NovelToon NovelToon

Crazy Rich Husband

Rumah Kosong

"Bagaimana para saksi sah?"

"Sah," teriak para warga.

Aku mencium tangan laki-laki yang kini telah sah menjadi suamiku kemudian tertunduk lemas. Hari ini seperti mimpi buruk bagiku. Bayangkan saja, dihukum karena kesalahan yang tidak kita lakukan. Ingin memberontak namun tidak bisa. Ingin berteriak rasanya pun percuma.

Warga mengira aku dan laki-laki yang bernama Reyhan ini telah berbuat mesum di rumah kosong. Kami akhirnya dinikahkan paksa oleh mereka. Andai Ayahku masih ada mungkin bisa menjadikan alasan untuk memperlambat bahkan kabur dari ini semua. Namun, karena Ayahku sudah tiada enam tahun lalu, membuat mereka mencarikan wali hakim untuk pernikahan konyol ini.

Pernikahan berjalan cepat dan lancar. Mereka mengejek kami, "Sekarang udah sah, jadi kalian bisa berbuat mesum sesuka hati kalian." Astaga, ingin rasanya melakban mulut mereka semua. Aku malu, sedih, kecewa. Pernikahan yang aku dambakan jauh dari ini semua. Tak ada cinta, jangankan cinta bertemu saja baru pertama. Aku tak bisa membayangkan kedepannya bagaimana.

Semua ini berawal saat aku berlari menyusuri gang-gang sempit yang penuh sesak dengan rumah penduduk yang padat. Aku berlari bukan tanpa alasan. Berlari karena kabur dari penagih utang.

Aku merantau ke kota ini yang pastinya untuk meraih impian. Aku mempunyai toko kue, hasil dari menjual harta peninggalan Ayah. Berjuang sendiri disini, tapi semua tak seindah yang dibayangkan. Toko kue sepi, merugi. Hutang sana-sini. Astaga mungkin nasib ini sangat mengenaskan sekali.

Aku juga tak mengerti, ini karena kurang promosi atau rasanya yang kurang masuk ke hati. Yang jelas terus menerus menguras emosi.

Aku berlari seraya menoleh ke belakang. Dua laki-laki berbadan kekar itu terus mengejar karena tiga bulan ini aku tidak membayar hutang. Bukannya aku lari dari tanggung jawab, tapi memang pendapatan toko kueku sangat sedikit sekali.

Bruk

Aku tak sengaja menabrak Reyhan. Kami terjatuh bersama. Tapi, tak ada waktu untuk bertatapan. Tiba-tiba saja dia menggandengku bersembunyi di sebuah rumah tua kosong. Napas kami sama-sama terengah-engah. Sepertinya dia juga dikejar-kejar orang.

Dia mengajakku bersembunyi di kolong meja yang reyot. Bola mataku berkeliling, sungguh rumah kosong itu sangat menyeramkan. Debu berhamburan, sarang laba-laba berjumlah ribuan, kecoa, tikus berkeliaran. Rasanya ingin menjerit dan berlari keluar. Namun laki-laki itu menahan dan menyekap mulutku.

"Diam!" ucapnya dengan nada ditekan.

"Dimana dia?" teriak salah satu warga. Mataku membola. Penagih hutang dan para warga berkumpul menjadi satu di depan rumah kosong tempat kami berlindung. Laki-laki itu masih menyekap mulut sembari memelukku.

"Eem ... em." Aku berusaha berteriak ada tikus yang mendekati kami.

"Hus ... hus!" usirnya lirih. Namun, yang ada tikus itu semakin mendekat dan hampir menggigit tangannya.

"Aaaaakkkkhh," teriak kami bersama-sama.

"Itu mereka!" Para warga mendobrak rumah kosong tempat kami bersembunyi. "Oh jadi disini kalian bersembunyi untuk berbuat mesum ya?"

Apa mesum? Tidak, bagaimana bisa para warga menuduhku berbuat mesum dengan laki-laki itu?

Aku menggelengkan kepala. "Kami gak berbuat mesum Pak!" teriakku.

"Halah, tadi di mobil sekarang disini."

"Apa? Di mobil?" Aku semakin bingung dengan tuduhan mereka.

"Dihukum apa enaknya, biar mereka jera?"

"Apa dihukum?" Aku seolah-olah tak percaya.

"Bagaimana kalau nikahkan saja mereka?"

"Apa nikah?" Aku dan laki-laki itu berteriak bersama. Mereka saling mengangguk. Tidak, ini tidak mungkin.

"Pak kami tidak saling mengenal, kami juga tidak berbuat mesum," tegasku.

"Eh mbak, gak usah sok hilang ingatan! Tadi yang di mobil berciuman dan bercumbu mesra siapa? Untung kami memergoki, kami hanya kasian padamu mbak. Dimanfaatin sama laki-laki kayak gitu mau aja." Warga menunjuk ke arah Reyhan.

Dahiku berkerut dalam. Apa dia dikejar para warga karena tengah berbuat mesum? Lalu dimana teman wanitanya?

"Tapi Pak, wanita itu bukan aku." Aku menyenggolnya. "Iya 'kan?" Dia mengangguk pelan seraya membuang wajahnya.

"Halah mana ada maling yang mau ngaku. Ayo jangan lama-lama, kita nikahkan saja!"

APA?

Visual

Kinan (25 tahun)

Reyhan (29 tahun)

Semoga ada readers yang nyasar disini dan betah baca cerita ini.

Jangan lupa favoritin dan dukung authornya!

Biar semangat ngetiknya.

Tinggal Bersama

Kami berdua memegang buku nikah yang diberikan oleh penghulu beberapa menit yang lalu. Ingin rasanya merobek-robek dan membuangnya. Suasana menjadi sepi. Para warga sepertinya sudah berpuas hati menikahkan kami.

Aku melirik laki-laki itu, dia pun juga melirikku. Dia mengulurkan tangannya. "Reyhan panggil aja Rey!" ketusnya.

"Kinan." Aku membalas uluran tangannya. Ini sangat konyol kami sudah sah menjadi suami istri malah baru berkenalan. Apa suami? Tidak, ini tidak boleh terjadi.

"Heh," Kami mengucap kata itu secara bersama. Kemudian terdiam membuang muka malu.

"Kamu aja dulu!" serunya dengan mulut mengerucut.

"Ini kelanjutannya gimana? Apa habis ini kita cerai saja?" usulku. Dalam hati sebenarnya tau perceraian adalah bukan hal yang baik. Tapi, mau bagaimana lagi?

"Apa?" Dia memundurkan kepalanya. "Eh, nikah itu jangan buat main-main! Itu prinsip hidupku!"

"Terus?" Aku bertanya, maunya dia apa? Aku sebenarnya juga tidak mau main-main dengan pernikahan.

Alisnya berpautan. "Aku sebenarnya belum pengen nikah."

"Eh umurmu udah 29 tahun."

Dia memicingkan matanya. "Aku tuh belum puas ...." Rey menghentikan ucapannya. "Eh," Dia kemudian menutup mulutnya.

Dahiku berkerut. "Belum puas apa?" Aku penasaran sekaligus ketakutan. Jangan-jangan laki-laki ini hidung belang? Sudah pastinya, buktinya tadi saja dia mesum.

"Belum puas pacaran. Udah ayo pulang!" Rey berdiri seolah mengalihkan pertanyaanku. Aku pun juga ingin buru-buru pulang ke rumah. "Tunggu aku ambil mobilku dulu?" pamitnya.

"Gak perlu kamu antar pulang. Aku jalan kaki aja. Rumahku gak jauh dari sini." Aku sedikit menolak. Walaupun sebenarnya lelah juga jalan kaki. Berharap dia memaksaku untuk mengizinkannya mengantar pulang.

"Eh, kita itu udah nikah." Dia menunjukan buku nikahnya seolah-olah mengingatkanku. "Jadi ya harus tinggal bersama!"

"APA?"

Aku menggelengkan kepala. Kenapa jadi seperti ini? Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku dan dia tinggal bersama? Yang ada dia akan berbuat mesum padaku.

Punggungnya semakin menjauh meninggalkanku. Aku duduk termenung menatap buku nikah ini.

Tin tin

Tak selang lama mobilnya berhenti tepat didepanku. "Masuk," teriaknya.

Aku tercengang. Mobil ini sangatlah mewah. Saat masuk kedalamnya aroma parfum mobilnya seperti menghipnotis. Baiklah, dia pasti orang kaya. Sudut bibir ini ku sunggingkan. Bukannya matre, tapi kali ini aku benar-benar butuh uang. Semoga Rey mau meminjamkan bahkan memberikan padaku sedikit hartanya.

"Kamu kerja dimana?" Aku sangat penasaran. Dari penampilannya yang memakai kemeja rapi, sepertinya dia CEO yang menjadi impian sebagian besar wanita.

"Aku gak kerja."

"Apa?" Mulutku ternganga. Tidak, pasti dia merendah. "Maksudnya, kamu bos gitu?" Dia terkekeh mendengarnya. Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?

"Aku pengangguran."

"Pengangguran? Kok mobilmu bagus banget?"

"Ini mobil, pinjem saudara."

Aku menggaruk kepala, setengah tidak percaya.

"Kita pulang ke rumahmu ya? Aku gak punya rumah, disini cuma kos," pintanya dengan santai.

Aku menggelengkan kepala dan menatapnya. "Gak bisa, kita gak harus tinggal serumah juga 'kan?" tegasku yang terus menatapnya.

"Eh, kita itu udah nikah. Gak baik kalau gak seranjang."

"Maksudmu apa?" teriakku. Pikiranku sudah tak jernih lagi. Jangan-jangan dia menginginkan malam pertama bersamaku. "Eh, jangan macem-macem ya!" ancamku dengan menunjuk jari telunjuk padanya.

Dia hanya terkekeh seraya membuang muka. Tak lama kemudian dia melirikku. Kerah baju ini ku cengkram kuat. Kenapa jantung ini berdebar? Tatapannya membuat tingkahku tak karuan.

"Rumahmu masih jauh gak?"

"Perumahan depan." Dia mencebikkan bibirnya. "Aku tegasin ya, kamu jangan sampai menyentuhku!"

"Aku tak bisa jamin itu."

"Heh maksudmu apa?" teriakku.

Dia memundurkan kepalanya dan melototkan matanya. "Eh, aku tegasin juga ya! Kita ini udah nikah. Kalau pun kita nanti berpisah. Kamu akan jadi janda. Walaupun kamu masih perawan dan belum ku robek keperawananmu, tetep aja kamu disebutnya janda bukan perawan."

"Hati-hati ya kalau ngomong!" Aku benar-benar ngilu mendengar ucapannya.

"Emang kamu masih perawan?" Dia mengangkat kedua alisnya.

"Ya masihlah."

"Buktikan!"

Mulutku tenganga. "Maksudmu buktikan apa? Jangan macem-macem! Kamu pulang aja ke kosmu! Aku tidak sudi menampungmu." Dia melirikku seolah-olah tak terima. "Berhenti itu rumahku!"

Aku keluar dan membanting pintu mobilnya. Dia nekat memarkir mobilnya di carport rumahku.

"Kamu ngapain?" Aku mendorongnya kuat-kuat supaya pergi dari rumahku. Tapi seperti percuma, dia berjalan nekat menuju pintu.

"Cepat buka, aku capek banget mau tidur!"

Mulutku terbuka lebar dan berjalan menuju pintu itu seraya mengambil kunci yang berada di tasku. Dia terus menatapku tajam. Bahkan aku tak berani untuk membalasnya. Sebenarnya dia lumayan tampan, dengan mobil mewah yang dia pakai pastilah banyak wanita yang menginginkan.

Tidak, aku tidak boleh lengah. Aku memukul pelan kepalaku. "Kenapa lama banget? Buka dong!"

"Ih,"

Kleeek

Pintu rumahku terbuka. Bola matanya terus berkeliling di seluruh sudut rumahku yang tak tergolong besar ini.

"Kecil banget rumahmu?"

Apa kecil? Hei dia menghinaku, sedangkan dia sendiri tak mempunyai rumah dan menumpang disini. Tidak malukah dia akan itu?

"Ya udah pergi dari sini!" Aku menunjuk pintu luar. Dia mengernyit dan terus menatapku.

"Kamu mau dosa karena mengusir suamimu? Bisa-bisa jadi penghuni neraka."

"Heh jaga ucapanmu!" Kenapa aku tiba-tiba jadi takut? Bagaimana jika itu benar-benar terjadi?

"Mana kamarmu?"

Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Rumah ini memiliki dua kamar. Setidaknya kita tak tidur bersama untuk menjauhi hal-hal yang tak diinginkan. Sumpah, aku belum rela menikah dengan laki-laki tak jelas asal usulnya seperti dia.

Dia langsung berjalan celingukan mencari kamarku. Entah kenapa langkah kakinya langsung menuju ke kamar yang setiap hari ku tiduri.

Aku menarik tangannya. "Kamu tidur di kamar sebelah aja!"

"Gak boleh dong, kita itu suami istri masak harus pisah ranjang. Dosa tau gak?"

"Dosa kamu bilang? Apa kamu gak ngaca? Tadi kamu habis mesum digrebek warga, apa itu bukan dosa?" Aku tak habis pikir dengannya. Kenapa hanya ranjang yang menjadi alasannya. Dia hanya terkekeh kecil.

"Tadi aku khilaf, sekarang 'kan udah tobat."

Omong kosong apa itu? Dia berjalan semakin mendekati tempat tidur. Aku terus menarik paksa tangannya namun tenagaku tak sekuat tenaganya. Kenapa ini serasa percuma?

Dia langsung membaringkan tubuhnya di tempat tidurku. Kedua telapak tangannya dia jadikan bantal. Dia tersenyum menyeringai padaku. Aku takut serta merinding.

"Kamu ngantuk juga? Sini tidur di sampingku!" Matanya melirik ke samping tubuhnya.

"Eh," Aku mengernyit. "Sampai kapan kamu tinggal disini?"

"Aku suamimu, ya kita tinggal bersama terus dong!"

"Enak aja, kamu tuh sebagai suami harusnya memberiku rumah. Ini malah kamu yang menumpang di rumah istri."

"Nanti kalau aku udah kerja, aku beliin rumah mewah buat kamu."

Aku mencebikkan bibir. "Bangun, mimpimu ketinggian! Kerja aja gak, beliin rumah."

"Eh kamu ngajakin bangun, bangun beneran nih." Matanya mengarahkanku ke celananya yang menggembung. Lagi-lagi dia tersenyum menyeringai.

Aku takut dan berlari ke luar kamar. Tiba-tiba aku merinding. Tak mampu membayangkan lebih jauh lagi hidup menjadi istrinya.

Dilarang Merokok

Waktu sudah sore menjelang malam. Aku menuju dapur dan mencincang-cincang sayuran untuk persiapan makan malam. Tak ada yang spesial dari menu makan malamku sekarang. Keuangan yang pas-pasan membuatku harus pintar-pintar mengelola pengeluaran.

Aku melihat Rey membuka pintu kamar seraya mengucek matanya. Kemejanya terlihat lusuh. Dia kemudian masuk kamar mandi dan terdengar gemericik air di dalam sana.

Aku melanjutkan kembali memasak. Tinggal menggoreng ikan dan semua sudah beres.

Tok tok tok

Kompor seketika aku matikan. Siapa yang datang? Aku bahkan jarang sekali menerima tamu. Jangan-jangan tetangga mencurigai kami. Ah, tapi kami sudah menikah. Aku langsung membuka pintu, terlihat dua laki-laki berpakaian rapi membawa sebuah koper besar.

"Ya, ingin bertemu siapa?" tanyaku keheranan.

"Kami mau mengantar koper Pak Rey."

"Koper?"

Mereka mengangguk dan menyerahkan koper itu padaku lalu pergi begitu saja. Aku sebenarnya bingung. Tapi ku tarik saja koper besar itu.

Rey keluar dari kamar mandi hanya dengan sehelai handuk yang nenutupi tubuh bagian bawahnya. Aku menjerit seraya menutupi mata dengan kedua tangan.

"Kenapa?" Suaranya terdengar semakin mendekatiku.

"Jangan mendekat! Aku mohon!"

"Aku mau ambil koperku!" bentaknya dengan menarik koper dan memasukkannya dalam kamar.

Aku kemudian melanjutkan memasak kembali. Kali ini dia keluar kamar dengan memakai kaos dan celena pendeknya.

"Masak yang banyak ya, aku laper banget nih!" pintanya seraya berjalan keluar rumah. Aku mengernyit tanpa menjawabnya.

Tak butuh waktu lama, semua masakanku sudah matang. Aku bangga dan puas. Tak sabar untuk segera menyantapnya.

"Kinan, buatin aku kopi! Bawa sini, gulanya banyakin dikit!" teriaknya dari luar.

"Ih," Seperti inikah rasanya punya suami? Tanpa pikir panjang, aku langsung menuruti perintahnya. Membawa secangkir kopi manis tanpa berlama-lama.

"Hem, taruh meja aja!"

Mataku membola melihat Rey menghisap sepuntung rokok, melipat kakinya seraya bermain dengan ponselnya. Aku sangat benci bau asap rokok. Kenapa laki-laki ini malah merokok?

"Rey, aku gak suka rokok!"

"Ya bagus, cewek lebih baik jangan merokok." Dia tak mengerti maksudku atau seolah-olah merasa tak berdosa.

Aku menghela napas gusar. "Maksudku aku gak suka cowok perokok. Mulai sekarang dilarang merokok di rumah ini!"

Dia dengan santainya menghisap kuat rokok itu kemudian mengeluarkan asapnya dari mulutnya ke udara.

"Mulai sekarang kamu harus terbiasa. Karena aku gak bisa lepas gitu aja dari rokok ini!" Kenapa malah dia yang menjadi mengatur? Ini adalah rumahku.

Rey mengambil cangkir berisi kopi itu, meniupnya sebentar kemudian meminumnya. "Ini kurang manis!"

"Eh, gula itu mahal."

"Besok aku beliin pabrik gula."

"Crazy."

Dia berdiri. "Apa kamu bilang?"

"Kenapa marah?"Aku tidak suka intonasinya saat bertanya. Ah, mungkin ini karena aku berkata dia gila.

Matanya terus memicing. Aku menghentakkan kaki di depannya tiga kali. Tapi, tak dihiraukan. Nasib ini memang benar-benar sial. Aku mengutuk diri sendiri.

Laki-laki yang kini sudah sah menjadi suamiku itu benar-benar tak ada sama sekali masuk dalam tipe cowok yang aku idamkan selama ini.

Kaya juga tidak, pengangguran, hidung belang, otak mesum, pemalas, perokok juga. Astaga, aku duduk di meja makan dengan pandangan menunduk ke bawah. Bukan pernikahan dengan laki-laki seperti ini yang aku inginkan. Aku selalu berharap kelak ada pangeran tampan, yang akan mengentaskan dari kemiskinan. Namun, malah sebaliknya.

Tak selang lama Rey masuk, mendekat dengan duduk dikursi dekat tempat dudukku. Dia membalik piring yang sudah aku tata rapi. Matanya memicing melihat masakan yang ada di depan mata.

"Cuma ini lauknya?" Dahinya berkerut.

Memang hanya ada nasi, ikan goreng, dan oseng kangkung sebagai sayurnya di meja makan. Itu pun membuatku sudah bersyukur.

"Harusnya makan itu empat sehat lima sempurna!" Aku memukul dahi. Kenapa laki-laki ini banyak menuntut? Sudah bagus dikasih tumpangan hidup. Aku hanya terdiam menatap sinis padanya. Apakah dia sadar? Ah, sepertinya tidak.

"Ambilkan! Aku sudah lapar."

Oh tidak, aku memejamkan mata dan menghembuskan napas. Sabar. Satu kata yang mudah diucapkan namun berat dipraktekkan saat orang menerima ujian.

Aku mengambilkan nasi dipiringnya. "Itu sayur apa?"

"Oseng kangkung." Aku menuangkan keatas nasi dipiringnya. Kemudian duduk kembali.

"Kangkung kamu bilang?" Raut wajahnya berubah berkerut. Aku mengangguk. Memang kenapa dengan kangkung? Kenapa dia seperti tak menyukainya?

"Kamu cobain dulu deh! Itu enak banget," saranku. Aku mengambil satu ikan goreng dan menaruhnya di piring.

"Kamu ngasih makan aku kangkung?" Mulutnya mengerucut. Sumpah rasanya ingin mengucir dengan karet pembungkus nasi, agar bisa diam tanpa banyak protes.

"Aku punyanya cuma sayuran itu. Lagian gizi yang terkandung didalamnya juga banyak. Vitamin A, vitamin B, C, D ...."

"Iya digenapin aja sampai vitamin Z," sahutnya. Aku mengernyit. "Nanti malam akan menjadi malam panjang kita. Kamu sengaja memberiku makan kangkung, biar tidur terus gitu? Gak sekalian aja kamu ngasih aku makan terong? Biar lemes, dan kamu gak jadi menunaikan kewajibanmu sebagai istri."

"Hei apa maksudmu?" teriakku.

Aku memegangi dada ini. Menunaikan kewajiban, kewajiban apa? Aku menggigiti bibir bawahku seraya menatapnya sinis. Ah, dia tersenyum menyeringai. Wajahnya semakin mendekat. Aku hanya mampu menggelengkan kepala dan memejamkan mata

"Jangan cium aku! Aku belum siap."

Aku bisa merasakan betul hembusan napasnya mengenai pipiku. Oh tidak, jantung seperti ingin lepas dan berlari dari sarangnya.

Kenapa lama sekali? Perutku sudah berbunyi. Aku mengintip dengan membuka sedikit mata ini. Ah, dia hanya terdiam didepan wajahku.

"Ih," Aku mendorongnya ke belakang dan langsung menyendok makanan yang ada di depan mata. "Pokoknya jangan sentuh aku!"

"Aku tak yakin kamu menolakku. Diluar sana, banyak wanita yang ingin merasakan sentuhanku dan diantara mereka pasti ketagihan. Aku yakin kamu juga pasti ketagihan."

"Ih," Aku memundurkan kepala. "Wanita macam apa itu? Apa mata dan hati mereka tertutup, memberikan cuma-cuma tubuh mereka pada laki-laki sepertimu?"

"Kamu tidak tau aja siapa aku?"

Aku memberikan senyum setengah padanya. "Kamu hanya laki-laki menyebalkan. Betapa sialnya nasibku telah bertemu dan menikah denganmu."

Dia mengusap gusar wajahnya. "Kamu tuh malah beruntung banget ketemu laki-laki sepertiku. Banyak wanita yang mengantri ingin menjadi istriku."

Aku mencebikkan bibir. Tingkat kepercayaan melebihi seorang dewa. Banyak yang mengantri? Hah, dia mungkin sedang bermimpi. Mana ada wanita yang mau menjadi istrinya. Ditumpangi hidup seperti ini. Gila, laki-laki ini benar-benar gila.

"Udah jangan dipikirkan! Makan yang banyak nanti kamu lemas."

"Lemas apa maksudmu?" Dia mengambilkan satu centong nasi dan menaruhnya dipiringku. Mulutku terbuka lebar. "Ini nasi terlalu banyak," teriakku.

"Aku tuh kuat loh sampai pagi. Aku hanya gak ingin kamu pingsan. Aktivitas itu benar-benar menguras energi."

"Heh aktivitas apa maksudmu?"

Dia malah tertawa geli dengan memegangi perutnya.

Halo masih adakah pecinta babang tamvan Reyhan?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!