Namaku, Nat. Gadis tomboy yang cantik. Dengan rambut ikal hitam pendek, kulit putih, bibir tipis, hidung mancung, muka lonjong. Bayangkan saja, seorang gadis tomboy yang cantik. Hobiku sedikit berbeda dengan gadis zaman sekarang. Aku lebih suka dan tertarik berbaur dengan alam. Benar, hobiku adalah 'travelling'.
Pagi ini, aku berada dalam sebuah kapal yang menuju ke sebuah pulau 'Kunen' dengan segala budaya tradisionalnya. Kapal mulai mendekati pelabuhan pulau itu. Tak hanya aku yang berada dalam kapal itu, namanya juga kapal penumpang. Ada banyak sekali penumpang lain.
Aku menggendong tas ranselku yang cukup penuh dengan barang-barang lain, karpet gulung yang berbaris di belakangku dan barang lainnya.
Tuuuuuut.... Tuuuuut.... Tuuuuuut....
Bunyi kapal membuatku terkejut seketika. Kapal pun bersandar di pelabuhan. Aku turun dari kapal lalu melihat kesekitarku. Aku berusaha menemukan seseorang yang akan memandu perjalananku, namun aku tidak menemukannya.
"Waduh. Kok guide-nya gak ada sih? Kemana dia?" Aku memperbaiki tasku yang bergeser karena disenggol oleh penumpang yang turun dari kapal. Aku berjalan mendekati sebuah kapau (rumah makan ) lalu memesan makanan.
"Ini, dek nasinya. Selamat menikmati ya," ucap seorang ibu yang menyuguhkan pesananku. Aku menyantap makanan itu dengan lahap.
Bruk!!!!
Gelas plastikku terjatuh. Seseorang dengan terburu-buru baru saja menyenggol meja tempat aku makan. Aku menoleh ke arah orang itu.
"Mas! Hati-hati dong." Aku menarik lengan pria itu dengan berani. Dia menoleh.
"Waduh, maaf mbak." Pria itu mengatupkan tangannya lalu meraih gelas plastik yang jatuh kemudian meletakkannya kembali di meja.
"Yah sudah mas." Aku kembali duduk dan lanjut menyantap makananku.
"Berapa, Bu?" Aku meraih beberapa uang dari dompetku.
"Lima belas ribu, dek," jawab pemilik warung.
"Terima kasih ya, Buk." Aku berjalan meninggalkan kapau itu usai membayar makanan tadi. Aku berjalan ke arah jalan raya, berusaha mencari tumpangan. Sebuah motor berhenti di depanku setelah beberapa lama aku berdiri. Aku tak melihaht jelas wajah orang itu karena dia memakai helm.
"Nunggu siapa, mbak?" Pria itu melepas helmnya.
"Oh, mas tadi. Ini saya mau nunggu angkot."
"Hahaha, mbak ini baru ya disini?" Pria itu menyodorkan helm ke arahku. Aku menjadi bingung. Aku pun meraih helm itu lalu memakainya.
"Gak enak kalau ngobrol sambil berdiri mbak. Mending kita cari teman untuk ngobrol deh. Ayok naik!" Pria itu menepuk tempat duduk di belakangnya.
Aku naik di motor pria itu. Pikirku dia orang yang baik. Kami tiba di sebuah taman yang cukup indah dan bersih. Kamipun duduk di bawah pohon rindang taman itu.
"Nama saya, Vinsen." Pria itu mengulurkan tangannya.
"Hm..., Nat." Aku menjabat tangannya.
"Soal tadi maaf ya, Nat."
"Iya, Vinsen. Lain kali hati-hati dong. Untuk aja..., cuma gelasnya yang jatoh.... Coba misalnya tadi aku nelan tulang, kan bahaya," ucapku.
"Hahahaha.... Iya, Nat. Habisnya, aku laper banget tadi, suer." Vincen mengangkat dua jarinya. Aku hanya mengangguk.
"Oh ya, dari tadi, aku kok gak lihat ada angkot ya?" Aku menunjuk ke jalan.
"Hahaha.... Nat, di desa kayak gini, mana ada angkot." Vinsen menatapku sambil tertawa geli.
"Masa, sih?" Aku melihat sekitarku. Dengan tampang tolol, aku memandangi sekitar jalan, berharap sebuah angkot lewat. Tak satupun yang lewat. Setelah itu, aku menepuk keningku dengan kesal dan sedikit rasa malu.
"Hm..., kamu mau kemana, Nat?" Vinsen menunjuk ke arah tas dan barang-barangku yang lain.
"Oh iya, aku mau jalan-jalan aja sih, di pulau ini. Aku dengar, di sini banyak destinasi wisata yang keren abis." Aku tersenyum ke arah pria itu.
"Oh.... Trus, kamu sendiri aja? Emang kamu dari mana?"
"Sebenarnya gak sendiri. Kayaknya aku ketinggalan deh sama tour guide tadi. Mana aku lupa lagi namanya. Aku dari kota seberang sana tuh." Aku menujuk ke arah daratan yang sebenarnya tidak terlihat sama sekali.
"Nat, Nat. Aku serius tau!" Vincen memperlihatkan kekesalannya.
"Sebut saja kota 'Monga'. Pernah dengar gak nama kota itu?"
"Iya, kota yang maju itu kan?"
"Yep.... Betewe, kamu sendiri mau kemana?"
"Aku biasa jalan-jalan sih. Sekalian cari kerja."
"Maksudnya gimana?"
"Aku suka travelling. Kadang, aku sering jadi tour guide para turis luar negeri. And you know..., mereka membayarku cukup mahal, cuma nemenin mereka jalan-jalan doang."
"Enak, ya.... Trus sekarang, gak jadi tour guide?"
"Tadi sebenarnya ada, cuma..., aku pengen free aja dulu. Mau jalan-jalan."
"This is your first time here?"
"Nope. The second time. But..., aku udah hafal banget tempat disini."
"Waw.... Keren banget tuh. So, bisa dong..., kamu jadi guide aku."
"Hm.... Berani bayar berapa?"
"Um..., Maunya berapa?"
"Berapa, ya...."
"Berapa sih?"
"Aku mau-mau aja sih. Just free. Karena aku juga lagi pengen jalan-jalan dan..., dan kali ini gak sendiri. So, let's go together."
Kami tiba di sebuah 'Home Stay' dekat dengan sebuah pantai yang luar biasa indah. Ombaknya yang tinggi. Tak heran jika banyak para peselancar lokal yang ramai-ramai berselancar di sana.
Aku dan Vinsen memutuskan memesan satu kamar untuk berdua. Masalah tidur dan sebagainya akan diatur sedemikian rupa. Tujuannya..., kalian tahu sendiri. Untuk berhemat.
"Udah berapa lama jadi traveller?" Vinsen menyodorkan sebotol jus jeruk.
"Sejak umur tujuh belas sih. Hm..., udah enam tahunan lah." Aku mengambil jus itu.
"Masih baru ya.... But i think, kamu sudah menjelajahi separuh bumi ini."
"Hahaha.... Jangan ngeledek deh." Aku menepuk pundak Vinsen. "Belum lah. But, udah banyak sih."
"Hahaha. Iya iya. Misalnya, kamu dikasi kesempatan untuk jalan-jalan..., bakal kemana?"
"Actually, aku lebih suka ke daerah-daerah terpencil sih. Because, alamnya masih banyak yang belum dijamah gitu," jelasku.
Hari sudah sore. Usai mandi, aku duduk di teras home stay, sambil memandang ke arah pantai. Seorang pria datang menghampiriku.
"Permisi, boleh saya duduk di sini?" Dia menunjuk ke sampingku.
"Oh, ya. Silakan." Aku menggeser sedikit. Kamipun berbincang-bincang.
Pria itu ternyata turis luar negeri yang sudah lama pindah ke tempat itu.
Beberapa lama berbincang, pria itu membawa dua botol minuman. Kami menikmati minuman itu sambil membicarakan sesuatu yang menarik.
Malam ini, aku duduk di atas kasur. Vinsen juga duduk dalam kamar itu namun di sofa. Aku sibuk memandangi ponselku. Meski demikian, masih kusadari bahwa sesekali Vinsen memandangku. Aku berusaha mengabaikannya. Kemudian, pandangan kami bertemu. Kami saling menatap.
Vinsen berdiri lalu berjalan mendekatiku. Malam sudah mulai larut. Vinsen duduk di sampingku.
"Kenapa belum tidur?"
"Eh..., anu..., itu...,"
Vinsen mendekat ke arahku. Wajahnya semakin dekat ke wajahku. Dengan rasa takut, aku memejamkan mataku. Bisa kurasakan, bibirku dikecup olehnya. Saat itu, jantungku berdetak sangat kencang. Nafasku seketika sesak. Aku mendorong tubuh Vinsen. Masih dengan nafas yang terputus-putus. Vinsen menatapku menambah ketakutanku.
Aku perlahan bernafas tenang. Meski sebenarnya jantung masih berdetak sangat kencang. Vinsen kembali mengecup bibirku. Akhirnya akupun menanggapi kecupannya.
Namaku, Nat. Gadis tomboy yang cantik. Dengan rambut ikal hitam pendek, kulit putih, bibir tipis, hidung mancung, muka lonjong. Bayangkan saja, seorang gadis tomboy yang cantik. Hobiku sedikit berbeda dengan gadis zaman sekarang. Aku lebih suka dan tertarik berbaur dengan alam. Benar, hobiku adalah 'travelling'.
Pagi ini, aku berada dalam sebuah kapal yang menuju ke sebuah pulau 'Kunen' dengan segala budaya tradisionalnya. Kapal mulai mendekati pelabuhan pulau itu. Tak hanya aku yang berada dalam kapal itu, namanya juga kapal penumpang. Ada banyak sekali penumpang lain.
Aku menggendong tas ranselku yang cukup penuh dengan barang-barang lain, karpet gulung yang berbaris di belakangku dan barang lainnya.
Tuuuuuut.... Tuuuuut.... Tuuuuuut....
Bunyi kapal membuatku terkejut seketika. Kapal pun bersandar di pelabuhan. Aku turun dari kapal lalu melihat kesekitarku.
Aku berusaha menemukan seseorang yang akan memandu perjalananku, namun aku tidak menemukannya.
"Waduh. Kok guide-nya gak ada sih? Kemana dia?" Aku memperbaiki tasku yang bergeser karena disenggol oleh penumpang yang turun dari kapal.
Aku berjalan mendekati sebuah kapau (rumah makan ) lalu memesan makanan.
"Ini, dek nasinya. Selamat menikmati ya," ucap seorang ibu yang menyuguhkan pesananku. Aku menyantap makanan itu dengan lahap.
Plakk!!!!
Gelas plastikku terjatuh. Seseorang dengan terburu-buru baru saja menyenggol meja tempat aku makan.
Aku menoleh ke arah orang itu.
"Mas! Hati-hati dong." Aku menarik lengan pria itu dengan berani. Dia menoleh.
"Waduh, maaf mbak." Pria itu mengatupkan tangannya lalu meraih gelas plastik yang jatuh kemudian meletakkannya kembali di meja.
"Yah sudah mas." Aku kembali duduk dan lanjut menyantap makananku.
"Berapa, Bu?" Aku meraih beberapa uang dari dompetku.
"Lima belas ribu, dek," jawab pemilik warung.
"Terima kasih ya, Buk." Aku berjalan meninggalkan kapau itu usai membayar makanan tadi.
Aku berjalan ke arah jalan raya, berusaha mencari tumpangan. Sebuah motor berhenti di depanku setelah beberapa lama aku berdiri. Aku tak melihat jelas wajah orang itu karena dia memakai helm.
"Nunggu siapa, mbak?" Pria itu melepas helmnya.
"Oh, mas tadi. Ini saya mau nunggu angkot."
"Hahaha, mbak ini baru ya disini?" Pria itu menyodorkan helm ke arahku. Aku menjadi bingung. Aku pun meraih helm itu lalu memakainya.
"Gak enak kalau ngobrol sambil berdiri mbak. Mending kita cari teman untuk ngobrol deh. Ayok naik!" Pria itu menepuk tempat duduk di belakangnya.
Aku naik di motor pria itu. Pikirku dia orang yang baik. Kami tiba di sebuah taman yang cukup indah dan bersih. Kamipun duduk di bawah pohon rindang taman itu.
"Nama saya, Vinsen." Pria itu mengulurkan tangannya.
"Hm..., Nat." Aku menjabat tangannya.
"Soal tadi maaf ya, Nat."
"Iya, Vinsen. Lain kali hati-hati dong. Untuk aja..., cuma gelasnya yang jatoh.... Coba misalnya tadi aku nelan tulang, kan bahaya," ucapku.
"Hahahaha.... Iya, Nat. Habisnya, aku laper banget tadi, suer." Vincen mengangkat dua jarinya. Aku hanya mengangguk.
"Oh ya, dari tadi, aku kok gak lihat ada angkot ya?" Aku menunjuk ke jalan.
"Hahaha.... Nat, di desa kayak gini, mana ada angkot." Vinsen menatapku sambil tertawa geli.
"Masa, sih?" Aku melihat sekitarku.
Dengan tampang tolol, aku memandangi sekitar jalan, berharap sebuah angkot lewat. Tak satupun yang lewat.
Setelah itu, aku menepuk keningku dengan kesal dan sedikit rasa malu.
"Hm..., kamu mau kemana, Nat?" Vinsen menunjuk ke arah tas dan barang-barangku yang lain.
"Oh iya, aku mau jalan-jalan aja sih, di pulau ini. Aku dengar, di sini banyak destinasi wisata yang keren abis." Aku tersenyum ke arah pria itu.
"Oh.... Trus, kamu sendiri aja? Emang kamu dari mana?"
"Sebenarnya gak sendiri. Kayaknya aku ketinggalan deh sama tour guide tadi. Mana aku lupa lagi namanya. Aku dari kota seberang sana tuh." Aku menujuk ke arah daratan yang sebenarnya tidak terlihat sama sekali.
"Nat, Nat. Aku serius tau!" Vincen memperlihatkan kekesalannya.
"Sebut saja kota 'Monga'. Pernah dengar gak nama kota itu?"
"Iya, kota yang maju itu kan?"
"Yep.... Betewe, kamu sendiri mau kemana?"
"Aku biasa jalan-jalan sih. Sekalian cari kerja."
"Maksudnya gimana?"
"Aku suka travelling. Kadang, aku sering jadi tour guide para turis luar negeri. And you know..., mereka membayarku cukup mahal, cuma nemenin mereka jalan-jalan doang."
"Enak, ya.... Trus sekarang, gak jadi tour guide?"
"Tadi sebenarnya ada, cuma..., aku pengen free aja dulu. Mau jalan-jalan."
"This is your first time here?"
"Nope. The second time. But..., aku udah hafal banget tempat disini."
"Waw.... Keren banget tuh. So, bisa dong..., kamu jadi guide aku."
"Hm.... Berani bayar berapa?"
"Um..., Maunya berapa?"
"Berapa, ya...."
"Berapa sih?"
"Aku mau-mau aja sih. Just free. Karena aku juga lagi pengen jalan-jalan dan..., dan kali ini gak sendiri. So, let's go together."
Kami tiba di sebuah 'Home Stay' dekat dengan sebuah pantai yang luar biasa indah.
Ombaknya yang tinggi. Tak heran jika banyak para peselancar lokal yang ramai-ramai berselancar di sana.
Aku dan Vinsen memutuskan memesan satu kamar untuk berdua. Masalah tidur dan sebagainya akan diatur sedemikian rupa. Tujuannya..., kalian tahu sendiri. Untuk berhemat.
"Udah berapa lama jadi traveller?" Vinsen menyodorkan sebotol jus jeruk.
"Sejak umur tujuh belas sih. Hm..., udah tiga tahunan lah." Aku mengambil jus itu.
"Masih baru ya.... But i think, kamu sudah menjelajahi separuh bumi ini."
"Hahaha.... Jangan ngeledek deh." Aku menepuk pundak Vinsen. "Belum lah. But, udah banyak sih."
"Hahaha. Iya iya. Misalnya, kamu dikasi kesempatan untuk jalan-jalan..., bakal kemana?"
"Actually, aku lebih suka ke daerah-daerah terpencil sih. Because, alamnya masih banyak yang belum dijamah gitu," jelasku.
Hari sudah sore. Usai mandi, aku duduk di teras home stay, sambil memandang ke arah pantai. Seorang pria datang menghampiriku.
"Permisi, boleh saya duduk di sini?" Dia menunjuk ke sampingku.
"Oh, ya. Silakan." Aku menggeser sedikit. Kamipun berbincang-bincang.
Pria itu ternyata turis luar negeri yang sudah lama pindah ke tempat itu.
Beberapa lama berbincang, pria itu membawa dua botol minuman. Kami menikmati minuman itu sambil membicarakan sesuatu yang menarik.
Malam ini, aku duduk di atas kasur. Vinsen juga duduk dalam kamar itu namun di sofa.
Aku sibuk memandangi ponselku. Meski demikian, masih kusadari bahwa sesekali Vinsen memandangku.
Aku berusaha mengabaikannya. Kemudian, pandangan kami bertemu. Kami saling menatap.
Vinsen berdiri lalu berjalan mendekatiku. Malam sudah mulai larut. Vinsen duduk di sampingku.
"Kenapa belum tidur?" Vinsen menatapku.
"Eh..., anu..., itu...,"
Vinsen mendekat ke arahku.
Wajahnya semakin dekat ke wajahku. Dengan rasa takut, aku memejamkan mataku. Bisa kurasakan, bibirku dikecup olehnya.
Saat itu, jantungku berdetak sangat kencang. Nafasku seketika sesak. Aku mendorong tubuh Vinsen. Masih dengan nafas yang terputus-putus.
Vinsen menatapku menambah ketakutanku. Aku perlahan bernafas tenang. Meski sebenarnya jantung masih berdetak sangat kencang.
Vinsen kembali mengecup bibirku. Akhirnya akupun menanggapi kecupannya.
"Loh..., Vinsen kemana sepagi ini?" Aku melihat ke seisi kamar. Aku benar-benar tak menemukannya.
Aku duduk di atas kasur dengan selimut yang masih menutupi kakiku. Aku mengusap wajahku lalu perlahan berdiri.
"Mungkin dia udah keluar duluan kali." Aku menoleh ke arah jendela. Kemudian melangkah ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, aku keluar dari kamar lalu duduk di tepi pantai sambil menikmati secangkir kopi susu dan nasi goreng.
Aku memandangi pantai yang terlihat begitu indah. Seseorang datang menghampiriku.
"Hallo, mbak. Ini ada surat dari pasangan mbak." Wanita itu memberikan selembar kertas kepadaku.
"Iya mbak, terima kasih." Aku meraihnya. Wanita kembali meninggalkanku.
Aku membuka lipatan kertas itu lalu membaca isi surat itu. Aku menghela nafas panjang lalu menghembuskannya.
"Nat, aku harus pergi karena ada urusan mendadak. Maaf gak sempat ngomong langsung. See you soon," tulis Vinsen dalam kertas itu.
Aku kembali menikmati makanan dan minumanku. Kemudian berjalan ke kamar. Mengemasi barang-barangku untuk melanjutkan perjalanan.
Aku melangkah ke arah jalanan dengan sebuah map dari ponselku. Aku berdiri di tepi jalan untuk mencari tumpangan. Sebuah mobil pengangkut rumput berhenti ketika aku melambai.
"Bang, boleh saya numpang gak?"
"Boleh mbak. Ayo ayo." Pemilik mobil membuka pintu. Aku pun masuk ke dalam mobil.
"Mau ke mana mbak?"
"Eh..., saya mau ke tempat-tempat wisata di daerah ini bang." Aku menoleh ke arah abang itu.
"Oh iya mbak. Banyak destinasi wisata disini. Indah mbak." Abang itu menjelaskan dengan antusias. "Oh ya mbak..., kita kenalan dulu gak apa-apa kan?" lanjutnya.
"Hahaha.... Ya bang. Panggil Nat aja." Aku mengulurkan tangan.
"Oh ya, Mbak Nat. Saya Gerri. Panggil Ger aja. Gak usah pakai abang. Ketuaan rasanya. Hahaha." Gerri menjabat tanganku dengan ramah sambil tersenyum.
"Iya bang. Eh, Ger. Panggil Nat aja lah Ger. Gak usah manggil mbak. Canggung banget." Aku tersenyum ke arah Gerri.
"Kita mampir di tempat aku dulu, mau gak?"
"Oh..., iya gak apa-apa."
"Oke deh."
Kami berhenti di sebuah rumah yang sederhana. Sepertinya, rumah itu rumah adat. Dengan kekhasan bangunannya.
"Iya, Nat. Ini rumah adat. Aku dan keluargaku yang tinggal di sini." Gerri mengajakku masuk ke dalam rumah. "Ibu...." Gerri masuk ke dalam rumah.
"Eh, iya Ger.... Loh, ini siapa Ger?" Seorang wanita keluar lalu memandangku.
Aku tersenyum ke arah wanita itu. Dia mendekatiku sambil tersenyum.
"Cantik sekali. Ayok duduk nak."
"Iya bu. Terima kasih." Aku duduk di samping ibu itu.
"Bu, ini Nat." Gerri menatapku. "Nat, kamu sama ibu dulu ya. Aku mau turunin rumput dulu," lanjutnya sambil tersenyum.
"Kamu tunggu bentar ya, nak. Ibu mau ambilkan minum dulu." Ibunya Gerri berdiri.
"Hm..., tidak usah bu. Tidak usah repot-repot."
"Udah. Biar ibu ambilkan dulu." Ibu itu bergegas ke dalam rumah.
"Ger..., itu rumput untuk apa?" Aku berjalan menghampiri Gerri.
"Makanan sapi, Nat." Gerri menurunkan rumput-rumput itu.
"Sini aku bantu." Aku menangkat sekarung rumput itu lalu meletakkannya di bawah.
"Bisa?" Gerri tersenyum.
"Bisa kok." Aku membalas senyuman Gerri.
"Nat! Ini minum dulu." Ibu meletakkan segelas teh manis di atas meja.
"Iya bu. Terima kasih." Aku duduk.
Aku menghampiri ibu yang duduk di teras. Aku menyeruput teh manis dengan perlahan karena masih panas, ditemani beberapa cemilan di atas meja.
Beberapa lama kemudian, Gerri menyusul.
"Mau ibu buatkan teh juga, Ger?"
"Ah, tidak usah bu. Gerri bisa sendiri kok."
"Yo Wes, Ibu ke dapur dulu. Mau masak." Ibu berjalan ke dalam rumah.
"Habis ini mau ke mana, Nat?" Gerri menoleh ke arahku.
"Hm, aku sih sebenarnya butuh orang yang bisa bawa aku ke tempat-tempat indah di daerah ini. Sayangnya, tadi gak jadi sih. Jadi bingung." Aku menggarut kepalaku yang sedikit gatal.
"Hm.... Tenang aja. Aku bisa bantuin kamu kok. Selow aja." Gerri lagi-lagi tersenyum ramah ke arahku.
"Thanks, Ger."
Hari sudah siang. Aku bersama keluarga Gerri berkumpul di meja makan untuk makan siang. Sambil menikmati makanan, keluarga itu terlihat sangat bahagia. Sesekali aku merasa sedikit canggung ketika Gerri mulai menatapku lama. Aku merasa seakan ada sesuatu yang salah denganku.
"Nat, Ibu senang deh kamu datang ke sini. Kamu tau, baru kali ini Gerri bawa cewek ke rumah ini. Itu bukan hal yang biasa baginya dan bukan sembarang orang." Ibu menepuk pundakku ketika kami berada di teras rumah.
"Masa sih, bu?" Aku menatap ibunya Gerri dengan heran.
"Iya, Nat. Maka dari itu, ibu heran ketika dia tiba-tiba datang bersama kamu. Terus, Ibu perhatikan..., dia kelihatan bahagia banget deh."
Aku tersenyum ke arah ibu. Aku tidak tahu apa yang diharapkan ibunya Gerri.
Beberapa saat kemudian, Gerri muncul, lalu menghampiriku.
"Ibu tinggal bentar ya. Kalian ngobrol aja dulu." Ibu meninggalkan aku dan Gerri di teras.
"Jalan sekarang?" Aku menatap Gerri.
"Nginap aja dulu malam ini di sini. Kamu kan masih capek. Besok baru kita beraksi. Gimana, gak pa pa kan?" Gerri duduk di kursi samping.
"Hm..., gak pa pa sih. Oke deh besok. Tapi kamu yang nemanin kan?"
"Iya, tenang aja." Lagi-lagi Gerri tersenyum kemudian disusul gerakan tangannya yang mencubiti hidungku.
Usai makan malam, akupun masuk ke dalam kamar yang sudah disediakan Ibunya Gerri. Sambil menatap ponsel, aku membayangkan perjalanan besok akan bagaimana.
Tok.... Tok.... Tok....
Pintu diketok. Aku berjalan membukakan pintu.
"Eh, Gerri."
"Udah mau tidur?"
"Eh..., belum sih. Kenapa Ger?"
"Mau keluar gak?"
"Hm..., boleh. Aku ambil jaket dulu ya."
"Oke. Aku tunggu di teras ya."
Aku mengambil jaket lalu berjalan menyusul Gerri.
"Udah siap?" Gerri memainkan kunci motornya.
"Udah kok."
"Yok."
Kami berjalan menuju parkiran motor Gerri. Dia mengambil helm lalu memakainya. Kemudia. Mengambil satu helm lagi. Gerri mendekatiku lalu memasangkan helm itu di kepalaku. Aku hanya terdiam. Motorpun melaju. Kami menuju ke suatu tempat yang begitu banyak orang berkumpul-kumpul. Aku heran melihatnya.
Motor berhenti, aku turun dari motor lalu melepas helmnya. Gerri menarik tanganku. Kami berjalan ke tempat itu.
Ternyata di sana ada acara layar tancap. Semacam bioskop kecil gitu. Aku tersenyum kagum melihatnya. Unik sih. Aku pikir yang sepeerti ini tidak ada lagi. Rupanya masih bisa ditemukan.
Gerri membeli beberapa minuman dan cemilan lalu kami duduk di tengah orang-orang di sana.
Kami menyaksikan film-film romantis kala dulu. Terlihat beberapa pasang orang duduk menyaksikan pertunjukkan film itu.
Geri terlihat sangat menikmati filmnya. Dengan minuman dan makanan di depan kami, aku memperhatikan orang-orang di sana yang dengan serius menonton. Tampak mereka sangat menikmati filmnya.
Drtttttt.... Drtttttt.... Drtttttt....
Ponselku bergetar. Aku bergegas meraihnya.
"Ger, aku jawab telpon dulu ya." Aku berdiri lalu meninggalkan Gerri. Dia hanya mengangguk. Aku berlari pelan ke sudut tempat itu.
"Hallo, ma. Ada apa?"
"Kamu di mana sayang?"
"Ini mah aku lagi di luar nih."
"Ha? Di luar di mana? Kamu sama siapa? Ini udah malam loh sayang?" Mama terlihat parno.
"Ma, mama tenang dong. Nat lagi sama teman Nat. Mama tenang ya."
"Teman? Teman yang mana?"
"Udah deh ma. Mama gak usah kwatir. Semua baik-baik aja Ma."
"Hallo.... Hallo...."
Aku mengakhiri panggilan dari mama.
Mamaku memang seperti ini. Suka 'parno'.
Aku mengantongi ponselku lalu kembali ke tempat tadi.
Kami menyaksikan film-film yang ditayangkan. Sesekali para penonton tertawa serentak lalu kemudian terdiam.
Akhirnya filmnya selesai. Aku dan Gerri meninggalkan tempat itu.
"Yok, kita pulang aja lagi. Udah malam ini." Gerri menarik tanganku lalu kami berjalan menuju parkiran.
"Um.... Btw, aku masih mau dong jalan-jalan." Aku menatap Gerri ketika dia hendak memasangkan helm ke kepalaku.
"Boleh. Mau ke mana, Nat."
"Aku gak tau sih. Ke mana aja deh Ger. Lagian kan masih jam sembilan lewat."
"Ya udah. Naik."
Beberapa lama kemudian, kami tiba di sebuah pantai.
Terdapat batu-batu besar yang berbentuk seperti bentuk 'love'. Batu-batu itu berada di pinggir pantai. Meski sering diterpa ombak, batu-batu itu tidak bergeser sama sekali.
Aku dan Gerri duduk di atas bebatuan mengarah ke pantai.
"Wow. Indah ya. Bintang-bintangnya banyak banget."
"Iya. Tapi lebih indah wajahmu, Nat."
"Hohoh..., bisa aja." Aku mendorong pelan tubuh Gerri.
"Serius loh."
"Thanks loh ya. Oh ya, Ger.... Di tengah laut itu apa, kok banyak lampu-lampu?" Aku menunjuk ke arah lampu-lampu itu.
"Oh itu. Itu rumah, Nat.
"Di tengah laut?" Aku tercengang mendengarnya.
"Iya. Rumah mengapung."
"Wow. Apa gak bahaya ya. Ntar kalau ada tsunami, mereka gimana cara nyelamatin diri. Jauh banget dari daratan."
"Hahaha. Iya sih. Beresiko. Semuanya beresiko Nat. Termasuk perasaanku ke kamu."
"Maksudnya?" Aku menatap Gerri penasaran.
"Hahaha, perasaan.... Kalau aku.... Kalau aku merasa lucu ngeliat kamu dengan ekspresi seperti itu. Hahaha. Santai aja Nat. Mereka aja gak merasa cemas. Kok kamu cemas banget nampaknya." Gerri mencubit pipiku.
"Dih. Kok lucu sih."
Gerri hanya tertawa melihatku.
Aku bersandar di bahu Gerri sambil memandang langit. Sangat indah. Sesekali aku sempat melihat bintang jatuh lalu membuat beberapa permohonan dalam hati.
Gerri merangkulku. Tangannya berada di pundakku. Kami memandangi langit.
Tak terasa, hari sudah mulai larut. Kami memutuskan untuk kembali ke rumah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!