NovelToon NovelToon

Cold CEO

PROLOG

Seorang pria berjalan dengan langkah lebarnya. Dia menghampiri seseorang yang tengah berdiri tegap di belakang pagar balkon.

Tatapan tajam dari sepasang mata pria itu membuat siapa pun enggan untuk mengganggunya.

Dengan hati-hati, dia menyampaikan hal yang diminta oleh atasannya itu. Dia sedikit berjaga jarak agar terkesan menghormati orang tersebut.

"Katakan berdasarkan laporan yang kamu baca!" suruhnya dengan nada datar.

Pria tadi mengangguk meski tidak terlihat. "Menurut laporan, masih ada beberapa perusahaan yang memiliki hutang di perusahaan ini, Tuan," ucapnya.

Pria yang menatap jalanan di bawahnya, diam tidak menanggapi. Semua sudah tahu tentang dirinya yang bersikap dingin dan tak acuh.

"Perusahaan itu—"

"Katakan yang memiliki hutang paling banyak di perusahaan ini," potongnya dengan cepat, tetapi orang yang berbicara dengannya terlihat biasa saja karena sudah tidak merasa aneh lagi atas sikap atasannya.

"Perusahaan milik Tuan Smith."

"Pergilah!" perintahnya.

Tanpa banyak bicara lagi, orang suruhan itu langsung bergegas meninggalkan atasannya yang masih menikmati suasana senja dari balkon ruang kerjanya.

Tak berselang lama kemudian, masuklah seorang perempuan. Setelah menemukan seseorang yang ia cari, langsung saja tangannya bergelayut manja di lengan pria itu.

"Kok masih di sini? Katanya mau jemput aku?"

"Aku sedang tidak ingin diganggu, Anna. Pergilah!" Suara kerasnya membuat perempuan itu beringsut. Ia memang takut pada pria itu, apalagi sampai terkesan mengganggunya.

"Maaf, a … aku nggak bermaksud ganggu Kakak," ucapnya yang membuat pria itu menoleh dan merasa bersalah karena sudah membuat adiknya merasa takut.

"Maaf, Kakak nggak bermaksud buat kamu takut."

"Iya."

Mereka berdua berpelukan. Pria itu entah kenapa bisa merasa tenang saat bersama adiknya. Anna Lazya Britama, adik perempuan satu-satunya.

Anna paham, jika kakaknya sudah seperti sekarang ini, tandanya dia sedang tidak ingin diganggu. Anna cukup sadar diri dan tidak ingin membebani kakaknya. Ia memilih pergi dengan beralasan ada jadwal syuting hari ini.

David mencengkeram erat railing pembatas balkonnya. Masih terngiang ucapan demi ucapan di pikirannya. Bagaimana bisa dia akan melakukan hal itu?

Angin petang menerpa wajah tegasnya. Suasana telah berganti dan hawa sudah mulai dingin. David memilih untuk kembali masuk ke ruangannya dan melihat-lihat beberapa berkas.

"Hutang keluarga Smith begitu besar. Bahkan sudah berkali-kali dicicil, tetap saja seperti tidak berkurang jumlahnya. Bagaimana bisa seperti ini?" David menghubungi orang suruhannya tadi. Dia menyuruhnya untuk kembali menagih hutang keluarga satu itu. Bukan perkara apa pun, tetapi hutang itu akan jatuh tempo beberapa bulan lagi.

David tidak tahu saja jika yang berusaha menyicil hutang tersebut adalah seorang anak dari si peminjam uang. Dia juga tidak tahu bagaimana perjuangan orang itu untuk melunasi hutangnya.

Diraihnya sebuah ponsel berlogo di belakangnya. Dia mengecek notifikasi yang masuk untuk menyesuaikan jadwal kerjanya.

Menjadi seorang CEO muda tidak semudah yang terlihat. Dia harus pandai mengatur strategi untuk menghadapi persaingan dari perusahaan lain. Apalagi untuk perusahaan yang bermain licik di belakangnya.

Meski dunia sudah mengenalnya, tetapi tidak sedikit orang yang ingin mencelakai dirinya. Padahal sudah terbukti, banyak yang bermain dengannya dan berakhir dengan tragis.

David tidak hanya mengandalkan orang-orangnya. Dia tidak segan-segan untuk turun tangan menghadapi musuhnya. Bahkan nyawanya rela dia taruhkan jika orang tersayangnya ada dalam bahaya.

David terkenal berbahaya di balik sikap tenangnya. Dia akan seperti pisau dalam kegelapan. Tidak dapat terlihat dan diperkirakan kecepatan melesatnya yang kemudian terasa sakit saat pisau itu telah menancap dalam tubuh kita.

ONE

"Alice, kamu bisa datang ke rumahku nanti?" Pertanyaan itu sungguh mudah untuk dijawab, tetapi tidak untuk gadis yang memiliki nama Alice Zoyna Smith.

"Maaf, Jen, aku tidak bisa datang. Aku harus bekerja dan pulangku selalu malam." Sejujurnya, ia merasa berat hati untuk mengucapkan dua kalimat itu. Apakah sahabatnya itu akan memahami tentang dirinya?

Jeniffer memeluk Alice dengan erat. Air matanya menetes di bahu Alice. "Kamu kenapa menangis?" tanya Alice cemas.

"Alice, aku sahabat kamu, kan?" Jeniffer bertanya di tengah isakannya.

"Iya, kamu sahabat aku satu-satunya."

"Tapi kenapa kamu sedikit pun tidak meminta bantuanku? Aku bisa membantumu kalau kamu mau Alice. Please, hargai aku sebagai sahabatmu."

Alice terharu pada sahabatnya, ia mengusap lembut air mata yang mengalir di pipi Jeniffer. "Ini hutang keluargaku, Jen. Kamu tidak perlu susah-susah membantuku. Kamu masih banyak kebutuhan untuk dipenuhi."

"Lalu bagaimana denganmu? Kebutuhanku bahkan sudah sangat tercukupi, Al. Aku bantu kamu, ya? Aku akan minta mama papaku untuk menolongmu."

"Jangan, jangan lakukan itu! Kalau kamu nekat melakukannya, lebih baik kita tidak saling mengenal." Alice beranjak dari duduknya. Diraihnya ransel abu-abu yang sejak tadi tergeletak di atas mejanya.

Dengan mantap, kakinya melangkah meninggalkan bangunan mewah tempatnya menuntut ilmu. "Papa, kenapa Papa harus pergi? Kenapa Papa tega biarin aku menanggung beban ini sendirian? Kenapa Papa tega sekali sama aku?" Alice tersenyum getir di bawah rintikan hujan. Ia tidak berniat sedikit pun untuk berteduh di halte yang tidak jauh di belakangnya tadi.

Seorang pria datang menghampirinya dengan sebuah payung yang berada di genggamannya, tetapi pria itu tidak untuk menciptakan suasana romantis di tengah hujan seperti ini. Dia menarik Alice secara paksa menuju halte tadi.

"Tuan, aku janji akan segera melunasi hutang itu." Alice membuka resleting ranselnya dan mengeluarkan sebuah amplop coklat yang berisi ratusan lembar uang hasil jerih payahnya. "Tapi aku hanya bisa mencicil seperti ini. Percayalah, aku juga butuh uang untuk memenuhi kebutuhanku setiap harinya." Alice bersimpuh di bawah pria itu. "Aku mohon, beri aku waktu lagi. Hutang itu cukup banyak, Tuan. Aku tidak mampu untuk melunasinya dengan waktu yang begitu singkat. Please, help me!" Alice mulai terisak. Dia benar-benar takut kalau pria itu akan menyita rumahnya.

"Baiklah, saya akan mengatakan ini pada Tuan Britama. Bagaimanapun keadaannya, dialah yang tetap memiliki hak untuk memutuskannya. Permisi, Nona!" Pria itu berlalu dari sana dan memasuki sebuah mobil berplat nomor khusus. Alice masih sesenggukan, dari jauh sana, seseorang memperhatikannya. Tak lama kemudian, orang itu menghampirinya seraya menyampirkan jaket tebalnya di bahu Alice.

▫️▪️▪️▫️

David dengan terburu-buru memasuki ruang kerjanya, mungkin ada sesuatu yang telah terjadi karena dilihat dari wajahnya dia seperti terlihat tengah menahan kesal. Lebih tepatnya amarah. Tidak ada orang yang berani menyapanya saat dia melewati ruangan kerja karyawannya.

"Bagaimana bisa mereka tidak melunasi hutangnya?!" David berkata tegas. Orang suruhannya sampai menciut di tempatnya, tidak seperti biasanya yang terlihat santai.

"Ma … af, Tuan, saya tidak tega pada gadis itu. Dia terlihat begitu tertekan saat melihat saya."

"Itu bukan urusan saya! Itu urusan kamu! Untuk apa saya memperkerjakan dirimu yang tidak berguna, huh?!"

"Maaf, Tuan, besok saya akan menagihnya kembali."

"Tidak perlu! Kau memang tidak berguna! Biar saya sendiri yang turun tangan!"

"Ta … tapi, Tuan—"

"Beri saya alamat rumahnya!" Jika David sudah berkata dengan nada begitu dingin, tidak ada yang bisa membantahnya. Termasuk Daniel, orang suruhannya.

"Tuan, saya mohon agar Anda tidak bersikap kasar padanya. Dia tidak tahu apa pun masalah hutang ini. Dia baru tahu saat saya datang menemuinya untuk yang pertama kalinya dulu."

"Pergilah!" usir David dengan nada datarnya. Daniel hanya mengangguk dan mematuhi perintah tuannya.

David mengambil ponselnya yang berdering. Sudut bibirnya sedikit terangkat setelah membaca nama yang tertera di layar ponselnya. "Dasar wanita penggoda!"

🔹🔸🔸🔹

Alice mengusap peluhnya. Dia merasa begitu lelah hari ini. Kafe tempatnya bekerja lumayan ramai hari ini dan membuatnya kewalahan. Bahkan, teman-teman kerjanya yang mendapat jatah shift malam harus ikut turun tangan.

Setelah membuka gerbang rumahnya, dia melangkah memasuki halaman rumah. Dia belum menyadari jika ada seseorang yang sudah menunggu kedatangannya sejak tadi.

Kaki Alice terasa membeku, ia tidak mampu melanjutkan langkahnya saat menyadari ada seorang pria dengan ekspresi wajah yang menyeramkan—menurutnya.

Tidak mungkin dia tidak mengenali orang itu. Orang yang terkenal begitu kejam dan sadis saat bertarung maupun tidak. Ia tidak percaya jika pria itu berada di teras rumahnya.

"Tu … Tuan Britama." Ia menggumam di tempatnya. Pria itu melangkah untuk mendekatinya.

"Tu … tuan, sa … saya janji a … kan me … lunasi hutang Pa … Papa sa … saya." Alice berubah menjadi gagap karena rasa takutnya pada pria di hadapannya itu.

"Saya tidak butuh janji. Yang saya butuhkan itu pelunasan hutang kalian sebelum jatuh tempo!"

"Ta … tapi sa … saya tidak punya u … uang sedikit pun. Ta … tadi sa … saya su—"

"Saya tahu dan saya tidak butuh! Lunasi hutang kalian atau rumah ini saya sita?!"

"Jangan, Tuan! Nanti saya tinggal di mana?"

"Bukan urusan saya!" David langsung melangkah pergi meninggalkan Alice dan pekarangan rumah itu. Dia mengurungkan niat untuk melajukan mobilnya karena melihat gadis tadi berlari menjauhi komplek perumahannya.

"Gadis malam rupanya." David menatap datar punggung yang semakin menjauh itu, tetapi dia memutuskan untuk mengikuti kemana perginya gadis itu. Bagaimanapun juga dia itu perempuan dan bahaya akan datang sewaktu-waktu kalau dia tidak bisa menjaga diri.

"Ngapain ke klub? Bukankah dia tidak memiliki uang?" David memutuskan untuk mengikuti langkah gadis itu.

"Di sini sedang tidak ada lowongan pekerjaan, Nona!" Salah satu barista berkata dengan sedikit keras karena alunan musik yang begitu memekakkan telinga.

"Please, I really need a job!"

"Saya bilang di sini tidak ada lowongan, apa kau tidak paham juga?!" Barista itu terlihat geram. Dia segera keluar dari pantry dan menarik paksa pergelangan tangan gadis itu. Namun, seseorang datang mencegahnya.

"Bagaimana kalau aku sewa perempuan ini? Sepertinya, dia masih gadis."

"Tapi—"

"Kuberi tarif tiga kali lipat, gimana?"

"Oke, deal!" Barista itu tersenyum puas. Padahal perempuan itu tidak bekerja dengannya, tetapi dia yang mendapatkan uang atas sewa tubuh perempuan tadi.

Alice meronta saat dirinya dibawa menuju lantai atas. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan pria itu kepadanya.

"Lepaskan aku!"

"Aku membayarmu mahal, Nona! Tetap diam dan turuti keinginanku!"

"Kenapa kau membayarku pada laki-laki itu?! Di sini aku yang membutuhkan uang untuk melunasi hutang-hutang keluargaku!"

Mereka berdua sudah sampai di satu ruangan. Pria tadi menutup pintu kamar itu dan menguncinya. "Kenapa kau cerewet sekali, Nona?!"

"Aku mohon, jika kau melakukan ini padaku, maka berikan uang itu padaku. Aku tidak bekerja sedikit pun di sini! Aku mohon, aku sangat memohon padamu!"

"Diam kau!" Pria itu menarik paksa pakaian yang dikenakan Alice. Lalu dengan kasar dia menghempaskan tubuh Alice ke atas kasur.

Pria itu menindih tubuh kecil Alice. Alice berusaha meronta, meski ia tahu jika tenaganya tidak ada bandingnya jika dibandingkan dengan tenaga pria yang sedang menindihnya itu.

"Aaaaaaaa!!!"

TWO

WARNING! KEKERASAN DI DALAM!

"Aaaaaaaa!!!"

Alice memejamkan matanya, tetapi dia tidak merasakan apa pun pada tubuhnya. Dia bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya apa yang terjadi?

"Kurang puas bermain dengan wanita ******, huh?" Alice yang mendengar pertanyaan dengan nada cukup dingin, langsung membuka matanya dengan takut-takut.

Di seberang sana, pria yang baru beberapa menit lalu menemuinya tengah duduk dengan santainya di atas sofa yang tersedia, sedangkan pria yang tidak sopan tadi sudah tergeletak di lantai.

Bagaimana bisa hal itu terjadi? Bahkan Alice tidak mendengar suara keributan sedikit pun.

"Tu … Tuan Britama," lirihnya

David berdiri sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Raut wajahnya selalu saja tidak bersahabat, entah hal apa yang membuatnya selalu seperti itu.

Alice masih terpaku di tempatnya, padahal David sudah menunggunya untuk segera menyusul dirinya.

"Saya antar kamu pulang!" Sebuah perintah yang sedikit pun tidak bisa dan tidak boleh dibantah. Alice mengikuti langkah lebar pria di depannya, siapa lagi kalau bukan David.

Barista tadi menghalangi jalan David. Dengan entengnya dia bertanya, "Mau dibawa ke mana gadis itu, huh?"

"Bukan urusan kau, Pria Gila!" David mendesis tajam. Barista itu tidak gentar sama sekali.

"Jangan berani membawa dia pergi!"

"Siapa dia bagimu, hah?! Dia meminta pekerjaan, tidak kau beri! Lantas untuk apa dia melakukan itu, sedangkan yang mendapat uang itu kau!"

"Jaga mulut kau!" Pria itu menarik suit yang dikenakan David. Dia tidak tahu saja siapa orang yang ditantangnya kali ini dan bagaimana tindakan David saat dia mulai tersulut emosi.

"Kau pilih tempat ini dirobohkan atau…." David menjeda ucapannya, dia sengaja memancing emosi lawannya agar dia ikut emosi dan segera memutuskan apa yang akan dilakukannya setelah ini.

"Kau tidak akan bisa melakukan hal itu. Memangnya siapa kau?!" Alice yang sejak tadi terdiam mulai memilih untuk bersembunyi di manapun agar dia bisa terlindungi.

David bersorak. Dia mengulurkan tangannya untuk saling berjabat. Kemudian memperkenalkan diri. "David Lozyo Britama."

Barista itu langsung menarik tangannya dengan gugup. Dia merutuki kebodohannya yang bersikap sungguh lancang. Siapa yang tidak mengenal pria berumur 24 tahun itu? Lantas, bagaimana nasibnya setelah ini?

"Tuan Britama, ma … maaf saya tidak tahu."

"Dan kau perlu belajar sopan santun supaya menghargai orang lain! Berapa uang yang kau butuhkan agar gadis itu terbebas? Katakan!" David menggertak dan berhasil membuat bartender itu tergugup.

"Ti … tidak, Tuan, tidak usah beri saya uang."

"Baguslah kalau kau tahu diri!" David mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu. Saat dia akan pergi dari tempat itu, dia menyadari bahwa ada sesuatu yang kurang.

"Di mana gadis itu?" David mengawasi sekitarnya. Waktu tersisa 10 menit dan bagaimana nyawa gadis itu nantinya?

"Gadis bodoh! Di mana kau?!" David berusaha berteriak agar gadis itu tadi mendengarnya. "Kenapa aku tidak bertanya namanya tadi? Dasar, Gadis Bodoh!" Siapa yang bodoh, siapa yang dikatai bodoh? Begitulah David, dia memang selalu benar.

Alice yang bersembunyi di balik meja pantry, mulai menggigil ketakutan. Samar-samar dia mendengar suara orang yang berteriak, tetapi jaraknya terdengar sedikit jauh. Ia tidak memiliki keberanian untuk menampakkan diri, ia tidak tahu jika bahaya akan segera menghampiri.

David kembali berteriak. Suaranya terdengar begitu frustrasi, padahal biasanya dia tidak pernah peduli dengan perempuan manapun, kecuali adik dan mamanya.

Alice semakin membeku di tempatnya saat barista tadi muncul di hadapannya dengan tangan yang memegang pisau tajam.

"Gara-gara kau, aku kehilangan banyak uang!" gertak pria itu. Dia meraih telapak tangan kanan milik Alice. Lalu pisau itu dia goreskan di sana.

"Argh!" Alice mengerang kesakitan saat ujung pisau itu menembus kulitnya, tetapi pria itu langsung menutup mulutnya. Alice menangis sambil menahan rasa perih yang menjalari telapak tangannya.

"Ini belum seberapa sakitnya!"

David menghampiri pantry karena sempat mendengar suara erangan tadi. Saat dia sampai di tempat itu, dia melihat barista tadi sedang menyayat lengan kiri gadis itu. David mengerang di tempatnya, dia tidak tahu kenapa bisa marah seperti ini.

Lengan kekarnya mendorong tubuh barista tadi. Dia melihat waktu tinggal 2 menit lagi. Tanpa menunggu apa pun lagi, dia menggendong Alice ala bridal style dan berlari meninggalkan tempat itu. Baru beberapa meter mereka meninggalkan klub, tidak lama setelahnya bunyi ledakan yang begitu keras membuat orang-orang berbondong-bondong ke luar rumah.

Alice yang masih digendongnya, bergetar hebat. Sesuatu telah membuat traumanya kembali. David membawa Alice ke dalam mobilnya, dia menelpon polisi dan melaporkan apa yang sudah terjadi di sini.

"Tenang saja, kita ke rumah sakit sekarang. Polisi yang akan mengurus semuanya." David melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.

▪️▫️▫️▪️

Alice mengunci pintu rumahnya. Ia bangun sedikit kesiangan hari ini karena kejadian tadi malam yang terasa seperti mimpi. Saat ia memutar badannya, jantungnya kembali memompa dengan tidak normal. Ia tidak akan terkejut kalau David tidak muncul tiba-tiba di hadapannya.

David masih dengan wajah dinginnya, menyilangkan kedua lengannya di depan dada. "Saya ada perlu denganmu." Dia berkata dengan santai, tetapi terdengar cukup mengerikan bagi Alice.

"Saya harus sekolah hari ini."

"For what?" David memicingkan matanya.

Alice mendongakkan kepalanya, ia menatap tidak percaya pada triliuner itu. "Ke sekolah untuk belajar, apa lagi kalau bukan itu?" Alice menjawab dengan berani, padahal sebelumnya ia merasa takut.

"Saya sudah mengirimkan surat izin ke sekolahmu. Sekarang kau harus ikut saya!"

"Ke mana?" Alice terlihat seperti orang idiot jika dilihat dari tampangnya. David sekuat mungkin menahan bibirnya agar tidak tersenyum.

David berdeham agar suaranya tidak terdengar seperti orang yang ingin tertawa. "Kau tidak ingin hutangmu cepat lunas?"

Alice meneguk ludahnya, dia menatap rumahnya dan setelahnya dia menggeleng. "Ja … jangan sita rumahku, nanti aku tinggal di mana?" Air matanya mulai menggenang.

David tidak ingin berlama-lama, dia langsung menarik tangan kiri Alice yang tidak terluka dan membawanya masuk ke mobil.

Alice masih diam tidak bersuara. Pikirannya melayang ke mana-mana. Bahkan saat David mengajaknya berbicara pun ia tidak mendengarnya.

"Kemarin gadis bodoh, apa sekarang bertambah menjadi gadis tuli, huh?!" David sedikit mengeraskan suaranya. Alice terlonjak kaget dan David kembali menahan dirinya agar tidak tertawa.

"Ke … kenapa?" Alice menjawab dengan gugup, ia benar-benar merasa takut sekarang.

"Siapa namamu?" tanya David, mungkin untuk yang ketiga kalinya.

"A … Alice, Tuan."

"Jangan panggil aku seperti itu. Namaku David, David Lozyo Britama."

"Ti … tidak mungkin aku memanggilmu seperti itu."

"Terserah kau saja." David kembali fokus pada jalanan, sedangkan Alice memikirkan tentang panggilan yang harus dia berikan pada pria di sebelahnya itu.

"Kenapa Anda membawaku ke perusahaan Anda?"

"Kau akan bekerja di sini untuk melunasi hutang kalian, mengerti?!" David sedikit menggertak. Dia merasa terusik untuk ucapan yang dilontarkan oleh Alice. Dia merasa tidak suka jika Alice menyebutnya 'Anda'.

"Keluar!" Alice tersentak. Dengan buru-buru ia membuka pintu mobil, padahal ia belum melepaskan seatbelt nya.

"Benar-benar gadis bodoh!" David benar-benar harus menambah kemampuannya sekarang, yaitu kemampuan menahan tawa ketika bersebelahan ataupun bersama dengan Alice.

"Ma … maaf." Usai melepas sabuk pengamannya, David langsung melangkah memasuki gedung perusahaannya. Alice tertinggal di belakang, ia benar-benar merasa bingung dan takut. Di sini, dirinya benar-benar terlihat seperti orang kecil.

Seorang pria datang menghampirinya. Alice merasa terkejut. "Paman Daniel?"

"Mari ikut saya, Nona. Anda akan bekerja hari ini. Tuan Britama sudah memerintahkan saya untuk mengajari Anda."

Alice meneteskan air matanya. "Kenapa Anda menangis, Nona?"

"Jika aku bekerja di sini, bagaimana sekolahku nanti? Aku ingin tetap sekolah."

"Ikut saja dulu, Nona. Semua akan diputuskan oleh Tuan Britama."

Alice mengikuti Daniel memasuki gedung yang begitu besar dan tinggi itu. Saat memasuki gedung itu, banyak sekali orang yang memandangnya dengan bingung. Bahkan ada yang menunjukkan rasa tidak sukanya. Mereka berpikir untuk apa gadis berseragam high school datang ke perusahaan besar seperti ini.

Alice berusaha tidak memedulikan tatapan-tatapan mereka. Ada pria yang masih terlihat muda ikut menatapnya dengan tersenyum manis.

Mereka berdua memasuki lift dan menuju lantai paling atas, di mana ruang CEO berada. Sebenarnya, Alice merasa terpesona saat melihat wajah David yang begitu tampan. Namun sayangnya, pria itu begitu dingin dan membuat beberapa perempuan takut untuk mendekatinya.

"Saya tinggal dulu, ya? Saya ada tugas." Daniel hanya mengantarkan Alice sampai di depan pintu ruangan David. Dia meninggalkan Alice yang mulai merasa takut.

Alice mengetuk pintu bercat putih itu. Setelah mendengar suara berat pria yang dikenalnya, ia membuka pintu itu.

"Duduk!" David langsung memerintah Alice yang masih berdiri mematung di depan pintu.

"Kau bekerja di sini setiap ada panggilan. Agar hutangmu cepat lunas, setelah pulang sekolah, kau bekerja di mansionku!"

Alice melongo tidak percaya, pekerjaannya yang ini cukup memberatkan dirinya. Apakah sekolahnya tidak akan terganggu karena ini?

Alice kembali mengeluarkan air matanya, ia menggigit bibirnya agar tidak mengeluarkan isakan. David sebenarnya tahu, tetapi dia tidak ingin peduli. Dia tidak ingin terlalu ikut campur meskipun dia merasa penasaran.

"Sekarang kau pergi ke ruang editing dan mulai bekerja di sana!"

Alice tidak bisa membantah, dia hanya bisa mengangguk dan meninggalkan ruangan itu. Bodohnya, kenapa ia tidak menanyakan di mana ruangan itu berada.

"Heh, Alice gadis bodoh! Memangnya kau tau di mana ruang editing itu?"

Alice mematung. Dia menyengir diam-diam karena posisi badannya yang membelakangi David.

"Ada di lantai lima. Segeralah ke sana! Jangan buang-buang waktu! Kau akan membuatku rugi!"

"Huh, dasar CEO gila! CEO tidak waras!" umpat Alice dalam hati. Dia langsung pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Dasar, Cold CEO!" Alice menyengir, ia seperti menemukan panggilan yang cocok untuk pria itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!