Selamat membaca!
Setelah mendapatkan kabar dari asisten rumah tangganya tentang adiknya di rumah, Rina langsung memesan kendaraan untuk pulang. Selama bekerja, Rina memang sudah tidak lagi mengendarai mobilnya sendiri karena masih trauma dengan kejadian yang menimpa Ibunya.
Saat itu, di depan lobi kantor suasana begitu padat, Rina yang memang sedang terburu-buru langsung menaiki mobil pesanannya yang baru saja tiba di pelataran lobi.
"Sabar ya, Vara! Kamu harus kuat dan jangan sedih karena ketika kamu sedih hati Kakak jadi sakit Vara. Waktu itu, andai Kakak ikut pergi menemani Mama untuk jemput kamu di rumah Nenek, mungkin sampai saat ini Mama masih ada di antara kita. Kakak menyesal Vara. Semua ini adalah kesalahan Kakak. Sekarang kamu jadi harus merasakan kehilangan Mama, padahal usia kamu masih 13 tahun," gumam Rina mengingat semua hal yang sangat disesalinya atas kejadian yang menimpa Ibunya 2 tahun yang lalu.
Tanpa terasa Rina menangis mengingat semuanya, luka lama yang dulu Rina rasakan begitu membatin dalam hatinya. Rina ingat betul rasa sakitnya saat mengetahui bahwa Ibunya telah tiada. Rina harusnya bisa menemani Ibunya untuk menjemput Vara. Namun, wanita itu malah memilih pergi ke acara ulang tahun Viska, temannya. Acara ulang tahun Viska yang tadinya penuh tawa dan bahagia, berubah menjadi hari yang buruk untuk Rina karena di tengah-tengah acara, Rina mendapatkan kabar bahwa Ibunya mengalami kecelakaan dan sampai dinyatakan meninggal. Saat itu hatinya hancur, dunia seperti runtuh, Rina sangat menyesal semua yang telah dilakukannya.
"Andai, waktu bisa aku ulang. Maafin aku Mah, aku menyesal membiarkan Mama pergi seorang diri, aku menyesal, Mah," isak Rina menangis piluh mengingat semuanya.
Pada hari itu, hari di mana Rina sangat menyesal karena telah menolak tawaran ibunya. Hari yang menjadi terakhir kalinya, dia bertemu dengan sang ibu.
"Rin, ayo temenin Mama jemput adik kamu, sekalian Nenek Yuri tuh mau ketemu kangen katanya Rin!" titah Sarah.
Rina bergegas menuruni tangga. Ia tampak terlihat cantik dengan dress pink yang dikenakannya.
"Wah, anak Mama cantiknya persis seperti Mamanya waktu masih muda dulu," puji Sarah kepada anaknya.
"Iya dong Mah, siapa dulu Mamanya," sahut Rina balik memuji.
"Tapi Mama bingung, kamu mau ke tempat Nenek doang kok sampai dandan secantik ini sih?" Sarah memasang wajah penasarannya.
"Ya ampun, Mah. Maaf banget aku enggak bisa menemnak Mama karena aku ada acara ulang tahun Viska hari ini, Mah."
Yoga yang mendengar penolakan Rina langsung memotong pembicaraan.
"Udah, Kak temenin Mama sana! Masa Mama malam-malam begini pergi sendirian. Papa kan pesan kemaren kalau Mama kemana-mana temenin," ujar Yoga tegas terhadap kakaknya.
"Tapi aku enggak bisa, Yoga. Kamu aja sana temenin biar Mama enggak sendirian." Rina menimpali dengan suara yang meninggi.
"Aku mau aja, tapi aku kan enggak bisa mengendarai mobil. Lagi pula aku juga belum punya SIM," gerutu Yoga kesal.
"Ya sudah, ya sudah, kalian enggak usah ribut! Sudah Yoga enggak apa-apa Mama sendiri aja. Tadi katanya kamu mau jalan? Ya sudah sana jalan Rin! Pokoknya yang penting kamu hati-hati ya!" pinta Sarah berusaha menyudahi perdebatan antara kedua anaknya.
Rina sebenarnya merasa tidak enak hati saat itu. Namun di saat bersamaan, teman-temannya sudah tiba di depan rumah untuk menjemputnya. Rina pun pergi. Ia berpamitan dengan Sarah dengan mencium kedua pipi dan keningnya.
Saat itu, tidak ada firasat apa pun yang terpikirkan oleh Rina. Namun berbeda dengan Yoga, lagi-lagi ia coba merajuk Rina untuk menemani Ibunya. Walaupun pada akhirnya, wanita itu tetap menolaknya.
Sarah pun pergi sendiri untuk menjemput Vara. Meninggalkan Yoga yang masih menatap cemas kepergian sang ibu. "Mama hati-hati!"
Sarah pun pergi dengan mengendarai mobilnya. Mobil kecil berkapasitas empat orang berwarna kuning.
Suasana jalan pada malam itu tampak tidak terlalu ramai hingga membuat laju mobil Sarah berjalan sedikit lebih kencang. Hari yang agak letih untuk Sarah karena pekerjaan yang begitu padatnya sepanjang hari ini sedikit membuat Sarah mengantuk. Sarah pun menepikan kendaraannya terlebih dahulu. Wanita itu memilih mampir ke Supermarket untuk membeli secangkir kopi agar dapat mengusir rasa kantuknya.
Setelah 20 menit menunda perjalanannya, kini mobil Sarah kembali melaju. Di tengah perjalanan Sarah tiba-tiba dikejutkan dengan munculnya sebuah mobil yang masuk ke jalurnya. Sarah pun membanting setirnya hingga menabrak pengendara motor yang berada di depannya.
Penduduk sekitar dan pengguna jalan sudah ramai berdatangan untuk menolong para korban kecelakaan.
"Itu yang pengendara motor udah meninggal," ujar salah seorang warga di sana.
"Ini yang di mobil kuning keduanya pingsan," tutur warga yang lainnya memeriksa.
"Segera hubungi polisi dan ambulance!"
Sedangkan mobil yang membuat mobil Sarah kecelakaan berhasil melarikan diri.
...🌺🌺🌺...
Bersambung ✍️
Pesan Author :
Seberapa penting apa yang kalian lakukan, sisihkan segala waktu yang kalian punya untuk ibu kalian, karena kalian tidak bisa tahu apa yang akan terjadi ke depannya, penyesalan akan datang di akhir, pedihnya akan terasa seumur hidup. Jangan sia-siakan waktu bersama Ibu.
Selamat membaca!
Hujan yang deras masih mengguyur setiap inci ruas jalan yang dilewati. Setelah bergelut dengan padatnya Ibukota, Rina akhirnya tiba di rumah. Tanpa berlama-lama, wanita itu pun langsung keluar dari mobil dan membayar tarifnya. Tak lupa Rina juga memberikan tips dan mengucapkan terima kasih pada sang pengemudi.
Kini sebelum memasuki rumah, seperti biasanya Rina mulai memasang wajah kamuflasenya. Ia tidak ingin Vara atau Bi Imah sampai khawatir dengan melihat kesedihannya.
"Aku harus terlihat tegar, aku enggak boleh lemah," gumam Rina sambil mengusap sisa air mata di kedua pipinya.
Bi Imah tampak membukakan pintu. Kepulangan Rina disambut hangat oleh Bi Imah yang sudah menunggunya.
"Bi, Vara udah makan belum bi?" tanya Rina begitu memasuki rumah.
"Alhamdulillah Mba, tadi Neng Vara sudah makan setelah telepon Mba Rina, sekarang dia tidur Mba," tutur Bi Imah memberikan jawaban.
"Syukur kalau begitu, Bi. Makasih ya, Bi. Bibi sudah menjaga adikku dengan baik," ujar Rina mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Bi Imah.
"Iya Mba, Bibi sudah anggap kalian seperti keluarga sendiri Mba. Jadi ini sudah tugas Bibi," ujar Bi Imah dengan penuh ketulusan.
"Iya, Bi, makasih banyak ya. Bibi itu udah seperti pengganti Mama buat aku Bi," ucap Rina penuh haru seraya memeluk Bi Imah.
Bi Imah sangat bahagia mendapat pelukan dari Rina. Pada sorot matanya yang tiba-tiba sendu, tersirat sebuah kenangan dari masa lalu yang tak bisa dikatakan oleh wanita paruh baya kepada Rina. Saat ini, BI Imah hanya mampu untuk memendamnya. Setidaknya sampai ada waktu yang tepat. Walaupun ia sendiri tidak tahu, apa hal itu akan terjadi atau tidak.
"Ya udah Bi, aku ke kamar dulu ya."
Bi Imah memandang dengan penuh cemas saat melihat wajah Rina yang seperti menyimpan beban pikiran yang begitu berat.
"Mba, Bibi buatin teh hangat ya?" tawar Bi Imah yang sudah dapat memahami perasaan sedih Rina saat ini.
"Iya Bi, terima kasih ya," sahut Rina seraya menuju kamarnya.
Selesai mengganti pakaian dan merapikan diri, Rina pun langsung menuju kamar Vara. Di sana Rina melihat Vara sudah tertidur lelap. Dengan perlahan wanita itu mulai melangkah dan memilih duduk di tepi ranjang, tepat di samping Vara.
"Kakak sayang, Vara," gumam Rina seraya mengusap rambut Vara dan mencium kening sang adik.
Saat Rina bergegas meninggalkan kamar Vara, matanya terhenti ke arah meja belajar. Rina melihat suatu gambar di sana. Ia pun menghampirinya, lalu dengan perlahan mengambilnya.
"Gambar ini," batin Rina.
Hati Rina bergetar melihat gambar yang dibuat Vara.
"Ini Mamah," lirih Rina pelan seraya memegang gambar tersebut.
Piluh hatinya begitu sesak. Membayangkan rasa rindu yang begitu besar yang dirasakan Vara terhadap ibunya saat ini. Rindu yang tak mungkin dapat hilang dengan pertemuan karena Sarah telah pergi untuk selama-lamanya.
Dengan perlahan Rina mulai mengambil gambar itu.
"Rina sayang, Mama. Maafin Rina, Mah," gumam Rina dengan lirih seraya memandangi wajah Mamanya pada gambar itu.
Rina kembali meletakkan gambar itu di atas meja belajar dan menuliskan sesuatu di sana.
Setelah selesai dengan hal itu, Rina pun meninggalkan kamar Vara untuk kembali ke kamarnya. Ternyata di dalam kamarnya sudah tersedia secangkir teh hangat yang dibuat oleh Bi Imah. Rina pun duduk terdiam sambil menyeruput teh hangat dengan segala pikiran yang kalut karena memikirkan kesedihan adiknya.
...🌺🌺🌺...
Waktu terus beranjak. Kini matahari sudah tampak gagah menyinari semesta. Menghangatkan apa pun yang disinarinya. Saat ini, terlihat Bi Imah dan Rina yang sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi.
"Bi, hari ini aku ingin membawa Vara ke makam Mama dan setelah itu, aku juga akan mengajak Vara berenang di Waterboom. Aku mau menghibur Vara, Bibi mau ikut?" tanya Rina menawarkan.
"Mba, Bibi lagi gak enak badan, Bibi di rumah aja ya, Mba," jawab Bi Imah dengan wajah yang sedikit pucat.
"Bi Imah sakit? Ayo kita ke rumah sakit dulu berobat Bi?" pinta Rina terlihat cemas mengkhawatirkan Bi Imah.
"Enggak apa-apa, Mba. Mungkin Bibi cuma kecapekan. Nanti istirahat sebentar juga udah sembuh, Mba enggak usah mikirin Bibi ya!" pinta Bi Imah berusaha menenangkan Rina.
"Ya udah kalo begitu, Bi. Pokoknya Bibi istirahat saja ya. Enggak perlu melakukan apa-apa!" titah Rina penuh perhatian.
"Iya baik, Mba," sahut Bi Imah seraya menata sarapan pagi hasil masakannya di meja makan.
Setelah itu, Bi Imah pun bergegas menuju kamarnya untuk istirahat.
Sementara itu, di kamar Vara, cahaya mentari mulai menerobos masuk dari celah-celah ventilasi jendela kamar. Detik waktu sudah menyapa Vara lewat alarmnya yang berdentum. Namun, Vara pun mulai terbangun untuk menyambut pagi dan memulai harinya.
Vara beranjak dari tempat tidur menuju kursi meja belajarnya. Vara duduk dengan memandangi gambar yang ia buat semalam, gambar sketsa wajah Ibunya. Namun saat itu, ia melihat satu kalimat pada gambar yang bertuliskan, "Kakak sayang Vara, Vara masih punya Kakak."
Melihat itu, mata Vara mulai berkaca-kaca. Hatinya terasa bergetar jika mengingat segala pengorbanan Rina untuk menjaganya. Terlebih saat dua bulan setelah Ibunya meninggal Vara sempat masuk rumah sakit dan selama dirawat Rina-lah yang selalu ada untuk menjaga dan menemani Vara.
"Kakak aku juga sayang Kakak, terima kasih ya Kak," lirih Vara mengungkapkan perasaannya.
"Kakak juga sayang Vara," sahut Rina yang ternyata sudah sejak tadi berada di belakang Vara tanpa ia sadari.
"Kakak." Vara benar-benar terkejut dan langsung menghamburkan pelukannya. Ia tidak menyangka bahwa Rina ternyata sudah memperhatikannya sejak tadi.
"Iya tadinya Kakak mau bangunin kamu, eh ternyata pas Kakak masuk ke kamar, kamu sudah bangun. Sekarang jangan sedih lagi ya, hari ini Kakak mau ngajak kamu ke makam Mama terus kita berenang di Waterboom," ujar Rina dengan tersenyum.
"Asyik berenang." Vara mulai menghapus air matanya. Kini terlihat sebuah senyuman manis di wajahnya.
"Ya sudah, Kak. Aku siap-siap dulu ya," imbuh Vara dengan raut wajahnya yang sudah berubah kembali ceria.
"Kakak tunggu di bawah ya, habis itu kita sarapan dulu baru kita berangkat." Rina pun pergi meninggalkan Vara yang mulai bergegas menyiapkan diri untuk pergi.
...🌺🌺🌺...
Setelah berziarah ke makam Sarah, kini Vara sudah jauh lebih tenang dari sebelumnya. Di sana, ia meluapkan rasa rindunya dengan menangis dan bicara kepada di makam ibunya. Hal satu-satunya yang bisa dilakukannya untuk mengobati rasa rindu Vara terhadap sang ibu.
Kini keduanya sedang dalam perjalanan menuju sebuah Waterboom yang jaraknya tidak terlalu jauh dari makam Sarah. Hanya butuh waktu 30 menit, mobil yang membawa keduanya berhenti tepat di pelataran Waterboom.
Rina pun bergegas dengan langsung berbaris dalam antrian di depan loket untuk membeli tiket. Namun, langkah Vara tertinggal dari Rina karena terus memandangi sekeliling Waterboom. Tempat yang memang sering dikunjungi bersama ibunya. Pandangan Vara yang tidak fokus membuat tubuhnya menabrak seorang pria. Pria tampan berusia 30 tahun dengan potongan rambut rapi, berbadan tegap, dan memiliki tubuh yang proposional.
"Aduh," keluh Vara kesakitan.
"Kamu enggak apa-apa gadis kecil?" tanya pria bernama Angga Wijaya.
"Iya aku enggak apa-apa, Mas. Maaf ya aku tadi enggak liat," ujar Vara meminta maaf.
"Iya enggak apa-apa. Lain kali jangan ceroboh ya!"
"Sekali lagi aku minta maaf, ya sudah ya Mas aku mau pergi ke Kakakku di sana." Vara mengakhiri pertemuannya dengan Angga seraya melangkah menuju ke arah Rina berada.
"Iya hati-hati ya, gadis kecil."
Setibanya di dekat Rina yang telah selesai membeli tiket masuk ke Waterboom, mereka pun bergegas masuk dan bersiap-siap untuk berenang.
Setelah berganti pakaian keduanya langsung menuju tempat penyewaan ban. Namun sesampainya di sana, sudah tampak antrian panjang yang mengular hingga membuat kedua merasa sangat jenuh. Di tengah kejenuhan yang mulai mereka rasakan, terdengar suara memanggil dari antrian depan. Vara yang mendengarnya langsung menoleh dan melihat ke arah sumber suara itu.
"Hei, gadis kecil," sapa Angga dengan suara yang hampir membuat semua orang dalam antrian itu menoleh ke arahnya.
Begitu Vara tahu ia pun izin kepada Rina untuk maju ke depan menghampirinya. "Iya Mas, kenapa?" tanya Vara.
"Kamu mau sewa ban juga?"
"Iya, tapi antriannya panjang banget." Dengan wajah cemberut, Vara mengatakan hal itu.
"Ya sudah aku sewakan sekalian, biar kamu gak usah antri lagi."
"Ini laki-laki baik banget, apa jangan-jangan dia penculik? Wah, aku harus hati-hati," batin Vara mencurigai dengan sorot mata yang tajam.
"Kamu tenang aja gadis kecil, aku bukan penculik. Kalau aku mau menculik kamu, itu sudah aku lakukan tadi saat kamu menabrakku," ujar Rangga seolah bisa membaca pikiran Vara.
"Iya Mas, enggaklah. Memang siapa yang mikir Mas itu seorang penculik." Vara menjadi malu dan salah tingkah dibuatnya.
"Baguslah kalau begitu, sekarang kamu ke sana kasih tahu Kakak kamu ya!" titah Angga.
"Oke mas, aku kasih tahu Kakak aku dulu ya."
"Laki-laki itu emang aneh seperti penyihir, tahu semua pikiranku, bahkan dia bisa tahu kalau aku bersama Kakakku," gumam Vara heran sambil melangkah ke arah Rina.
Setelah sampai di samping Rina, Vara pun membisikkan sesuatu.
"Kakak sudah enggak usah ngantri lagi. Sekarang ayo kita ke depan!" bisik Vara agar tidak terdengar orang lain.
"Lho kenapa?" tanya Rina penuh heran.
Vara menarik tangan Rina untuk keluar dari antrian, lalu Vara mengajak Rina menghampiri pria yang sudah mau menolongnya. Sesampainya di sana, tampak pria tersebut sudah menyewakan ban untuk Vara.
"Hai gadis kecil, ini bannya untuk dua orang."
"Iya Mas, terima kasih banyak ya. Ini kenalin Kakak aku, Rina dan aku Vara."
"Halo, Rina, aku Angga."
Rina yang melihat pria itu entah kenapa mulai terkesima dengan ketampanannya.
"Wah ganteng banget laki-laki ini, udah gitu baik lagi," gumam Rina masih terus menatap dengan kagum wajah Angga.
Sesaat Rina terdiam. Namun, lamunannya pun akhirnya pecah setelah Vara menyenggolnya lengannya hingga Rina tersadar.
"Eh iya, terima kasih ya." Rina mengatakannya dengan terbata setelah lepas dari lamunannya.
"Bukan hal yang penting kok. Jadi santai saja."
Rina dan Vara pun melanjutkan keseruan mereka di Waterboom. Sementara Angga masih terdiam menatap ke arah Rina yang beranjak menjauhinya.
"Aku pasti akan bertemu kembali dengannya," gumam Angga seraya memikirkan cara agar pertemuannya dengan Rina saat ini tidak jadi pertemuan mereka yang terakhir.
...🌺🌺🌺...
Bersambung✍️
Selamat membaca!
Senja mulai menaungi langit, berganti malam yang menyapa lewat cahaya bulan. Demikian juga dengan bintang, mulai menitik-nitikkan kiasannya, memadukan indahnya semesta yang terhampar luas di langit. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 wib.
Rina dan Vara sudah mengakhiri keseruannya di Waterboom, perasaan senang bercampur lelah tersirat di wajah mereka. Selama di Waterboom beberapa kali Rina sempat berpapasan dengan Angga. Namun perasaaan yang awalnya senang berubah menjadi kekecewaan, karena Rina melihat Angga bersama seorang wanita dan anak laki-laki yang berusia 13 tahun. Sejak itulah Rina mulai tersadar untuk tidak memikirkan Angga terlalu jauh lagi.
Diperjalanan pulang, kedua kakak adiknya tampak bercerita tentang apa yang baru saja mereka lewati. Sebuah pengalaman yang sudah lama tidak mereka lalui bersama sejak kematian Sarah.
"Vara, bagaimana menurut kamu hari ini? Kamu bahagia, kan?" tanya Rina.
"Iya Kak, terima kasih ya Kak, aku senang sekali, tapi andai Ka Yoga ikut pasti lebih lengkap," sahut Vara menjawab pertanyaan Rina.
"Iya Var, kamu kangen ya sama Yoga, biar nanti Kakak hubungi Yoga, untuk ke rumah nemuin kamu ya," tutur Rina berusaha mewujudkan keinginan adiknya.
"Iya Kak, soalnya emang sudah 6 bulan ini Kak Yoga gak pernah ke rumah, sejak Kak Yoga pindah ke rumah Ayah, dia lupa sama kita," lirih Vara merasa sedih mengingat itu.
"Kamu enggak boleh punya pikiran begitu Yoga pindah ke rumah Ayah karena di sana dekat dengan tempat kuliahnya Var, kalo dari rumah kita ke tempat kuliahnya kan lumayan jauh kasihan jadinya nanti bisa tua di jalan." Rina coba menjelaskan agar adiknya tak berpikir yang tidak-tidak.
"Oh begitu Kak, pantes ya Kak Yoga aku liat udah ada uban." Vara pun tertawa lepas setelah mengatakan hal itu.
Namun, semua hanya berlangsung sesaat karena raut wajah Vara mulai kembali piluh karena rasa rindunya.
"Aku kangen Kak Yoga."
"Ya sudah nanti Kakak coba hubungi Yoga ya, pokoknya kamu jangan sedih lagi, Yoga tuh sayang sama kamu, dia sering telepon kakak nanyain kamu," tutur Rina berusaha menenangkan Vara.
"Oh begitu Kak, aku juga sayang Kak Yoga," ujar Vara mengakhiri percakapannya dengan Rina.
"Ya Allah, maafkan aku, aku harus berbohong, ini demi perasaan Vara, aku tidak mau membuatnya sedih, karena selama ini Yoga lah orang yang paling menyalahkan aku atas kepergian Mama dan ia juga membenci Vara karena Mama mengalami kecelakaan sewaktu akan menjemput Vara," gumam Rina di dalam hatinya penuh lirih.
Sesekali Rina melihat Vara, ada perasaan bersalah yang teramat dalam atas kejadian yang menimpa Ibunya.
"Ini semua salah aku, andai waktu itu aku tidak mengabaikan apa yang Yoga bilang ke aku, semua ini pasti tidak akan terjadi," gumam Rina penuh sesak.
Rina pun hanya terdiam menyimpan rahasia yang selama ini Vara tidak tahu. Di tengah lamunannya Rina tiba-tiba teringat dengan Angga, pria yang ditemuinya tadi saat di Waterboom. Namun, Rina tidak menyangka ternyata Angga sudah memiliki istri dan seorang Anak.
"Jadi pria itu sudah mempunyai Istri dan Anak. Aku pikir dia single," gumam Rina dalam lamunannya sesaat.
...🌺🌺🌺...
Di tempat lain, tepatnya di dalam mobil, Angga masih terus membayangkan sosok Rina dalam pikirannya. Sepertinya pria itu sudah langsung tertarik hanya dalam satu kali pertemuan saja.
"Wanita itu begitu cantik dan manis," gumam Angga mencoba mengingat.
"Aku sudah mendapatkan nomor handphonenya dari Vara, aku akan coba hubungi dia besok," ujar Angga mempunyai rencana seraya menggenggam kertas yang berisikan nomor handphone Rina.
...🌺🌺🌺...
Bersambung✍️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!