Zee menangis di pelukan sang nenek, didepan pemakaman kedua orang tuanya, di usia yang masih terbilang muda di umur 8 tahun Zee harus kehilangan kasih sayang ayah dan ibunya.
Zeevanya Larasati nama lengkapnya, dia tak tahu bagaimana kematian itu bisa menjemput ayah dan ibunya. Yang ia tau Paman Akbar sudah membawa jasad kedua orang tuanya pulang dari kota entah apa yang terjadi pada mereka. Dan sekarang ini sang nenek sudah membawa Zee telat berada di depan kedua batu nisan tempat ayah dan ibunya, tempat dimana kedua orangtuanya beristirahat mereka selama-lamanya.
Zee membawa bunga tulip kesukaan ibunya meletakkannya di atas makam ibunya sambil terisak. Tak ada sanak saudara yang hadir di pemakaman, tak ada tetangga pula yang hadir disana hanya ada Zee dan sang nenek. Entah karena rumahnya yang terpencil jauh dari kota atau memang ia merasa tak pernah punya tetangga.
"Ayo Zee kita pulang!" ucap sang nenek merangkul bahu Zee dan membawanya untuk beranjak pergi dari sana.
"Zee masih mau disini Nek." ucap Zee sambil terisak membelai batu nisan ibunya.
"Hari mulai gelap nak, sebaiknya kita pulang besok kalau kau mau kita kesini lagi." ucap nenek.
Akhirnya Zee menuruti perintah sang nenek meski berat ia melangkah dan selalu menoleh kearah makam ayah dan ibunya ia tetap melanjutkan perjalanan pulangnya.
***
Zee tinggal di sebuah perkampungan kecil yang jauh dari kota meski sang ayah bekerja di kota namun Zee tak pernah pergi ke kota. Meski ibunya pernah berkata sang ayah pernah membawanya ke taman ria di kota sewaktu kecil dulu tapi Zee tak pernah merasa mengingat nya, sampai kematian menjemput kedua orangtuanya pun Zee belum kesampaian pergi ke kota bersama mereka.
Zee sedang berayun di halaman sekolahnya, sekolah dasar yang hanya punya murid lima puluh orang itu sangat lah sepi.
"Hai Zee, mau makan siang denganku?" ajak Lia seorang anak sebaya dengan Zee , hanya Lia yang mau berteman dengan Zee karena menurut yang lain Zee terbilang anak yang menakutkan dengan kesendirian nya.
"Mmmm aku tidak lapar." sahut Zee.
"Baiklah aku akan makan disini saja, boleh yak?" tanya Lia.
Zee mengangguk, melanjutkan berayun sambil memandang ke arah taman di sekolahnya.
"Mau roti sandwich tuna buatan mamaku?" Lia menyodorkan bekalnya pada Zee.
"Tak usah, kau makan saja, tadi kan ku bilang aku tak lapar." sahut Zee menolak bekal Lia dengan sopan.
"Baiklah kalau begitu aku makan ini semuanya." Lia langsung melahap sandwich tunanya itu.
"Meong... meong... meong..."
"Apa kau mendengarnya Lia?" tanya Zee.
"Iya suara kucing kan, seperti nya masih anak kucing, Nah itu terdengar tak jauh dari sini." sahut Lia.
"Aku akan mencarinya." sahut Zee turun dari ayunannya.
Zee mencari asal suara kucing itu dan akhirnya menemukan seekor anak kucing berbulu hitam yang tersangkut dalam parit selokan.
"Uhg kau bau sekali." ucap Zee setelah berhasil mengangkat anak kucing itu keluar dari parit.
"Kau mau kemana Zee?" tanya Lia.
"Aku akan membawanya pulang."
"Sekolah belum usai kan?"
"Apa menurutmu aku boleh membawa dia ke dalam kelas?"
"Tentu saja tidak, Bu Aaron pasti akan menghukum mu hahahaha."
"Kalau begitu, sampaikan salam ku pada Bu Aaron."
Ucap Zee tersenyum lalu berlalu menuju sepedanya sambil menggendong anak kucing hitam itu menuju rumahnya.
"Ah dasar kau Zee... habis lah aku di beri pertanyaan oleh Bu Aaron." gerutu Lia.
Zee membawa sepeda ke sekolah karena jarak rumahnya kesekolah agak jauh dan tak ada angkutan umum yang melewati perkampungan nya.
"Tenang pus kecil, diam lah jangan bergerak, jangan mencakar ku, nanti kau bisa membuat kita jatuh."
ucap Zee sambil mengendalikan laju sepedanya yang mulai tak stabil.
Tin..tin... tin ... tin...
Suara klakson mobil itu mengejutkan Zee ditambah dengan kilatan lampu yang menyilaukan mata Zee, membuat Zee oleng tak bisa mengendalikan sepedanya sehingga mobil Van yang muncul dari arah depan nya Zee menabrak Zee jatuh.
BRAK.....!!!
Zee tersungkur ke tanah, kepalanya membentur batu besar di tanah itu mengeluarkan darah segar dari tempurung belakangnya. Hidung dan telinganya juga mengalirkan darah segar, tubuh Zee menggelepar sampai akhirnya terdiam tak sadarkan diri. Kedua tangannya masih mendekap kucing kecil berwarna hitam itu melindunginya dari tabrakan maut tadi.
Seorang wanita membuka pintu mobil dan turun melihat Zee sekilas.
"Bagaimana ini, kita harus menolong anak itu?" ucap seorang wanita yang panik sambil mondar - mandir menggigiti kukunya.
"Sudah lah ayo kita pergi tak ada yang melihat kita." ucap seorang pria dari dalam mobil Van itu dengan penuh kepanikan.
"Tapi..."
"Tak ada tapi tapi, cepat lah aku tak ingin berurusan dengan pihak berwajib, apa kau mau dipenjara?"
Wanita itu menggeleng ketakutan lalu masuk ke dalam mobil Van itu menutup pintu mobilnya yang langsung melaju meninggalkan Zee yang terkapar tak berdaya sampai menghembuskan nafas terakhirnya.
***
Keesokan paginya.
"Aaaaaaaaa... " Zee terbangun di kamarnya dan langsung bercermin menatapi semua bagian tubuhnya menyentuh tempurung kepalanya yang masih baik-baik saja tak terluka.
"Ada apa sayangku?" tanya sang nenek menghampiri Zee.
"Nek apa yang terjadi padaku?"
"Tak ada yang terjadi Zee, apa kau bermimpi?" tanya sang nenek.
"Aku tidak bermimpi nek, kejadian kemarin itu nyata." Zee langsung berlari mencari sepedanya dan menemukan sepedanya telah remuk di gudang belakang rumahnya dengan sang nenek mengikutinya.
"Ini, aku tak bermimpi kan nek?" ucap Zee menunjuk sepeda nya yang hancur.
"Meong..."
"Nah itu, itu kucing hitam itu, bagaimana bisa dia ada disini? aku tak bermimpi nek, kemarin aku tertabrak sebuah Van dan mati."
Nenek Amelia hanya terdiam memandang Zee, lalu masuk kedalam rumah.
"Kita harus pindah dari sini." ucap sang nenek.
"Nenek belum menjawab pertanyaan ku malah bilang kita akan pindah, apa yang sebenarnya terjadi nek?" Zee mengguncang bahu neneknya itu.
"Jaga kelakuanmu nona muda tak sepatutnya kau memperlakukan nenekmu seperti ini."
"Maafkan aku nek aku hanya merasa sangat bingung." ucap Zee sedih.
"Kemasi barang-barang mu sekarang, kita akan pindah!"
"Tak bisakah aku berpamitan pada Lia?"
"Tak usah, jangan kau temui siapapun disini lagi!" Nenek Amelia masuk ke kamarnya mengeluarkan koper besar dari sana.
Rupanya sang nenek sudah berkemas dengan rapih sebelumnya dan memasukkan koper besar itu ke atas mobil pick up nya. Nenek Amelia juga merapikan beberapa barang dan menaikannya ke mobil.
"Cepat lah Zee waktu kita tak banyak." ucap nenek Amelia.
"Apa aku boleh membawa kucing itu?" tanya Zee.
"Kau memang harus membawanya, karena dia penjagamu."
"Maksud nenek?"
"Sudah lah nanti akan nenek jelaskan di perjalanan, kita harus segera pindah dari sini."
Ucap Nenek yang masih sibuk merapikan semua barang-barang yang hendak dia bawa pindah.
***
Bersambung...
Happy Reading... semoga suka 😘😘
Cerita ini hanyalah fiksi karangan author semata yak... 😊😊
***
Zee memandangi rumah masa kecilnya itu untuk yang terakhir kali dari mobil pick up yang dia naiki. Sang nenek melajukan mobil itu untuk berpindah ke kota lain jauh dari situ.
"Kita mau kemana nek?" tanya Zee menghisap susu coklat kotaknya dengan sedotan sambil mengelus kucing kecil hitam di pangkuannya.
"Ke Kota Sunflower." ucap sang nenek masih dengan fokus ber konsentrasi menyetir.
"Tidakkah itu terlalu jauh nek?" tanya Zee.
"Kurasa sudah saatnya kau tau sesuatu tentang keluarga kita." Nenek Amelia tersenyum.
Sekitar dua jam perjalanan sang nenek memutuskan berhenti di suatu kedai di rest area.
"Kenapa berhenti disini Nek?" tanya Zee penasaran.
"Makanlah isi perutmu dulu!" ucap sang nenek membawa Zee ke dalam kedai.
"Hai, selamat siang selamat datang di kedai kami, maaf kau tidak boleh membawa hewan apapun masuk kedalam kedaiku." sapa wanita berambut pirang itu menunjuk kucing hitam yang Zee gendong.
"Umm baiklah, aku akan meletakkan nya di mobil." ucap Zee lalu kembali ke mobilnya yang terparkir di halaman kedai dan meletakkan kucing itu disana.
"Kau disini dulu ya, nanti aku kembali membawa makanan untukmu." ucap Zee sambil mengelus kucing hitam itu dan mengunci pintu mobilnya.
BRUK...!!
"Kau tak punya mata apa ..!!" seorang anak laki-laki menabrak Zee.
"Kau yang menabrak ku, kenapa kau memarahiku huh." sahut Zee kesal.
"Theo... ayo sayang kita pergi!" seorang wanita cantik dengan tubuh ramping sempurna memanggil anak yang bernama Theo itu.
"Sebentar mommy, ada urusan yang harus ku selesaikan." sahut Theo menahan tangan Zee segera.
"Kau harus mengganti mainan ku yang jatuh ini..!" Theo mengambil mobil mainan dari kayu yang jatuh ke tanah.
"Lihat, patah kan...? makanya kalau jalan pakai mata...!" ucap Theo.
"Hahaha sejak kapan manusia berjalan pakai mata, binatang saja berjalan menggunakan kaki." tawa Zee menepis genggaman tangan Theo.
"Theo ayo lekas..!"
"Okay mommy.... Dasar aneh kau awas kalau kita bertemu lagi...!" Theo pergi meninggalkan Zee di parkiran kedai menuju mobil nya.
"Dasar bocah dungu, tunggu, apa ini?" Zee mengambil patahan mobil mainan anak tadi yang masih berada di tanah.
"Seperti pintu mobil mainannya tadi, hah dia pasti mencari ini, sebaiknya aku sembunyikan biar tau rasa." Zee menyimpan patahan mobil mainan itu ke sakunya lalu kembali ke dalam kedai.
"Kenapa kau lama sekali Zee?" tanya sang nenek.
"Aku bertemu dengan anak aneh diluar sana dia yang menabrak ku dia yang memarahiku." jawab Zee kesal sambil menusuk omelet telurnya dengan garpu dan melahapnya.
"Dasar kau ini, nanti kita istirahat sebentar, di samping kedai ini ada penginapan, kita lanjutkan perjalanan kita malam nanti."
"Kenapa harus malam nek?"
"Agar tak terlihat orang lain."
"Aku masih tak mengerti maksudnya kenapa kita tak boleh terlihat orang lain."
"Sudahlah Zee habiskan dulu makananmu nanti malam saja Nenek ceritakan."
Nenek Amelia memberi tatapan tajam pada Zee.
***
"Kucing ini lapar sekali rupanya." Zee membelai kucing kecil itu di dalam hotel kecil yang sudah nenek pesan. Nenek Zee sudah terlelap pulas di samping Zee.
"Kira-kira aku memberi namamu apa ya?" Zee menggelitik kucing kecil itu.
"Hentikan...!"
"Ah suara siapa itu?" Zee menoleh ke neneknya tapi masih terlelap lalu dia mencari sekeliling ruangan itu.
"Siapa itu?" tanya Zee.
"Aku ada di hadapanmu?" ucap suara itu
"Di hadapan ku?" Zee menatap ke arah kucing hitam kecil dihadapannya.
"Apa kau yang bersuara pus?" tanya Zee pelan menghampiri kucing itu.
"Menurutmu, siapa lagi yang ada disini selain aku dan nenekmu?"
Kali ini Zee jelas melihat dan mendengar kucing itu dapat bersuara.
"Ka ka kau ... tak mungkin kau berbicara padaku."
Brag.... Zee pingsan tak sadarkan diri jatuh ke lantai.
***
Zee mendapat tepukan di pipi dari sang nenek. " Kenapa kau tidur di lantai?" tanya sang nenek.
"Ah... dimana kucing itu Nek?" Zee langsung terbangun dan mengamati sekeliling mencari kucing hitam itu.
"Aku disini." sahut kucing itu.
"Lihat Nek, lihat dia bisa berbicara."
Kucing hitam itu kini sudah berada dipangkuan sang nenek dan membelainya.
"Nek jauhi dia, jangan-jangan dia monster Nek." pekik Zee.
"APA..? aku monster? hahaha aku yang selucu ini kau bilang monster?" kucing itu menggeliat manja di pangkuan nenek.
"Tak apa Zee, dia lah penjagamu saat ini." sahut Nenek membelai kucing itu.
"Penjagaku?"
"Iya, setiap anggota keluarga kita akan punya penjaga berupa binatang, dan kucing inilah penjagamu, seperti Maya Kucing yang menjaga ibumu."
"Maya..?"
Ya Zee ingat kucing yang berwarna oranye yang selalu bersama ibu nya dulu, meski kucing itu menghilang kini tepat di saat ibunya meninggal.
"Lalu kemana Maya sekarang menghilang Nek?"
"Maya sudah mengorbankan nyawanya untuk ibu mu dia sudah pergi bersama ibu mu."
"Apa aku harus mengorbankan nyawa untuk anak perempuan ceroboh ini huh tak rela rasanya." sahut kucing itu.
"Ih siapa juga yang mau kau jaga, kucing kecil hitam jelek seperti mu, dasar tak tau balas Budi, jelas-jelas aku yang menolong mu dulu." sahut Zee kesal.
Kucing itu meregangkan tubuhnya pura-pura tak mendengar Zee.
"Lalu dimana penjaga nenek?"
"Dia... dia sudah mengorbankan nyawanya untuk nenek, dan nenek hanya punya satu nyawa lagi untuk hidup." Nenek Amelia meneteskan air mata karena ia mengingat Loui ****** penjaganya dulu.
"Jadi kucing jelek ini penjaga ku ya, hmmm kau harus mengikuti ku mulai sekarang, ku beri nama blacky." Zee menahan tawanya.
"Enak saja, namaku Blue, ayahku yang memberi nama itu." ucap kucing itu.
"Bbbuuaaahh blue itu kan biru, ayahmu buta warna yak hahahaha." tawa Zee makin pecah.
"Jangan kau hina ayahku dia sudah mengorbankan nyawanya untukku, dia rela tertabrak motor dan melempar ku ke parit saat itu." ucap Blue sedih.
"Oh maaf aku tak bermaksud... lalu dimana ibumu?"
"Manusia membawa nya pergi entah kemana bersama dua saudaraku, saat aku lahir aku sudah dibuang dan hidup bersama ayahku yang selalu mengawasi ibuku."
"Maaf Blue." Zee mengulurkan tangannya pada Blue.
"Apa ini?" tanya Blue.
"Mari kita berteman mulai sekarang." sahut Zee.
"Baiklah hari sudah malam, kita segera bersiap."
Jam dinding tepat menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Zee mengikuti sang nenek menuju parkiran mobil dan menunggu nenek untuk check out dari penginapan itu.
"Apa Ibu yakin mau pergi malam begini, hati-hati Bu jalanan sepi bagaimana jika kalian bertemu orang jahat?" ucap nyonya pemilik penginapan.
"Tak apa kami sudah biasa." jawab Nenek.
"Hati - hati ya nek." ucapan nyonya itu.
Nenek Amelia menuju tempat parkiran.
"Sungguh baik hati nyonya itu, Seandainya dia tau jika aku bertemu dengan para penjahat, merekalah yang harus ber hati-hati padaku." gumam Nenek Amelia tersenyum menghampiri Zee.
***
To be continued...
Happy Reading... 😘😘😘
Cerita ini hanya fiksi murni karangan Vie
semata... Hope you like it 💝😘😊
Jangan lupa klik tombol like, dan rating bintang 5 yak 😘
Happy Reading
***
"Apa kau siap Zee?" tanya sang Nenek saat tiba di pertigaan jalan tepat pukul dua belas malam.
"Maksud nenek?"
"Bersiaplah..."
Cahaya terang menyilaukan mata Zee datang dari arah depannya. Nenek Amelia melajukan mobilnya ke arah cahaya yang datang itu.
"Nenek awaaaasss...!!!" Zee berteriak sekuat tenaga.
"Bukalah matamu Nak." ucap nenek Amelia tersenyum pada Zee.
Caca membuka matanya perlahan dan terkejut dengan keadaan alam disekitarnya.
"HAH...? ba ba bagaimana bisa kita sampai di sini Nek, dan lagi pula mengapa matahari sudah bersinar cerah?" tanya Zee penuh heran.
"Kita sudah ada di kota Sunflower nak." ucap nenek Amelia tersenyum.
"Apa, secepat itu kita sampai disini, bagaimana bisa?"
"Tentu saja bisa, Nah kita sudah sampai di rumah kita yang baru." nenek Amelia menghentikan mobilnya didepan sebuah rumah tua yang berukuran sedang tak terlalu besar namun lebih rapih dari rumahnya yang dulu.
"Aku baru tau kalau nenek punya rumah di kota ini."
"Nenekmu bisa melakukan segalanya, asal dia punya sesuatu untuk dikorbankan setiap malam Jumat di tanggal tiga belas." sahut Blue.
"Maksudnya Nek?" tanya Zee.
"Baiklah seperti yang nenek bilang, kau harus mengetahui sesuatu, lihat pergelangan tanganmu ini." Nenek Amelia menarik pergelangan tangan Zee.
"Kenapa aku punya tato hitam aneh ini nek." Zee mencoba menghapus tanda hitam itu namun tak berhasil.
"Itu nyawamu yang sudah hilang, jika titik hitam itu melingkar berjumlah sembilan makan tamat riwayatmu Nak, ini baru satu titik karena kau pernah mati sekali."
"Jadi kejadian waktu itu aku benar-benar sudah mati?"
Nenek Amelia mengangguk sambil berbenah rumah barunya kala itu.
"Bagaimana hal ini bisa terjadi padaku Nek?"
"Karena kau bukan manusia biasa, kau adalah keturunan sembilan dari keluarga penyihir Merlin, oleh karena itu kau dianugerahi sembilan nyawa untuk bertahan hidup sedangkan nenek mempunyai enam nyawa yang sekarang hanya tinggal satu."
"Penyihir? WOW hebat...!!"
"Jangan senang dulu, jika identitas kita ketauan banyak diluar sana yang akan memburu dan membunuh kita seperti orang tuamu."
Zee bergidik ngeri mendengarnya jadi ternyata orang tua Zee dibunuh, rasanya darahnya mendidih seiring dengan kemarahan dendamnya yang ingin mencari pembunuh kedua orang tuanya.
"Siapa yang membunuh ayah dan ibu ku nek? ayo katakan padaku, darahku mendidih saat mendengarnya." ucap Zee penuh dengan amarah di raut wajahnya.
"Kau tak akan mampu melawan mereka, salah-salah kau akan kehilangan semua nyawamu Zee, kau belum siap untuk tahu siapa pembunuh ayah dan ibu mu." ujar nenek Amelia dengan raut wajah penuh dengan kesedihan kala mengingat mendiang anak dan menantunya di bantai.
"Tapi nek, kau bilang aku penyihir sembilan nyawa, aku masih punya banyak nyawa kan?" tanya Zee dengan nada mulai meninggi.
"Aku sudah bilang Zee kau belum siap kau bahkan bisa kehilangan semua nyawamu." pekik nenek Amelia.
"Kaum apa yang membunuh mereka nek?" tanya Zee tak dapat menahan tangisnya.
"Tenanglah Zee, masih banyak yang harus kau pelajari untuk mengikuti jejak ibumu, tapi tidak sekarang kau tidak punya cukup tenaga dan kekuatan untuk mengatasi mereka."
Nenek Amelia menenangkan Zee yang sudah terlihat gusar.
"Aku ingin segera mencari pembunuh kedua orangtuaku Nek, apakah Nenek tau mereka tinggal dimana?"
Nenek Amelia menggeleng sambil menghela nafas panjang.
"Biarkan Paman Akbar yang akan mencoba mencari tau keberadaan mereka ini hanya kecurigaan ku semata tapi jika kecurigaan ku benar maka musuh yang mengejar kaum kita sangatlah kuat." sahut Nenek Amelia.
"Rasanya aku tak sabar ingin cepat dewasa agar bisa ku balas kan dendam ayah dan ibu ku nek." sahut Zee.
"Sudahlah, istirahatlah dulu, kamarmu sudah siap sebaiknya kau istirahat dulu karena mulai besok kau pindah ke sekolah di sini." ucap Nenek Amelia.
"Huh pindah sekolah lagi, bertemu teman baru lagi berkenalan lagi, di caci maki lagi sebagai anak baru, ah membosankan." gumam Zee menatap bingkai foto kedua orang tuanya kala ibunya menggendongnya dan ayahnya tersenyum di samping ibunya dengan senyum ceria dan lebar.
***
Satu tahun berlalu Zee sudah menginjak kelas tiga sekolah dasar di kota Sunflower. Seperti biasa Zee hanya mempunyai satu teman karena sikapnya yang tak mau membaur dengan lainnya. Teman Zee bernama Serena gadis manis yang imut dan lucu yang selalu baik hati dan mengerti dengan sikap Zee.
Kota Sunflower itu tak begitu besar meski lebih besar dari perkampungan Zee sebelumnya, dan Zee tetap saja lebih menyukai bermain dirumah membantu neneknya dan bermain dengan Blue.
Sampai terjadi kejadian mengerikan di sekolah dasar Zee di kota Sunflower.
Seorang remaja SMA yang kehilangan kewarasannya membawa senjata api dan memberi tembakan pada semua anak yang berkumpul di kantin sekolah dasar Sunflower.
Dada Zee terasa panas terkena peluru timah kala itu membuatnya jatuh tersungkur di samping Serena yang mencoba menarik tubuh Zee dari kantin namun naas pemuda itu menembak kepala Serena. Darah mengalir di lantai dari dada Zee dan kepala Serena. Keduanya berpegangan tangan, yang Zee ingat Serena tersenyum kepadanya untuk yang terakhir kali dan menutup mata. Setelah itu Zee merasakan tak bisa lagi bernafas, menarik nafas panjang dan kegelapan menyeruak ia rasakan.
Zee dan Serena merupakan korban penembakan yang dinyatakan tewas ditempat saat itu. Menurut polisi setempat terdapat dua puluh tujuh anak yang menjadi korban senapan api remaja gila itu. Sepuluh anak diantaranya dinyatakan tewas.
Klik...
Nenek Amelia mematikan siaran berita terbaru di kota Sunflower itu.
"Hah Zee kau membuatku repot lagi, sungguh ceroboh anak itu." ucap nenek Amelia.
***
To be continued...
Happy Reading... 😘😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!