, membuat tubuhnya sedikit bergetar. Kanaya memiliki aura mencekam seperti film-film horor yang sering ia tonton. Namun rasa penasaran yang ada dalam benaknya mengalahkan rasa takutnya. Bagaimana sikap dan perilaku Kanaya saat ia merebut earphonenya, itu membuatnya terlihat aneh. Sikap Kanaya terlalu berlebihan hanya karena earphone itu. Kenzo tidak habis pikir dengan gadis dingin di sampingnya itu, bagaimana bisa dia memakai earphone itu terus menerus, apa telinganya tidak terasa sakit? Dan satu hal yang ia bingungkan. Kenapa Kanaya selalu menutup telinganya waktu ia merebut earphonenya?

Apa Kanaya memiliki rahasia tersembunyi yang orang lain tidak tahu? Atau memang dia punya alergi dengan suara berisik dari anak-anak kelas? Hell, memangnya ada penyakit alergi terhadap suasana berisik? Batin Kenzo bertanya-tanya.

Untuk mengetahui semuanya, Kenzo akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Selain ingin dekat dengan Kanaya, Kenzo juga ingin di samping gadis itu setiap waktu. Berharap Kanaya akan menyukainya dan tertarik padanya. Walaupun itu adalah hal yang cukup mustahil terjadi.

tbc

Jangan lupa vote dan memberikan komentar yang membangun ya. Sampai jumpa di next chapter

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!