"pagi semuanya" sapaku begitu tiba dimeja makan yang sudah ada papa, mama dan juga Bimo adik semata wayangku.
"duduk lah, makan sarapan mu". ucap papa sambil tersenyum.
"mama siapkan bekel buat kamu makan dikampus mau?" tawar mama yang tahu aku buru-buru.
"Lia sarapan dikampus aja ma, pa, Lia ada kuliah pagi hari ini" jelasku sambil mencium pipi papa, mama dan mengacak-acak rambut Bimo, kemudian berlalu pergi.
"Kak Lia...." teriak Bimo karena kesal rambutnya ku buat berantakan.
aku bergegas keluar menuju mobilku yang sudah siap ada di halaman rumah karena kemarin mang Ujang sudah kuberi tahu kalau pagi ini aku ada kuliah jam 7.30
"pagi mang" sapaku pada mang Ujang sambil ngeloyor masuk kedalam mobil
"pagi neng Lia, jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya" ujar mang Ujang yang melihatku terburu-buru.
aku hanya mangacungkan jempolku tanda setuju dengan ucapan mang Ujang. kemudian masuk ke dalam mobil dan melajukan nya dengan cepat ke kampus takut terlambat masuk kuliah.
setibanya diparkiran aku langsung menuju ruang kelasku tanpa memperdulikan sekelilingku.
"pagi Lia, sapa Mira sahabatku satu-satunya dikampus karena wanita yang lain dikelasku selalu memasang muka masam setiap melihatku. Entah kenapa begitu aku juga nggak tau, nggak mau tau tepatnya. Aku paling males ngurusin hal-hal unfaedah macam itu.
"Pagi juga Mira" sapaku balik dan duduk disebelah Mira.
"apa ini?" tanyaku pada Mira saat kulihat ada setangkai mawar merah, coklat dan kartu ucapan tergeletak diatas meja tempatku duduk.
"biasa dari salah satu fans mu" jawab mira sambil tersenyum jahil padaku.
"siapa?" tanyaku sambil menaikan satu alis.
"baca saja kartu ucapannya dan kamu akan tau itu semua dari penggemarmu yang mana". ucap Mira sambil menyodorkan kartu ucapan di hadapanku.
aku mengambil kartu ucapan dari tangan Mira, coklat dan juga bunga mawar diatas meja lalu ku berikan pada Mira tanpa melihat siapa pengirim semuanya. "ini semua untuk mu saja Mir, aku tidak membutuhkannya, kamu tahu kan kau tidak suka coklat dan bunga, aku sukanya bunga bank..." ujarku sekenanya.
"dasar cewe matre" celetuk salah satu wanita yang duduk tidak jauh dari aku dan Mira.
"kamu..." aku menarik tangan Mira yang sudah berdiri hendak memaki balik wanita itu, aku menggelengkan kepala meminta Mira tidak membuat keributan dan duduk kembali karena aku yakin sebentar lagi dosen mata kuliah Kriya Tekstil akan masuk keruang kelas, dan benar saja dugaanku.
"ada apa ini? kenapa kalian terlihat begitu tegang" "apa kalian terpesona pada gaya pakaian bapak hari ini? ucap dosenku kepedean, yang disambut terikan seluruh mahasiswa.
"sudah lah kalau kalian tidak mau mengakui ketampanan bapak, kita langsung saja masuk ke materi..." Dan kami semua kembali fokus pada penjelasan sang dosen dan melupakan yang sebelumnya terjadi.
Usai kuliah aku mengajak Mira menuju kantin untuk sarapan sebelum keperpustakaan untuk mengerjakan tugas mendesign pakaian dalam sambil menunggu jam kuliah berikutnya.
saat aku sedang asik mendesign tiba-tiba handphone ku bergetar, karena ku mode silent sebelum masuk kelas Kriya Tekstil , nama mama tertera dilayar handphoneku.
"Halo ma" ucapku saat mengangkat telphon
"Halo sayang, kamu dimana nak?" ucap mama dengan suara bergetar.
"Lia masih dikampus ma, ada apa? kenapa suara mama terdengar berbeda? apa terjadi sesuatu?" tanyaku penasaran
"Papa...Papa masuk ICU" jelas mama sambil terisak
"mama dimana sekarang?". "mama di RS XY". Tanpa pamit aku menutup telphon mama dan berlari ke parkiran kampus untuk segera menuju ke rumah sakit, aku melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi sialnya ditengah jalan macet...kota tempatku tinggal memang hampir selalu macet apa lagi di hari kerja, andai aku punya pintu kemana saja milik doraemon, aku nggak perlu selama ini untuk sampe di RS XY. satu setangah jam berlalu dan akhirnya aku tiba di rumah sakit. Aku langsung menuju ICU RS XY. disana aku melihat mama duduk seorang diri sambil menutup wajahnya, kulihat bahunya bergetar menahang tangis.
"mam, are you oke?" tanyaku sambil memeluk bahu mama. Bukan jawaban yang ku dapat kan melainkan isak tangis mama yang tertahan pecah dalam pelukan ku. Aku hanya diam memeluk mama memberinya waktu untuk menjelaskan apa yang terjadi sambil mengusap punggunya. saat ku rasa isak tangis mama mulai reda, ku beranikan diri memulai pembicara.
"mam, apa yang sebenarnya terjadi?" "Kenapa papa bisa tiba-tiba masuk ICU, bukankah tadi pagi papa baik-baik saja". "ma, jawab Lia ma" "Lia berhak tahu segalanya" ucapku karena tak juga mendapat jawab dari mama.
kulihat mama menghebuskan nafasnya dengan kasar dan mengusap jejak air mata di pipinya...lalu mulai menjelaskan apa yang menyebabkan papa sampai berbaring tak berdaya di ruang ICU.
"Papa kena serangan jantung saat tiba di kantor tadi pagi dan ini semua perbuatan om Anton, sahabat sekaligus kaki tangan papa mu selama hampir 20 tahun. Dia menjual semua asset perusahaan papa dan melarikan uang hasil penjualannya" jelas mama yang kemudian kembali menangis, aku hanya diam membisu tak mengerti bagaimana bisa semua terjadi dalam sekejap mata. "jika asset perusahan sudah dijual itu artinya papa bangkrut, jatuh miskin...tidak...tidak...ini tidak boleh terjadi, bagaimana kami harus membayar biaya RS ini? bagaimana dengan kuliah ku? bagaimana dengan sekolah adik ku Bimo?" rentetan pertanyan dalam benaku mendengar cerita mama. "Ya tuhan Bimo" "apa mama sudah memberinya kabar tentang papa?" "ahh sebaiknya Bimo tidak perlu tahu semua ini dulu, kasian Bimo lima bulan lagi dia harus menghadapi Ujian Nasional" pikir ku. "tapi bagaimana menyembunyikan semua ini dari Bimo?" pikiranku benar-benar tak menentu, kacau balau...rasa mau berteriak sekeras-kerasnya, meninju wajah om Anton....manusia sialan tak tau diri, kuharap kau membusuk dineraka selamanya. "ahhhhggh..." teriak ku akhirnya.
"Lia pelankan suaramu, ini rumah sakit" tegur mama, aku pun kembali duduk dan terdiam disebelah mama.
Ya tuhan, ujian apa ini...kenapa begitu berat dan mendadak (udah kaya tahu yang sempet viral aja). "apa yang harus aku lakukan sekarang?" "Om Bram, pengacara papa...aku harus telphon dia untuk minta penjelasan lebih lanjut dan langkah apa yang bisa kami lakukan untuk menyelamatkan semuanya" pikir ku
"ma, boleh aku pinjam Handphone papa?"
"untuk apa Lia?"
"Lia mau telphon Om Bram ma, buat bahas ini semua"
"Jangan sekarang ya sayang, nanti kita bahas lagi"
"tapi ma..." aku tak melanjutkan lagi permintaanku saat melihat gelengan kepala mama sambil menahan pecah lagi tangisnya, lalu hanya keheningan sampai saat dokter keluar dari Ruang ICU papa.
"Dok, bagaimana suami saya?" tanya mama begitu melihat dokter Imran, dokter yang biasa merawat papa saat kambuh sakit jantungnya atau sekedar medical cek up bulanan.
"Bapak masih belum sadarkan diri, kondisinya masih belum stabil, bisa dikatakan saat ini bapak dalam kondisi kritis, maafkan saya bu". ucap dokter Imran lirih dengan wajah lelah.
Tangis mama pecah untuk kesekian kalinya, matanya membengkak sedangkan aku hanya bisa meneteskan air mata dalam diam dan ketidak berdayaan ku. Sebagai seorang anak aku merasa gagal disaat seperti ini aku tidak mampu menolong keluarga ku dan hanya bisa berdiam diri.
"kapan papa akan sadarkan diri Om?" tanyaku spontan setelah mendengar penjelasan dokter Imran.
"Om juga tidak tahu kapan papa mu akan sadar dari komanya, karena saat ini harapan terbesar om, papa mu mampu melewati masa kritisnya dan memiliki semangat untuk bangkit dari rasa sakitnya" ujar om á
diikuti hembusan nafas beratnya.
"boleh saya menemani suami saya di ruang ICU?" pinta mama pada om imran. "tentu saja, mendengar suara ibu dan nak Lia mungkin hal itu bisa membangkitkan bapak dari komanya dan keluar dari masa kritisnya.
"walau bapak koma, indra pendengarannya masih berfungsi dengan baik, jadi saya sangat yakin bapak dapat mendengar setiap ucapan kita dialam bawah sadarnya".
tanpa banyak bicara lagi mama begegas masuk ke dalam ruang perawatan ICU, namun dihentikan suster jaga disana. "maaf ibu, sebelum masuk keruang ICU, ibu harus ganti baju dengan baju khusus ruang ICU, karena ruang ICU sangat steril" jelas suster jaga. mama hanya mengangguk. "masuknya gantian ya, satu-satu" ucap sang suster jaga saat aku dan mama hendak menuju ruang ganti, untuk mengenakan baju steril khusus ruang ICU.
"mama masuk lah lebih dulu, Lia tunggu diluar ya ma". ucapku sambil saat keluar dari ruang ganti yang dibalas anggukan kepala oleh mama. aku menuju jendela kaca agar bisa melihat papa dan mama dari luar ruang ICU. ku lihat mama mulai bicara dengan papa.
Di dalam ruang ICU
"mas, bangunlah...aku dan anak-anak membutuhkan mu, jangan biar kan Imran bersenang-senang diatas penderitaan kita mas". "ayo bangun" ucap mama lirih
"aku tahu kamu pasti kuat menghadapi ini semua, kamu adalah pria terhebat yang pernah ada dalam hidupku, kamu satu-satunya pria yang aku harapkan menemaniku menua" "bangun mas, ayo bangun" ucap mama sudah dengan derai air mata sambil mengguncang tubuh papa.
"mas, kasian anak-anak...aku tidak akan mampu mengurus mereka tanpa mu, aku cuma ibu rumah tangga yang terbiasa bergantung hidup dengan suamiku" "apa yang harus kau lakukan mas tanpamu?" "bangun lah mas, ku mohon". pinta mama lirih sambil kepalanya bertopang pada tangan papa.
melihat ini semua hatiku hancur, pria tampan diusianya yang mulai senja, pria yang merupakan cinta pertamaku, pria yang mengajariku tentang ketekunan, kegigihan dan semangat juang tanpa lelah sampai tujuan tergapai ditangan, kini pria itu berbaring tak berdaya di depan ku.Derai air mata tak bisa lagi ku hentikan untuk terus mengalir menyaksikan kepedihan diwajah mama, wanita tegar yang tak pernah menguleuh walau lelah mengurus kami semua.
aku memeluk mama erat saat mama keluar dari ruangan papa. "mama yang kuat ya, kita pasti bisa menghadapi ini semua". bisik ku pada mama. mama mengeratkan pelukannya padaku dan menarik nafas panjang. "masuk lah Lia temui papa, beri dia semangat untuk bangkit dan kuat menghadapi ini semua". "mama nggak sanggup kalau harus kehilangan papa" tangis mama lagi-lagi pecah setelah susah payah ia hentikan. aku hanya mengangguk, kemudian berlalu meninggalkan mama menuju ranjang dimana papa terbaring tak berdaya dengan selang di hampir seluruh tubuhnya.
"pa.." tangisku pecah dan aku tak mampu berkata apapun pada pria yang merupakan cinta pertamaku. aku berusaha keras menghentikan tangisku, "aku harus kuat, agar bisa menguatkan papa, mama dan juga Bimo" batinku, sambil ku usap air mata yang mengalir ke pipiku tanpa kompromi. lalu mulai ku genggam tangan papa berharap papa merasakan kehadiranku.
"pa, Lia tau papa bisa dengar Lia". "papa masih inget nggak, waktu Lia jatoh dari sepeda dan kaki Lia luka-luka kena aspal dan juga tangan Lia berdarah karena kena batu lancip yang ada diaspal. Lia nangis karena perih lukanya, papa bilang "jangan nangis sayang, setiap kamu jatuh memang sakit dan akan terluka, tapi kamu nggak boleh nyerah tetaplah berjuang dan teruslah belajar mengayuh pedal sepeda mu karena suatu saat nanti begitu kamu sudah terbiasa dengan sepeda roda dua mu kamu tidak akan pernah terjatuh lagi, walaupun kamu masih terjatuh terus lah bangkit karena ada papa di sini yang akan meniup dan mengobati luka mu hingga tak lagi terasa perih dan menyakitkan" celotehku sambil senyum mengingat kejadian konyol 12 tahun yang lalu.
"papa ingetkan siapa yang bikin Lia jatuh?". "itu semua gara-gara bule sialan yang tiba-tiba muncul gitu aja dari arah berlawanan tanpa aba-aba yang bikin aku kaget dan akhirnya jatuh dari sepeda, tapi sialnya melihatku tersungkur dan nyungsep dipinggir jalan bukanya menolongku dia malah tertawa terbahak-bahak". "tapi buka Lia namanya kalau tidak membalas perlakuan buruk orang pada Lia, Lia sudah membalasnya dua kali? lipat lebih menyakitkan dari yang Lia rasakan" celotehku sambil tertawa.
"sekarang ayo bangun papa, kita balas perlakuan om Anton pada papa, papa nggak boleh nyerah dan mengaku kalah sama om Anton, seperti pesan papa pada Lia, harus terus bangkit walaupun terjatuh berkali-kali". ucapku memberi semangat sambil menggenggam tangan papa. kemudian keluar dari ruangan karena handphone ku terus bergetar.
begitu keluar dari ruang ICU papa, ku lihat mama sedang bicara serius dengan seorang pria di ujung koridor rumah sakit. "mama bicara dengan siapa? kenapa serius sekali" batinku sambil berjalan mendekati mama.
ternyata om Bram, pengacara papa. Orang yang dari tadi sangat ingin ku ajak bicara tapi tidak diizinkan mama. Dengan semangat aku berjalan mendekati mereka.
"Jadi semua disita oleh bank, termasuk rumah yang kami tinggali saat ini...." belum selesai kalimat mama sudah ku potong karena terkejut mendengar pembicaraan mereka.
"Rumah disita, lalu kami tinggal dimana om?" mereka berdua melihat kearahku saat aku bertanya.
"Lia, sejak kapan kamu disini sayang?" ucap mama sambil menggenggam tanganku.
"jawab om? jelaskan pada Lia apa yang sebenarnya terjadi?" ujarku tanpa memperdulikan pertanyaan mama.
"maafkan om, Lia". "Om juga tidak bisa berbuat apa-apa semua bukti kepemilikan dan pemindahan harta dan kekuasaan sah dimata hukum dan tidak ada cacatnya kecuali bapak Aghata bisa sadar dari koma dan memberi kesaksian bahwa dia dijebak oleh Anton" jika tidak, kasus ini benar-benar tidak ada celah untuk dibawa ke ranah hukum".
"Bank membari kalian waktu maksimal satu bulan untuk mengosongkan rumah". jelas om Bram lagi.
"apa om, satu bulan?". "lalu kami harus tinggal dimana?" tanyaku tak berdaya.
"kalian tidak perlu khawatir, bapak punya sebuah villa yang dulu dibelinya tapi menggunakan nama mu Lia". ucapan om Bram seperti oase ditengah padang pasir. "itu adalah satu-satunya milik bapak yang tidak disita bank, karena membelinya menggunakan uang dari rekening pribadi yang bapak buat juga atas nama nak Lia". "rekening atas namaku?" gumamku yang masih terdengar om Bram.
"iya nak, sejak kamu lahir bapak membuat rekening pribadi atas nama mu yg tiap bulannya 5% dari penghasilan bapak disetorkan secara tunai kerekening tersebut oleh asisten pribadi bapak atau sekretarisnya, sehingga pihak pengadilan tidak bisa menyita villa itu". jelas om Bram panjang lebar.
aku dan mama hanya pandang-pandangan dalam diam mendengar penjelasan om Bram, rasanya benar-benar tak bisa dipercaya papa mempersiapkan ini semua seakan-akan tahu suatu hari nanti akan ada musibah yang menyulitkan kami sekeluarga. "apa papa tau niat om Anton sejak lama?" pikiran ku mulai berkelana dan getaran handphone menyadarkan ku dari lamunan.
"Halo kak Lia, mama dimana? kenapa tidak ada dirumah? tidak biasanya mama pergi tanpa ada yang tau" "jawab kak, jangan diam saja". crocos Bimo ditelpon tak membariku kesempatan bicara.
"Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan mu?, kamu bertanya seperti polisi sedang mengintrogasi seorang penjahat...begitu banyak pertanyaan tanpa memberiku waktu untuk menjawab sedikit pun, lalu mengeluh aku diam saja...Huufft". gerutu ku sambil menghembuskan nafas.
"oke, maaf" "sekarang jawab lah pertanyaanku dimana mama? kenapa bi Minah bilang mama pergi dengan mang Ujang tergesa-gesa setalah menerima telphon tanpa memberi tahu bi Minah mama mau kemana" crocosan Bimo lagi dan lagi, anak ini memang kalau sudah buka suara sulit sekali berhenti bicara.
"kalau mau ku jawab pertanyaan mu, diam lah dulu" pintaku pada Bimo.
"Hhhmm.." gumam Bimo
"mama bersama ku di RS XY, papa kena serangan jantung dan sekarang di ICU kondisinya kritis masih belum sadarkan diri". jelasku pada Bimo.
"Jangan bercanda kak, aku serius ini" keluh Bimo mulai gusar.
"Aku tidak bercanda Bimo Agatha Wicaksana" ucapku pada Bimo, membuat Bimo berteriak histeris di ujung telphon.
"Bohong....aku tidak percaya semua ucapan mu kak" "kakak hanya bercanda kan?". teriak Bimo berharap semua tidak benar. "sesungguhnya aku pun berharap demikian, semua hanya mimpi dan kebohongan belaka". ucapku lirih pada Bimo.
"Kamu ke RS XY sekarang biar mang Ujang menjemput mu, ada banyak hal yang mau kakak beri tahu pada mu" pintaku pada Bimo sebelum menutup telphon mengakhiri pembicaraan. lalu aku mendekati mama yang masih duduk termenung disebelah om Bram.
"mam, mama pulang lah dulu dengan mang Ujang, biar malam ini Lia yang menjaga papa" mohonku pada mama. tapi mama menggelengkan kepalanya.
"ma, istirahatlah dulu di rumah...papa akan baik-biak saja" jelasku berharap mama mau pulang, lagi-lagi dibalas gelengan kepala oleh mama. akhirnya om Bram buka suara membantuku meminta mama pulang untuk istirahat karena di rumah sakit pun tak ada yang bisa mama lakukan.
"Baiklah mama pulang dulu kalau begitu, mama akan kirim baju dan juga makanan untuk mu". ucap mama sambil mengecup keningku dan kemudian berlalu usai memeluk ku.
aku melihat tubuh mama yang mulai menghilang di koridor rumah sakit. Ada rasa gundah dan khawatir mama tak mampu melalui ujian ini semua. "Hhhffft..." tarikan nafas ku membuat om Bram bersuara dari diamnya.
"kenapa nak?" "Bersabarlah tidak ada badai yang berlangsung selamanya" "selalu ada pelangi usia badai, yakin lah" hibur om Bram sambil merangkul pundak ku.
Om Bram memang sudah seperti ayah kedua bagiku, sayang anak Om Bram juga wanita andai Pria mungkin kami akan dijodohkan kedua orang tua kami, karena selain hubungan kerja mereka juga sahabat dari SMA, itu sebabnya om Bram pun kaget mendengar berita om Anton menghianati papa.
"ada yang mau om Bram katakan pada mu dan juga menyerahkan beberapa berkas pada mu" ucap om Bram sambil mencari-cari berkas dalam tas jinjingnya.
"Ada apa lagi Om?" "apa ada hal buruk lainnya yang mama tidak boleh tahu?" tanyaku mulai khawatir.
"tidak nak, ini sertifikat villa atas namamu sekarang om serahkan pada mu". aku pun menerima sertifikat villa itu dan juga menandatangani berkas tanda sudah menerima sertifikat villa. aku hanya melamun menatap sertifikat villa yang entah karena alasan apa disiapkan papa untuk ku.
"kenapa nak? wajah mu nampak tak senang menerima pemberian papamu".
"bukan begitu om, cuma heran kenapa papa bisa kepikiran membelikan villa atas nama ku?" "apa papa jangan-jangan selama ini sudah membaca niat buruk om Anton ya om Bram?".
"yang om tau saat papa mu memutuskan melakukan ini semua dia bilang tidak ada kejayaan yang kekal, maka ia ingin memastikan anak dan istriku tidak sengsara saat hal buruk menimpanya ataupun perusahaan". cerita om Bram padaku.
"satu lagi villa itu sudah siap huni di dalamnya sudah ada perabotan dan juga penjaga yang slalu membersihkan villa itu jadi kalian bisa kapan pun masuk ke villa itu, walaupun villa itu tak sebesar dan luas rumah yang kalian tempati saat ini tapi villa itu sangat nyaman untuk ditempati dan juga lebih dari cukup untuk kalian tinggali dan ini satu lagi kunci mobil plus STNK dan BPKBnya, ini pun atas nama mu". ucap om Bram sambil menyerahkan kunci mobil Honda City dan berkas²nya.
"Om ini, baru dibeli beberapa bulan lalu? memang tidak kena sita?" tanyaku heran.
"Tidak karen ini dibeli atas nama mu dari rekening Pribadi mu yang bapak bikin bertahun-tahun lalu". "ini buku tabungan dan ATMnya, pin ATMnya tanggal lahirmu. Didalamnya masih ada sisa beberapa milyar, bisa untuk pengobatan bapak dan juga untuk biaya kuliah mu dan juga Bimo".Jelas om Bram.
lalu aku membuka buku rekening tersebut. "Ternyata benar isinya ratusan juta, memang cukup untuk biaya kuliah ku dan Bimo tapi bagaimana dengan biaya rumah sakit papa? ruang ICU pasti membutuhkan uang banyak. tapi kuliah ku sebentar lagi selesai tinggal 3 semester lagi jika tidak ku lanjutkan sayang sekali. ijazah itu bisa ku gunakan untuk mencari pekerjaan agar bisa memenuhi kebutuhan mama dan juga Bimo karena aku tidak tau sampai kapan papa di ICU, ya Tuhan apa yang harus aku lakukan?". pikiran ku sudah kacau tidak karuan.
"Kenapa nak, kamu terlihat gusar?" tanya om Bram melihat kegundahan hatiku.
"aku bingung Om apa yang harus aku lakukan, biaya ruang ICU papa pastilah tak murah, kantor papa pasti tidak akan membayar biaya rumah sakit untuk merawat papa kan om?" tanyaku lirih. om Bram hanya menganggukan kepala tanda benar apa yang aku ucapkan.
"Itu Bimo datang, bicarakan lah masalah ini dengan adik mu bagaimana baiknya". "Om pamit dulu, besok om akan mampir kesini lagi".ucap om Bram sambil berdirj dan menghampiri Bimo untuk pamit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!