Shofia, nama yang simpel seperti orangnya. Menikah dengan Hanif Manager di perusahaan pariwisata. Mereka sangat bahagia dengan pernikahannya. Yang sudah berjalan 7 tahun dan mempunyai seorang putri bernama Naina.
Pernikahan yang sangat harmonis dan selalu mendapat pujian dari sahabat dan tetangga, karena hubungannya yang sangat mesra dan harmonis. Sehingga banyak tetangga yang iri.
Tapi itu hanya di mata mereka, yang menjalani adalah Shofia dan Hanif, pertengkaran diantar mereka terus terjadi, saat Shofia tahu jika suaminya memberikan separuh gajinya untuk Ibu Ani, mertuanya
Setiap Shofia bertanya jawabannya selalu sama, hanya menitipkan ke ibunya. Shofia merasa tidak di anggap, kerana tidak mempunyai hak atas apa yang menjadi haknya.
Gaji Hanif lumayan besar, 25 juta perbulan. 12,5 juta di berikan kepada Ibu Ani, alasan di titipkan. Sedangkan 3 juta untuk Shofia, entah kemana lagi, Shofia tidak berani bertanya semua.
Yang dia rasakan saat ini hanya sakit hati, karena merasa tidak di hargai. Semua kebutuhan rumah tangga harus di bebankan kepada Shofia. Membuat Shofia bingung mengatur keuangannya.
Malam itu, Shofia tidak memasak. Karena stok makanan sudah habis. Padahal masih kurang 5 hari jatah bulanannya.
Susu untuk Naina pun sudah tinggal sedikit. Naina yang masih berumur 4 tahun, dia masih minum susu formula.
Pukul 21.30, Hanif datang, dia langsung membuka tutup saji di meja makan.
“Shofiaaaaaa.” Teriak Hanif, yang membuat Shofia terkejut, begitu juga Naina.
Dia berlari keluar kamar, meninggalkan Naina sendirian.
“Ada Apa Mas?” Tanya Shofia heran.
“Kenapa tidak memasak? Aku lapar tahu! Pulang kerja bukannya langsung ada makanan di meja. Ini kok hanya piring saja.”
“Uangnya habis Mas. Saya tidak ada uang sama sekali untuk belanja.” Ujar Shofia sedih, dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu bilang habis? Uang 3 juta satu bulan bisa kurang. Kamu tidak lagi foya-foya kan? Seharusnya kamu bisa ngirit. Bagaimana kamu bisa punya simpanan, kalau kamu boros seperti itu. “ Ujar Hanif marah, tanpa bertanya baik-baik.
“Mas, selama ini aku sudah sabar, meski kurang aku diam. Tapi sekarang banyak kepentingan Mas. Aku harus dapat dari mana, keperluan sekolah Naina dan jajan Naina. Belum lagi bayar air dan listrik. Kamu kenapa berpikir aku memakai uang kamu buat foya-foya. Tega kamu Mas.” Shofia tidak dapat menahan tangisnya.
Hanif langsung masuk kamar, tanpa menjawab. Shofia mengambil buku catatan pengeluaran. Lalu menyusul kekamar.
“Ini Mas. Biar kamu tahu pengeluaran kita. Aku malas untuk ribut masalah seperti ini Mas. Tapi sekarang aku tidak tahan terus di tuduh boros dan foya-foya.”
Setelah meletakkan buku di dekat Hanif, Shofia keluar dia kembali lagi kekamar Naina. Perasaan kesal masih ada, membuat Shofia tidak mau menemani suaminya. Karena Shofia tahu watak Hanif keras. Jika marah tidak bisa selesai dalam hitungan jam terkadang bisa berhari-hari.
“Aku harus bekerja, biar Naina aku titipkan pada Ibuku. Entah itu dosa atau tidak, aku lelah seperti ini, selalu di salahkan.” Shofia menangis, melihat putri kecilnya yang lucu, membuat Shofia sedih.
Keesokan harinya. Saat bangun untuk sholat Shubuh, Shofia tidak melihat suaminya dikamar, entah kemana perginya Hanif.
Shofia tidak terlalu memikirkan kepergian suaminya. Bukan dia tidak perduli. Tapi suaminya memang sering pergi tanpa berpamitan.
Merasa lelah dengan kehidupan yang terus menyalahkan dirinya. Membuat Shofia nekat untuk benar-benar bekerja. Shofia mengambil map warna merah di rak bukunya. Di buka map itu, dan di ambil satu lembar ijazah S1 Akuntansi.
Shofia tersenyum, dia bukan malas membantu suami untuk bekerja. Dia bukan wanita tidak berpendidikan. Tapi Shofia tinggalkan semua prestasi dan kepintarannya demi permintaan suami, dan memilih menjadi ibu rumah tangga.
Saat masih baru menikah tidak terpikir oleh Shofia akan hidup seperti ini saat suami mulai berubah. Tidak terpikir di benak Shofia jika Hanif sudah sangat berubah. Entah ada apa dengan Hanif selama 7 tahun menikah sikapnya berubah menjadi lebih dingin sejak 3 tahun lalu.
Setiap Shofia tanya jawaban selalu sama. Separuh gajinya di titipkan pada Ibunya. Shofia masih bisa memahami, tapi lama kelamaan Shofia menjadi sakit hati dengan sikap suaminya.
Karena kebutuhan hidup yang bertambah. Sedangkan jatah bulanan yang berkurang.
“Assalamualaikum, Ibu.” Pagi sekali Shofia sudah ada di depan rumah sang Ibu bersama Naina.
“Waalaikumsalam,” Ibu Naflah tersenyum melihat Shofia dan Naina.
Ibu Naflah seorang Janda karena Bapak Nafi meninggal dunia. Saat Shofia umur 15 tahun. Meski tidak bekerja, ada tunjangan dari kantor untuk Ibu Naflah. Sehingga ibu Naflah tidak pernah merepotkan Shofia untuk urusan makan.
Shofia hanya sendirian, dia tidak punya saudara. Beruntung sekali rumah yang di beli suami Shofia dekat dengan rumah Ibu Naflah.
“Ibu, Shofia mau titip Naina.” Sambil menuju ruang tamu.
“Iya, tapi ada acara apa Nak? Tumben sekali.”
“Shofia mau kerja Ibu.” Ujar Shofia berusaha tersenyum dihadapan ibunya. Tapi sebagai seorang ibu, nalurinya kuat. Ibu Naflah tahu Shofia sedang ada masalah. Tapi Ibu Naflah diam tidak ingin bertanya karena anaknya sudah berumah tangga. Dan membiarkan menyelesaikan urusannya sendiri. Buka tidak ingin tahu,tapi dalam pernikahan tidak baik menceritakan tentang rumah tangganya kepada siapa pun itu.
“Tidak apa-apa Ibu. Shofia rasa Naina sudah tambah besar. Mas Hanif kan juga butuh uang buat nabung, demi masa depan kita. Yah setidaknya Shofia bisa bantu untuk tambah uang belanja.” Jelas Shofia, yang masih menutupi kelakuan suaminya.
“Kamu bawa mobil saja Nak. Itu kan juga mobil kamu, kelamaan tidak di pakai kasihan. Apalagi ibu juga tidak bisa bawa mobil.” Ujar Ibu Naflah.
Mobil jazz peninggalan almarhum Bapak Nafi. Meski keluaran pertama, tapi masih bagus dan terawat. Sejak Shofia menikah mobil itu tidak dipakai. Karena Hanif mempunyai mobil sendiri.
“Iya Ibu. Apalagi musim hujan. Kalau begitu Shofia pergi ya Ibu.”
“Hati-hati ya Nak. Semoga di mudahkan.”
“Amin. Naina, mama kerja dulu sayang, biar Naina bisa beli apa yang Naina mau. Jangan nakal ya sayang.”
“Iya Ma.” Jawab Naina senang.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Shofia berangkat dengan mengendarai mobil Jazznya. Menuju area perkantoran. Saat parkir mobil, tanpa sengaja Mobil Shofia menyerempet kaca spion mobil di sebelah kanannya.
“Astagfirullah, ada-ada saja.”
Shofia turun, dan menemui satpam. Menyampaikan kepada satpam jika ada yang beratnya masalah mobilnya suruh langsung menghubungi Shofia. Sambil memberikan nomer telfon Shofia.
Urusan selesai menemui satpam. Shofia langsung kebagian informasi menitipkan surat lamaran. Dari kantor ke kantor yang lain, Shofia menitipkan lamaran. Setelah itu Shofia pulang. Yang dia harapkan semoga lamarannya di terima. Dan berharap pemilik mobil Pajero hitam bukan orang sadis, yang akan marah besar kepada Shofia.
Shofia bahagia, karena mendapat panggilan kerja, dari sebuah perusahaan ternama. Yang ada di benak Shofia hanya bekerja mencari uang, demi masa depan Naina.
Sudah dua hari Hanif tidak pulang kerumah. Seperti biasa jika marah akan tinggal di rumah ibunya. Shofia tidak perduli akan itu, walau sakit hati atas perlakuan Hanif yang tidak menghargai Shofia. Tapi Shofia berusaha kuat, tidak menelpon Hanif. Shofia, tidak ingin memaksa, seperti mengemis meminta Hanif pulang, jika yang ada Shofia akan di bentak.
Dua hari pula pemilik mobil Pajero itu tidak ada kabar. Shofia merasa heran, karena pemilik itu tidak marah mobilnya rusak.
“Ah, sudahlah. Aku tidak mau pusing mikirin masalah mobil. Jika mintak ganti aku ganti. Jika tidak, mungkin itu rejeki buatku,” Guman Shofia sambil menyetir menuju kantor PT FAKHRI JAYA GROUP. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata.
Setelah proses interview selesai, Shofia pun di nyatakan lulus interview. Shofia pun di minta bekerja keesokan harinya.
Perasaan bahagia, akhirnya Shofia menjabat sebagai sekretaris di kantor barunya. Dengan gaji yang lumayan besar. Hampir sama dengan gaji Hanif.
Ada tetes air yang membasahi pipi Shofia. Ucapan syukur yang tak henti-hentinya. Akhirnya keinginannya untuk bekerja pun tercapai.
Jika Kita meminta dengan khusuk dan ikhlas, menjalani hidup susah setiap saat, maka dengan mudah Tuhan berikan jalan.
Saat di lampu merah terakhir menuju rumah Shofia, tanpa sengaja Shofia melihat Hanif, bersama seorang wanita masuk kedalam sebuah Cafe. Tapi Shofia tidak terlalu memikirkan itu, karena Shofia tidak pernah cemburu. Yang dia tahu Hanif hanya patuh dan takut pada ibunya. Untuk urusan selingkuh Hanif tidak berani melakukannya.
“Mungkin rekan kerjanya.” Batin Shofia.
Tapi kenapa dadanya terasa sakit saat melihat suaminya berjalan beriringan dengan seorang wanita.
Tak terasa Shofia sudah sampai, dia langsung turun, dan di sambut hangat oleh Naina dan Ibu Naflah. Senyuman Naina adalah obat untuk Shofia. Begitu juga kasih sayang Ibu Naflah yang masih menganggap Shofia tidak bersuami.
“Ibu, nanti malam Shofia bermalam disini ya bu, soalnya Mas Hanif rapat keluar kota.”
“Iya Nak. Kapan saja kamu mau bermalam terserah kamu. Tapi dengan izin suami kamu.”
“Iya, Ibu. Nanti malam Shofia keluar sebentar, titip Naina lagi ya Bu.”
“Iya Nak. Kamu tidak perlu bilang titip, Naina cucu Ibu. Jadi dia seperti kamu bagi Ibu.”
“Terimakasih Ibu.”
“Sekarang kamu makan dulu. Ibu masak kesukaan kamu.”
Shofia tersenyum, di balik sakit hati dan ketidak berdayaan atas sikap Hanif membuat Shofia lebih terhibur tinggal dengan Ibu Naflah.
●●●●●●●》
Sore hari, Shofia keluar lagi dengan membawa mobilnya. Entah apa yang ingin dia cari, tapi Shofia memarkirkan mobilnya di kantor Hanif.
Sudah hampir 5 tahun Shofia tidak datang ke kantor Hanif, semenjak hamil dan melahirkan. Shofia lebih suka di rumah. Tapi saat ini Shofia ingin bertemu Hanif, saat di depan ruangan Hanif. Shofia bertemu seorang wanita yang baru saja keluar dari ruang Hanif. Melihat pakaian yang di pakai, tidak seperti layaknya seorang karyawan. Pakaian yang minim dan sexi, membuat laki-laki yang melihat pasti tergoda.
“Siapa wanita itu?” Batin Shofia.
Shofia cepat-cepat mengetuk pintu ruangan Hanif. Suara Hanif terdengar keras, memerintahkan masuk.
“Mas!” Hanif terlihat terkejut. Saat melihat Shofia datang.
“Sejak kapan kamu didepan ruanganku?” Tanya Hanif seperti menyelidiki.
“Baru saja Mas.” Jawab Shofia, pura-pura tidak tahu jika ada wanita sexi keluar dari ruangannya.
“Duduk, ada apa?” pertanyaan Hanif seakan tidak punya beban tanggung jawab setelah dua hari tidak pulang.
“Aku besok mulai kerja, Naina aku titipkan Ibu.”
“Emang kamu mampu membagi waktu untuk bekerja dan keluarga kamu?” Tanya Hanif dingin. Seakan meremehkan Shofia. Padahal jelas Hanif tidak adil memberikan jatah bulanan kepada Shofia.
“Insyaallah, jika Aku tidak bekerja, apa yang akan buat tambahan belanja, sedangkan aku tidak punya jatah cukup. Aku hanya ingin membantumu mengurangi bebanmu menafkahi aku.” Jawab Shofia tegas. Tapi sebenarnya Shofia ingin menangis.
Percuma, karena Hanif tidak akan iba. Yang ada Shofia akan ditertawakan. Hanif merasa tidak pernah adil, wajahnya merah, ada marah yang menguasai Hanif.
“Seorang istri yang baik tidak akan membangkang suami dan tidak akan mengeluh berapun yang di terima. Tapi kamu, terus mengeluh dengan jatah bulanan. Lantas kapan kamu mau belajar menjadi istri sholehah.”
Ucapnya kasar, sangat menyakitkan hati Shofia.
“Mas, wanita sholehah itu belajar dari tingkah dan sikap suami. Dan belajar dari keberadaan suami. Jika kebutuhan lahir terpenuhi dan kebutuhan batin juga tidak tersakiti. Wanita itu akan dengan sendirinya mengerti. Aku tidak pernah menyelewengkan uangmu. Selama ini aku tidak pernah kamu ajak shopping atau makan di restoran mewah. Aku diam tidak menuntut banyak. Tapi apa yang kamu lakukan? Perlakuan tidak adil yang membuatku tertekan, kekurangan, bahkan Naina ingin beli mainan saja tidak pernah aku turuti. Sekarang kamu mengatakan aku bukan wanita sholehah. Silahkan, aku capek hidup di bohongi dalam ketidak adilan.”Jawab Shofia yang tidak mampu menahan tangisnya.
“Belajar dari siapa kamu berani melawan?” Teriak Hanif semakin tidak terkontrol.
“Kamu!” Jawab Shofia yang tidak mampu meredam amarahnya.
“Baik, karena kamu berani melawanku jangan harap aku akan memberikan jatah bulanan kepadamu, dan aku akan lihat sampai dimana kemampuan kamu tanpa uang dariku. Belum tentu gaji mu cukup untuk kehidupan kamu.” Ujar Hanif marah.
“Mas pikir jabatanku rendah? Salah besar, lihat keberhasilanku, Mas. Dan kamu sudah membuat aku tersakiti untuk kesekian kalinya.” Ujar Shofia, lalu pergi. sebelum keluar dari pintu Hanif berteriak.
“Istri Durhaka kamu Shofia.” Ujar Hanif sangat marah. Tapi Shofia tidak menoleh. Dia terus melangkah pergi, rasa sakit pada dirinya. Ucapan Hanif tidak mencerminkan suami yang bertanggung jawab.
Shofia juga cantik, kesederhanaan Shofia tidak perlu berdandan jika untuk memikat laki-laki. Tapi entah apa yang membuat mata Hanif tertutup.
Saat semua sudah berjalan sesuai keinginan Hanif, saat itu Shofia sadar jika dirinya telah di permainkan. Dianggap wanita bodoh, yang tidak pernah bisa berubah. Tapi Hanif salah. Semua telah Shofia lalui. Kesedihan Yang terus di berikan Hanif membuat Shofia tidak ingin terus menunggu nafkah yang pas dan kadang kurang. Yang ada hanya hinaan dan perkataan kasar, jika Shofia menuntut nafkah lebih.
Shofia merebahkan tubuhnya. Badannya terasa lelah, berharap yang terbaik untuk masa depannya. Meski Shofia tidak pernah melihat titik terang dalam hubungan Shofia dan Hanif.
Bersabar dan terus berusaha ikhlas. Tapi, saat terlontar cacian untuk Shofia, saat itu juga Shofia tidak berdaya. Sakit semakin sakit, perih semakin perih, luka yang tidak pernah sembuh karena di siram air garam. Sakit sungguh teramat sakit.
Naina belum terbangun. Shofia sudah berangkat kekantor. Ibu Naflah masih menatap kepergian Shofia, karena saat ini Ibu Naflah sudah tahu jika Shofia sedang bertengkar dengan Hanif. Tanpa sengaja, Ibu Naflah menyuruh sahabat Shofia yang kebetulan rumahnya dekat dengan Hanif.
Ternyata Hanif tidak keluar kota. Dia tinggal di rumah ibunya. Perasaan Ibu Naflah cemas, memikirkan Shofia. Dia tidak ingin terjadi sesuatu dalam rumah tanggan putrinya. Karena, perpisahan suami istri akan membawa duka di hati buah hatinya.
Di kantor. Shofia langsung masuk keruangannya, seorang karyawan menghampiri Shofia.
“Dengan Ibu Shofia?”
“Iya, saya sendiri. Ada yang bisa di bantu Ibu?”
“Ibu Shofia di minta keruang Bapak Manager,"
“Baik, kalau boleh tahu dengan Ibu siapa?”
“Saya Ibu Santi.”
“Baik Ibu Santi, saya segera menuju ruang Direktur.”
Santi keluar dari ruangan Shofia, setelah itu Shofia menyusul Santi menemui Bapak Manager.
Tok tok tok tok..
“Masuk,”
“Selamat pagi Bapak,” Shofia dengan sopan memberi hormat, kepada Direktur, perusahaan itu, yang bernama Bapak Aris.
“Kamu sekertaris baru di sini?”
“Iya, Bapak.”
“Kamu pelajari semua file ini. Nanti begitu kamu mengerti segera temuan Bapak.”
“Baik,Bapak. Permisi.”
Bapak Aris mengangguk saat Shofia permisi keluar, Shofia tahu apa yang harus di lakukan, dia dengan cepat mempelajari semua file itu. Sampai-sampai jam istirahat dia tinggalkan demi satu tugas.
Jam menunjukkan pukul 13.30, Shofia langsung menuju musholla dia sholat dhuhur. Setelah sholat, Shofia kembali lagi keruang Direktur. Bapak Aris melihat hasil kerja Shofia, saat Shofia menjelaskan semua, Bapak Aris terkejut, karena Shofia sudah menguasai semua file yang akan di buat materi meeting keesokannya.
“Kamu pintar, saya tidak akan menjadikan sekertaris saya, tapi lebih tepatnya kamu akan menjadi asisten CEO Perusahaan ini. “
“Tapi, Bapak. Saya masih baru, Saya takut tidak bisa menguasai yang lain.”
“Kamu jangan mengatakan tidak bisa. Bersikap lah layaknya asisten paling senior. Karena bagi saya kemampuan kamu hebat.”
“Alhamdulillah, terimakasih Bapak.” Shofia, sangat bahagia. Di balik kesedihannya dia mendapat kejutan luar biasa, bahkan di awal karirnya, Shofia di pertemukan dengan orang-orang baik.
“Kamu boleh kembali keruangan kamu, besok kita bertemu CEO Perusahaan ini, saya harap kamu disiplin jika sudah bekerja dengan beliau. Karena dia orangnya tidak suka karyawan yang sering terlambat. Harus tepat waktu.”
“Baik, Bapak. Saya akan berusaha tidak melanggar aturan ini.”
“Oke silahkan kembali keruangannya.”
“Permisi Bapak.”
Sangat bahagia terus bersyukur, akhirnya dia tidak akan lagi di remehkan oleh Hanif suaminya.
Shofia pulang dengan wajah bahagia sekali. Menemui putri kecilnya di kamar, yang sedang tidur bersama Ibu Naflah.
“Assalamualaikum, Ibu.”
“Waalaikumsalam.”
“Hari ini Shofia bahagia Bu, akhirnya Shofia mendapat jabatan tinggi di kantor. Ini berkat doa ibu.”
“Kamu bahagia karena mendapat pekerjaan. Tapi kamu lupa bagaimana memperbaiki hubungan kamu dan Hanif, Nak.” Ujar Ibu Naflah sedih.
“Maksud Ibu?” Shofia pura-pura tidak mengerti. Karena selama ini Shofia tidak pernah bercerita apapun masalah rumah tangganya.
“Ibu tahu kamu dan Hanif sedang ada masalah. Kamu bilang Hanif keluar kota. Tapi kamu berbohong sama Ibu. Hanif ada, dia dirumah orang tuanya.” Ujar Ibu Naflah berharap Shofia menjelaskan semua permasalahannya.
“Maafin Shofia Ibu. Tidak pernah terpikir di benak Shofia untuk membohongi ibu. Tapi Shofia tidak ingin Ibu memikirkan masalah di dalam rumah tangga Shofia. Shofia juga tidak bisa bercerita kepada Ibu. Biar semua yang terjadi Shofia hadapi sendiri. Doakan saja Shofia Bu. Semoga masih bisa perbaiki pernikahan ini. “ Shofia sedih saat mengucap itu semua. Karena Shofia masih mencintai Hanif.
Tapi bagaimana dengan Hanif? Apakah masih ada cinta untuk Shofia dan ingin memperjuangkan rumah tangganya? Atau membiarkan Shofia pergi membawa luka yang telah di buat oleh Hanif.
Bagi Shofia, bisa bekerja dan membantu semua pengeluaran keluarga itu akan membuat bahagia. Tanpa harus merepotkan Hanif untuk kebutuhan hidupnya.
Hanif tidak bisa di tebak, karena sikap Hanif yang sering berubah. Dan tidak pernah mengajarkan sabar untuk menghadapi semua. Justru yang ada Hanif membiarkan Shofia menderita.
“Nak, pertahankan demi putri kalian. Jangan hanya karena materi kalian berpisah. Bukankah Hanif bekerja sudah punya gaji besar. Tinggal kamu bagaimana bisa mengelola tidak.”
Deg... membuat Shofia terkejut dengan ucapan ibunya. Seandainya Ibu Naflah tahu jika uang bulanan Shofia tidak pernah cukup karena di kurangi. Pasti Ibu Naflah terkejut.
“Ibu, suatu saat nanti Ibu akan tahu ada apa dengan rumah tangga Shofia. Tapi untuk saat ini Shofia tidak ingin membahas ini.” Ujar Shofia masih tetap tersenyum.
“Kalau begitu tidurlah. Kamu besok bekerja. Biar tidak kesiangan bangunnya.” Ujar Ibu Naflah, penuh perhatian.
Shofia meninggalkan Ibu Naflah, yang menemani Naina dikamarnya. Ibu Naflah melihat Naina tertidur pulas, ada rasa iba dan tidak bisa membayangkan jika Shofia dan Hanif bercerai. Naina sangat merindukan Hanif yang sudah tiga hari tidak datang mencari Naina.
Ibu Naflah heran dengan sikap Hanif, yang sangat tidak perduli kepada Naina, dan Shofia. Sedangkan selama ini, Ibu Naflah tidak pernah melihat Hanif bersikap seperti itu. Malam semakin larut, Ibu Naflah tidak bisa tidur sama sekali, dia memilih mengaji, di dekat tempat tidur Naina. Meminta pada sangat Maha Pencipta, keutuhan rumah tangga Shofia dan Hanif. Karena hanya memohon pada Tuhan Yang Maha Segalanya, yang mampu menjawab semua.
Begitu juga Shofia, dia tidak biasa tidur, banyak hal yang dia pikirkan tentang Hanif, yang tidak pernah berusaha mencari atau menemui Shofia dirumah. Bahkan menanyakan kabar Naina pun tidak pernah.
“Apakah sudah tidak bisa diperbaiki hubungan ini Mas? Kenapa kamu tega tidak menemui Naina, dia Anak kamu sendiri. “ Batin Shofia, dengan mata berkaca-kaca.
Tanpa terasa Shofia pun terlelap. Dia sudah berada dialam mimpi, melupakan semua yang ada dialam nyata. Berharap saat terbangun semua akan baik-baik saja.
Shofia mungkin terlihat tegar, kuat, tidak bersedih, karena dia tidak ingin terlihat rapuh atau lemah, karena Shofia tidak ingin Ibu Naflah khawatir.
Pernikahan yang rukun dan penuh kasih sayang, pasti akan di imami oleh laki-laki yang bijaksana, tidak membuat istrinya tersinggung, tersiksa dan merasa tidak di anggap. Karena sebuah kejujuran dan kepercayaan didalam rumah tangga adalah tiang dari pernikahan itu. Tanpa kejujuran dan kepercayaan maka akan roboh dan tidak bisa berdiri tegak.
Seharusnya jika Shofia salah, Hanif tegur dan memberikan arahan yang benar, bukan malah membiarkan sendiri dan ditinggalkan pergi.
Saat seorang wanita sudah diambil alih tanggung jawabnya oleh seorang laki-laki, dari orang tuanya. Saat itu dia sudah harus siap membahagiakan wanita itu, dan siap menjadi imam untuk wanita itu. Bukan hinaan, buka pula cacian tapi sebuah kasih sayang seperti orang tua menyayangi putrinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!