Langkah itu mulai dipercepat. Gadis itu kemudian mengikat rambut sebelum menyambut uluran tangan dari seseorang. Selanjutnya, ia tersenyum sambil menepuk telapak tangannya. Jangan lupakan soal punggung tangannya yang digunakan untuk menyeka peluhnya.
Gadis itu berjalan maju di atas pick-up kemudian memukul pelan kepala mobil tersebut. “Maju!”
Ia menghela napas lalu duduk di antara beberapa barang yang dibawanya. Untung saja ia bisa bergerak cepat untuk naik ke mobil tersebut. Namun, ia tak bisa beristirahat begitu saja. Terlebih saat seseorang memberikan kertas padanya.
Ia segera melipat kakinya sertamenyelipkan anak rambut yang mengganggu ke belakang telinganya. “Semuanya udah siap ‘kan? Gimana soal make-up Alia lagi kosong ‘kan?”
Pria itu duduk di sampingnya. Ia kemudian melingkari salah satu tulisan pada kertas tersebut. “Kinan, tendanya roboh. Jeck bilang kemaren ada angin besar di sana.”
Kinanti lestari. Seorang pemiliki Wedding Organizer yang cukup sukses saat ini. Ia sudah berkali-kali mengurus pernikahan anak dari orang-orang penting. Namun, kisah asmaranya tak sesukses karirnya. Sudah berkali-kali ia menolak lamaran dari pria-pria kaya dengan alasan yang beragam. Dari mulai terlalu kaya, terlalu tampan, hingga terlalu baik. Itulah kenapa di usianya yang sudah menginjak 31 tahun, Kinan masih belum menikah. Padahal selama ini ia selalu mengurus pernikahan orang lain.
“Bilangin ke tim tenda, kita butuh bantuan mereka. Terus jangan lupa hubungin tukang bunga sama butik,” jelasnya, membuat Aldo mengangguk. Namun, sepertinya masalah Kinan tak berhenti cukup di situ saja. Pick-up yang membawa beberapa dekorasi tiba-tiba saja berhenti, membuat Kinan terpaksa beranjak untuk memeriksa.
“Mas, ada apa?”
“Gini néng Kinan, mobilnya téh mogok,” jawab supir tersebut dengan logat Sundanya. Tentu hal ini membuat Kinan
semakin stress. Apalagi acara pernikahan itu akan digelar besok dan ia harus menyelesaikan segalanya hari ini.
Kinan merogoh ponselnya dari saku. Ia kemudian mencari nomor seseorang lalu menghubunginya. “San, pick-up lo dipake gak?”
“Enggak kok, ada apa?” Kinan bisa bernapas lega setelah tahu jika ia bisa menyelesaikan masalah ini dengan mudah.
“Oke, kirim ke tempat gue boleh gak? Gue kirim alamatnya. Mobil gue mogok,” ujar Kinan kemudian mendapat persetujuan dari pria yang ia hubungi.
Menjadi seorang WO tentu membuat Kinan memiliki banyak koneksi. Inilah yang membuat Kinan cenderung memiliki solusi mudah untuk setiap permasalahannya. Bahkan tak jarang, Kinan meminta beberapa koneksinya untuk menggunakan jasanya agar bisa lebih dikenal banyak orang.
Kinan menahan umpatan yang hampir keluar dari mulutnya. Bagaimana tidak? Sebuah mobil melaju dengan cepat hingga membuat kubangan air yang ada di dekat Kinan, mengenai tubuh bahkan wajah gadis itu. Namun, mobil itu tak berhenti, membuat Kinan akhirnya mengingat nomor polisi mobil itu.
Aldo tertawa saat mendapati wajah Kinan terkotori. “Kin, punya masalah apa sih sampe cuci muka di air becekan?”
“Gue bukan cuci muka, tapi mandi,” kesalnya kemudian menyeka air kotor itu dengan sapu tangan miliknya. “Ngeselin banget tuh mobil. Sekarang gue harus ganti baju di mana coba?”
“Gitu aja biar keliatan lo itu penuh perjuangan,” ujar Aldo sambil menahan tawanya. Kinan memang atasannya. Namun, karena mereka pernah satu kelas saat SMA, Aldo memilih untuk tak bersikap formal pada Kinan. Bahkan Kinan juga meminta agar Aldo tak menganggapnya sebagai atasan.
Seorang pria menghela napas saat tak mendapati seseorang mengikutinya. Ia pikir orang itu akan mengejarnya. Ternyata tidak. Ia kemudian meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang. Namun, batrai ponselnya justru habis. “Kenapa harus habis pas lagi kayak gini coba?”
Bram Ari Pratama. Seorang CEO perusahaan properti yang saat ini justru terjebak di tempat yang tak ia kenali. Sudah hampir 2 jam ia menyusuri jalan. Namun, hingga detik ini ia masih tak menemukan alamat yang ia tuju.
“Gak mungkin saya nanya ke orang tadi. Yang ada kena marah nanti,” gumamnya. Ia benar-benar tak akan mungkin mundur dan bertanya pada orang yang tak sengaja terkena cipratan kubangan air karena mobilnya. Namun, ia juga tak mungkin tetap di sana. Terlebih karena ia tak menemukan ada warga yang lewat di sana.
Dengan menyingkirkan rasa malunya, Bram memilih untuk putar balik. Ia harus bertanya pada orang-orang itu agar tak tersesat lagi. Lagi pula tak ada salahnya meminta maaf meski terlambat.
Bram menghentikan mobilnya di dekat pick-up milik Kinan. Selanjutnya, ia turun tanpa rasa malu untuk menghampiri mereka. “Permisi, saya mau ke sini, jalannya ke mana ya?”
Aldo meraih kertas yang diberikan Bram ia kemudian menunjukannya pada Kinan. “Kin, lo tau tempat ini gak?”
Kinan mengerutkan dahi kemudian mengangguk. “Oh … ini tempatnya Pak kades. Bapak bisa belok kanan setelah jembatan.”
Bram bersyukur karena Kinan sama sekali tak sadar jika mobilnya sudah membuat gadis itu terciprat kubangan air. Hingga saat ia berterima kasih, Kinan meraih tangannya.
“Maaf, Anda yang memiliki mobil itu?” tanya Kinan dengan tatapan curiga. “Kenapa Anda tidak berhenti dan minta maaf?”
“Saya?” Bram berdecih. “Lagian siapa suruh berdiri di sana?”
Kinan hampir melayangkan bogem mentah pada pria itu. Namun, Aldo sudah lebih dulu menghentikannya. Bahkan bogem itu justru menengai pipi Aldo hingga membuat pria itu tersungkur.
“Al? Lo gapapa ‘kan?”
Memanfaatkan sitruasi, Bram mulai mengendap-endap untuk pergi dari sana. Namun, kaki Kinan sudah lebih dulu membuat Bram jatuh.
“Oh, setelah gak mau minta maaf, Anda mau pergi gitu aja?” Kinan meraih jas Bram lalu menariknya agar pria itu kembali berdiri.
“Butuh uang berapa?” Bram merogoh dompetnya kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang dari sana. Namun, hal ini sepertinya tak mengundang perhatian Kinan sama sekali. “Jangan so gak butuh, saya tau kamu butuh uang ‘kan? Makanya dipermasalahin.”
“Dengerin ya, Pak. Saya emang bukan sultan, tapi saya punya harga diri.”
Bram memutar malas kedua bola matanya. “Oke, saya minta maaf. Bisa lepasin saya? Saya harus ketemu sama pak Sulton.”
Kinan menyeringai. Ia lantas menatap Aldo tanpa melepas cengkraman tangan kanannya pada jas Bram. “Al, bagusnya gue apain nih? Dia udah bikin baju gue kotor terus gak malu buat minta tolong.”
“Kin, udah ah jangan gini.” Aldo mencoba untuk melerai. Namun, hal ini sepertinya akan sangat sulit. Terlebih karena Kinan sempat mengikuti ekstrakulikuler bela diri.
“Apa? Mau hajar saya? Silahkan,” ujar Bram dengan santai. Ia pikir Kinan tak akan sungguh-sungguh menghajarnya. Ternyata, gadis itu menginjak kakinya hingga Bram mengadu.
“Rasain tuh. Makanya jadi orang tuh biasain ngmong maaf.” Kinan berlalu, meninggalkan Bram yang masih mengaduh. Bagaimana tidak? Sepatu yang dipakai Kinan cukup keras.
Saya yakin gak ada cowok yang betah sama dia, batin Bram. Ia tak bisa bayangkan akan seperti apa pria yang menjadi pasangan Kinan nantinya. Mungkin hanya dalam hitungan bulan saja, pria itu sudah tinggal nama hanya karena melakukan kesalahan sepele.
******
Bandung, 16 Mar 2021
Salwaa RJ
Berkutat dengan banyaknya pekerjaan adalah hal yang sering Kinan rasakan. Ia bahkan bisa menghabiskan waktu seharian hanya untuk menyelesaikan segalanya.
Seperti saat ini, ia tengah sibuk membenahi tenda yang semalam rusak akibat angin besar. Dengan pekerjaannya, tentu membuat Kinan selalu sigap menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi. Termasuk soal tenda yang rusak atau masalah lainnya.
"Ya ampun itu anak gadis satu," gumam salah satu wanita paruh baya yang melihat langsung bagaimana Kinan mengatasi masalahnya. Namun, hal ini malah ditanggapi sinis oleh wanita paruh baya lainnya.
"Perawan tua dia mah." Sahutnya.
Memang perkataan itu bukan hanya satu dua kali Kinan dengar. Bahkan banyak yang mengatakan jika Kinan terkena guna-guna karena tak pernah mendapat jodoh meski usianya sudah menginjak kepala 3.
Kinan memilih turun. Ia memutuskan untuk merangkai bunga saja dibanding naik ke atas tenda. Namun, kakinya salah injak hingga akhirnya terjatuh. Untung saja seseorang menangkap tubuhnya.
Mereka saling bertatapan hingga akhirnya Kinan turun. Ia sungguh tak mengerti kenapa Aldo bisa menangkap tubuhnya dengan mudah. Padahal ia sangat ingat jika pria itu tengah sibuk dengan hal lain tadi.
Kinan, lo beneran gak tau soal perasaan gue? batin Aldo. Bahkan ia sudah memendam perasaannya sejak lama. Namun, ia tak punya keberanian untuk mengungkap. Apalagi Kinan punya kriteria tinggi untuk calon pasangannya.
"Al! Jangan ngelamun!" teriak Kinan, membuat Aldo segera menghampiri.
Bram menghela napas lega. Ia kemudian menghubungi seseorang saat sinyal ponselnya mulai muncul.
"Lia, saya udah ketemu sama pak Sulton." Tanpa basa-basi, Bram segera bicara. Ia tak mau membuang waktunya begitu saja.
"Beneran? Katanya gimana?"
"Katanya gak ada informasi soal Ayah kamu."
Berawal dari sebuah paksaan, Bram benar-benar harus menikahi gadis yang bahkan baru ia kenal selama tiga bulan terakhir. Gadis itu merupakan sekertarisnya.
Semuanya berawal sejak kesalah pahaman sang Ibu. Saat itu mereka tengah mengerjakan sesuatu. Hanya saja, suara Lia membuat sang Ibu merasa ambigu dan mengira sesuatu memang terjadi antara dirinya dan juga Lia.
Andai bukan karena paksaan, Bram pasti tak akan menikah dalam waktu dekat. Ia sudah melajang seumur hidup karena tak kunjung menemukan tambatan hati. Wajar saja, ia terlalu sibuk mengurus Perusahaannya.
"Baiklah, saya akan cari tahu lagi nanti." Bram meletakan ponselnya. Ia segera melajukan kendaraan, kembali menyusuri sebuah jalan sepi menuju jalan utama. Ia harap kali ini ia tak tersesat lagi. Terlebih akan sangat sulit untuk menemukan orang di sana.
...***...
Aldo duduk di samping Kinan. Ia memberikan sebotol minuman dingin yang baru saja ia beli. Bahkan ia juga sudah membuka tutup botolnya.
"Thanks ya," ujar Kinan sebelum meneguk minuman tersebut. Namun, belum juga terobati dahaganya, ponsel tiba-tiba berdering membuatnya harus segera mengangkat.
"Ada apa Moms?"
"Mam mom mam mom. Cepetan pulang!"
Kinan menjauhkan ponselnya saat sang Ibu mulai berteriak. "Apa lagi?"
"Anaknya jurangan beras udah dateng nih."
"Mah, emangnya sekarang zaman siti nurbaya apa? Kinan bisa cari cowok sendiri. Sekarang Kinan sibuk."
"Mau kapan? Kamu udah tiga satu sekarang. Mau nikah kapan?"
Pertanyaan pelik ini sungguh membuat Kinan muak. Entah sudah berapa ribu kali ia mendapat pertanyaan yang sama dari berbagai pihak. Hingga kalimat itu sungguh ingin Kinan hapus dari muka Bumi.
Mata Kinan tertuju pada Aldo. Mungkin jika ia meminta bantuan pria itu, ia tak akan mungkin didesak lagi untuk menikah dan dijodohkan dengan berbagai pria.
"Kinan udah punya pacar."
"Terus kapan pacar kamu ngelamar? Mama bener-bener pengen kamu cepetan nikah. Gimana kalo umur Mama bentar lagi?"
"Ish, ngomongnya sembarangan banget. Entar kalo di-aamiin-in gimana?" gurau Kinan yang tentu saja mendapat sebuah kata 'amit-amit' dari sang Ibu. "Udah dulu ya, Kinan masih sibuk nih."
Kinan menembuskan napas lega setelah memutus telepon itu secara sepihak. Ia malas jika harus mendengar ocehan sang Ibu soal pernikahan dan juga cucu. Bukankah tujuan hidup bukan seperti itu?
"Kenapa?" tanya Aldo saat Kinan kembali duduk di sampingnya dengan wajah kesal. "Disuruh nikah lagi?"
"Ih, lo cenayang ya?"
"Kenapa gak nikah aja coba? Tujuan lo ngebahagiain orang tua 'kan? Apalagi sekarang Bapak lo udah gak ada."
"Mau gimana lagi, Al? Gue kurang setuju sama cowok yang dipilih sama Mama. Masa ya, dia pilih cowok tua buat gue."
"Emangnya lo gak tua?"
Aldo segera mengaduh saat Kinan memukul kepalanya dengan botol.
"Seenggaknya yang beda 2 atau 3 taun lah. Yang dipilihin Mama umurnya beda 10 taun. Lebih parahnya lagi gue mau dijadiin istri kedua coba." Kinan memang masih fokus pada karirnya. Itulah kenapa ia sangat sulit untuk menemukan pria yang akan jadi pasangannya. Lalu, kekayaan Kinan sekarang sudah cukup untuk membuat para pria mundur.
Kinan menatap Aldo lalu menangkup wajah pria itu. "Lo jadi pacar pura-pura gue ya? Kalo ditanya nikah, bilang aja lagi nabung."
"Lo sehat?"
"Of course. Daripada gue terus didesak, mending lo bantuin gue. Janji deh naik gaji."
Aldo memang senang mendengar hal ini. Bukankah ini sebuah keuntungan untuknya? Meski hanya pura-pura, setidaknya ia bisa lebih dekat dengan Kinan.
Jentikan jari di hadapan wajah, membuat Aldo mengedipkan matanya. "Kenapa ngelamun? Lo mikirin utang?"
"Oke gue mau."
"Cuman di depan Ibu negara gue aja ya. Selebihnya kita tetep partner kerja," jelas Kinan, membuat Aldo segera mengangguk.
Kinan beranjak sambil mengedarkan pandangan. Semuanya sudah sangat sempurna tinggal makanan yang nantinya akan tersaji.
"Lo mau ke mana?"
"Periksa ibu-ibu yang masak," jawab Kinan. Memantau hal ini memang lebih menyenangkan. Kinan bisa mencicipi dan memastikan makanan-makanan itu sempurna.
"Boleh saya bantu?" tanya Kinan, membuat merekaa mengangguk.
"Néng, ngurus pernikahan terus, kapan nikah?"
Kinan memutar malas kedua bola matanya. Inilah satu alasan Kinan malas mempekerjakan orang terdekatnya. Namun, ia tak mau melihat para tetangganya tak memiliki pekerjaan. Itulah kenapa ia mempekerjakan para ibu-ibu di sana untuk urusan dapur.
"Nanti, Bu. Kinan masih sibuk banget sekarang." Berusaha tetap ramah. Ya, meski kesal, Kinan masih mempertahankan sikap sopannya. Ia tetap menjawab dengan santun meski pertanyaan itu pada kenyataannya cukup membuatnya kesal.
Kinan memang sering dielu-elukan sebagai calon menantu sempurna. Dengan paras cantik karena memiliki keturunan timur tengah, kecerdasan, serta kekayaannya, tentu membuat banyak orang tua ingin menjadikan Kinan sebagai menantu mereka. Namun, Kinan bukan tipe orang yang suka pada pria lebih muda. Ia ingin pria yang umurnya lebih tua darinya.
Kinan mencicipi salah satu makanan yang sudah jadi kemudian mengacungkan jempol. "Enak banget. Gak salah Kinan minta tolong ke ibu-ibu."
"Tapi, makanan yang ini susah," ujar salah satu ibu pada Kinan sambil menunjukan kertas berisi resep.
"Oh ... ini? Biar Kinan aja," ujar Kinan lalu melambaikan tangan pada Aldo untuk bergabung. "Bantuin gue, Al. Makanan western nih."
"Lagi? Ya ampun, masih aja ada."
*****
****Bandung, 20 Maret 2021****
****Salwaa RJ****
Kinan menghela napas seraya menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Setelah hampir satu minggu ia sibuk, ia bersyukur karena akhirnya ia bisa beristirahat.
Dering ponsel membuat Kinan segera meraihnya dengan malas. Ia yakin ini mungkin orderan selanjutnya. Bahkan ia merasa cukup muak dengan semua ini.
"Apa ini benar K's Wedding Organizer?"
"Ya, saya pemiliknya. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Kinan kemudian meraih buku catatannya. Bisa saja orang yang saat ini menghubunginya sedang membutuhkan jasanya.
"Bisa bertemu?"
"Kirimkan alamatnya, saya akan segera ke sana," ujar Kinan, membuat pria yang menjadi lawan bicaranya segera mengatakan tempat di mana ia berada.
Untuk beberapa alasan, Kinan merasa jika suara itu terasa tak asing baginya. Namun, ia segera mengenyampingkan hal itu sebab ia bertemu dengan banyak orang selama ini. Bisa saja suaranya sama, bukan?
Kinan segera menghubungi Aldo setelah sambungan telepon itu terputus. Namun, ia segera membulatkan mata saat mendengar ocehan seorang wanita dari seberang sana. Ia menatap layar ponselnya, memastikan jika ia tak salah menghubungi seseorang. Namun, nomor yang ia hubungi justru benar.
"Kinan, jauh-jauh dari Aldo. Kamu tuh gak pantes buat anak saya."
Kinan memijat pelan kepalanya. Ia sedang membutuhkan bantuan Aldo. Namun, sepertinya untuk saat ini ia tak bisa meminta bantuan dari pria itu. Padahal biasanya Aldo adalah orang pertama yang akan menemui klien.
Lain halnya dengan Kinan, saat ini Bram nampak bosan berada di butik. Sudah berjam-jam ia di sana hanya untuk melihat Lia mencoba berbagai gaun. Untuk pernikahan ini, sepertinya hanya Lia saja yang terlihat bahagia. Sedangkan Bram terlihat tak tertarik sama sekali dan memilih satu jas saja.
"Kamu udah hubungi WO yang aku kasih tau 'kan?"
Bram hanya berdeham sebagai jawaban. Ia merasa jika semua paksaan ini membuatnya muak. Namun, demi perusahaan ia rela melakukan semua ini. Ia tak mau perusahaannya jatuh pada sang Kakak hanya karena ia belum menikah.
Lia duduk di samping Bram. Namun, hal ini sama sekali tak mengganggu atensi pria itu. Bram hanya serius menatap beberapa pekerjaannya pada tab. "Mas, kamu beneran gak ketemu soal Ayah aku?"
"Saya udah usahain. Cuman belum ketemu. Besok saya akan ke sana lagi," ujarnya. Bram hanya ingin membuktikan jika Lia benar-benar cinta pertamanya. Ia bukan hanya ingin membantu Lia. Ia juga ingin mengetahui soal fakta itu.
Bram beranjak. "Udah selesai 'kan? Saya harus pergi untuk meeting. Untuk WO, saya yang akan menemuinya sendiri."
Lia tersenyum saat Bram sudah keluar dari butik itu. Ia juga sebenarnya tak terlalu senang soal pernikahan ini. Namun, harta keluarga Bram membuatnya gencar untuk mendapat cinta pria itu. Ia harap Bram tak akan pernah bertemu dengan Ayahnya agar sebuah fakta yang ia sembunyikan tak akan bisa diketahui.
Mas, aku bakal pastiin kamu gak akan berpaling, batin Lia diakhiri senyum kemenangannya.
...***...
Kinan sudah tiba di kafe yang diminta kliennya sebagai tempat pertemuan. Namun, hingga minumannya hampir habis pun, pria itu masih belum datang.
Kinan mencoba menghubungi kliennya. Namun, sayang sekali ia sama sekali tak bisa menghubungi calon kliennya.
"Jangan bilang gue diboongin, nih orang bener-bener, ya," kesal Kinan. Ia kemudian berniat untuk pergi. Namun, kehadiran Bram membuatnya memutar malas bola matanya. Apalagi saat pria itu duduk di meja yang sama dengannya.
"Maaf, saya terlambat."
Kinan melipat kedua tangannya dengan wajah kesal. Andai Aldo yang menemui pria itu, mungkin Kinan tak akan sekesal ini.
Bram meletakan kartu namanya. "Bram Ari Pratama, CEO AP Holding's."
Tak mau kalah, Kinan juga meletakan kartu namanya. "Kinan Lestari, Founder K's Wedding Organizer."
"Saya udah tau. Makanya saya mau kamu yang ngurus soal pernikahan saya dalam waktu satu bulan."
Kinan membulatkan mata saat mendengar pernyataan Bram. Bahkan biasanya ia menggunakan waktu dua bulan untuk mempersiapkan sebuah pernikahan. Apalagi ia yakin pernikahan Bram akan dilaksanakan dengan sangat mewah.
"Emangnya saya jin?"
"Itu tugas kamu. Intinya saya ingin persiapannya dilakuin selama satu bulan."
Kinan merasa kesal. Namun, sebisa mungkin ia menahan diri agar tak kehilangan klien. "Oke, kita bahas bayaran di muka."
Bram mengeluarkan cek dari sakunya. "Berapa pun yang kamu mau."
Dih, sombongnya, batin Kinan. Namun, ia tetap meraih cek tersebut kemudian mengisinya dengan nominal yang biasanya ia tetapkan.
"Oke, kamu bisa cairin ini dan apa kamu bisa mulai persiapannya besok?" tanya Bram, membuat Kinan menghela napas.
"Maaf ya, pak. Saya bukan robot dan butuh istirahat."
"Emang saya peduli?" tanyanya dengan dingin. Hal ini tentu membuat Kinan ingin sekali memukul pria itu untuk melampiaskan kekesalannya. Ia juga bukan seorang Bandung Bondowoso yang bisa membangun seribu candi dalam waktu semalam.
"Bisa jelaskan konsep apa yang bapak inginkan?"
Bram menopang dagu kemudian berpikir. Namun, detik berikutnya ia menggeleng hingga membuat Kinan memukul pelan dahinya. "Saya juga gak tau."
"Saya gak bawa katalog karena biasanya, pertemuan pertama cuman untuk bahas uang sama konsepnya. Terus hari selanjutnya, saya bakal tunjukin katalognya," jelasnya dengan menekan kata 'biasanya' agar Bram bisa mengerti. Namun, sepertinya hal ini tak membuat Bram mengerti.
"Kalo gitu kenapa gak liatin katalognya aja langsung?"
"Kalo mau ke kantor pusat sih gapapa," ujar Kinan. Ia pikir Bram akan menolak sehingga hari ini ia bisa menikmati hari liburnya. Namun, pria itu justru setuju begitu saja.
"Ngebet banget pengen nikah. Kenapa? Pacar Bapak udah hamil?"
Atensi seluruh kafe tertuju pada Kinan sekarang. Bahkan Bram sampai membulatkan mata karena terkaan Kinan.
Kinan segera meminta maaf dan memutuskan untuk meneruput kembali minumannya. Ia benar-benar malu sebab menjadi pusat perhatian tadi.
"Kamu pikir saya seberengsek itu?"
"Bisa jadi 'kan? Bapak pengen semuanya selesai cepet. Apa lagi kalo bukan buru-buru sebelum perut pacar Bapak keliatan gede?" tantang Kinan. Namun, hal ini justru membuat Bram segera menarik tangannya untuk meninggalkan kafe tersebut.
"Bisa gak sih gak kasar-kasar?" kesal Kinan.
"Habisnya kamu bikin saya malu. Saya udah bilang, saya gak seberengsek itu," ujarnya.
Kinan memperhatikan wajah pria itu. Memang dari wajahnya tak akan mungkin Bram melakukan hal yang tidak baik. Bahkan tatapannya terlihat sangat dingin. Bagaimana bisa Bram mendekati seorang wanita 'kan? Namun, itu tak mustahil terjadi. Bisa saja itu merupakan kesalahan satu malam yang dilakukan Bram karena mabuk.
"Gak usah jadi korban drama atau sinetron," ujar Bram seolah menerka isi kepala Kinan. Namun, gadis itu segera berdecih kemudian berjalan menuju mobil milik Bram. "Siapa yang bilang kamu boleh naik mobil saya?"
"Jangan so' so'an, nyasar baru tau rasa nanti. Emang tau jalannya ke mana?"
Tahan, Bram, cuman satu minggu aja. Yang penting pernikahannya beres dan Nenek bahagia, batinnya. Bagi Bram, kebahagiaan sang Nenek memang yang utama. Itulah kenala ia memilih untuk menerima perjodohan itu.
*****
**Bandung, 26 Mar 2021
Salwaa RJ**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!