NovelToon NovelToon

PEMILIK RUANG HATI

1. Debaran Nawang

Nawang mengetuk- ngetuk meja di depannya dengan ballpoint yang sedari tadi belum juga melaksanakan tugas semestinya, menjadi alat tulis.

Sedari tadi dia berusaha mati- matian menenangkan hatinya yang berdebar- debar nggak karuan sejak pagi tadi.

Tepatnya sejak Sasi bilang padanya kalau Nawang akan bergabung bersama tim kecil yang akan bertemu dengan klien baru perusahaan mereka siang nanti.

Bukan pertemuannya yang membuatnya berdebar- debar nggak karuan seperti ini.

Tapi orang yang akan ditemuinya yang membuatnya dalam suasana deg- degan level tinggi.

Tadi, saat Sasi memberitahunya kalau dia akan diikutsertakan dalam team kecil, Nawang masih cuek- cuek saja walau sesungguhnya dia kurang begitu suka dengan tugas bertemu klien.

Dan saat Sasi menjelaskan kalau calon klien mereka adalah seorang pengusaha property kelas wahid di negeri ini, Nawang masih nggak perduli.

Toh selama ini, sesuai ingatannya, dia selalu di bawa dalam team kecil saat perusahaan harus bertemu klien baru kelas kakap.

Entah apa maksudnya teman- teman di team kecilnya, tapi mereka bilang, aura Nawang mampu membakar semangat dan menumbuhkan nyali team yang kadang jiper saat harus bertemu klien yang sudah punya nama besar.

Atensinya baru seratus persen terampas saat Sasi menyebut bahwa calon klien yang akan mereka temui siang nanti adalah Richardo Pambudi.

Nawang sudah mulai tak enak hati saat mendengar nama itu.

Nama itu sama persis dengan nama pacar pertamanya di bangku SMU dulu.

Tapi apa benar dia?

Lelaki itu jadi seorang pengusaha sekarang?

Lalu bagaimana cita-citanya yang dulu ingin menjadi seorang dokter?

"Ini lho yang namanya Pak Richard, Mbak." kata Sasi sambil menyodorkan ponselnya ke depan muka Nawang, menunjukkan photo seorang pria tampan dan berwibawa yang sangat di kenali senyum samarnya oleh Nawang.

Ya, benar. Dia laki- laki yang memiliki nama panggilan Eric di sekolahnya dulu.

"Aku harus banget ikut ya?" tanya Nawang memelas.

"Iya lah. Pak Deni yang minta kamu ikut." jawab Sasi mantap.

Bagi gadis itu, kehadiran Nawang dalam sebuah pertemuan dengan klien atau dimana pun itu, akan membawa ketenangan tersendiri baginya.

Pandangan mata dingin dan menghunjam dari balik kaca mata minus milik Nawang rasanya jadi perisai bagi dirinya dari tatapan nakal mata- mata liar para lelaki pada body seksinya.

Nawang pasti akan menatap galak pada pria yang jelas- jelas ketahuan menatap tak sopan pada Sasi.

Bila tatapannya tak mampu menghalau tatapan nakal para lelaki itu, Nawang akan dengan suara sadisnya menegur dengan tegas pada para pria itu.

"Cakep, muda, mapan. Ya Tuhan.....sempurna sekali ciptaan-Mu ini!" seru Sasi histeris sambil menatap photo Richard dalam ponselnya.

"Lebayyyyy!" seru Nawang sebel dengan kealayan Sasi.

Ya walaupun memang benar semua yang dikatakan Sasi soal Richard.

"Ini fakta, bukan lebay! Perhatikan dengan seksama dong!" kata Sasi pura- pura sewot sambil kembali menyodorkan ponselnya yang masih memajang photo Richard pada Nawang yang memilih mengikuti keinginan Sasi untuk mengamati lebih detail wajah Richard.

"Iya juga sih, hehe...." kata Nawang yang membuat senyum Sasi merekah.

"Jangan naksir ya! Ingat, ada suami dan anak di rumah!" ancam Sasi, membuat Nawang memajukan bibir bawahnya.

"Naksir doang, nggak boleh juga?" goda Nawang sambil memasang wajah memelas.

"Nggak- bo- leh!" jawab Sasi tegas.

"Ya udah, buat kamu aja." kata Nawang bernada mengalah.

"Syiiiip!" kata Sasi bahagia sambil menyodorkan kedua jempolnya ke depan muka Nawang yang otomatis memundurkan wajahnya untuk menghindari tertabrak jempol nggak sopan.

"Dih!" ejek Nawang sambil tertawa geli dengan kegembiraan Sasi barusan.

"Kenapa?" tanya Sasi nggak senang.

"Pak Richard itu beda kasta sama kita. Sadar!" kata Nawang sambil tersenyum getir.

"Jodoh siapa yang tahu kan? Jangankan beda kasta,beda alam aja bisa kalau Tuhan berkehendak." kata Sasi masih ngotot.

"Astagfirullahaladzim..." sahut Nawang kaget.

"Kenapa?"

"Kamu pengen nikah beda alam?!" tanya Nawang. " Ngeri sekali cita- citamu, Si..." kata Nawang menatap prihatin pada Sasi.

"Ya enggaklah! Amit- amit...." sambar Sasi cepat.

"Aku maunya sama Mas ini..." kata Sasi sambil terkikik geli sendiri.

"Terserah! Sebahagiamu ajah!" kata Nawang sambil beranjak meninggalkan mejanya.

"Mau kemana woy?" tanya Sasi nggak rela ditinggalkan Nawang saat sedang berbunga- bunga begitu.

"Mau ke toilet. Mau ikut?" ledek Nawang yang disambut cemberutan Sasi.

"Terus ini istanamu gimana Mbak?" tanya Sasi bingung.

"Tungguin bentaaaar!" jawab Nawang setengah berteriak.

"Iya!" jawab Sasi sambil kembali duduk di kursi yang ada di seberang meja Nawang.

Gadis itu duduk tenang dan tersenyum menatap lukisan bergambar seorang penari Jawa yang tergantung di dinding, dibelakang tempat duduk Nawang.

Diedarkannya sesaat pandangannya ke seantero ruangan berukuran 4x5 meter yang hanya dihuni sendiri oleh Nawang dan jadi kantor logistik pusat, dimana Nawang adalah kepalanya.

3 rak besi setinggi dua meter memenuhi seluruh dinding yang tersisa di ruangan itu.

Satu sisi rak itu berisi tumpukan stock buku- buku form yang biasa digunakan perusahaan.

Satu rak lagi berisi aksesoris mebel yang puluhan bahkan ratusan jenisnya, yang mana hanya Nawang dan orang purchase saja yang hafal satu- satu namanya.

Satu rak lagi berisi aneka amplas, aneka lem, dan peralatan pendukung produksi lainnya seperti stock masker dan sarung tangan.

Semua tertata rapi di tempatnya, sesuai dengan nama yang tertera di kotak- kotak yang telah ada di dalam rak.

Sasi bergegas mengangkat panggilan telpon yang masuk ke ponselnya yang sedari tadi tak lepas dari genggamannya.

Dari Pak Deni yang mencari keberadaannya.

"Aku di logistik, ngasih tahu mbak Nawang soal meeting kita nanti siang sama Pak Richard.." kata Sasi pada lawan bicaranya.

"Kita berangkat sebelum makan siang saja. Nanti kita maksi dulu diluar, di dekat proyeknya Pak Richard, daripada nanti kita telat." kata Pak Deni di seberang telpon.

"Jadinya jam berapa kita berangkatnya?" tanya Sasi.

"Jam sebelas kita berangkat." jawab Pak Deni sebelum menutup sambungan telpon.

"Kita berangkat jam sebelas, Mbak." kata Sasi begitu melihat Nawang memasuki ruangannya lagi.

"Katanya tadi habis jam istirahat. Labil amat jadi orang." omel Nawang yang dia tujukan pada Pak Deni.

Siapa lagi kan oknumnya yang suka ganti- ganti waktu gitu kalau bukan orang satu itu.

"Kayak nggak apal Pak Deni aja, pakai protes." sahut Sasi sambil beranjak berdiri untuk kembali ke kantor depan, untuk menjalankan tugasnya yang kira- kira bisa diselesaikan dalam waktu satu jam ke depan, sebelum dia ikut meeting dengan Pak Richard.

"Kamu nanti ganti pakai celana aja, jangan pakai rok kayak gitu." kata Nawang sebelum Sasi mencapai pintu ruangannya.

"Kenapa?" tanya Sasi sambil menatap rok cantik se atas lututnya.

"Kita nanti mau ke lingkungan proyek. Di sana isinya laki- laki semua. Kalau kamu mau jadi pemandangan mereka ya nggak usah ganti. Aku doakan semoga disana anginnya kenceng, biar rokmu bisa terbang dan dalemanmu keliatan." kata Nawang sambil menatap Sasi tajam.

"Iyaaaaa.....nanti aku ganti celana, emak bawel." kata Sasi sambil tertawa dan berlalu.

Nawang hanya mengulas senyum tipis dengan sahutan Sasi itu.

Sasi selalu senang dengan perhatian Nawang seperti itu.

Bagi Sasi, kegalakan Nawang adalah bentuk perhatian padanya.

Dan hanya Nawang yang selalu bawel dengan penampilannya yang kadang memang menunjukkan keseksian tubuhnya.

🗝️ bersambung 🗝️

Selamat datang di perjalanan hatinya Nawang. 🙂🙂🙂

Semoga betah membersamai kisah ini sampai akhir ya......

Mumpung masih ada di bab 1, mau ngasih tau aja ke kalian yang ngarep nemu intrik kejam atau agak zadeeeessss disini, kalian akan kecewa karena disini nggak ada yang kejam- kejam sampai mau bikin mu*tah dan hipertensi.

Jadi boleh untuk tidak melanjutkan membaca bab- bab selanjutnya daripada buang- buang waktu kan? 😃

Jangan lupa luangkan beberapa detik waktu kalian untuk mampir kasih like, komen dan ngasih hadiah juga boleh, ehehehe.....

Happy reading guys.....💖

2.Ke Proyek

Makan siang team kecil Nawang kali ini penuh berisi suara Pak Deni yang mengulang- ulang pesannya agar bersikap sopan dan profesional saat nanti bertemu dengan Pak Richard karena orang itu di kenal cukup dingin dan perfeksionis dalam berbisnis.

Perusahaan berharap banyak pada keberhasilan pembicaraan siang ini nanti.

"Ini proyek kerjasama pertama kita dengan PT.KHARISMA PROPERTY. Bila proyek pertama ini berhasil dengan baik, ini akan jadi awal yang lebih baik lagi ke depannya." kata Pak Deni berapi- api.

"Kenapa Pak Sapto nggak ikut kita hari ini,Pak? Secara kita kan akan ketemu sama pimpinan PT.KHARISMA PROPERTY, kenapa pimpinan kita nggak ikut?" tanya Banu di sela kunyahan pada tempe mendoannya.

"Secara pribadi Pak Sapto dan Pak Richard selalu komunikasi. Tugas kita sekarang survey di lapangan dan berdiskusi tentang item- itemnya lebih detail dengan team dari PT. KHARISMA PROPERTY." jelas Pak Deni yang disambut anggukan yang lainnya.

"Pak Richard ikut meeting juga kan,Pak?" tanya Sasi penuh harap, yang disambut tatapan memicing dari Pak Deni dan dengusan dari lainnya.

"Kenapa memangnya?" tanya Pak Deni galak.

"Pengen liat aslinya aja. Di photo cakep soalnya, hehe...." jawab Sasi lugu.

"Jangan kecentilan kamu ya!" seru Pak Deni yang membuat Sasi cemberut.

"Dia udah mimpi dijadiin pacar sama Pak Richard." kata Banu sambil terkekeh meledek.

"Jangan ketinggian ngayalnya, ntar jatuh, sakitnya kebangetan lho." kata Pak Deni.

"Pada ngapain sih?! Orang aku cuma pengen ngeliat doang. Lagian ketuaan juga buat aku." sergah Sasi keki.

"Eitsss jangan salah! Pak Richard itu baru seumuran Pak Sapto, tigapuluh tahunan. Itu usia matang untuk laki- laki, bukan tua." sergah Pak Deni.

Sasi melirik sebel.

Kebiasaan jelek Pak Deni yang membuat Sasi ilfeel adalah asal sambar omongan orang, asal komen omongan orang tanpa mencerna dulu.

Walaupun ada lagi hal- hal lain yang membuat Sasi nggak respect dengan atasannya itu secara pribadi sih.

"Saya nggak bilang Pak Richard tua. Saya tadi cuma bilang kalau Pak Richard itu ke- tu- a- an buat saya! Yang bener dong mahaminnya!" sungut Sasi emosi.

Pak Deni masih tetap menatap tajam Sasi lewat sudut matanya.

Lajang 39 tahun itu merasa tak suka saat menyadari Sasi menaruh perhatian pada Pak Richard.

Bagaimana mungkin dia akan bisa menandingi pesona Pak Richard di mata Sasi?

"Kita berangkat ke proyek sekarang atau mau nunggu di telpon, Pak?" tanya Agus untuk mengalihkan pembicaraan tak bermutu tapi sudah mengandung bara itu.

Lagi pula dilihatnya acara maksi mereka sudah selesai semua.

"Kita berangkat sekarang aja yuk!" ajak Pak Deni setelah melihat arloji di pergelangan tangannya.

Sudah lewat dari jam setengah satu siang.

Jarak dari resto ke proyek yang dituju hanya sekitar sepuluh menit.

"Wang, nanti diinget ya, jangan jutek- jutek sama calon klien kita." kata Pak Deni memperingatkan Nawang.

"Hmmm...." jawab Nawang cuek.

Nawang sama sekali nggak perduli dengan peringatan itu.

"Dan kamu Sasi, jangan kegenitan sama klien kita. Jangan bikin malu." kebawelan Pak Deni belum selesai membantai.

Sasi hanya melirik sadis pada Pak Deni.

"Sasi.....".panggil Pak Deni setengah mengeram karena Sasi tak menyahuti peringatannya.

Dia nggak suka kalau dianggap angin lalu gitu.

"Inggih Pak Deniiiii.....Sendiko dawuuuuh!" sahut Sasi dengan nada sebel.

(Iya Pak Deniiiiiii.....siap menjalankan perintah!).

"Pinter!" balas Pak Deni sambil mengacungkan jempolnya dan terkekeh senang.

🗝️🗝️🗝️

Mobil yang disopiri oleh Agus pelan memasuki area proyek pembangunan apartemen di wilayah utara kota Jogja itu.

Begitu keluar mobil, Nawang mendongakkan kepalanya, mencoba menatap ujung bangunan menjulang yang masih dalam bentuk setengah jadi itu.

Cukup silau dimatanya dan dia ternyata tidak bisa menatap ujung bangunan dengan sempurna.

"Tinggi banget." kata Sasi sambil ikut menengadahkan kepalanya.

"Namanya juga apartemen. Kalau saung nggak ada yang tinggi." seloroh Agus yang mendapat timpukan ringan tangan Sasi dibahunya.

Cowok ceking itu meringis geli.

"Cantik deh kalau cemberut gitu." goda Agus pada Sasi yang segera mendapat pelototan dari Pak Deni dan cengiran kuda dari Banu yang meledek.

"Emang dasarnya cantik, mau gimanapun juga aku tetap cantik." tukas Sasi dengan congkak.

"Betul itu!" kata Pak Deni sambil tersenyum lebar.

"Apanya yang betul?" tanya Banu tak mengerti.

"Betul yang dikatakan Sasi, dia tetap cantik...."

"Ayo....ayo neduh, panas ini!" potong Sasi sambil bergegas menuju sebuah bangunan semi permanen di sudut area proyek, membuat kalimat Pak Deni terpotong dan menyisakan kecewa di wajah Pak Deni.

Apalagi dia ditinggalkan begitu saja oleh teman- temannya yang bergegas mengikuti langkah Sasi tanpa memperdulikannya.

"Dasar gerombolan tidak sopan!" gerutunya sambil ikut menyusul teman-temannya.

Karena belum ada jam satu, dan dipastikan semua pekerja masih menikmati istirahat makan siang mereka, keadaan proyek cukup lengang.

Banu berinisiatif melongok ke dalam bangunan semi permanen yang pintunya tak tertutup.

Dilihatnya beberapa laki- laki sedang dengan gaya PWnya masing- masing.

Mereka adalah para pekerja proyek ini.

"Maaf Mas, mau nanya." sapa Banu sopan.

Dan seorang pria muda yang terdekat dengan pintu bergegas berdiri dari posisi tidurannya lalu mendekat ke arah Banu.

"Ya Mas? Ada perlu apa?" tanya laki- laki itu sopan.

"Kami ada janji bertemu dengan Pak Richard disini. Kami bisa bertemu beliau dimana ya?" tanya Banu.

Laki- laki muda itu nampak kebingungan lalu menoleh ke arah teman- temannya.

"Kamu antar saja ke Mas Hans, Jar. Biar nanti sama Mas Hans." seru seorang pria setengah baya dari sudut dalam ruangan yang sedari tadi memperhatikan interaksi antara Banu dan temannya.

"Nggih, Pak." sahut pemuda itu lalu segera membawa Banu dan teamnya ke arah lain area proyek itu.

Mereka diantarkan menuju sebuah bangunan permanen kecil di sudut lain proyek tersebut.

Pemuda itu masuk lebih dulu dan beberapa saat berada di dalam lalu keluar bersama seorang pria muda berwajah manis yang Nawang taksir usianya lebih muda darinya dan mungkin bernama Hans.

"Ini tamunya, Mas." kata anak proyek yang menurut perkiraan Nawang - berdasar pendengarannya tadi yang mendengar pemuda itu dipanggil dengan sebutan JAR oleh temannya- bernama Fajar atau mungkin Jarwo? Hehehe.....

"Selamat siang.....ini team dari PT.KAYUKU ya?" tanya Hans ramah.

"Iya betul, Mas....." jawab Pak Deni menggantung, sengaja agar pemuda itu mengenalkan dirinya.

"Saya Hans, asistennya Pak Richard untuk proyek ini." sahut pemuda itu tanggap kemudian mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan semua tamunya.

"Mari silakan masuk dulu. Maaf ya, tempatnya berantakan." kata Hans sambil tersipu malu.

"Nggak papa. Ini juga jauh lebih bersih dibanding kalau Anda berkunjung ke bagian produksi kami." kata Pak Deni sambil tersenyum ramah.

"Kapan- kapan sepertinya saya juga harus membuktikan tentang itu." kelakar Hans riang.

"Monggo saja....Dengan senang hati kami akan mengantar Anda berkeliling melihat proses produksi barang kami secara detail kalau mau." sahut Pak Deni bersemangat.

"Nanti saya antar berkeliling melihat produksi, Mas." sahut Sasi dengan riang.

Hans tersenyum senang.

Tapi tidak dengan wajah Pak Deni.

"Sebentar lagi Pak Richard akan sampai.

Sekitar lima menit lagi." kata Hans setelah sebelumnya dia sebentar menerima panggilan telpon.

Dan dada Nawang seperti akan meledak.

🗝️🗝️🗝️ bersambung 🗝️🗝️🗝️

Udah nemu feel- feel gemes belum nih?

Kalau masih berkenan buat lanjut baca, jangan lupa ya, mampirkan sejenak jempol kalian buat nge- like sebelum beralih ke tiap bab yessss....(walau mungkin merasa agak dipaksa, wakakak 🙈).

Komen juga boleh loh. Garing gak papa, tapi jangan menghujat yes. 🙏🙂

Keep healthy and happy reading guys....💖

3. Pertemuan

Sambil menunggu tokoh utama masuk ke ruangan itu, siang yang lumayan terik di luar itu di isi dengan obrolan ringan antara Banu dan Hans yang ternyata suka gowes.

Hingga satu suara berat menyapa dari pintu dan menyita semua atensi penghuni ruangan berukuran 6 x 7 meter itu.

"Selamat siang." suara berat namun ramah menguasai ruangan.

Tangan kanan pria itu dengan elegan yang tak dibuat- buat melepas kaca mata hitamnya.

Dan tak seorang pun tahu bahwa ada satu jantung yang berdebar sangat keras bahkan terasa nyaris copot karena suara itu.

Semua berdiri dari kursinya masing- masing dan tersenyum ramah mengiringi langkah pria tampan dan rapi yang kian mendekat.

Tak ada senyum di bibir tebal dan seksi pria itu, tapi wajahnya terlihat ramah.

"Maaf ya kalau harus menunggu lama." kata pria itu sambil beranjak duduk kemudian diikuti tamu- tamunya.

Setelah nyaman dengan posisi duduknya, pria itu baru mengedarkan pandangannya, memindai satu per satu wajah tamunya.

Dan jantungnya nyaris copot saat matanya beradu dengan mata sedih yang selalu diingatnya.

Ya Tuhan, benarkah dia?

Richard merasa perlu memulihkan kesadarannya lagi saat ini.

Susah payah dia berdehem untuk menormalkan detak jantungnya.

"Perkenalkan Pak, saya Deni, utusan dari PT.KAYUKU. Dan ini team kami. Mas Banu adalah desainer kami, Mbak Sasi adalah staff PPIC, Pak Agus adalah manager produksi, Bu Nawang adalah kepala logistik perusahaan kami. Dan saya adalah Deni, ketua team kali ini." kata Pak Deni memperkenalkan team yang dibawanya.

Ini benar kamu, Non.

Batin Richard tersenyum gembira, sangat gembira.

"Terima kasih untuk perkenalannya, Pak Deni. Seperti yang pasti telah disampaikan Pak Sapto kepada Anda sekalian, kita akan mencoba bekerja sama dalam proyek kami kali ini. Saya pribadi kurang begitu mengerti tentang desain interior, karena itu nanti team kami akan di handle oleh Hans yang lebih tahu soal interior. Mungkin ke depannya Anda bisa lebih intens berkomunikasi dengan Hans ya, Pak Deni." kata Richard dengan tegas namun tetap ramah.

Sesekali pandangan matanya mencuri lihat ke arah Nawang yang memilih selalu menundukkan pandangannya walau wajahnya tegak dan terlihat tanpa ekspresi.

Wajahmu masih saja dengan ekspresi seperti itu, Non. Tak berubah sedikitpun. Dasar menyebalkan.

Pembicaraan selanjutnya di dominasi oleh Hans, Banu, dan Agus yang membicarakan soal konsep, warna, jenis material kayu, dan jenis material finishing yang akan digunakan.

Sasi asyik menulis point- point yang dianggap penting dalam pembicaraan itu.

Sedang Nawang tekun mengikuti arah pembicaraan ketiga orang itu dan akan memberi masukan saat Banu atau Agus menanyakan tentang bagaimana baiknya atau bagaimana biasanya di produksi soal pemilihan dan pemakaian material.

Richard dan Deni terlibat pembicaraan ringan soal furniture dan printil- printilannya.

Mata Richard tak jarang melayang ke arah Nawang yang masih saja asyik terlibat diskusi.

Tak sekalipun dia mengalihkan pandangannya ke lain tempat, apalagi ke arah Richard.

Perempuan itu memilih tidak melirik sama sekali ke arah pria tampan yang telah mampu mengguncang harinya, bahkan sejak tadi pagi, saat mereka bahkan belum bertemu.

Dia merasa sepasang mata tajam sejak tadi sering melayangkan pandangan ke arahnya.

Biar saja. Biar dia puas- puasin melihatku.

Batin Nawang mengomel resah.

Hhhhh....andai saja dia bisa menghindari tugas bertemu klien hari ini, mungkin mood nya akan lebih baik.

Sayangnya dia nggak bisa menolak.

Mungkin hari ini giliran takdir kita untuk bertemu, Mas.

Aku bisa melihatmu lagi, walau ternyata kamu sudah tak mengenaliku lagi.

Tak apa. Mungkin ini juga lebih baik.

Nawang menarik napasnya pelan, sedih.

Walau sekilas tadi dia menangkap ada pijar keterkejutan di mata Richard saat pandangan mereka bertemu, namun nyatanya tak ada ucapan apalagi perbuatan Richard yang menunjukkan bahwa pria itu ingat bahwa mereka sudah pernah saling kenal sebelumnya.

Pria itu tenang- tenang saja ngobrol dengan Pak Deni.

Pembicaraan berakhir hampir jam tiga sore dengan kesepakatan besok Banu dan Agus akan berkunjung lagi ke proyek untuk melihat ruangan yang akan di jadikan sample peletakan beberapa interior yang telah dipilih tadi.

Richard masih duduk di ruangan itu sementara Hans mengantar para tamunya sampai depan gedung.

Pria berumur 25 tahun itu bergegas kembali masuk untuk menghampiri bossnya.

"Kamu tadi minta nomer telepon mereka?" tanya Richard begitu Hans duduk di depannya.

"Iya, Pak." jawab Hans keheranan.

Nggak pernah sebelumnya Richard repot- repot ngurusin nomor ponsel segala.

"Semuanya?" tanya Richard lagi.

"Iya, Pak. Tadi Pak Deni mengirimi semua nomor team nya. Kenapa ya, Pak?" tanya Hans penasaran.

" Tolong kirimkan semua nomor itu padaku sekarang!" perintah Richard sambil menatap Hans tajam.

Yang ditatap seperti itu tentu saja gugup.

Seingatnya sepanjang pertemuan tadi tak ada yang salah dengan mereka, kok tumben juga bossnya minta nomor ponsel rekanan bisnis sedetail ini.

"Semua, Pak?" tanya Hans menegaskan.

"Iya. Semua. Kenapa? Nggak boleh?" tanya Richard cuek.

"Boleh....boleh! Cuma nggak biasanya saja Anda begini." jawab Hans takut- takut.

"Tenang saja, aku tidak akan merebut pekerjaanmu. Aku cuma ingin mempelajari soal furniture lebih dalam. Siapa tahu ada peluang buka usaha baru kan? Mumpung aku nggak ada pekerjaan besar lainnya. Aku ingin terjun langsung ikut membantumu." kata Richard tenang, yang disambut anggukan mengerti oleh Hans.

"Sekarang kirimkan nomer mereka. Aku menunggumu, Hans." kata Richard membuat Hans tersentak salah tingkah, lalu buru- buru memegang ponselnya dan mengirim nomer- nomer yang diminta Richard.

"Ok, sudah aku save. Makasih ya." kata Richard sambil tersenyum tipis dan dibalas anggukan Hans.

"Besok janjian jam berapa kamu sama mereka?" tanya Richard lagi.

"Jam sepuluh mereka akan sampai disini. Cuma Mas Agus sama Mas Banu yang kesini." jawab Hans.

"Ok, besok aku akan kesini lagi. Sekarang aku pergi dulu." pamit Richard sambil beranjak berdiri dan memakai kaca mata hitamnya.

"Baik, Pak. Hati- hati di jalan." sahut Hans sopan.

"Ok, makasih ya. Anak- anak suruh hati- hati kerjanya ya. Aku nggak mau ada yang cidera." pesan Richard sambil melenggang pergi.

"Siap, boss." jawab Hans riang.

Hans tersenyum senang.

Walaupun boss nya itu nyaris tak pernah tertawa, tapi dia adalah sosok yang ramah dan baik hati pada bawahannya.

Beberapa kali pekerjanya ada yang terluka saat bekerja, dan Richard akan dengan sepenuh hati memastikan kehidupan keluarga pekerjanya terjamin selama orang itu belum bisa bekerja lagi.

Dia akan mengirim uang dengan jumlah yang cukup banyak sebagai tali kasih pada pekerja yang sedang terbaring sakit.

Karena itu, tak ada satupun pekerjanya yang ingin melepaskan diri dari perusahaannya.

Hans mengulik ponselnya kembali dengan tersenyum.

Ada satu kontak baru di ponselnya yang sangat ingin sekali dihubunginya.

🗝️🗝️🗝️ bersambung 🗝️🗝️🗝️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!