Cahaya adalah seorang wanita berusia 26 tahun. Orang tuanya sudah meninggal sejak ia masih duduk di bangku SMP. Karena keadaan ekonomi yang sulit membuatnya harus tinggal di panti asuhan.
Ketika Cahaya lulus SMA, ada seorang wanita paruh baya bernama ibu Wahida yang mau mengurus dan menyekolahkannya hingga ia lulus kuliah. Perlakuan ibu Wahida begitu hangat, dia adalah seorang perempuan yang sakit sakitan. Dia tinggal seorang diri di rumahnya yang begitu besar. Bu Wahida adalah orang kaya, dia hanya mempunyai seorang anak lelaki yang meneruskan sekolahnya di luar negri.
Cahaya tinggal bersama Bu Wahida, ia tidak berani menanyakan tentang putranya, apalagi tentang suaminya yang terdengar desas desus sedang mendekam di penjara. Tiba tiba setelah Cahaya lulus kuliah, Bu Wahida berencana ingin menikahkan Cahaya dengan putranya Yaitu Saka S wijaya. Huruf S yang selalu dipertanyakan pada keluarga itu, tak pernah Cahaya dapatkan jawabannya. Ia yakin huruf S itu adalah inisial ayahnya Saka, namun kenapa semua orang menutupinya begitu pun dengan Bu Wahida.
Saka awalnya menolak untuk menikahi Cahaya. Melihat Cahaya yang berhijab membuat Saka enggan untuk menikahinya, apalagi Cahaya hanya diambil dari panti asuhan sebelumnya. Cahaya hanya bisa pasrah, ia tak berani membantah Bu Wahida yang selama ini baik padanya. Ancaman Bu Wahida pada Saka membuat putranya itu tak bisa menolak untuk menikahi Cahaya.
Kini pernikahan Cahaya dan Saka sudah menginjak usia 6 tahun, mereka dikaruniai 1 orang putra bernama Ali yang kini berusia 5 tahun. Tidak bisa dibohongi, rumah tangga mereka tak nampak bahagia. Satu kesalahan Cahaya, yaitu mau menerima perjodohan itu, meskipun Cahaya sendiri tau kalau Saka tidak pernah mencintainya. Perlakuan kasar dan kata kata tak pantas sering kerap ia dapatkan dari suaminya itu. Sejak saat itulah Bu Wahida menyesal telah menjodohkan Cahaya dengan putranya. Bu Wahida sangat menyayangi Cahaya.
_ _ _ _
Ketika itu Cahaya sedang berdo'a setelah mengerjakan shalat isya. Sementara Ali sudah tertidur di kamarnya.
"Ya Allah, bukalah hati suamiku. Dekatkanlah dia padamu. Buanglah sifat jahat dan dengki yang ada pada suamiku, berikanlah rasa cinta di hatinya. Biarkan kami menjadi satu keluarga yang bahagia. Aamiin"
Setelah selesai berdo'a, Cahaya pun melepas mukenanya, ia berjalan mendekati cermin. Matanya langsung berkaca kaca melihat wajahnya terdapat lebam bekas pukulan Saka. Sudah lama Cahaya ingin lari dari rumah itu, namun ia masih memikirkan kebahagiaan putranya, ia juga tak bisa meninggalkan Bu Wahida yang kini sudah duduk di kursi roda karena penyakitnya. Saka sudah menjadi pimpinan perusahaannya Bu Wahida. Sikapnya yang sewenang wenang dan karena harta yang berlimpah membuatnya sombong.
Cahaya menghapus air matanya ketika mendengar suara langkah kaki menuju kamarnya, ia yakin kalau Saka pulang. Dan benar saja Saka pulang dengan sedikit mabuk. Cahaya mencoba tersenyum.
"Mas sudah pulang" ucap Cahaya sambil mendekati suaminya, saat Cahaya mau mencium tangan suaminya itu, tiba tiba Saka langsung menepis tangan Cahaya.
"Tidak usah berbasa basi, enyahlah kau dari hadapanku" ucap Saka. Baru saja Saka berjalan ia sudah sempoyongan dan langsung merebahkan dirinya ditempat tidur, seketika itu pula Saka langsung memejamkan matanya. Cahaya sudah berusaha sabar menghadapi suaminya itu. Perlahan ia membuka sepatu Saka, lalu melepas jas suaminya itu. Dilihatnya di kerah baju Saka yang berwarna putih terdapat noda lipstik. Cahaya sering melihat itu kalau suaminya itu pulang malam, ia tau kalau suaminya itu sering main perempuan diluar sana. Nasehat demi nasehat sering ia berikan pada Saka termasuk nasihat dari Bu Wahida. Namun bukannya menerima, Saka malah memarahi bahkan memukul Cahaya. Air mata Cahaya jatuh begitu saja.
"Ya Allah, jika mas Saka masih panjang jodohnya dengan ku, hamba mohon, rubahlah sikap mas Saka menjadi lebih baik. Tapi jika mas Saka sudah bukan jodohku lagi, tolong bebaskan aku darinya. Biarkan aku pergi dari rumah ini. Aku pun ingin bahagia meskipun bukan dengannya. Kirimkan lah aku malaikatmu, yang akan menariku dari hidupku yang suram ini" batin Cahaya.
_ _ _ _ _
Sementara di sebuah pesantren di kota A. Seorang pemuda bernama Adam 24 tahun sedang bercermin di kamarnya sambil tersenyum senyum. Dia mempunyai saudari kembar bernama Hawa dari pasangan Riziq dan Aisyah.
"Ya Allah Adam, hobby mu meracuni semua orang yang menatapmu ya. Kenapa wajahmu nampak manis begini kaya Abi berondong. Astaghfirullah alazim Adam, kenapa kau tiba tiba narsis kaya Tante Selebor sih. Ya Allah ampuni aku yang khilaf ini" batin Adam.
setelah selesai menggunakan sorban yang dipakainya menutupi kepala hingga pundaknya. Adam pun kembali tersenyum. Tiba tiba Hawa membuka pintu kamarnya.
"Ehem. Tidak usah bercermin terus, nanti banyak semut yang berterbangan. Kata kak Syakir kau cuma manis doang, tidak ada tampan tampannya" ucap Hawa. Adam hanya tertawa kecil lalu menggandeng Hawa keluar.
"Kata orang, pemuda yang wajahnya manis itu sedang diburu oleh para wanita" ucap Adam sambil tersenyum senyum.
"Iya diburu emak emak" jawab Hawa hingga Adam tertawa.
Saat mereka sampai di ruang tamu, dilihatnya Aisyah sedang mencubit gemas pipinya Riziq. Seketika itu pula Adam langsung memejamkan matanya dan tangannya langsung menutup matanya Hawa.
"Jangan lihat kita masih anak anak" ucap Adam.
"Anak anak dari mana kita sudah 24 tahun. Lagian Umi sama Abi lagi ngapain sih main cubit cubitan begitu. Abi genit Uminya ganjen" ucap Hawa sambil menepis tangannya Adam.
"Pagi Umi, pagi Abi" sapa Adam dan Hawa.
Aisyah dan Riziq pun tersenyum.
"Pagi putra putrinya Umi yang manis dan cantik" ucap Aisyah yang kini sedang menyiapkan sarapan.
"Kali kali ke aku dibilang tampan, dari dulu hingga sekarang tak ada yang bilang aku tampan, cuma bilang aku manis doang. Nasibku" batin Adam.
Mereka pun sarapan bersama. Adam kini sudah mengajar, ia menjadi guru pembimbing anak anak sudah hampir dua tahun. Sementara Hawa masih belajar termasuk kedua sahabatnya Silmi dan Anum.
Setelah selesai sarapan, Adam dan Hawa pun pergi. Adam pergi ke kelas santri putra untuk mengajar, sementara Hawa pergi ke kelasnya untuk belajar. Di tengah jalan mereka bertemu dengan pasangan Fadil dan Syifa yang kini sedang menaiki si Beky motor bebeknya.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
"Ka Fadil ban motornya kempes" ucap Hawa. Seketika itu pula Syifa dan Fadil turun dan langsung memeriksa ban motor mereka. Dilihatnya ban motor itu tidak kempes.
"Tapi bo ong" ucap Hawa sambil cekikikan.
Fadil langsung memicingkan matanya.
"Hawa tidak boleh begitu" ucap Adam.
"Maaf kak bercanda doang"
"Semok sayang ayo kita berangkat lagi. Takutnya nanti kau terlambat. Nanti pulangnya Abang jemput ya, kita kan mau nagih uang kontrakan" tutur Fadil. Fadil di beri modal untuk membuat beberapa kontrakan di lingkungan pesantren, biasanya ia sewakan untuk para guru pembimbing atau para pedagang yang sudah lama tinggal di lingkungan itu.
"Iya Abang Fayang. Nanti kalau uangnya sudah dapat, kita soping ya ke butiknya ka Anisa" pinta Syifa.
"Belinya jangan yang mahal-mahal ya, kita kan sedang menabung" jawab Fadil.
"Iya Abang. Tapi asal Abang tau ya, kata orang kenapa baju gamis syar'i harganya mahal, karena surga tak semurah rok mini" jawab Syifa.
"Ya sudah belilah baju yang kau mau, tapi jangan lupa dilihat ukuran saiz nya. Jangan ngambil saiz M, apalagi S. Gak akan muat" jawab Fadil hingga Syifa langsung mengerucutkan bibirnya.
"Ayo naik"
Saat Syifa mau naik, tiba tiba Fadil sudah menjalankan motornya terlebih dahulu hingga Syifa menggeram.
"Abaaaaang" teriak Syifa.
Seketika Fadil langsung menghentikan motornya.
"Abang kenapa aku ditinggal" gerutu Syifa. Fadil pun tersenyum getir.
"Semok, Abang kira kau sudah naik" jawab Fadil. Adam sudah menutup mulut Hawa dengan tangannya karena sedari tadi Hawa tertawa tawa.
"Jangan ditertawakan, ayo kita jalan lagi" ucap Adam.
Hari itu Cahaya sedang menyuapi Ali ketika makan malam. Bu Wahida pun mendekati mereka sambil melajukan kursi rodanya.
"Ali lagi ngapain?" tanya Bu Wahida sambil tersenyum. Cahaya langsung menundukan wajahnya, menyembunyikan luka lebam diwajahnya namun Bu Wahida rupanya curiga.
"Kau kenapa Aya?, apa Saka menyakitimu lagi?" tanya Bu Wahida. Seketika itu pula Cahaya langsung berlinang air mata.
"Bu, aku sudah cape hidup berumah tangga seperti ini. Mas Saka tidak pernah menghargai ku sama sekali" ucap Cahaya. Bu Wahida langsung terdiam.
"Maafkan ibu, semua gara gara ibu menjodohkanmu dengan Saka, hidupmu jadi menderita seperti ini"
Tiba tiba Saka datang dengan marahnya tanpa ada sebab yang jelas. Saka marah marah dan memukuli Cahaya di depan ibunya.
"Dasar perempuan terkutuk. Untuk apa tadi pagi kau datang ke kantorku. Kau mau mempermalukan ku dihadapan semua karyawan ku" teriak Saka sambil menjambak kerudung Cahaya. Cahaya pun meringis kesakitan, sementara Bu Wahida sudah berteriak teriak agar Saka tidak berbuat kasar pada istrinya.
"Sakit mas"
"Saka lepas kan Cahaya, jangan sakiti dia" teriak Bu Wahida. Namun saka tak menghiraukan ringisan dan tangis Cahaya, apalagi teriakan ibunya.
"Mati saja kau perempuan terkutuk" ucap Saka sambil mencekik Cahaya. Seketika itu pula Bu Wahida langsung mengambil fas bunga dan memukulkannya ke kepala Saka.
"AAAAAA" teriak Saka sambil memegangi kepalanya yang kini terluka dan berdarah. Cahaya namak terkejut, apalagi Ali langsung menangis. Tiba tiba Saka tergeletak pingsan.
"Mas Saka"
"Aya, sebaiknya kau tinggalkan rumah ini" pinta Bu Wahida. Cahaya pun terdiam kebingungan.
"Tapi Bu"
"Tidak ada tapi tapian Cahaya. Pergilah, carilah kebahagiaanmu nak, maafkan ibu. Ayo pergi sebelum Saka sadar dan menyakitimu lagi. Saka itu pikirannya sakit, dia bisa saja membunuhmu" tutur Bu Wahida.
"Tapi aku harus pergi kemana Bu?" tanya Cahaya bingung.
"Pergilah ke rumahnya pak Anwar, dia adalah orang kepercayaan ibu. Nanti dia yang akan mengurus perceraian mu dengan Saka" ucap Bu Wahida. Cahaya pun mengangguk dan langsung menggendong Ali dan pergi dari rumahnya Bu Wahida.
Cahaya pun mendatangi rumah nya pak Anwar yang sebelumnya di beri alamatnya oleh ibu mertuanya.
Tok tok tok.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Kini berdirilah seorang pria paruh baya di hadapannya Cahaya, dialah pak Anwar orang kepercayaannya Bu Wahida.
"Kau pasti Cahaya kan?" tanya pak Anwar. Cahaya pun mengangguk.
"Ayo masuk, Bu Wahida sudah bicara sebelumnya dengan saya" ucap pak Anwar. Lalu datanglah istri pak Anwar menghampiri mereka.
"Siapa ini pak?" tanya istrinya pak Anwar.
"Ini Cahaya menantunya Bu Wahida" jawab Pak Anwar. Dilihatnya Cahaya nampak kelelahan, apalagi ia menggendong Ali yang tertidur.
"Ayo masuk nak, nanti ibu obati lukamu" ucap istrinya pak Anwar. Selama beberapa hari terakhir, Cahaya dan Ali tinggal sementara di rumah nya pak Anwar. Pak Anwar dan Bu Wahida telah mengurus perceraian Cahaya dan Saka.
Sidang demi sidang Cahaya dan Saka lewati. Hingga mereka sah bercerai. Cahaya pun berhasil mendapatkan hak asuh atas putranya karena memang Saka tidak pernah perduli dengan Ali. Tangis kebahagiaan nampak jelas di raut wajah cantiknya Cahaya. Ia merasa sudah terbebas dari rumah tangga yang penuh dengan derita. Kini ia menerima dengan ikhlas setatusnya yang menjadi seorang janda.
"Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Aku sudah terbebas dari mas Saka. Berilah aku dan putraku kebahagiaan. Aamiin" batin Cahaya.
Sebelum pergi dari pengadilan, Saka pun sempat menghampiri Cahaya dan memberikan tatapan hina pada mantan istrinya itu.
"Aku tidak yakin kau dengan Ali bisa hidup bahagia tanpa diriku" ucap Saka dengan sombongnya. Cahaya pun tersenyum.
"Insya Allah aku dan Ali bisa bahagia tanpa dirimu mas Saka" jawab Cahaya. Saka malah tersenyum mengejek.
"Setatusmu sebagai seorang janda membuatmu akan semakin terhina" ucap Saka sambil berlalu pergi.
"Ayah" panggil Ali.
Saka tak memperdulikan panggilan putranya itu, ia terus berjalan dan pergi. Cahaya pun langsung memeluk Ali.
"Ali jangan sedih ya, Ali akan tinggal berdua sama ibu. Ibu yakin kita bisa bahagia tanpa ayah" ucap Cahaya menghibur putranya. Tiba tiba Bu Wahida menghampirinya bersama pak Anwar.
"Aya, ibu minta kau pergi sejauh mungkin dari Jakarta. Ibu tidak mau Saka menyakitimu lagi. Ibu juga yakin, Saka tidak akan membiarkan mu hidup bahagia. Jadi sebaiknya kau pergi dari sini, pergilah sejauh mungkin. Jangan sampai kau bertemu lagi dengan putraku. Putraku itu sakit jiwa, dia mewarisi sikap ayahnya" tutur Bu Wahida.
"Bu, boleh aku tanya, siapa sebenarnya ayah mertuaku itu?" ucap Cahaya. Bu Wahida langsung terdiam.
"Kau tidak perlu tau siapa ayahnya Saka. Yang penting sekarang kau pergi sejauh mungkin. Jagalah Ali sebaik mungkin, jagalah cucuku. Dengarkan aku Cahaya, berjanjilah kau tidak akan meninggalkan Ali. Karena suatu saat Saka pasti akan mencarinya"
"Kenapa memangnya Bu?" tanya Cahaya tak mengerti.
"Ibu sudah mewariskan semua harta ibu untuk Ali. Jadi jagalah Ali sebaik mungkin, karena Ibu yakin Saka tidak akan terima dan akan mengambil Ali darimu agar harta warisan ibu bisa dikuasainya" tutur Bu Wahida. Cahaya pun terdiam. Bu Wahida memberikan sebuah hape dan kalung serta anting yang dikenakannya.
"Pegang lah ini untuk bekalmu ke depannya. Ibu tidak bisa memberimu uang sekarang. Saka telah mengatur semua keuangan perusahaan. Pergilah nak, kalau ada apa apa hubungi ibu" tutur Bu Wahida. Seketika itu Cahaya menangis lalu memeluk Bu Wahida begitu pun dengan Ali.
"Maafkan ibu nak. Jagalah cucu ibu, jangan biarkan dia jatuh ke tangannya Saka" ucap Bu Wahida. Cahaya pun mengangguk ngangguk.
"Aku pergi Bu, asalamualaikum" pamit Cahaya dan Ali.
"Waalaikum salam"
"Ya Allah berikanlah kebahagiaan untuk Cahaya dan cucuku" batin Bu Wahida.
Kini Cahaya sudah pergi ke stasiun kereta. Ia bingung harus pergi kemana. Ia tidak punya keluarga dan teman dekat. Tiba tiba hape yang diberi Bu Wahida berbunyi. Cahaya pun langsung mengangkatnya.
"Assalamualaikum Bu" jawab Cahaya.
"Cahaya kau dan Ali sekarang ada dimana nak?" tanya Bu Wahida khawatir.
"Aku masih ada di Jakarta Bu, ini lgi di stasiun"
"Cepat pergi Aya, ternyata Saka sudah tau kalau ibu mewariskan semua harta ibu untuk Ali, dan sekarang Saka sedang mencari Ali. Dia akan melakukan apa saja untuk merebut Ali darimu. Pergilah sejauh mungkin Aya, ibu yakin sekarang anak buahnya Saka sedang mencari mu dan Ali ke setiap penjuru Jakarta" tutur Bu Wahida.
Saat Cahaya melihat anak buahnya Saka di stasiun itu, Cahaya langsung masuk ke sebuah kereta untuk bersembunyi tanpa tau tujuan kereta itu mau kemana. Saka dan anak buahnya sudah mencari cari. Hingga kereta itu berjalan dan pergi dari Jakarta. Hingga hampir tiga jam diperjalanan, Cahaya terus memeluk putranya, ia hanya membawa sebuah hape dan perhiasan pemberian Bu Wahida serta uang seadanya yang ia taruh di tas kecilnya.
Ketika kereta berhenti di sebuah stasiun di kota A, semua penumpang pun turun. Cahaya sudah menggendong Ali. Ia mulai kebingungan harus pergi kemana. Ia berjalan tanpa tujuan, hanya membawa tas kecil yang isinya perhiasan dan hape.
"Bu, kita mau kemana?" tanya Ali. Cahaya pun terdiam, lalu tersenyum untuk menghibur putranya itu.
"Kita akan menjemput kebahagiaan kita nak. Sabar ya, semoga Allah memberikan kita jalan yang terbaik" ucap Cahaya.
Daerah asing itu membuatnya kebingungan. Cahaya sudah celingak celinguk.
"Bu, Ali haus" ucap Ali.
Cahaya pun tersenyum melihat diseberang stasiun ada sebuah pasar. Cahaya pun pergi ke pasar untuk membeli minuman serta makan untuk dirinya dan Ali, tak lupa juga Cahaya menjual perhiasan yang diberi Bu Wahida padanya.
Saat Cahaya berjalan keluar dari pasar, tiba tiba ada seorang pencuri yang menjambret tas kecilnya. Seketika Cahaya langsung berteriak minta tolong.
"Tolong ada copet, tas ku diambil" teriak Cahaya. Seketika itu pula orang orang di pasar itu membantu Cahaya termasuk Aisyah dan Bi Ratna yang kebetulan sedang berbelanja di pasar.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Aisyah pada Cahaya.
"Tas ku dicopet" jawab Cahaya.
Untung saja para tukang ojek disana berhasil meringkuk copet itu dan mengembalikan tas Cahaya.
"Terimakasih untuk semua karena telah menolong saya" ucap Cahaya.
"Siapa namamu?, dan kau mau pulang kemana?" tanya Aisyah.
"Namaku Cahaya. Aku baru datang dari Jakarta, hanya saja aku belum tau mau kemana. Ini aku mencari rumah kontrakan" jawab Cahaya. Aisyah dan Bi Ratna pun terdiam.
"Aku Bi Ratna, dan ini Aisyah. Bagaimana jika kau ikut dengan kami, kita tinggal disebuah pesantren. Kebetulan disana ada sebuah kontrakan milik Fadil dan Syifa, kau bisa mengontrak disana sekalian kau pun bisa memasukan putramu untuk jadi santri baru di pesantren. Itu juga jika kau mau" tutur Bi Ratna. Cahaya malah terdiam.
"Apa aku harus ikut dengan mereka?. Tapi sepertinya aku bisa bersembunyi di pesantren itu dari kejarannya Saka. Mudah mudahan disana bisa membuat aku dan Ali aman dari kejarannya Saka" batin Cahaya.
"Aku mau ikut dengan kalian"
_
_
_
_
_
_
_
*Sedikit prakata dari author ya. Maaf jika sebagian reader merasa kecewa dengan sosok Cahaya yang hanya seorang janda untuk didampingkan bersama Adam.
Disini aku memberi sedikit cerita berbeda dari sebelumnya. Karena cerita pasangan yang sempurna sudah sering kita baca di novel novel yang lain. Dari laki laki sempurna dipasangkan dengan perempuan sempurna.
Author hanya mau bicara sedikit. Janda juga manusia. Tidak ada perempuan yang bercita cita menjadi janda, hanya saja keadaan yang memaksa. Menjadi janda bukanlah sebuah pilihan melainkan sebuah keadaan.
Lebih baik menjadi janda terhormat dari pada menjadi perawan laknat. Di zaman seperti ini sudah susah untuk mencari perawan yang kesuciannya masih terjaga. Janganlah pandang seorang janda dengan sebelah mata, mereka juga manusia biasa, punya hati dan perasaan. Tidak semua janda mempunyai perilaku buruk. Ingat ya Rasulullah yang sempurna saja mau menikahi seorang janda, apalagi Adam yang hanya manusia biasa.
Maaf ya jadi kepanjangan bicaranya. Semoga semua terhibur dengan ceritanya. Terima kasih. Salam manis dari Author*.
Masih dengan Cahaya yang ikut ke Pesantren bersama Aisyah dan Bi Ratna. Ketika masuk gerbang utama, tak lupa Cahaya membaca do'a terlebih dahulu.
"Bismillahirrahmanirrahim. Ya Allah semoga tempat ini menjadi tempat yang aman untuku dan Ali, semoga di tempat yang baru ini aku bisa mendapatkan kebahagiaan. Aamiin" batin Cahaya.
Sebelum Cahaya pergi untuk melihat kontrakan milik Syifa, ia pun diajak dulu ke rumahnya Bi Ratna.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam" jawab Mang Ilham suami tercintanya Bi Ratna yang kini sudah mulai beruban. Mang Ilham pun terdiam ketika melihat Cahaya bersama Ali.
"Ini siapa Bu?" tanya Mang Ilham.
"Ini Cahaya dan ini Ali putranya" jawab Bi Ratna. Mereka pun duduk duduk sambil beristirahat.
"Aya, boleh Tante Aisyah tanya, dimana suamimu?" ucap Aisyah. Cahaya langsung terdiam menunduk, membuat Aisyah dan Bi Ratna saling lirik.
"Aku ini seorang janda. Aku baru saja bercerai dengan suamiku" jawab Cahaya.
"Tidak apa apa, kami tidak mempermasalah kan hal itu. Ngomong ngomong kau mau mengontrak disini atau mau cari tempat yang lain?" tanya Bi Ratna.
"Aku ingin mengontrak saja di lingkungan pesantren ini. Aku tidak punya saudara, mungkin tempat baru ini bisa membuatku nyaman" tutur Cahaya. Aisyah dan Bi Ratna pun tersenyum.
"Nanti Bi Ratna antar kau ke kontrakan nya Syifa. Apa kau ingin memasukan Ali menjadi santrinya kiyai Husen?" tanya Bi Ratna.
Cahaya langsung menatap putranya.
"Ali mau belajar disini?" tanya Cahaya. Ali langsung mengangguk ngangguk.
"Nanti aku bantu daftarin Ali" ucap Aisyah.
"Terima kasih Tante Aisyah. Tapi kalau seandainya aku kerja diluar, boleh aku keluar masuk pesantren ini?" tanya Cahaya.
"Memangnya kau mau kerja dimana Aya?"
Cahaya langsung terdiam.
"Aku tidak tau mau kerja dimana, aku juga tau pasti Bu Wahida akan menunjang kehidupanku dan Ali, tapi tidak mungkin aku hanya berdiam diri disini" batin Cahaya.
"Aku belum tau mau kerja dimana" jawab Cahaya.
"Kau bisa memasak?" tanya bi Ratna. Cahaya pun mengangguk.
"Kalau kau bisa masak, nanti Bi Ratna tanya sama Erika dan Hasan, mereka mempunyai rumah makan tidak jauh dari sini, siapa tau mereka membutuhkan karyawan" tutur Bi Ratna. Cahaya pun tersenyum.
"Terimakasih ya Bi Ratna, Tante Aisyah, kalian sudah mau membantuku" ucap Cahaya.
"Sama sama Aya, maaf Tante Aisyah harus pulang dulu, takut anak anak sudah pulang, nanti kau diantar ke kontrakan nya sama Bi Ratna saja ya" tutur Aisyah. Cahaya pun mengangguk.
Setelah kepergian Aisyah. Cahaya pun diantar untuk melihat kontrakannya Syifa, sebelum itu Bi Ratna juga sudah menghubungi sepasang suami istri itu.
Sesampainya disana, kebetulan rumah Syifa dan kontrakan yang ada 12 petak itu berdekatan. Sebelumnya mereka melihat lihat kontrakan itu terlebih dahulu kebetulan kontrakannya ada 4 lagi yang belum terisi. Kontrakan itu terlihat sederhana namun terasa nyaman.
"Aku suka Bi kontrakannya" ucap Cahaya. Bi Ratna pun tersenyum.
"Ayo kita temui Syifa dan mas Fadil" ajak bi Ratna.
Tok tok tok.
"Assalamualaikum"
"Waalaikum salam" jawab Syifa sambil membuka pintu. Syifa pun tersenyum begitu pun dengan Cahaya.
"Mari masuk" ajak Syifa.
Cahaya, Ali dan Bi Ratna pun duduk diruang tamu rumahnya Syifa. Fadil pun datang menghampiri.
"Oh jadi ini yang mau ngontrak itu" ucap Fadil. Cahaya pun mengangguk. Tak lupa Syifa memberikan minum pada Cahaya dan Bi Ratna.
"Silahkan diminum, sudah lihat kontrakannya?" tanya Syifa.
"Sudah mba, aku suka kontrakannya" jawab Cahaya. Syifa dan Fadil pun tersenyum.
"Suamimu ikut tinggal di sini juga?" tanya Syifa. Cahaya langsung terdiam.
"Maaf mba Syifa, aku akan tinggal berdua bersama Ali" jawab Cahaya.
"Cahaya ini seorang janda, jadi dia akan tinggal berdua saja bersama putranya. Kebetulan Ali juga mau nyantri disini" ucap Bi Ratna. Syifa dan Fadil langsung terdiam.
"Ya Allah, kasihan Cahaya, masih muda tapi sudah menjadi janda. Waah bahaya nih buat si Abang, pandangan Bang Fadil harus di jaga nih, takutnya dia kecantol" batin Syifa.
Syifa seketika langsung berbisik pada Fadil.
"Abang kondisikan matanya ya, jangan lirik lirik si Aya, nanti aku cemburu. Kalau mau lirik lirikan sama Bi Ratna saja" bisik Syifa. Fadil langsung mengernyit.
"Idiiih si semok tumben tumbenan cemburu, kupikir dia cuma cemburu sama si Beky doang, ternyata dia cemburu sama si Aya. Masa aku harus lirik lirikan sama Bi Ratna, nanti aku dibabad mang Ilham" batin Fadil.
Setelah Cahaya membayar uang muka untuk menyewa kontrakan itu, Syifa pun memberikan kunci kontrakan nya.
"Kalau mau mindahin barang barang punyamu, nanti kubantu" ucap Fadil. Seketika Syifa langsung mencubit pinggang suaminya dari belakang.
"Awwwww" ringis Fadil.
"Jangan genit" bisik Syifa. Bi Ratna dan Cahaya pun mengernyit heran melihat Fadil meringis kesakitan. Sementara Ali malah tertawa kecil karena dia melihat Syifa mencubit.
"Kenapa mas Fadil?" tanya Bi Ratna.
"Asam urat ku kambuh Bi" jawab Fadil bohong.
"Aya, biar aku saja yang membantumu beres beres" ucap Syifa. Cahaya pun tersenyum.
"Terima kasih mba Syifa, tapi aku tidak bawa barang apa apa kesini" jawab Cahaya. Syifa kembali terdiam.
"Penampilan si Cahaya itu sepertinya dia orang kaya, tapi ko dia gak bawa apa apa, jangan jangan dia kabur dari rumah" batin Syifa.
Syifa pun tersenyum ketika melihat Ali.
"Duuh putranya lucu ya, boleh aku menggendongnya?" ucap Syifa.
"Tentu"
Syifa sudah lama menikah namun dia dan Fadil belum dikaruniai keturunan. Kini Syifa sudah menggendong Ali.
"Abang, aku ingin punya anak" ucap Syifa.
"Ayo semok kita bikin" ucap Fadil. Cahaya dan Bi Ratna sudah menunduk menahan tawanya.
"Ikh Abang, ngomongnya bisik bisik aja, malu didengar Aya sama Bi Ratna" ucap Syifa.
Setelah berberes beres di kontrakan, Bi Ratna menyarankan agar Cahaya segera mendaftarkan Ali menjadi santri baru, sekalian juga dia bisa melihat sekeliling lingkungan itu. Kini Syifa sudah mengantar Cahaya dan Ali ke rumahnya ustad Usman.
"Ustad Usman itu siapa?" tanya Cahaya sambil berjalan menuju rumahnya Ustad Usman.
"Ustad Usman itu ayah mertuaku, dia yang memimpin pesantren bersama ustad Soleh. Yang punya pesantren itu kiyai Husen" tutur Syifa.
Sesampainya di rumahnya ustad Usman.
"Assalamualaikum"
"Waalaikum salam"
jawab Silmi sambil membuka pintu.
"Eh ka Syifa, masuk ka" Silmi mempersilahkan.
"Kita duduk di depan saja, Abi ada gak, bilangin ada tamu" ucap Syifa. Silmi mengangguk dan langsung memberitahu Abi nya. Seketika itu pula Ustad Usman langsung menemui mereka di depan rumah.
"Assalamualaikum Bi"
"Waalaikum salam"
Ustad Usman pun duduk bersama mereka.
"Ini Cahaya Bi, dan ini putranya Ali, mereka datang dari Jakarta. Cahaya ingin mendaftarkan Ali untuk jadi santri disini. Kebetulan Cahaya dan Ali akan tinggal disini, mereka sudah mengontrak salah satu dari kontrakan Abang Fayang" tutur Syifa. Ustad Usman pun mengangguk lalu menatap Ali.
"Alibaba sini, kenalan dulu sama om ustad" ucap ustad Usman.
"Namanya Ali Wijaya, bukan Alibaba" ucap Cahaya.
"Aku cuma bercanda Sinar" jawab ustad Usman. Cahaya pun langsung mengernyit.
"Namaku Cahaya, bukan Sinar" ucap Cahaya sedikit protes.
"Sinar itu kan kakaknya Cahaya, jadi sama saja" ucap Ustad Usman. Cahaya kembali mengernyit lalu menatap Syifa.
"Yang sabar ya menghadapi ayah mertuaku" bisik Syifa. Cahaya pun mengangguk pasrah.
Setelah mengurus ini itu, Ali pun resmi menjadi santri baru di sana.
"Besok Ali boleh langsung ikut belajar, dia akan tinggal di asrama atau tinggal di kontrakan bersamamu?" tanya ustad Usman.
"Ali akan tinggal bersamaku di kontrakan"
Ustad Usman pun mengangguk.
"Suamimu kerja dimana?" tanya ustad Usman.
"Aku sudah tidak punya suami" jawab Cahaya.
Ustad Usman pun terdiam.
"Tragedi dokter Ikbal akan terjadi kembali. Dulu saat Dokter Ikbal berada disini, para suami mendadak cemburu. Dan sekarang ada Cahaya, janda muda berparas cantik, pasti para istri istri mendadak cemburu" batin ustad Usman.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!