NovelToon NovelToon

KELIRU

PROLOG

MEGA LESMANA POV

West Frisian Island, menjadi saksi bisu atas kesedihan yang tengah aku rasakan saat ini. Desiran angin yang tak hentinya menyibakkan rambutku, membuat alunan suara merdu dari ilalang yang tengah bergoyang.

Tak banyak yang tahu keberadaanku di sini. Aku sengaja pergi dari kehidupan yang pelik di tanah kelahiranku. Aku ingin menghilangkan rasa sakit yang terus menghujam jantungku jikalau aku masih terus berada di sana.

Hanya sebuah harapan yang telah membawaku sampai ke tempat ini. Berjuta impian sudah aku rangkai pada memori masa depan. Untaian harapan yang dirangkum menjadi doa. Berharap ada sebuah ketulusan yang bisa dan mampu menerima kehadiranku terlebih diriku yang tak lagi sempurna.

Sayup-sayup ketenangan mulai merasuki jiwaku. Menghirup udara segar sambil memejamkan kedua mataku.

Tuhan, tunjukkan kemana aku harus pergi. Jalan mana yang harus aku ambil. Karena saat ini aku tengah berada di dalam persimpangan dilema yang membuat hatiku mati, pikiranku kosong dan ragaku letih ... pintaku padaNya.

Sejak kepergian kedua orang tuaku satu tahun yang lalu, kini membuat hidupku seketika berubah. Sendiri ... dan sepi. Yang membuatku takut adalah keadaan pada diriku sendiri. Keadaan dimana aku terus bertanya-tanya, apakah aku layak untuk dicintai?

Dimana hatiku terus mencaci. Apakah ada laki-laki yang mau denganku yang sudah menjadi bekas orang lain? apakah ada laki-laki yang bisa mencintaiku dengan tulus? mungkin ada ... tapi entah itu siapa.

Bayang-bayang hujatan yang Damar lontarkan padaku selalu berputar-putar di memori otakku.

"Dasar wanita murahan! bisa-bisanya kamu ketipu dengan yang namanya cinta! kalau dia memang cinta, tidak mungkin dia merusak kamu seperti ini! dimana hati nuraninya? kenapa kamu mau melakukan hal itu! jelas kamu tahu sendiri kalau dia benar-benar tidak pernah mencintaimu, dia hanya menginginkan tubuhmu saja!"

Aku terpaksa harus menelan pil pahit itu. Aku pun tak tau harus berbicara apa dengan Damar. Saat melakukan itu aku tidak bisa menolak setiap sentuhan Sahrul. Hanya karena alasan memiliki rasa cinta yang telah menguasai hati dan pikiranku, sehingga aku tidak mampu mengontrol diriku sendiri.

"Aku cinta kamu Mega ... tapi aku tidak bisa ... maaf."

Bagai tersambar petir disiang bolong. Padahal saat itu, Damar telah berniat untuk memperkenalkanku kepada kedua orangtuanya. Tapi semuanya hancur begitu saja. Sebab, Sahrul telah mengacaukan semuanya.

Damar sudah tidak bisa menerimaku lagi. Karena baginya, keperawanan tetap diatas segalanya. Dia memilih meninggalkanku dan mencari wanita lain, yang tentunya masih perawan. Sejak pertengkaran itu, aku memilih pergi dari hidupnya. Belajar mencintainya dan juga caranya mencintaiku selama ini yang mungkin akan aku rindukan.

Sering aku berpikir, seburuk itukah aku dimatanya? hanya karena aku memiliki kesalahan dimasa lalu, sekeras apapun aku membela diri, tetap aku akan selalu salah di matanya. Aku terlalu pakai hati selama ini, sehingga aku lupa terhadap kekurangan yang ada di diriku.

Kini aku sadar, terbesit rasa dilema yang menyelimuti hatiku. Mungkin rasa takut yang selalu aku resahkan, semakin membuat hati Damar yang awalnya untukku itu ... sirna. Aku mencintainya, bahkan perlakuan lembutnya membuatku lupa akan kekuranganku.

Semuanya telah terjadi, menyesal sudah tiada arti. Sekarang, tidak perlu ada yang disesali. Kukira, cintanya yang tulus mampu menerima dan menutupi kesalahanku di masa lalu. Namun, ternyata aku ... keliru.

AWAL MULA

AUTHOR POV

Mega Lesmana, seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang memiliki kepribadian tertutup. Bisa dibilang introvert.

Mega, merupakan anak dari sepasang pengusaha yang sangat disegani di kota Jakarta ini. Ayahnya bernama Adrian Lesmana dan ibunya bernama Hermelinda Sutyoso.

Ia baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas semalam. Tidak ada yang spesial dalam perayaan kali ini. Masih tetap sama. Hanya di temani para pelayan rumah yang selalu ada untuk Mega.

Pagi ini gerimis telah menyapanya dari balik jendela kamar. Tetesan air hujan yang jatuh terkena atap, membuat sang penghuni kamar di lantai dua itu enggan untuk terbangun.

Ia justru menelusup kembali ke balik selimut tebalnya. Angin yang berhembus dengan kencang di luar, membuat pepohonan mendayu-dayu mengikuti arah angin itu.

KRING ... KRING ... KRING

Suara jam weker di samping tempat tidurnya membuat Mega membelalak seketika.

DUG!

Oh tidak, kepalanya membentur sebuah meja kecil yang ada di sampingnya. Mega meringis kesakitan seraya menutup separuh matanya lalu terbangun dan mendudukkan diri di atas tempat tidur.

Ia melihat ke arah jam weker itu yang telah menunjukkan pukul enam pagi.

Astaga! aku terlambat!

Mega segera turun dari tempat tidurnya dan segera pergi ke kamar mandi. Iapun mandi dengan ekstra cepat, sebab memang waktunya sangat mepet.

Tak butuh waktu lama, dalam waktu lima belas menit ia telah selesai memakai seragamnya. Mega kemudian duduk di kursi depan meja riasnya. Ia mulai mengikat rambut dan juga bedak tabur serta lipbalm.

Mata bulat, hidung mancung, alis tebal, bibir ranum, kulit putih serta pipi yang chubby. Itulah Mega Lesmana.

Mega segera turun keluar dari kamarnya yang kemudian berlari menuruni anak tangga. Ia begitu tampak terburu-buru karena pagi ini akan dilaksanakan upacara.

"Mega! sarapan dulu, Sayang!"

Teriakan sang ibu tidak membuat Mega menghentikan langkahnya. Ia terus berlari keluar rumah kemudian masuk ke dalam mobil yang sedang dipanaskan oleh Madih, sopir pribadinya.

Mega menutup pintunya dengan cukup keras. Deru napasnya pun terdengar sangat tersengal-sengal.

Sejak kapan ibu dirumah? lalu kenapa ayah tidak ada? padahal semalam mereka tidak ikut merayakan ulang tahunku. Menyebalkan!

"Ayo Pak, jalan!" perintah Mega pada Madih yang baru saja duduk di kursi kemudinya itu.

"Iya, Non."

Madih melajukan mobilnya keluar dari rumah mewah itu. Sepanjang jalan Mega menatap ke luar jendela dengan perasaan yang cukup kesal pagi ini.

Ia merasa diabaikan oleh kedua orangtuanya. Diusianya yang telah menginjak tujuh belas tahun ini, membuat dirinya semakin dan semakin ingin di perhatikan oleh Adrian dan juga Hermelinda.

Melihat Mega yang tadi berlari begitu saja tanpa pamit pada Hermelinda. Membuat hati ibunya terenyuh. Ia hanya mengelus dadanya dan memendam segala sedihnya.

Tak lama sang ayah pun baru keluar dari kamarnya dan menghampiri Hermelinda yang tengah berada di ruang makan.

"Mega kemana, Sayang?"

"Sudah berangkat, Yah."

Adrian melihat waktu pada arloji yang melingkar di tangannya.

"Sepertinya dia terlambat."

"Bisa dibilang begitu, Yah."

Adrian hanya menghela napas dalam, ia tahu sorot sendu yang tampak di wajah Hermelinda itu. Adrian pun tidak ingin ikut terbawa suasana. Bagaimana pun sejatinya, ia tidak ingin sengaja mengabaikan anak semata wayangnya itu.

Adrian meraih tangan Hermelinda, dielusnya dengan lembut dan sang istri pun menoleh.

"Kita hanya perlu kuat dan sabar. Jika Tuhan baik, Dia akan senantiasa membuat Mega mengerti perlahan."

Sang istri mengangguk seraya tersenyum.

"Yuk sarapan!"

Keduanya pun menikmati sarapan bersama sebelum akhirnya berangkat ke kantor masing-masing.

📎📎📎📎📎

Tingting Tingting ... suara bel sekolah telah berbunyi. Semua murid di sekolah SMA 1 Pinus telah bersiap untuk berbaris di lapangan. Mulai dari merapikan pakaian, memakai topi, dasi dan juga ikat pinggang.

"Semuanya berbaris! upacara akan segera dimulai. Yang masih berada di kelas, segera menuju ke lapangan sekarang juga!" ucap Gunarto, kepala sekolah SMA ini.

Semua murid langsung berlarian menuju lapangan setelah mendengar suara Gunarto, seorang kepala sekolah yang sangat killer di sekolah ini. Hukumannya tak pernah tanggung-tanggung, dari mengecat tembok sekolah sampai membantu tukang bangunan membawakan adonan coran untuk pembangunan gedung baru.

Upacara pun berlangsung dengan hikmat. Saat upacara hampir selesai, pandangan Mega mulai buram dan ...

BRUK.

Sontak membuat para murid yang berada di sekeliling Mega langsung menoleh. Tatapan tajam dari Gunarto langsung tertuju pada barisan Mega.

Dengan langkah seribu, ia langsung berjalan menghampiri kerumunan di barisan paling belakang itu.

"Minggir! minggir! kalian jangan berkerumun! cepat kembali ke barisan masing-masing!" perintah Gunarto. Para murid pun patuh. Mata Gunarno melihat ke sekitar.

"Sahrul! kamu anggota PMR, kan?" tanya Gunarto pada Sahrul yang saat itu sedang berdiri tak jauh dari tempat Mega pingsan.

"Iya Pak," jawab Sahrul sambil mengangguk cepat.

"Bawakan tandu kemari sekarang juga!" perintah Gunarto. Sahrul pergi dari tempatnya berdiri, iapun menghampiri Bimo, ketua PMR di sekolah ini.

"Bim, bantu gue bawa tandu ya!" pinta Sahrul sambil menarik tangan Bimo.

Tak lama keduanya menghampiri Mega yang telah berada di pinggir lapangan. Sahrul dan Bimo mengangkat Mega ke atas tandu itu dan membawanya ke ruang UKS.

Setibanya di ruang UKS. Perlahan, Mega dibaringkan di atas tempat tidur.

"Sahrul lo di sini ya. Gue mau ke lapangan lagi," pinta Bimo sambil melipat kembali tandunya lalu mengangkatnya.

"Lo bisa bawa tandu sendiri, Bim?"

"Bisa. Terus jangan lupa tuh hidungnya dipakaikan minyak kayu putih!"

"Iya."

Bimo keluar dari ruang UKS. Sedangkan Sahrul menghampiri kotak obat untuk mengambil minyak kayu putih.

Sahrul memperhatikan Mega yang masih terlelap sambil mengoleskan minyak kayu putih pada hidung Mega.

Cantik, gumamnya. Kemudian duduk kembali di sebuah kursi yang tak jauh dari tempat tidur itu.

Cukup lama Mega pingsan, akhirnya ia pun tersadar juga. Mega mengerjapkan matanya lalu menatap ke sekeliling ruangan berwarna putih itu.

Melihat Mega mulai tersadar, Sahrul duduk di kursi yang tak jauh dari tempat tidur itu.

"Dimana aku?" gumam Mega sambil mendudukkan dirinya di atas tempat tidur dengan sebelah tangan yang memegangi kepalanya.

"Kamu di UKS," jawab Sahrul tiba-tiba.

Mega tersentak, sebab sedari tadi ia belum menyadari keberadaan Sahrul di sana.

"Sahrul?"

Sahrul tersenyum lalu bangkit dari kursinya dan menghampiri Mega.

"Lo kenal sama gue?"

Mega mengangguk ragu dan juga malu. Ia memang bukan cewek popular di sekolah ini. Sedangkan Sahrul cukup terkenal karena memiliki wajah tampan mirip oppa-oppa Korea seperti di dalam drama romantis yang sedang booming di sekolah ini.

Hanya saja, karena standar yang Sahrul miliki membuatnya sulit untuk mencintai dengan tulus. Bahkan lebih sering hanya mempermainkan wanita yang terlihat 'cinta mati' padanya.

Baru kali ini aku bisa melihat Sahrul dari jarak yang dekat seperti ini. Ternyata dia ... tampan, bertubuh kekar, dan kharismatik.

Pandangan Mega belum sepenuhnya pulih, Sahrul yang melihat Mega masih terlihat belum cukup membaik mencoba membantunya untuk bersandar pada kepala tepat tidur.

"Kalau masih pusing, lebih baik jangan bangun dulu."

"Aku tidak apa-apa kok, hanya belum sarapan saja. Nanti setelah ini aku akan ke kantin untuk sarapan."

"Jangan! lebih baik lo tunggu di sini. Biar gue yang belikan makanan buat lo. Lagian bahaya kalau lo ke kantin disaat tubuh lo masih lemas begini."

Sahrul baik juga ya. Tidak heran jika banyak siswi di sekolah ini yang selalu meng'elu'-'elu' kan dia.

Mega menghela napas dalam. Ia mengeluarkan ponsel yang ada di saku seragamnya. Baru saja ia menyalakan lapar persegi itu, Sahrul masuk ke dalam UKS.

"Ini bubur sama teh manis hangat buat lo," kata Sahrul sambil menyodorkan semangkuk bubur ayam dan juga segelas teh.

"Terima kasih, Sahrul" ucap Mega seraya tersenyum.

"Sama-sama," Sahrul tersenyum. "Oh iya, kita belum kenalan. Nama lo siapa?"

"Aku, Mega."

"Lo kelas berapa?"

"Kelas sebelas IPA tiga."

"Satu angkatan dong kita," seru Sahrul kemudian mengulurkan tangannya. "Gue, Sahrul Apriansyah dari kelas sebelas IPS satu."

Jantung Mega seolah berdetak lebih cepat, terlebih keduanya mata mereka saling bertemu, dengan rasa gugup ia meraih tangan Sahrul. "Salam kenal." Sahrul pun mengangguk lalu tersenyum.

"Mega ... " Sahrul menarik napasnya dan mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana. "Bolehkah aku meminta nomor ponselmu?" tanya Sahrul sambil menyodorkan ponselnya. Mega mengernyitkan alisnya dan menatap Sahrul dengan lekat.

Ini tidak salah? Sahrul meminta nomor ponselku? Astaga! mimpi apa aku semalam?

Mega mengangguk pelan lalu mengambil ponsel Sahrul. Kemudian kedua jempolnya mengetik dengan lincah saat menyimpan nomor ponselnya di sana.

"Ini, sudah," ucap Mega sambil memberikan kembali ponsel itu kepada Sahrul.

Gadis yang unik, cantik dan juga menarik.

Sahrul menyunggingkan senyum tipisnya saat Mega memberikan ponselnya kembali.

"Makasih ya," ucap Sahrul.

"Sama-sama," kata Mega kemudian melanjutkan makannya kembali.

Entah sejak kapan Mega menghabiskan makanannya. Padahal saat maag-nya terasa, ia bahkan tidak ingin makan apapun. Tapi saat ini, ia mampu menghabiskannya.

Di lapangan, upacara telah usai. Terdengar suara Gunarto yang meminta para murid langsung membubarkan diri dan kembali ke kelas mereka masing-masing.

Mendengar pengumuman itu, Mega turun dari tempat tidur itu lalu menaruh mangkuk dan gelasnya ke atas tempat tidur. Iapun merapikan seragamnya kembali.

"Lo yakin mau ke kelas sekarang?" tanya Sahrul memastikan. Mega bergumam sambil mengangguk.

"Syukurlah, kalau begitu sini, mangkuk sama gelasnya biar gue yang kembalikan ke kantin. Gue juga sekalian mau kembali ke kelas."

Mega memberikan mangkuk dan gelas yang tadi ia pakai kepada Sahrul.

"Terima kasih sekali lagi, Sahrul."

"Sama-sama." Sahrul tersenyum. "Nanti malam kalau aku telepon diangkat ya," pinta Sahrul membuat wajah Mega memerah.

"Iya," jawab Mega malu-malu, kemudian keduanya keluar dari ruang UKS.

📎📎📎📎📎

Setelah kejadian beberapa waktu lalu, kini Mega dan Sahrul menjadi dekat. Bisa dibilang Sahrul telah membuat Mega menjadi terbawa perasaan akan kedekatannya itu.

TEROBSESI

Pintu ruangan bernuansa krem itu terbuka, tampak seorang gadis berpiyama pink masih meringkuk dibawah selimut tebalnya. Semenjak musim penghujan, udara pagi hari di Jakarta hingga dua puluh lima derajat celsius.

Tak hanya itu, jalanan kerap kali banjir saat musim penghujan tiba. Ditambah kemacetan yang selalu memakan waktu untuk menunggu sampai ke tujuan.

"Sayang, bangun Nak. Bukannya hari ini kamu ada ujian semester?"

Hermelinda mengusap lembut rambut anal gadisnya yang sudah beranjak dewasa itu. Mega mengerjapkan kedua matanya. Hermelinda pun tersenyum.

Kalau boleh jujur, Hermelinda sangat merindukan saat-saat dimana dirinya berperan menjadi seorang ibu yang sesungguhnya. Membangunkan anaknya untuk berangkat ke sekolah, membuatkannya bekal sarapan dan makan siang, mengantar jemput Mega ke sekolah.

"Ibu," sapa Mega dengan suaranya yang masih terdengar parau.

"Yuk mandi! terus kemudian sarapan dan berangkat."

Mega membenarkan posisinya dari terbaring menjadi duduk.

"Ibu, hari ini di rumah, kan?"

Hermelinda menggeleng sambil tersenyum. Mega mengernyit, tatapannya seolah berkata 'kenapa?' kepada sang ibu.

"Hari ini, ibu dan ayah akan berangkat ke Belanda. Kami mau menemani nenek yang sedang sakit di sana."

"Sampai kapan?"

Hermelinda mengangkat kedua bahunya seraya menghela napasnya.

"Mungkin ... sampai nenekmu sembuh."

Mega tertegun sambil menundukkan kepalanya. Itu artinya dia hanya akan sendiri. Mega menarik napas dalam ... dan lagi-lagi ia harus bersabar.

Seperti itulah hidup yang sekarang Mega jalani. Usia remaja memang bukan lagi dimana kita terus dituntun dan dipapah hingga sampai pada tujuan yang kita inginkan. Melainkan, dimana kita belajar berdiri sendiri dengan kemampuan diri yang kita miliki.

"Iya, Bu ... " Mega tersenyum sambil menatap wajah ibunya. Diraupnya pipi chubby itu oleh sang ibu lalu diciumnya kening Mega cukup lama.

Mega memejamkan kedua matanya. Merasakan sebuah kasih sayang yang tulus dari ibunya. Walau sang ibu tidak pernah ada disaat kesendirianya, tapi Mega yakin kasih sayang ibu dan ayahnya selalu tercurah sepenuhnya untuk Mega. Walau dengan cara mereka sendiri.

"Ibu dan ayah jaga kesehatan ya ... Mega ... Mega mau minta maaf atas sikap Mega beberapa waktu yang lalu."

Hermelinda tersenyum getir. Tidak sepenuhnya salah Mega, tapi salah dirinya dan juga Adrian, suaminya. Pikir Hermelinda demikian.

"Tidak apa-apa, Nak. Kami paham ... lebih baik segera mandi dan sempatkan untuk sarapan sebelum berangkat ya. Ibu khawatir kalau kamu sampai sakit, Sayang."

Mega mengangguk seraya tersenyum. "Mega mandi dulu ya, Bu."

Hermelinda mengangguk dan kemudian Mega pergi ke kamar mandi. Sepuluh menit berlalu, Mega menyelesaikan mandinya. Iapun keluar dari dalam kamar mandi dan hendak menuju walk in closet.

Sebelum itu ia melihat sang ibu yang sejak tadi di kamarnya. Ternyata setelah ia lihat tidak ada, Mega segera memakai seragam sekolahnya.

Setelah memakai seragam dan sepatunya, seperti biasa ia memoles wajahnya dengan bedak tabur dan juga lipbalm. Mega menyambar tasnya yang ada di atas meja belajar lalu keluar dari kamar.

Mega berjalan menuruni anak tangga sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar lantai bawah mencari keberadaan kedua orangtuanya.

"Pagi, Non," sapa Asep, tukang kebun di rumah mewah itu.

"Pagi, Mang ... " Mega tersenyum. "Mang Asep lihat ibu sama ayah tidak?"

"Lihat, Non. Tuan sama Nyonya sudah berangkat baru saja. Katanya mau ke Bandara."

Mega menyurutkan senyumannya.

Mereka bahkan tidak bilang kalau mau berangkat sekarang?

Iapun pergi ke ruang makan. Di sana hanya ada Surti yang tengah membereskan piring kotor.

"Eh, Non Mega. Sarapan dulu ya. Tadi Nyo --"

"Iya, Bi. Aku sudah tahu kok," timpal Mega seraya duduk di kursi. Surti langsung terdiam kemudian pergi ke dapur untuk mencuci piring.

Sedangkan Mega menatap ke sekeliling ruang makan. Lalu membalikkan piringnya kemudian mengambil nasi dan lauk-pauknya.

Dari dapur, Surti membawakan segelas air putih dan juga susu hangat untuk Mega. Kemudian meletakkannya di samping piring yang sedang Mega gunakan.

Sepuluh menit berlalu, Mega telah menyelesaikan sarapannya.

"Bi, aku berangkat ya," pamit Mega setelah menghabiskan susunya.

"Iya, Non. Hati-hati dijalan ya."

Mega mengangguk seraya memakai tasnya kemudian pergi keluar rumah. Di depan teras, Madih telah menunggu Mega di dalam mobil. Setelah Mega masuk ke dalam, Madih pun melajukan mobilnya.

📎📎📎📎📎

Seorang laki-laki tengah duduk menghadap ke gerbang sekolah. Ia terlihat seperti sedang menunggu kedatangan seseorang.

Kemudian matanya langsung berbinar ketika melihat Mega turun dari sebuah mobil keluaran Eropa itu. Iapun seketika tersenyum menyeringai.

Ternyata selama ini aku baru tahu kalau Mega anak orang kaya. Buktinya dia bisa turun dari mobil mewah itu.

Tak banyak yang tahu, keluarga Mega adalah keluarga terpandang di kota ini. Ayahnya selalu menjadi tokoh utama dibalik layar di setiap event-event besar yang sering diadakan oleh Wali Kota.

Mega berjalan dengan santainya menuju sebuah koperasi yang ada di dekat parkiran motor. Ia berniat untuk membeli beberapa alat tulis yang ia pakai untuk ujian.

Sahrul bangkit dari duduknya kemudian menyusul Mega ke koperasi. Setibanya disana, Sahrul menyunggingkan senyum tipis saat melihat Mega sedang memilih alat tulis. Lalu tak sengaja ia melihat tumpukkan coklat di dalam raknya. Sahrul menghampiri coklat itu dan mengambilnya satu batang.

Kini Mega tengah berada di depan kasir hendak membayar alat tulis yang dibelinya itu.

"Jadi berapa, Bu?" tanya Mega pada wanita paruh baya yang menjaga kasir di koperasi tersebut.

"Jadi --"

"Bu, sekalian sama coklat ini ya," ucap Sahrul sambil menyodorkan coklat kepada penjaga koperasi itu lalu mengeluarkan dompetnya dari saku celana. "Biar gue yang bayar," sambungnya sambil mengalihkan pandangannya ke arah Mega yang berdiri di sampingnya. Wanita paruh baya itu tampak mengulum bibirnya karena menahan tawa dengan sikap Sahrul.

"Eh, Sahrul! tidak usah repot-repot!" Mega memekik. "Biar alat tulisku itu aku saja yang bayar," sambungnya menolak secara halus karena merasa tidak enak hati.

"Tidak apa, gue sengaja membelikan coklat ini buat lo. Lo sudah sarapan, kan? gue khawatir nanti lo pingsan lagi," timpal Sahrul dengan senyumannya yang menjadi moodboaster Mega pagi ini.

Mega merasa tidak enak karena menjadi sorotan di dalam koperasi itu, akhirnya iapun menerima coklat dan juga alat tulis yang dibelikan oleh Sahrul.

"Terima kasih banyak, Sahrul," ucap Mega dan Sahrul pun mengangguk.

"Jadi berapa Bu semuanya?" tanya Sahrul pada penjaga koperasi.

"Empat puluh ribu rupiah."

Sahrul membayarnya lalu memasukkan kembali dompetnya dan mengambil kantong plastik kecil berwarna putih itu dari atas meja.

"Ayok! mau gue antar ke kelas?" tanya Sahrul dengan sikap manisnya sambil menyodorkan kantong plastik itu kepada Mega.

Haduh, dilihatin anak-anak yang lain lagi!

"I-iya Sahrul," jawab Mega ragu-ragu lalu mengambil kantong plastik itu dari tangan Sahrul.

"Silahkan Tuan Putri," ucap Sahrul sambil membukakan pintu koperasi.

"Lebay banget deh Sahrul, emang siapa sih tuh cewek berani-beraninya menarik perhatian Sahrul!" gerutu salah satu siswi yang berdiri tak jauh dari Mega dan Sahrul.

Mega tidak memperdulikan ucapan siswi tadi, ia langsung berjalan keluar koperasi karena begitu malas mendengar para fans Sahrul.

"Sahrul kamu tidak usah bersikap berlebihan seperti tadi, aku merasa risih, maaf," ucap Mega hati-hati karena tak ingin melukai perasaan Sahrul.

Ya ... kalau bukan karena lo anak orang kaya gue sih ogah!

"Iya tidak apa-apa Mega, gue kan cuma menghormati lo sebagai wanita," sanggah Sahrul dengan nada santai sambil tersenyum palsu.

"Kalau begitu biar aku ke kelas sendiri saja ya, aku duluan Sahrul," pamit Mega lalu membalikkan tubuhnya dan Sahrul hanya terdiam sambil menghela napasnya saat Mega menolaknya.

"Mega, tunggu!" panggil Sahrul. Mega yang merasa dirinya di panggil pun langsung menghentikan langkahnya lalu menoleh.

"Iya, ada apa lagi Sahrul?" tanya Mega.

"Weekend ini ikut gue ke Dufan, yuk?" ajak Sahrul dan Mega terdiam sambil berpikir sejenak.

"Boleh," jawab Mega sambil menganggukkan kepalanya.

Yes, berhasil.

"Baiklah sampai bertemu nanti," ucap Sahrul kemudian membalikkan tubuhnya dan berlalu dari tempat Mega berdiri.

Mega mengernyit lalu terkekeh dan menggeleng pelan. Iapun langsung pergi menuju kelasnya.

📎📎📎📎📎

Waktu bergulir tak terasa begitu cepat. Ujian semester selama lima hari ini berjalan sangat lancar.

Selama ujian berlangsung pula Mega memilih memfokuskan pikirannya hanya untuk belajar, belajar dan belajar. Sesekali Hermelinda dan Adrian menghubunginya hanya untuk menanyakan kabarnya. Seperti malam ini, mereka melakukan video call seusai Mega makan malam.

"Ayah, Ibu ... besok teman Mega mengajak refreshing ke Dufan. Boleh ya Mega ikut?"

"Siapa temanmu? perempuan atau laki-laki?" tanya Adrian dengan wajah seriusnya. Mega tercekat mendapat tatapan tajam dari ayahnya.

"Co-cowok, Yah."

"Diantar pak Madih ya, Nak. Supaya kamu aman," sahut Hermelinda yang tampak khawatir.

Kalau menolak, ayah sama ibu pasti tidak akan mengizinkan.

"Iya Bu."

"Ya sudah, kamu istirahat ya. Kami juga nih sudah sore, Ayah dan Ibu mau mandi."

"Iya, bye Ayah, Ibu. Love you!"

"Love you too."

Panggilan video call pun berakhir. Ia melihat jam dinding yang terpasang di kamarnya telah pukul delapan malam. Perbedaan waktu Jakarta memang lebih cepat lima jam dari Belanda.

Mega merebahkan tubuhnya yang kemudian pergi ke alam mimpi.

📎📎📎📎📎

Pagi hari di kediaman Sahrul, kini ia telah siap untuk menjemput Mega. Sebelum itu, ia menghubungi Mega melalui WhatsApp untuk meminta share location rumahnya.

Setelah mendapat balasan dari Mega, ia memperhatikan peta yang dikirimkan oleh Mega.

Wah, ternyata rumahnya di kawasan perumahan elit. Ini sih lingkungannya orang-orang konglomerat.

Kemudian Sahrul melihat motor Ninja miliknya. Ia mengangkat sebelah alisnya.

Tidak terlalu buruklah kalau pakai motor ini.

Sahrul yang merasa cukup percaya diri, naik ke atas motornya, memakai helm full face kemudian berangkat.

Sementara itu di rumah Mega, dirinya sedang bernegosiasi dengan Madih.

"Pak, please ya ... aku sama Sahrul saja."

"Tidak bisa Non, maaf. Tuan sudah mewanti-wanti saya untuk menjaga Non Mega."

Mega menghela napasnya. "Ya sudah." Iapun kemudian masuk kembali ke dalam rumah dengan langkah gontai. Mega pergi ke kamarnya.

Sesampainya di kamar, ia duduk di tepi tempat tidur. Diraihnya ponsel yang ada di atas meja kecil itu lalu menyalakannya.

Kedua jempolnya dengan lincah mencari kontak Sahrul lalu menghubunginya.

Duh! Sahrul sudah dijalan sepertinya.

Hingga deringan terakhir, Sahrul pun menjawabnya. Mega menarik napasnya dalam-dalam.

"Hai, sudah di jalan ya?"

"Iya, ada apa Mega?"

"Sorry, sepertinya aku tidak bisa bareng kamu naik motor ... " ucap Mega dengan hati-hati.

"Lalu?"

"Kita ketemuan di Dufan saja ya."

"Baiklah."

"Bye, Sahrul."

"Bye."

Sambungan telepon pun terputus. Mega segera bersiap. Dengan hati yang bahagia, ia memakai pakaiannya seraya bersenandung lagu favorite-nya.

🎶Sampai kapan kan kau buktikan ... Tresno tulus yo mung kanggo awakku ... Sampai mati kan ku pastikan ... Mergo mung kowe sing tak tresnani tekane mati 🎶

Tak sampai lima menit, dirinya telah selesai dan siap untuk berangkat. Madih telah menunggu di depan teras rumah. Mega keluar dari kamar lalu sedikit berlari menuruni anak tangga.

"Bi, aku berangkat!" teriak Mega yang telah berada di ambang pintu masuk.

Mega masuk ke dalam mobil dan Madih pun melajukannya.

📎📎📎📎📎

Setelah setengah jam perjalanan Mega tempuh, kini ia telah sampai di Dufan. Mega turun dari mobilnya setelah sebelumnya Madih memarkirkan mobilnya terlebih dahulu. Kedua matanya langsung berbinar seolah ia baru keluar dari dalam sangkar emasnya.

Mega mencari keberadaan Sahrul di sana. Sedangkan Sahrul yang dari kejauhan melihat Mega telah sampai dan turun dari mobil mewahnya itu, Sahrul pun berjalan menghampirinya.

"Mega!" panggil Sahrul sambil melambaikan tangannya. Mega yang merasa di panggil namanya pun mencari ke sumber suara itu.

"Hei, Sahrul!"

"Pak, aku ke sana ya," pamit Mega sambil menunjuk ke arah Sahrul. Madih mengangguk sambil mengikutinya dari belakang.

Sahrul menatap heran saat melihat Madih berada berjalan sedikit jauh di belakang Mega.

"Hei, sudah lama ya? maaf," ucap Mega dengan nada yang sedikit manja.

"Tidak kok, yuk masuk. Oh iya, lo pegang ini," kata Sahrul sambil memberikan sebuah kartu yang bertuliskan PassDufan kepada Mega.

"Kamu punya dua ?" tanya Mega seketika Sahrul mengangguk.

"Satunya punya Bimo, soalnya dia tidak ada rencana ke sini lagi. Ya sudah akhirnya gue pinjam daripada tidak terpakai. Kan sayang sudah bayar mahal."

Mega mengangguk paham mendengar penuturan Sahrul. Kemudian Sahrul menarik tangan Mega untuk masuk ke dalam.

Sebenarnya Mega dan Madih juga telah punya kartu itu. Hanya saja, ia ingin menghargai Sahrul.

"Oh iya, daripada terlalu lama disin. Lebih baik masuk aja yuk ke dalam. Kita habiskan hari ini berdua!" ajak Sahrul dan Mega pun mengangguk cepat.

Keduanya pun saling tertawa, berteriak dan bercerita. Bagi Mega ini adalah hal terseru selama hidupnya setelah beberapa tahun terakhir ini tidak ia rasakan.

Walaupun ia memiliki harta yang melimpah dari kedua orangtuanya namun kebahagiaan seperti ini sulit sekali bahkan tidak pernah ia rasakan sejak ia menginjak masa remaja.

📎📎📎📎📎

Hari pun mulai sore, pihak Dufan pun telah memberi pengumuman kalau sebentar lagi akan tutup. Sahrul dan Mega pun langsung menuju ke parkiran.

"Lo senang tidak hari ini?" tanya Sahrul dan Mega mengangguk cepat.

"Senang sekali! Terima kasih ya, Sahrul," jawab Mega dengan senyuman tulus diwajahnya.

"Sama-sama," kata Sahrul tersenyum.

Kemudian keduanya terdiam. Tiba-tiba Sahrul meraih kedua tangan Mega dan posisi keduanya kini berhadapan.

"Mega, ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu."

"Apa itu?"

"Sejak lama gue jatuh hati sama lo dan lo satu-satunya cewek yang mampu menarik perhatian gue. Mengisi hari gue dan gue merasa kedekatan kita semakin kesini gue yakin kalau lo ada perasaan sama gue. Maka dari itu gue bisa ungkapin sekarang. Lo mau 'kan jadi pacar gue?" tutur Sahrul dengan raut wajah yang tampak serius.

Yaampun jantungku benar-benar tidak bisa dikondisikan! tenang Mega ... tenang ....

Mega yang memang merasakan hal yang sama. Merasa sangat bahagia. Namun, ia tidak langsung menerimanya. Mega ingin memastikan perasaan Sahrul terlebih dahulu.

"Apa kamu yakin dengan perasaanmu, Sahrul?" tanya Mega dengan hati-hati.

Sebenernya sih enggak! tapi demi acara ulang tahun besok. Semoga lo bisa bantu gue menang taruhan, Ga!

"Iya ... gue yakin Mega. Apa lo tidak melihat kejujuran dari kedua mata gue?" timpal Sahrul yang berusaha menyakinkan Mega.

Mega mulai menerka-nerka melalui tatapannya yang begitu lekat pada mata Sahrul. Mega menghela napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya angkat bicara.

"Iya ... aku mau jadi pacarmu, Sahrul," jawab Mega setelah mencoba percaya pada laki-laki yang kini ada di hadapannya.

Yes! semoga gue bisa mendapatkan uang itu!

Rona bahagia terpancar dari keduanya, kini Sahrul memberanikan diri untuk memeluk Mega.

Mega tersentak dan bingung saat Sahrul memeluknya. "Terima kasih, Mega! gue akan usahakan untuk buat lo bahagia," bisik Sahrul. Mega yang awalnya ragu, akhirnya membalas pelukan Sahrul.

"Sama-sama," kata Mega seraya tersenyum dalam pelukan Sahrul.

Semua orang berlalu lalang memperhatikan Mega dan Sahrul berpelukan di sana. Terlebih Madih yang diam-diam memotret Mega dan Sahrul untuk diberitahukan kepada Adrian.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!