NovelToon NovelToon

Maukah Kau Menikah Denganku?

Pembukaan

Sekuel Istri Kedua.

💗💗💗

Apa yang terlintas di benak Anda bila bertemu dengan seorang janda cantik, menggiurkan, cerdas, perilakunya baik, dan ia sedang mencari pendamping hidup? 

Jika Anda seorang laki-laki, maka ‘naluri kelaki-lakian’ Anda akan bangkit. Anda akan do everything for getting her. Jika Anda seorang wanita, pastilah Anda mengacungkan jempol untuknya dan banyak belajar darinya.

Saya akan kisahkan tentang seorang janda luar biasa ini, yang bahan-bahan utamanya saya ambil dari kitab Siyar A‘lam an-Nubala (terbitan Mesir) karya Imam az-Zahabi dan kitab Suwar min Hayat as-Shahabah (terbitan Mesir) karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Pasya, di samping kitab-kitab sirah lainnya.

Begini kisahnya.

Di zaman Rasulullah saw. ada seorang janda cantik yang ditinggal mati suaminya. Namanya Rumaysha binti Milhan an-Najjariyyah, yang biasa dipanggil dengan sebutan Ummu Sulaim. Anda masih ingat dengan Anasradhiyallahu anhu anhu, yang senantiasa melayani keperluan Rasulullah saw.? Ya, Anas adalah anak Ummu Sulaim.

Ketika tersebar berita bahwa Ummu Sulaim menjadi janda, banyak lelaki ingin bersanding hidup dengannya. Lelaki mana yang tidak mendambakan wanita seperti Ummu Sulaim? Ummu Sulaim adalah tipe wanita yang memilikiinner-beauty-beauty: bukan hanya cantik wajahnya, namun baik pula perilakunya dan cerdas pula akalnya.

Salah satu lelaki yang berhasrat dengan Ummu Sulaim adalah Zayd bin Sahl an-Najjari, yang biasa dipanggil dengan sebutan Abu Thalhah. Abu Thalhah adalah seorang lelaki terhormat, gentle, dan kaya. Dengan kelebihannya itu ia berniat melamar Ummu Sulaim, dan ia yakin tidak akan ada lelaki lain yang bisa mengungguli kelebihannya itu.

Maka, berangkatlah Abu Thalhah menuju rumah Ummu Sulaim.

Dalam perjalanan, Abu Thalhah teringat bahwa Ummu Sulaim sudah mengikuti agama Muhammad (masuk Islam) berkat dakwah Mush‘ab bin Umayr. ‘Tapi, apa urusannya denganku? Bukankah mantan suaminya mati dalam keadaan mengikuti agama nenek moyangnya, tidak masuk Islam?’, begitu kata hati Abu Thalhah. Maklum, Abu Thalhah adalah seorang non-Muslim.

Ketika Abu Thalhah sampai di depan rumah Ummu Sulaim, ia minta izin untuk dibukakan pintu. Ia dizinkan masuk. Saat itu, di dalam rumah Ummu Sulaim, ada Anas. Maka, tanpa basa-basi panjang, Abu Thalhah mengutarakan maksud kedatangannya.

Setelah mendengar maksud kedatangan Abu Thalhah, Ummu Sulaim berkata, ‘Wahai Abu Thalhah, orang sepertimu tidak akan ditolak lamarannya. Tapi, saya tidak bersedia kawin denganmu, karena engkau masih kafir’.

Mendengar jawaban Ummu Sulaim, Abu Thalhah menduga bahwa Ummu Sulaim hanya ‘cari-cari alasan’ saja, padahal ia tahu bahwa Abu Thalhah adalah lelaki kaya dan disegani masyarakat.

Abu Thalhah berkata, ‘Wahai Ummu Sulaim, apakah ini yang membuatmu menolak lamaranku?’.

Ummu Sulaim berkata, ‘Memangnya apa, kalau begitu?’.

‘Yang kuning dan putih… emas dan perak…’, jawab Abu Thalhah sambil memperlihatkan barang-barang tersebut.

‘Maksudmu, emas dan perak?’, kata Ummu Sulaim.

‘Ya’, jawab Abu Thalhah.

Ummu Sulaim berkata, ‘Bukan itu… bukan itu… Wahai Abu Thalhah, sungguh aku bersaksi kepadamu dan bersaksi kepada Allah dan rasul-Nya, seandainya engkau mau masuk Islam maka aku rela menjadi istrimu, tanpa perlu engkau beri emas dan perak. Jika engkau masuk Islam, maka itulah maharku untukmu’.

Ummu Sulaim tahu bahwa selama ini Abu Thalhah menyimpan berhala di rumahnya, yang terbuat dari kayu antik. Setiap hari Abu Thalhah menyembah berhala ini, sebagaimana dilakukan oleh para pembesar lainnya. Ummu Sulaim menggunakan kesempatan baik ini untuk mengajak Abu Thalhah masuk Islam.

Ummu Sulaim memang cerdas!

Lalu Ummu Sulaim berkata, ‘Wahai Abu Thalhah, bukankah engkau tahu bahwa tuhanmu yang engkau sembah selama ini adalah sesuatu yang tumbuh di atas bumi?’

‘Tentu saja aku tahu’, jawab Abu Thalhah.

Ummu Sulaim berkata, ‘Apakah engkau tidak merasa bahwa tuhan yang selama ini engkau sembah dijadikan kayu bakar oleh orang lain, yang apinya dipakai untuk menghangatkan badan atau untuk membuat roti? Wahai Abu Thalhah, kalau engkau bersedia masuk Islam, maka aku rela menjadi istrimu. Aku tidak membutuhkan mahar lain selain engkau masuk Islam’.

‘Siapa yang akan menuntun aku masuk Islam?’, tanya Abu Thalhah.

‘Aku yang akan menuntunmu’, jawab Ummu Sulaim.

‘Bagaimana caranya?’, tanya Abu Thalhah penasaran.

Ummu Sulaim berkata, ‘Mudah saja. Engkau cukup mengatakan kalimat engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Setelah itu, engkau pulang ke rumahmu, engkau hancurkan semua berhala yang ada di rumahmu, lalu engkau lemparkan semuanya keluar’.

Mendengar opsi yang ditawarkan Ummu Sulaim, maka Abu Thalhah senang bukan kepalang. Lalu ia berkata, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya’.

Abu Thalhah mengucapkan syahadat. Ia masuk Islam.

Lalu, sesuai dengan syarat yang ditawarkan Ummu Sulaim, ia mengawini Ummu Sulaim. Sejak saat itu, Abu Thalhah menjadi orang yang ber-khidmat untuk agama Islam.

Kisah lamaran Abu Thalhah kepada Ummu Sulaim menjadi buah-bibir. Sampai-sampai banyak orang berkata, ‘Tidak pernah kami dengar ada mahar yang lebih mulia dibanding maharnya Ummu Sulaim, karena maharnya adalah Islam’.

Rumahtangga yang dijalani Ummu Sulaim dan Abu Thalhah adalah rumahtangga yang penuh keberkahan.

💗💗💗

Siapakah pria yang kelak akan mempersunting Thifa?

Apakah pria kaya raya? Biasa? Buruk rupa? Bad boy?

💗💗💗

Kisah selanjutnya saya mau ambil dari kisahnya Ummu Sulaim. Dengan alur yang berbeda pastinya. Ditambah konflik yang lebih greget ala-ala alakadarnya 😂

💗💗💗

1

Mohon Follow dulu yaaaa

🌸🌸🌸

Apa yang kamu pikirkan saat mendengar kata "Janda."

Pikiran pertama yang melintas adalah negatif. Kalau ditinggal meninggal suaminya.

"Kasihan ya,  masih muda ditinggal mati suaminya."

"Emang enak, suaminya meninggal. Makanya jadi perempuan jangan cerewet. Nurut sama suami. Liat tuh, bingung kan dia udah nggak ada yang ngasih uang lagi. Biayain hidup dia."

Kalau jadi janda karena cerai.

"Duh kasihan banget ya dia, padahal baik. Tapi suaminya direbut pelakor. Dia juga sih, nggak pernah dandan. Jadi disabet deh sama cewek lain."

"Emang enak dicerai sama lakinya. Abis dia selingkuh sih sama laki lain. Nggak ada bersyukurnya jadi bini."

"Eh dia dicerai gara-gara katanya nggak bisa ngasih anak, kasihan ya."

Gimana kalau itu terjadi dengan keluarga kalian, anak perempuan, atau adik perempuan. Nyesek gaes. Belum lagi janda yang harus membesarkan anak-anaknya sendiri di balik cibiran para tetangga julid. Keluarga atau bahkan pria hidung belang. Mereka biasa menganggap janda itu seperti barang bekas dan murahan.

Padahal Rosulullah saja memuliakan janda dengan menikahinya.

Tapi, buat para laki-laki jangan sampai menjandakan istri demi janda yang lain ya. Kalau nikah lagi, silakan. Yang penting bukan suami saya. Hehehe.

🌸🌸🌸

Siapa sih di dunia ini wanita normal yang ingin menjadi seorang janda?

Tidak ada pastinya.

Sama halnya dengan wanita berjilbab abu-abu, yang tengah duduk di sebuah taman. Ia adalah Lathifa Nur Rahma. Wanita berusia dua puluh empat tahun itu tengah menemani sang putra bermain.

"Bunda, aku mau es krim." Suara kecilnya terdengar seraya menarik ujung jilbab bundanya.

Belum sempat wanita itu mengangguk, anak laki-laki berusia tiga tahun itu sudah berlari. Ia menuju ke seberang jalan. Di mana seorang pedagang ice cream terlihat ramai dikelilingi para pembeli.

Brak!

Tiba-tiba sebuah mobil melintas tanpa disadari oleh bocah laki-laki itu. Akibatnya tubuh bocah itu tertabrak.

"Zain!" teriak Thifa melihat kejadian itu.

Thifa berlari ke tempat di mana sang putra tergeletak. Kejadian itu mengingatkannya kembali dengan kecelakaan yang menimpa suaminya. Beberapa tahun silam.

Thifa mengangkat tubuh putranya ke pangkuan. Darah mengalir dari pelipis dan kepala belakang. Tubuhnya pun luka-luka. Sementara mobil yang menabraknya sudah kabur. Namun, ia sempat mengingat nomor polisinya. B 7451 PAS.

🌸🌸🌸

Dua tahun telah berlalu, semenjak kecelakaan tersebut. Zain, putra Thifa mengalami kebutaan. Kedua matanya tak bisa berfungsi lagi. Benturan dibagian kepala membuat jaringan retina sang anak mengalami kerusakan.

Thifa begitu terpukul, setelah kematian suaminya yang mendadak. Kini sang anak harus pula mengalami nasib tragis. Ia hanya bisa berserah diri pada Allah. Atas semua yang menimpa keluarganya.

Meski awalnya terasa berat, ia tahu kalau Allah tak akan mengujinya di luar batas kemampuannya. Ia kini mengajarkan sang anak untuk kembali menghafal quran. Meski ia tak dapat melihat huruf-huruf hijaiyah. Tapi, tak menyurutkan niat sang anak untuk terus bisa menghafal, dengan cara mendengarkan suara murotal yang distel sang bunda.

"Zain, Bunda mengajar dulu, ya." Thifa mengusap kepala sang anak lembut.

"Iya, Bunda."

"Kamu sama eyang, ya."

"Thifa, nanti sepulang dari ngajar. Ummi minta tolong kamu ke kantor pos, ya. Tolong belikan materai." Ummi yang sedari tadi menemani Zain, menyodorkan selembar uang pada sang putri.

"Berapa banyak, Ummi?"

"Selembar, untuk keperluan Abi di pesantren. Kebetulan koperasi kehabisan."

"Baik, Ummi. Insya Allah nanti aku ke sana. Aku berangkat dulu, ya."

Thifa menyalami umminya, begitupula dengan Zain menyalami bundanya.

Ada rasa perih, saat Thifa hendak keluar berangkat mengajar. Ia harus meninggalkan sang anak di rumah. Meskipun ada umminya. Ia tahu, menjaga Zain dengan keadaan seperti itu tak semudah menjaga anak-anak lain yang normal.

Zain masih suka menangis setiap kali mendengar anak-anak seusianya bermain di luar. Ia ingin ikut juga, tapi eyangnya selalu melarang. Pernah sekali ia dibiarkan bermain dengan anak-anak lain. Dengan diawasi. Sayangnya masih ada anak yang suka mengejeknya. Meski anaknya sendiri tidak menangis. Namun, eyangnya merasa sakit mendengar cucu kesayangannya diejek oleh anak lain. Oleh karena itu ia tak mengizinkan Zain bermain.

🌸🌸🌸

Siangnya, saat jam istirahat tiba. Thifa keluar dari kelas menuju ke kantor. Matanya dikejutkan oleh sesosok wanita yang lama sekali tak pernah bertemu. Terakhir saat di pemakaman sang suami beberapa tahun lalu.

"Assalamualaikum, Thifa," sapanya lembut.

"Wa-waalikum salam." Thifa memeluk wanita berjilbab itu.

"Apa kabar, Mbak?" tanya Thifa seraya mengurai pelukan. Matanya berkaca-kaca tak percaya menatap wanita di hadapannya itu.

Wanita yang dulu hanya bisa duduk di kursi roda tak berdaya. Wanita yang pernah dibohongi olehnya dan sang suami. Kini, wanita itu berdiri tegap di depannya, dengan menggandeng seorang anak perempuan seusia putranya.

"Iya, ini aku, Thifa."

"Mbak Syahila? Masya Allah."

Thifa mengajak wanita yang pernah ada dalam masa lalunya itu, untuk duduk di sebuah ruang tunggu.

"Kenalin, ini suami aku sekarang. Mas Danar. Ini anak kami. Namanya Syaqila." Syahila memperkenalkan suami dan anaknya.

Saat Syahila memperkenalkan anak perempuannya itu. Kening Thifa bertaut. Ia merasa bingung, karena dulu ibu mertuanya pernah bilang kalau Syahila tak bisa memilik anak. Karena rahimnya telah diangkat.

"Kamu pasti bingung, kenapa aku bisa punya anak?" tebak Syahila.

"Maaf, Mbak."

Syahila tersenyum kecil. "Iya, aku tahu kok. Waktu Mas Danar mau menikahiku, aku pernah bilang sama dia. Kalau aku nggak bisa ngasih dia keturunan. Dia nggak percaya dengan hasil lab yang tempo hari aku lihat di apartemen.Orang tua Mas Danar mengajakku ke rumah sakit untuk periksa. Ternyata rahim aku baik-baik saja. Aku nggak mau suudzon sama mama atau pun pihak rumah sakit waktu itu. Aku pikir mungkin semua ini memang sudah jalan yang harus aku tempuh. Setelah menikah, Mas Danar mengajakku berobat ke Singapura. Aku diterapi sampai bisa jalan lagu seperti sekarang." Syahila menceritakan kehidupannya setelah kepergian Athar.

Thifa terdiam. Ia merasa dirinya tak sehebat dan setegar wanita di hadapannya itu. Bahkan bisa dibilang lemah. Masih memiliki tubuh yang sempurna, keluarga yang utuh. Tapi, seringkali mengeluh dengan keadaan atau ujian yang kerap kali menimpanya.

Saat pertama melahirkan pun, ia sempat mengalami baby blues berkepanjangan. Belum lagi ASI nya tak kunjung keluar. Tak ada suami yang mendampingi. Hingga sang anak tumbuh menjadi anak yang aktif, lalu kehilangan penglihatan. Ia masih terkadang suka menyalahkan takdir. Mengapa takdir buruk selalu menimpanya. Seharusnya ia bersyukur masih banyak yang peduli dan menyayanginya.

"Thifa, kenapa diam? Mana anak kamu?" tanya Syahila mengejutkannya.

"Ada di rumah sama eyangnya."

"Oh."

"Kalian ke sini ada perlu apa? Nggak mungkin kan kalau cuma mau nemuin aku?" Thifa mencoba bercanda dengan mantan madunya itu.

"Ini, aku mau titip Syaqila di pesantren ini. Untuk usia lima tahun berarti TK ya?"

"Owh. Iya, Mbak. Ada TPA di sini. Nanti tujuh tahun bisa masuk ke MI nya. Emang udah siap masuk pesantren, sayang?" tanya Thifa pada gadis kecil berjilbab pink itu.

Gadis kecil itu tersenyum malu. Wajahnya persis sekali dengan sang mama. Cantik, dan kulitnya putih bersih. Ia hanya mengangguk.

"Eum, pendaftarannya sama adik aku. Sebentar, ya, Mbak." Thifa bangkit dari duduknya. Ia mendekat ke meja sang adik.

"Va, ada calon santriwati baru." Thifa menepuk bahu adiknya yang sedang sibuk mengetik.

"Oh, iya, Mbak. Sebentar. Aku selesain ini dulu."

"Okey."

Deeva adik perempuan Thifa kini menjadi staf administrasi di pesantren. Dua tahun setelah kepergian Athar. Ia menikah dengan ustadz Fikri dan tinggal di rumah sang ustadz. Namun, hingga sekarang, adik perempuan Thifa itu belum juga dikaruniai seorang anak.

🌸🌸🌸

Sepulang mengajar, setengah tiga sore. Thifa keluar pesantren hendak membeli materai pesanan ummi ke kantor pos. Dengan mengendarai sepeda ontel, ia mengayuh perlahan sambil menikmati suasana jalanan. Setengah jam lagi kantor pos akan segera tutup, ia pun mempercepat kayuhannya.

Sesampainya, ia pun memarkir sepedanya di samping mobil hitam. Matanya terbelalak saat melihat plat nomor mobil tersebut. Ia mengenalinya. Mobil itu adalah yang telah menabrak sang putra hingga tak bisa melihat lagi.

Napas Thifa seketika sesak, kakinya gemetar. Ia memegang mobil itu melihat ke arah dalam. Barangkali ada pemiliknya. Namun, di dalam kosong. Ia bergegas masuk ke kantor pos membeli materai terlebih dahulu.

Thifa menunggu di depan pintu, ia penasaran dengan pemilik mobil tersebut. Siapa orang yang telah menyelakai anaknya dua tahun lalu. Ia tak akan menuntut, ia hanya ingin tahu. Seperti apa wajah penabrak itu yang tak punya hati nurani.

Lima belas menit ia menunggu. Lelah.

Ia pun hendak memutar sepedanya ke arah pagar. Namun, terhenti saat seorang pria bule berjalan ke arah mobil hitam itu. Lalu masuk dan menghidupkan mesin. Tak lama kemudian mobil itu mundur diarahkan juru parkir, dan melaju meninggalkan tempat tersebut.

Jantung Thifa berdebar, rasanya ia ingin marah. Kesal. Sungguh betapa teganya pria tadi,  menabrak seorang anak tak berdosa hingga buta. Lalu ia melarikan diri tanpa tanggung jawab. Bagaimana jika sang anak waktu tak selamat, pelaku masih bebas berkeliaran. Sama seperti penabrak suaminya.

Mata Thifa berair mengingat kembali kejadian itu. Pipinya kembali basah. Ia menarik napas dalam dan mengusap pipi dengan punggung tangan.

"Mbak, baik-baik saja?" tanya sang juru parkir yang melihatnya.

Thifa hanya mengangguk. "Iya, Bang. Saya nggak apa-apa."

Thifa lalu kembali naik sepeda dan pulang. Setidaknya ia sudah tak penasaran lagi dengan wajah penabrak itu. Hanya satu yang menjadi pertanyaan. Kenapa dia kabur? Dan tak mau bertanggung jawab.

💕💕💕

***Bersambung.

Vote dan komennya yaaa***

2

Follow dulu dong biar enak. Buat yg belum. Yang udah nih kasih ***** aje.

Emuuuuaaaaaaccccchh.

Duh muncrat.

Yuk happy reading yaaaaa

🌸🌸🌸

"Gimana, Fan? Ada dokumennya?" tanya seorang pria tua, yang rambutnya sudah terlihat hampir putih semua.

Brugh!

Seorang pria muda menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Menghela napas pelan seraya menyibak rambut gondrongnya ke belakang.

"Nggak ada, Pa. Aku udah acak-acak itu kantor pos. Belum dikirim kali."

"Nggak mungkin. Anak buah papa yang kirim laporan keuangan itu."

"Ya, Papa ada-ada aja. Pake dokumen dikirim lewat pos. Kan sekarang ada gosend. Bisa kirim barang langsung sampai."

Pria tua itu terdiam. Ia tahu tak akan pernah menang berdebat dengan anak laki-lakinya itu.

"Kamu nggak kerja?" tanya sang papa lagi.

"Masuk malam, Pa. Udah ah aku mau pergi dulu."

Pria muda itu bangkit dari duduknya. Belum sempat ia melangkah keluar, suara panggilan dari arah belakang membuatnya menoleh.

"Kak Taufan!" Seorang gadis berlari menghampirinya.

"Apa, Karin?"

"Kunci mobil mana?"

"Tuh di meja!"

"Okey." Gadis itu segera mengambil kunci mobil yang tergeletak di meja. Lalu pergi keluar rumah.

"Lihat tuh adik kamu! Harusnya kamu jagain dia, pasti pacaran lagi deh."

"Yah namanya juga anak muda. Memangnya sang pujangga macam Donny Kei nggak pernah pacaran?" ledek sang anak pada papanya.

Donny sang papa hanya menggeleng lemah. Menatap putra kesayangannya itu melangkah keluar rumah. Hari-harinya kini hanya ditemani kedua anaknya. Semenjak sang istri meninggal lima tahun lalu karena kanker payudara.

Donny adalah seorang pengusaha dibidang kuliner, yang merangkap sebagai seorang penulis novel. Ia memiliki cafe cofee and cake. Juga makanan khas Indonesia, bakso gagal move on namanya. Karya-karya hasil tulisannya juga sudah banyak bertebaran di toko buku.

Ia merintis usahanya dari nol. Saat itu ia bersama-sama membangun usaha dengan sang istri yang bernama Hilda. Hanya saja saat ia memutuskan untuk menulis, masalah kerap timbul dalam rumah tangganya.  Sang istri merasa dirinya menjadi kurang perhatian. Lebih sering bermain handphone dan laptop tiap kali pulang kerja. Sehingga ia memutuskan untuk berpisah, karena menganggap kalau sang istri tak bisa menghargai karyanya.

Belum genap setahun perceraiannya, ia memutuskan untuk menikahi mantan kekasihnya. Dan itu membuat mantan istrinya merasa geram. Bagaimana tidak, nafkah untuk putranya tak lagi ia beri. Justru menikah dengan wanita lain. Sampai sekarang Donny tak pernah lagi tahu bagaimana keberadaan mantan istrinya itu.

🌸🌸🌸

Pria berambut gondrong itu duduk di sebuah warung pinggir jalan. Menanti datangnya gelap. Masih sekitar tiga jam lagi dia harus berangkat kerja. Shift malam di sebuah perusahaan bergerak di bidang otomotif. Sebagai pengawas mesin produksi.

Meski papanya memiliki usaha sendiri, ia tak pernah tertarik untuk meneruskan bisnis orang tuanya. Ia lebih suka bermain dengan alat las, besi-besi, mur, baut yang menurutnya lebih macho.

"Fan, sendirian aja. Cewek lu mana?" Sebuah suara mengejutkannya.

Taufan menoleh, seorang pria dengan rambut cepak duduk di sebelahnya.

"Eh, elu Ndi. Cewek? Cewek yang mana?"

"Susah emang kalau ceweknya banyak. Oh iya kok mobil baru loe nggak dipake? Malah pake motor butut gitu."

"Andi, Andi. Males, dipake adek gue. Enakan juga pake motor. Nggak macet."

"Iya, tapi nggak bisa buat gebet cewek."

Mereka berdua terbahak. Pria bernama Andi adalah sahabat Taufan, rumahnya tak jauh dari warung itu. Setiap malam sebelum mereka berangkat kerja. Pasti nongkrong dulu di sana. Sambil ngopi dan ngerokok. Sesekali menggoda cewek-cewek lewat yang baru pulang kerja.

"Fan, lihat deh!" Andi menepuk bahu Taufan seraya menunjuk ke seberang jalan.

Taufan menyipitkan kedua matanya. "Kenapa, Ndi?"

"Itu ada anak kecil, di depan indomaret. Pake tongkat. Jangan-jangan dia buta, mau nyebrang. Bantuin gih!"

Seketika Taufan bangkit dan membuang rokok dari jarinya. Lalu melangkah menyebrangi jalan menuju anak tersebut. Taufan berjongkok di sebelahnya.

"Adek mau ke mana?" tanyanya.

"Om siapa?" Suara bocah itu gemetar. Ia ingat pesan sang bunda, untuk tidak berbicara dengan orang asing.

"Om bisa bantu kamu, kamu mau ke mana? Mau nyebrang?"

Anak laki-laki itu hanya menggeleng.

"Rumah kamu di mana? Om antar pulang ya!" Lagi, Taufan ingin sekali membantu anak itu.

Bugh!

"Aduh!" Taufan tersungkur, ia memegangi bahunya yang sakit. Seseorang baru saja memukulnya dari belakang.

Ia pun menoleh dan bangkit, seraya membersihkan kedua telapak tangannya. Rasanya sakit dan ingin marah. Namun, saat melihat orang yang memukulnya barusan. Rasa marah itu seketika redam.

"Kamu ngapain anak saya? Mau nyakitin anak saya lagi?" Wanita berjilbab di depannya melotot tajam. Dengan tangan kanan memegang kantung plastik belanjaan. Belanjaannya itulah sebagai alat untuk memukul Taufan.

"Ma-maaf. Sa-saya nggak ngapa-ngapain," jelas Taufan bingung. Perkataan wanita itu membuatnya seolah pernah melakukan kesalahan sebelumnya. Padahal ia sama sekali tak pernah bertemu dengan mereka kemarin-kemarin.

"Halah, mana ada sih maling mau ngaku. Ayo, Sayang kita pulang!" Wanita itu meraih tangan bocah laki-laki yang ternyata adalah anaknya. Menjauh dari Taufan.

Taufan menatap kepergian keduanya dengan rasa penasaran.

'Apa kita pernah ketemu? Tapi kayanya enggak deh. Kok dia bisa bilang nyakitin anaknya lagi? Pake sebut gue maling lagi. Emang gue pernah nyolong apa?' gumamnya.

Taufan memutuskan untuk mengikuti wanita dan anak laki-laki tadi. Hingga ia sampai di dekat sebuah bangunan dengan pagar tinggi. Bertuliskan sebuah nama Pondok Pesantren. Ia tak lagi melangkah. Karena keduanya masuk ke dalam pondok.

'nggak mungkin gue bisa masuk sana. Gue kan bukan orang Islam,' gumamnya lagi.

"Maaf, Mas. Ada apa ya berdiri di sini? Sudah adzan Isya. Jangan melamun saja. Yuk kita sholat Isya berjamaah di masjid." Seorang pria paruh baya dengan sorban putih menegurnya.

"Ta-tapi, Pak. Sa-saya."

"Sudah, ayo. Nanti di sana ada sarung kok punya santri." Pria itu merangkul Taufan masuk ke dalam pondok menuju masjid.

Beberapa santri melirik ke arahnya sekilas. Mereka lalu ikut berjalan di belakangnya. Taufan bingung. Kenapa santri-santri itu menghormatinya. Padahal ia baru saja datang. Atau mungkin pria di sebelahnya adalah seseorang yang dihormati.

"Nah, itu di sana tempat wudhunya. Saya ke depan dulu." Pria itu menunjuk ke arah di mana banyak santriwan yang sedang mengantri wudhu.

Taufan melihat dirinya sendiri, ia hanya mengenakan kaus oblong, dengan celana jeans bolong-bolong. Merasa malu dan tidak pantas. Tapi, anehnya santri yang berada di sana tidak ada yang menatapnya dengan sinis. Justru selalu tersenyum tiap kali bersitatap.

Ia memperhatikan cara mereka mengambil wudhu, lalu mengikutinya. Setelah selesai. Suara iqomat terdengar. Taufan melangkah sampai di depan pintu. Seorang bocah laki-laki mendekatinya, menyodorkan sebuah sarung dan baju koko.

"Bang, pakai ini," ucapnya.

Taufan hanya mengangguk. Dan memakainya. Jujur ia begitu gugup. Ingin berlari dan keluar dari tempat itu. Namun, kakinya terasa berat. Ia justru nyaman berada di tempat itu. Wajah-wajah teduh yang ia lihat. Tempat ini khusus pria. Saat ia masuk tadi, tertulis pondok putra. Lalu ke mana perginya wanita dan anaknya tadi.

"Allahu Akbar."

Takbir terdengar dari arah depan, Taufan berjinjit. Ia melihat pria paruh baya yang tadi mengajaknya masuk, kini berdiri di barisan paling depan. Sebagai Imam sholat.

Dengan perlahan, ia mengikuti setiap gerakan sholat. Di situ ia merasa menemukan sebuah tempat yang begitu nyaman dan menyejukkan hatinya. Lantunan ayat suci yang dibaca sang Imam, membuatnya merinding meski ia tak tahu artinya apa. Sampai akhir sholat. Seluruh santri berdoa. Ada yang langsung meninggalkan masjid. Ada juga yang tetap tinggal untuk membaca alquran.

Taufan melepas kembali baju koko dan sarung yang diberikan tadi. Melipat dan meletakkannya di pojok ruangan dalam lemari. Ia lalu berjalan keluar masjid. Dan duduk di terasnya. Menatap bangunan di seberang masjid yang masih satu komplek di dalam gerbang depan tadi. Bangunan yang ia lihat adalah berlantai tiga. Kamar-kamar para santri.

"Assalamualaikum," sapa seseorang.

Taufan menoleh, seorang pria paruh baya tadi menegurnya. Ia hanya tersenyum dan mengangguk. "Walaikumsalam," ucapnya gugup.  Meski ia non muslim, ia sering mendengar teman-temannya saling mengucap salam.

Pria itu ikut duduk di sebelah Taufan. "Ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya pria itu.

"Eum, sebenarnya saya."

"Ngomong saja."

Taufan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Gimana caranya dia bilang kalau dia tadi mengikuti seorang wanita berjilbab dengan anak laki-lakinya yang buta.

"Saya ingin belajar agama di sini," ucap Taufan seketika. Entah apa yang dipikirkannya saat itu.

Rasa penasaran dengan wanita tadi membutakan hati dan pikirannya. Jelas, wajah wanita itu membayanginya. Perkataannya pun membuatnya semakin ingin mengenalnya.

"Masya Allah. Mas tinggal di mana? Kenalkan saya Yusuf, biasa para santri memanggil saya Ustadz Yusuf. Panggil Abi juga nggak apa-apa." Pria bernama Yusuf itu mengulurkan tangan.

"Saya, Taufan. Pak. Rumah saya nggak jauh kok dari sini." Taufan menjabat tangan pria paruh baya itu.

"Nak Taufan mau ikut saya ke rumah? Nanti saya akan berikan pakaian. Agar belajarnya lebih nyaman."

"Ta-tapi, Pak. Saya belum siap kalau sekarang. Karena saya harus kerja."

"Oh, Mas Taufan sudah bekerja. Baiklah. Mas bisa datang kapan pun ke sini. Kalau mau cari saya, tanya saja sama santri di sini. Rumah saya di dalam sana!" Yusuf menunjuk arah belakang bangunan di depannya.

"Makasih, Pak." Taufan bangkit kembali menyalami Yusuf, lalu berpamitan.

Ia melangkah keluar gerbang pesantren. Sesekali menoleh ke belakang. Mencari sosok wanita dan anak kecil tadi. Tiba-tiba dari arah depan.

"Kamu ngapain di sini?" suara cempreng itu kembali mengejutkannya.

"Ka-kamu lagi." Taufan menjadi salah tingkah, kepergok oleh wanita yang ia ikuti tadi.

"Jangan-jangan benar kamu mau culik anak saya, kan? Ngaku! Kamu ke sini ngikutin saya?"

Taufan menelan ludah, sebelum dia dikeroyok santri. Ia memilih untuk melangkah pergi. Menjauh dari wanita itu dengan sedikit berlari.

Sesampainya ia di warung tempat semula, dengan sedikit ngos-ngosan. Taufan duduk, mengambil aqua gelas dan meminumnya.

"Lu kenapa, Fan? Dikejar ******?" tanya Rudi, pemilik warung. Bapak-bapak berkumis tipis, kepala botak.

"Lebih galak dari pada ******, Bang. Tapi manis. Ada lesung pipinya."

"Hahaha gila loe, ****** punya lesung pipi. Udah sana pulang. Si Andi juga baru balik mau gawe. Nungguin loe nggak nongol-nongol."

"Tengkyu, Bang. Nih duit gue. Kembaliannya ambil aja." Taufan meletakkan uang lima ribu di atas toples kacang.

Ia lalu naik ke motornya dan tancap gas pulang.

"Ah, kembalian dari Hongkong! Kurang serebu woy!" ujar Rudi geram.

Dari kejauhan Taufan melambaikan tangannya. Seraya tersenyum kecil.

🌸🌸🌸

Tbc.

Vote dan komennya ya gaesss.

Tengkyu 😘😘😘

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!