Ardi Rahardian bukanlah CEO maupun presdir di perusahaan ternama layaknya pangeran yang hidup di dunia halu para pembaca novel. Ataupun lelaki dengan sejuta pesona yang menjadi rebutan kaum hawa seperti di drama korea. Berbeda dengan sang kakak, dia memutuskan berdiri sendiri dan tak meneruskan usaha ayahnya. Modal nekad, karena merasa tak dipercaya oleh orang ia cintai berhasil mengantarkannya menjadi generasi muda yang sukses setelah bergabung dengan Start-up, perusahaan yang menyaring generasi muda berpotensi dan membantunya merintis usaha hingga kini Ardi memiliki perusahaan yang bergerak di bidang game online.
Wajahnya yang tampan memang tak kalah jika dibandingkan dengan aktor korea karena banyak orang yang bilang dia mirip dengan Song Kang, salah satu aktor Korea yang namanya melambung akhir-akhir ini.
Namun beribu sayang, meskipun wajahnya mirip aktor korea tapi nasibnya tak sama. Kisah cintanya jungkir balik tak beraturan. Jika dihitung entah sudah berapa kali hatinya terluka. Berawal dari gadis yang ia kejar sejak sekolah menengah atas hingga berani mengambil resiko berjauhan dengan keluarga bahkan pindah jurusan demi bisa sekelas dengan gadis pujaannya, tapi kenyataan pahit yang ia peroleh saat tau jika gadis yang dicintainya adalah tunangan sang kakak.
Yang lebih naas, dia harus merelakan hatinya tercabik-cabik setiap melihat kemesraan kakak dan kakak ipar durjana yang merupakan mantan orang yang begitu ia sayangi. Berbulan-bulan ia berusaha mengikhlaskan gadis yang ia cintai untuk sang kakak hingga akhirnya ia menyadari perasaan baru untuk seorang gadis yang selalu ada di sampingnya, gadis yang mengetahui pahit manis hidupnya.
Tapi kini semua hanyalah sebuah kisah yang telah berlalu, menyisakan luka yang masih jelas terasa meski waktu telah bergulir lama. Nyatanya sampai saat ini rasa sakit itu masih terasa begitu menyesakkan. Sudah empat tahun berlalu sejak ia berlutut sambil memegang kedua tangan gadis berambut pendek dan berjanji untuk selalu menjaga serta membahagiakannya.
Ardi tergelak menertawakan kisahnya sendiri, diambilnya ponsel yang tergeletak tak berdaya di meja. Membuka galeri dan menatap satu persatu deretan gambar.
Sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman saat melihat foto anak perempuan dengan seragam TK sangat menggemaskan. Poni rata yang menutupi kening dan rambut panjang dikuncir dua itu menambah manis gadis kecil yang yang selalu memanggilnya dengan sebutan ‘Daddy’.
Ardi kembali menggeser layar ponsel hingga terpampang sebuah video batita yang sedang aktif-aktifnya membuat seisi rumah berantakan. Terlihat lelaki kecil itu sedang mengeluarkan mobil-mobilan beserta seperangkat alat mainnya dari dalam sebuah box. Di samping batita itu ada gadis kecil berambut panjang yang asik dengan krayon ditangannya. Sesekali si adik kecil mengganggu kakaknya yang sedang mewarnai.
“Bem…bem…Aka Leta ayo Caka antel aka cekulahhh.” Celoteh batita itu sambil mengerakkan mobil-mobilan biru di atas buku gambar kakaknya.
“Sakha awas. Sana-sana mainnya di sana! Kakak lagi ngerjain tugas dari bu guru nih.” sang kakak yang merasa terganggu memindahkan mobil-mobilan diatas buku gambarnya ke samping tempatnya duduk.
Si adik tak mau tau, ia ingin main dengan kakaknya. Ia mengambil mainnanya dan kembali meletakannya di atas buku gambar. “cekalian gambal obil caka ka.” Pintanya dengan bahasa aneh yang kadang kala tak bisa dimengerti oleh sang kakak.
Lama-lama gadis kecil berseragam TK itu kesal dan melempar mainan adiknya hingga si adik menangis. “Mama…Sakha nangis…” teriaknya.
Ardi kembali tergelak, hanya dua bocah itu yang selalu membuatnya bahagia. Meskipun tak jarang mereka membuatnya repot.
“Kalian benar-benar menggemaskan kesayangan daddy, andai mommy kalian ada di sini.” Gumamnya.
Tawa dan senyum Ardi lenyap, wajahnya seratus delapan puluh derajat berubah murung. Binar senang di matanya menghilang berganti dengan tatapan kosong nan dingin saat tangannya berhenti di sebuah foto dirinya dengan seorang gadis berambut pendek dengan senyum mengembang.
“Kamu dimana?” ucapnya lirih sambil terus memandangi gambar itu.
Tok…tok…
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. Ardi meletakan kembali ponsel ke meja. Membenarkan posisi duduknya. Inilah Ardi Rahardian yang sekarang.. Pria yang sudah berusia dua puluh lima tahun itu selalu berwajah datar dan minim ekspresi, bahkan bicaranya pun jadi lebih irit dan seperlunya.
“Masuk.” Ucapnya membuat seorang wanita cantik membuka pintu dengan beberapa map berkas di tangan kirinya.
Wanita yang mengenakan rok putih selutut dikombinasikan dengan blazer berwarna pink itu berdiri tepat di depan meja kerja dan meletakan map berkas yang ia bawa. “Ini laporan yang Bapak minta.”
“Terimakasih Manda.” Ardi membuka map yang baru saja diletakan oleh sekretarisnya, membaca isinya.
“Sama-sama Pak. Ada yang bisa saya bantu lagi?” tanyanya penuh hormat.
Ardi masih focus dengan laporan di depannya, ia menjawab pertanyaan Manda tanpa memandang wanita itu. “Tidak ada, kamu boleh pergi.”
“Baik. Saya permisi Pak.” Manda membungkukkan kepala sebagai tanda hormat sebelum akhirnya keluar dari ruangan bosnya.
Dering ponsel yang berbunyi membuat Ardi menutup berkas yang ia bawa. Dia segera menggeser ikon telpon berwarna hijau.
“Ya… kenapa?” tanya Ardi begitu menangkat panggilannya.
“Baiklah. Aku bener-bener Daddy yang baik kan? Biar ku jemput putriku sekarang.” Ucapnya lagi kemudian mengakhiri panggilan.
Ardi mengenakan jas yang menggantung di samping meja, memasukan ponselnya ke dalam saku kemudian melangkah keluar ruangan.
“Manda, aku harus menjemput putriku. Jika ada tamu persilahkan mereka menunggu sebentar.”
“Baik Pak.” Jawab Manda sambil menganggukkan kepala. Manda terus menatap punggung Ardi hingga pria itu menghilang setelah masuk ke dalam lift.
“Mingkem woy… iler kamu udah netes tuh.”
Manda reflek mengusap mulutnya, “ish… jail banget sih.”
“Liatin apaan sih?” kepo Arum.
“Nggak liat apa-apa.” Elak Manda.
“Paling liatin Pak Ardi yah? orangnya ada di dalem nggak? Aku mau ngasih laporan nih.” Arum menunjukan berkas yang ia bawa.
“Nggak ada lagi jemput putrinya, baru aja pergi. Taruh sini aja.”
“Ya udah nanti kasihin yah.” Arum meletakan berkas itu di meja Manda.
“Eh Bu Arum, tunggu!” Manda menarik tangan Arum hingga wanita itu berhenti dan menatapnya. “Pak Ardi itu duda yah, Bu?” tanyanya.
“Menurut kamu?”
“Aku kan kerja di sini baru enam bulan Bu, dan selama itu Pak Ardi belum pernah bawa istrinya ke kantor. Kalo anaknya sih kadang dibawa. Jadi menurut aku sih duda, soalnya karyawan yang lain juga bilang begitu.”
“Tapi gaji kamu lancar kan?”
“Lancar Bu.”
“Ya udah kalo gajimu lancar nggak usah ikut campur urusan pribadi bos mu. Kecuali kamu mau dapat pesangon lebih awal.” Ujar Arum sebelum akhirnya pergi menjauh dari meja sekretaris.
Manda langsung duduk lemas mendengar jawaban Arum, niatnya yang kepo malah dijawab sadis. “padahal kan aku cuma tanya. Bu Arum sensi banget. Maksud aku kan baik, aku siap jadi ibu buat anaknya Pak Ardi. Nggak apa-apa juga aku perawan dapat duda. Katanya duda lebih berpengalaman.”
.
.
.
Yang udah baca JODOH DARI GC masih inget nggak Arum itu siapa?
Jangan lupa like, komen dan favoritkan yah biar aku makin semangat nerusin kisah mereka.
Meski ini bukan kali pertama Ardi datang ke sekolah TK tapi tetap saja tatapan ibu-ibu dari mulai yang muda sampai yang tua membuatnya risih. Disaat seperti ini, ia ingin keponakannya itu segera keluar dari kelas. bahkan bisik-bisik ibu-ibu muda itu terdengar jelas oleh telinganya. “Uh hot daddy banget yah daddy nya Retha itu.” Ucap salah satu mama muda sambil melirik Ardi.
“Iya bener. Udah kayak artis aja yah.” timpal yang lainnya.
“Apalagi papanya Retha… uh lebih-lebih deh. Makanya aku tuh nggak masalah nungguin si dede sekolah seharian juga kalo bisa liat yang bening-bening gini mah.” Heboh ibu-ibu yang sudah cukup berumur menimpali.
Pintu kelas terbuka, satu-persatu annak-anak keluar.
“Daddy Ardi…” gadis berambut panjang yang dikuncir dua itu berlari menghampiri Ardi. Gadis kecil itu mencium punggung tangan Ardi kemudian menggandeng tangan daddy nya.
“Kok Daddy yang jemput? Kata Mama tadi pagi ntar yang jemput Papa.”
“Papa Retha lagi ada rapat, jadi daddy aja yang jemput nggak apa-apa kan?”
Retha menggeleng hingga rambut panjangnya ikut bergerak kesana kemari, “Nggak apa-apa. Aku seneng kok pulang sama daddy.”
Ardi mengusap pucuk kepala ponakan yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.Ia bahkan tak peduli orang-orang dikantor menganggap dirinya duda karena sering membawa Retha ke kantor. Ia justru merasa Retha sudah menyelamatkannya dari perempuan yang terus mengejarnya. Tak jarang Ardi mengajari Retha untuk menganggu perempuan yang berusaha mendekatinya.
Seperti beberapa minggu yang lalu saat Bunda Mira menyuruhnya menemui putri dari temannya, Ardi membawa Retha dan membuatnya perempuan itu mundur sekaligus saat Retha berkata ‘Tante jangan deket-deket daddy aku. Nanti mommy aku marah.’
Meskipun kata-kata yang terucap dari bibir mungil Retha itu berefek pada guyuran minuman di wajahnya, tapi Ardi tersenyum puas. Tak hanya disiram minuman ia juga dihadiahi umpatan kasar. Sejak saat itu Bunda Mira menyerah memilih peempuan untuk Ardi karena putra bungsunya itu selalu menggagalkannya.
Ardi memasangkan sabuk pengaman pada Retha kemudian melajukan mobilnya meninggalkan TK. “Retha main di kantor daddy dulu nggak apa-apa yah?”
“Iya Dad. Retha juga mau ketemu onty Arum ntar boleh yah. soalnya onty Arum udah janji mau kasih aku permen.” Celotehnya.
“Iya nanti daddy panggilin onty Arum.”
Sepanjang perjalanan Retha menceritakan kegiatan belajarnya hari ini. Dari mulai berbaris sebelum masuk kelas, bernyanyi hingga menggambar bebek. Gadis kecil itu membuka tasnya dan menunjukan gambar yang ia buat tadi. “Nih daddy gambar aku, dapat nilai lima bintang loh dari bu guru.” Ucapnya bangga.
Ardi melihat sekilas gambar Retha kemudian kembali focus ke kemudi, “pinter emang anak daddy.” Pujinya.
Retha memasukan kembali buku gambarnya ke dalam tas. “aku kan anaknya Mama Freya sama Papa Arka, bukan anak daddy.” Protes Retha.
“Kata bu guru kalo Adiknya papa itu harus aku panggil 'Paman' tapi kenapa aku malah manggil 'daddy' yah?” gadis itu tampak berfikir.
“Kata guru Retha itu bener. Anggap aja Daddy itu panggilan paman tapi spesial.” Ujar Ardi asal. Panggilan daddy itu sudah biasa sejak Retha lahir karena Ardi dan seseorang yang sekarang entah dimana menganggap Retha sebagai anak sendiri karena mereka dulu ikut sibuk berjuang memenuhi ngidam orang tua Retha.
“Tapi kata bu guru kalo daddy itu artinya ayah. Kok aku jadi bingung yah?” Retha masih terus berceloteh dengan polosnya.
Ardi jadi pusing sendiri menghadapi keponakannya yang cerdas. Wajahnya sih Freya banget, cuma matanya yang mirip Arka, tapi kecerdasannya tidak diragukan lagi merupakan gen sang kakak.
“Udah nggak usah bingung-bingung. Retha tetep panggil daddy aja yang penting Retha tau kalo daddy itu paman Retha, adiknya papa Arka.”
Retha tampak berfikir kembali, tapi tak lama gadis kecil itu mengangguk setuju.
“Kakak Retha pinter.” Ardi kembali mengelus kepala keponakannya.
“Daddy aku mau itu…” Retha menunjuk pedangan asongan yang sedang menjajakan dagangannya di lampu merah. Bukan pedagang asongan cangcimen alias kacang ciki permen yang ditunjuk Retha, melainkan tukang manisan buah.
Ardi menurunkan kaca mobilnya kemudian memanggil tukang manisan itu. Seperti biasa ia membeli satu buah manisan kedondong untuk ponakannya. Kebiasan ngidam yang menurun ke Retha mengingat betapa gilanya Arka meminta kedondong muda yang manis, kini si caby dewasa yang sudah diberi nama Aretha Rahardian itu suka sekali makan kedondong. Tapi beruntung hanya manisan kedondong, bukan kedondong muda yang manis. Jika iya, bisa-bisa ia stress untuk kesekian kalinya.
“Makasih Dad.” Retha menerima manisan itu dengan sumringah dan langsung memakannya. “Daddy Ardi mau?” tawarnya sambil mengacungkan potongan kedondong.
Ardi hanya menggelengkan kepala kemudian melajukan lagi mobilnya saat lampu hijau menyala. Hatinya terasa sakit setiap kali membeli manisan kedondong untuk Retha. Kenangan-kenangan indah bersama seseorang seolah terus naik ke permukaan padahal ia sudah berusaha menguburnya dalam-dalam.
Setibanya di kantor, Ardi menuntun gadis kecil itu. Keduanya berdiri di depan pintu lift, menunggu pintu berlapis besi itu terbuka. Ada beberapa karyawan juga yang berdiri di belakang mereka. Begitu pintu lift terbuka semuanya masuk ke dalam lift.
“Aku… aku yang yang mencet Dad.” Rengek Retha begitu Ardi mau menekan tombol angka di samping pintu.
Ardi segera mengangkat tubuh keponakannya hingga gadis itu bisa mencapai tombol lift, “tujuh belas kan yah Dad.” Ucapnya setelah menekan angka tujuh belas.
“Wah putrinya Pak Bos pinter yah.” puji salah satu karyawan di belakang mereka.
Ardi tak menggubris ucapan karyawannya, begitu pula dengan Retha yang sedang sibuk menatap layar menyala yang menunjukan angka lantai yang mereka lewati.
Tiba di lantai tujuh belas Ardi keluar dengan Retha.
“Pak ini ada berkas titipan Bu Arum.” Manda memberikan berkas itu sebelum Ardi membuka pintu.
“Hai cantik…” sapa Manda pada gadis kecil yang dia anggap putri dari bosnya.
“Hai juga onty Manda.” Balas Retha. “aku masuk dulu yah onty.” Imbuh Retha kemudian mengikuti Ardi masuk ke dalam ruangan.
Manda tersenyum ramah, “iya sayang.” Kemudian ia menutup pintu ruangan Ardi dan kembali ke mejanya. “Uh calon anak mommy Manda ngegemesin banget.” Ucapnya dalam hati.
Sesuai permintaan Retha, Ardi menghubungi Arum dan meminta dia untuk datang ke ruangannya. Wanita yang sudah memiliki satu putra itu memberikan tiga buah permen loli pada Retha.
“Wah onty ini permen mahal yah.”
“Nggak kok sayang. Murah.” Balas Arum.
“Yah berati bohong dong.” Retha membuka bungkus permen kemudian memasukannya ke mulut. Sementara Ardi dan Arum saling tatap tak mengerti maksud Retha.
Gadis kecil cerdas itu seolah paham dengan tatapan heran kedua orang dewasa yang duduk di sampingnya. Dia menarik keluar permen loli dari mulutnya. “Itu loh Dad yang di TV. Katanya ini permen susu mahal. Tiga permen ini setara dengan satu gelas susu."
.
.
.
.
Tinggalkan jejak kalian guys… like, komen dan favoritkan!
Retha terlihat anteng di sofa, gadis kecil itu sibuk dengan buku gambar dan crayon aneka warna di tangannya. Retha akan asik bermain sendiri selama ada orang yang ia kenal di sekitarnya. Itulah alasan Ardi tak pernah merasa terganggu dengan keponakan yang sudah ia anggap anak. Retha sudah sering ikut Ardi ke kantor karena setiap Arka tak bisa menjemputnya maka daddy kesayangannya akan dengan senang hati menjemputnya. Retha anak yang periang dan mudah membaur dengan lingkungan, persis seperti mamanya.
Ardi dan Arum sedang membahas pekerjaan, sesekali ia melirik Retha yang masih anteng mewarnai. Arum ikut menoleh sekilas kemudian kembali focus pada proyek yang sedang mereka bahas. Sekitar empat puluh menit keduanya telah selesai dan beranjak menghampiri Retha.
“Lagi gambar apa sih kesayangannya daddy?”
Retha mendongak menatap Ardi, “Aku nggak ngegambar Dad tapi mewarnai. Nih bagus nggak?”
“Bagus dong.” Timpal Arum. “sekarang beresin dulu buku gambar sama crayonnya. Masukin tas terus kita makan siang.” Lanjut Arum sambil membantu Retha membereskan barang-barangnya.
Siang itu di kantin kantor sangat ramai dengan karyawan yang sedang makan siang. Begitu juga dengan Ardi, Retha dan Arum yang duduk di meja yang sama. Sesekali Ardi menyuapi Retha, meskipun Retha sudah bisa makan sendiri tapi entahlah jika tak menyuapi anak itu saat bersama rasanya aneh karena sejak Retha kecil Ardi dan dia sering menghabiskan waktu bersama Retha. Tentu sebelum dia memilih pergi dan tak kembali hingga saat ini.
“Di, biarin Retha makan sendiri. Liat noh karyawan pada liatin kalian terus.” Ucap Arum yang sadar akan kondisi saat ini hampir semua mata karyawan wanita memandang mereka.
“Biarin aja lah Rum. Aku suka kayak gini kok.” Ardi kembali menyuapi Retha.
“Tapi kalo kayak gini terus kamu bakal nggak dapet-dapet jodoh Di. Apa kamu nggak tau semua karyawan di kantor ini ngira kamu duda.”
Ardi mengelap bibir mungil Retha dengan tisu kemudian memberikan gelas air putih padanya, “maksudnya?”
“Masa kamu nggak tau sih Di? Ini tuh udah lama. Bahkan sekretaris kamu yang baru si Manda, tadi nanyain kamu duda apa bukan soalnya yang lain pada bilang kamu duda.”
“Terus kamu jawab apa Rum?”
“Aku harus jawab apa? Ya aku bilang jangan ngurusin urusan pribadi bos. Lagian kamu tuh aneh masa si Retha manggil kamu Daddy.”
Merasa namanya disebut gadis kecil yang sedang menghabiskan sisa makanannya itu protes, “kenapa nama aku disebut-sebut Onty Arum? Apa Onty mau ngasih aku permen lagi? Kalo iya, lain kali aja soalnya kata Papa aku nggak boleh makan permen banyak-banyak, ntar gigiku ompong.”
Arum menjeda ucapannya, kenapa anak kecil ini begitu peka namanya disebut pikirnya. “Nggak apa-apa sayang, kamu lanjutin aja makannya.” Ucapnya sambil tersenyum menatap Retha hingga anak itu kembali mulai menyendok makanannya kembali.
“Pinter banget kesayangan daddy.” Ardi mengecup pucuk kepala Retha.
“Di…” panggil Arum lirih.
“Hm…”
“Kenapa kamu nggak nikah aja sih? Kenapa nggak nerima perjodohan dari Tante Mira? Dari pada kayak gini kamu di kira duda. Kak Arka sama Freya aja nikah karena perjodohan tapi mereka bahagia. Liat Retha, apa kamu nggak pengen punya anak sendiri? Aku sebagai temen nggak tega liatnya.” Ujar Arum.
“Jangan bahas soal itu, Rum. Aku nggak peduli mereka mandang aku duda ataupun pria yang sudah beristri sekalipun. Justru itu lebih baik, aku nggak perlu repot-repot bikin mereka menjauh dariku.”
“Mau sampe kapan Di? Ini udah empat tahun berlalu. Apa kamu masih nggak bisa lupain Mi-“ Arum berhenti berucap saat melihat ekspresi wajah Ardi yang berubah.
“Jangan pernah sebut lagi namanya di depan aku Rum.”
“Nama siapa Dad?” Retha yang sejak tadi mendengarkan percakapan mereka meski tak paham tapi otak cerdasnya meronta ikut kepo.
“Mommy.” Ardi menjawabnya, karena percuma keponakannya itu akan terus bertanya jika tak mendapat jawaban yang memuaskan.
“Mommy nya Retha kapan pulang Dad? Retha kangen udah lama banget nggak liat Mommy.”
“Kita tunggu aja yah sayang. Nih Retha nonton aja yah.” Ardi menyodorkan ponselnya setelah memutar kartun spongebob untuk mengalihkan perhatian Retha.
“Apa dia tau?” tanya Arum dengan menunjuk Retha menggunakan tatapannya.
“Ya, dia tahu. Meskipun mungkin Retha udah nggak inget wajahnya. Kamu tau sendiri dulu kami sangat dekat dengan Retha bahkan mengatakan jika kami mommy dan daddy nya. Hingga sekarang dia masih ingat, padahal waktu dia pergi Retha baru umur satu setengah tahun.” Terlihat raut sedih di wajah Ardi, pikirannya otomatis kembali pada masa-masa menyenangkan yang berakhir sedih empat tahun lalu.
“Daddy ada telpon.” Retha memberikan ponsel Ardi. Lelaki yang ia sebut daddy itu menerima ponselnya dan segera menjawab panggilan yang masuk.
Ardi melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, masih ada lima belas menit sebelum jam kerja di mulai tapi dirinya dan Arum harus segera menemui klien di Resto yang tak jauh dari perusahaan. Ardi memperhatikan sekitarnya, ada sekretarisnya yang masih makan siang dengan karyawan yang lain. Tak ada pilihan lain ia harus menitipkan Retha sebentar.
Ardi menuntun Retha menghampiri meja tempat sekretarisnya sedang makan siang, “Manda maaf saya akan sedikit merepotkanmu. Tolong jaga Retha sebentar, saya harus menemui Pak Adrian di Resto seberang.”
“Baik Pak.”
“Retha baik-baik sama Onty Manda yah. Daddy pergi dulu sebentar sama Onty Arum.” Ucap Ardi.
“Iya daddy.”
“Anak pinter.” Ardi mengecup pucuk kepala Retha sebelum akhirnya pergi.
Manda segera mengangkat Retha dan mendudukkannya di sampingnya. Kesempatan langka bisa nemenin calon anak batin Manda. Tak hanya Manda ternyata kehadiran Retha di tengah-tengah mereka juga memancing karyawan perempuan yang lain hingga meja itu semakin penuh saja.
“Retha Retha … Onty mau tanya nih kamu punya Mama nggak?” tanya Manda yang juga merupakan pertanyaan para perempuan yang sedang mengerubungi mereka.
“Punya dong Onty. Mama aku cantik loh, rambutnya panjang kayak aku.” Retha menyentuh rambut panjangnya yang dikuncir dua sambil tersenyum.
“Tapi kok Mama Retha nggak pernah ke kantor Daddy?” tanya salah seorang karyawan.
“Mama di rumah, jagain Shaka. Shaka, adeknya Retha dia lucu banget loh onty. Tiap hari bikin rumah berantakan.”
Pupus sudah harapan menjadi calon Mommy untuk Retha, ternyata Pak Ardi bukan duda, dia punya istri. Ditambah lagi ternyata anaknya ada dua. Dan mulai detik itu juga gosip Pak Ardi adalah seorang duda terhapuskan, berubah jadi Pak Ardi yang memiliki istri dan dua orang anak.
.
.
.
Tinggalkan jejaknya Like, komen dan favoritkan. Kalo mau ngasih bunga juga boleh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!