NovelToon NovelToon

Legenda Zhu San

001: Pertarungan Dua Jagoan Nomor 1

Dess

Duak

Suara pukulan beradu terdengar di sebuah lembah yang bernama Lembah Iblis. Sebuah tempat yang jarang di datangi oleh manusia biasa atau Pendekar sekalipun.

Suara itu tercipta karena dua orang kakek sedang bertarung dan masing-masing berhasil menyarangkan serangan mereka di tubuh lawannya.

“Fu Kuan, pukulan mu seperti pukulan perempuan yang sedang patah hati, membuat geli perutku saja hahahaha”

Seorang Kakek yang mengenakan Jubah Biru berkata mengejek seorang kakek lain yang mengenakan jubah putih bermotif Pedang yang pangkal bilahnya terdapat bentuk Bintang.

“Lin Kai, tendangan mu seperti tendangan seorang nenek yang baru melahirkan, lemah sekali.”

Kakek berjanggut putih yang dipanggil Fu Kuan, membalas perkataan Kakek berjubah biru yang terlihat sedang mengelus perutnya yang baru saja terkena pukulan darinya.

Sementara Fu Kuan sendiri terlihat sedang memijat pinggulnya akibat terkena tendangan kuat dari Lin Kai.

Keduanya masih berdiri dan saling menatap dengan tajam. Pertarungan keduanya baru saja dimulai dan dari pertukaran serangan tadi, keduanya mendapati bahwa tenaga dalam mereka sama kuatnya.

Lin Kai meraih gagang pedang yang tersarung di punggungnya, namun suara Fu Kuan membuat tangannya melepas kembali gagang pedang itu.

”Lin Kai, apa kau kehabisan jurus tangan kosong hingga ingin mencabut pedang butut mu?”

“Cuih … siapa bilang aku kehabisan jurus tangan kosong? Aku hanya ingin membelai lehermu dengan pedangku saja. Tapi jika kau ingin ku tendang lagi pantat teposmu itu, akan ku kabulkan sekarang juga.”

Selepas berkata demikian, Lin Kai segera melesat cepat dengan jurus Tendangan Kaki Baja yang terkenal dapat menghancurkan batu sebesar rumah.

Tendangan yang mengarah cepat ke pinggang Fu Kuan berhasil dihindari oleh kakek tersebut dengan melompat ke atas, lalu ia pun balas menyerang kepala Lin Kai dengan Jurus Tinju Besinya.

Pertukaran serangan pun kembali terjadi saat matahari telah tepat diatas kepala. Suhu udara pun mulai memanas di lembah itu.

Keduanya terlihat tidak ada yang ingin mengalah ataupun kalah, membuat pertarungan keduanya semakin lama semakin mendahsyat.

Lin Kai yang disebut sebagai Jagoan Nomor satu aliran Hitam, menyerang dengan jurus-jurus yang mengincar titik-titik vital yang mematikan dan serangannya pun terlihat kejam.

Sementara jurus tangan kosong yang digunakan Fu Kuan lebih dititikberatkan pada serangan ke bagian yang tidak mematikan dan pertahanan.

Hal ini karena adanya perbedaan Aliran yang mereka yakini kebenarannya. Fu Kuan mendapat julukan Jagoan Nomor satu Aliran Putih sekaligus Pelindung Sekte Pedang Bintang Merah.

Sekte Bintang Merah bukanlah Sekte Nomor satu di Dunia Persilatan Kekaisaran Liu, namun setidaknya Sekte itu termasuk dalam sepuluh Besar yang terkuat.

Puluhan jurus pun berganti menjadi ratusan jurus, gerakan kedua orang tersebut semakin lama semakin cepat dan kuat.

Angin pukulan maupun tendangan kedua kakek yang sudah mulai terlihat keriput itu, membuat daun dan ranting-ranting pepohonan di sekitarnya, jatuh berguguran.

Duak

Tendangan kuat dari Lin Kai berhasil bersarang di dada Fu Kuan membuat Kakek tersebut terpental dengan darah menyembur dari mulutnya.

Belum sempat Fu Kuan menyeka darah di bibirnya, Lin Kai kembali menyerang dengan tendangan kuat ke arah kepalanya.

Fu Kuan berkelit dengan cepat dan melepaskan tendangan tipuan yang berhasil mengecoh Lin Kai.

Dess

Sebuah Tinju kuat dari Fu Kuan bersarang telak di dada Lin Kai, membuat kakek berjubah biru itu terpental beberapa meter dengan darah yang juga menyembur dari mulutnya.

Pertarungan pun terhenti, keduanya segera mengambil sesuatu dari balik jubah mereka yang ternyata adalah sebuah botol giok yang berisi puluhan pil di dalamnya.

Fu Kuan menelan sebutir Pil berwarna Hijau sedang Lin Kai menelan dua buah butir pil berwarna abu-abu.

Keduanya lalu duduk bermeditasi untuk memulihkan luka dalam mereka. Lima menit kemudian keduanya bangkit dengan waktu yang nyaris bersamaan.

“Cukup bermain-mainnya, mari kita bertarung serius.”

Selepas berkata demikian, Lin Kai mencabut Pedang yang tersarung di punggungnya. Pedang dengan Bilah berwarna biru itu, segera terhunus ditangannya.

Melihat Lin Kai telah mencabut Pedangnya, Fu Kuan pun mencabut Pedang yang juga tersarung di punggungnya.

Sebuah Pedang berbilah kuning dengan pangkal pedang yang memiliki batu berbentuk bintang berwarna merah, segera terhunus di tangan Fu Kuan.

Menurut kabarnya, Pedang yang bernama Pedang Bintang Merah, adalah Pedang Pusaka yang terbuat dari logam yang berasal dari Bintang Merah, sebuah bintang yang di yakini sebagai tempat tinggal para Dewa.

Seorang Ahli Penempa senjata dari kekaisaran Wei, yang sangat terkenal kehebatannya, butuh waktu satu tahun untuk menempa Logam tersebut menjadi sebuah Pusaka yang Hebat.

Penempa yang terkenal itu mengatakan bahwa Pedang Bintang Merah, adalah senjata pusaka terhebat yang pernah ia buat selama hidupnya.

Karena ucapan itulah, Dunia persilatan dari empat Kekaisaran memburu dan berusaha mendapatkan Pedang tersebut.

Entah bagaimana ceritanya, Pedang tersebut kini berada di tangan Fu Kuan yang kini sedang berhadapan dengan Lin Kai yang terlihat sudah tak sabar untuk segera menyerang dirinya.

Melihat lawan telah bersiap dengan senjatanya, Lin Kai segera melesat terlebih dahulu merapatkan jarak.

Ia menusukan pedangnya yang bernama Pedang Awan Biru ke arah dada Fu Kuan. Fu Kuan pun segera menghindar dan memberikan tebasan ke tangan kanan Lin Kai yang memegang pedang.

Lin Kai segera menarik tangannya dengan cepat. Ia pun segera menangkis serangan Pedang Bintang Merah milik Fu Kuan.

Keduanya kembali bertarung dengan sengit. Jurus-jurus pedang yang hebat mereka gunakan agar dapat segera membunuh lawannya.

Namun setelah satu jam pertarungan, belum satu pun diantara mereka yang berhasil membunuh lawannya.

Hanya luka ringan di beberapa bagian tubuh yang terlihat dan masih mengalirkan darah. Nafas kedua kakek itu pun terlihat mulai tersengal-sengal.

Namun tak satupun dari keduanya yang mau berhenti bertarung, bahkan serangan keduanya kini, semakin mendahsyat.

Lin Kai mengalirkan sejumlah tenaga dalam yang cukup besar ke Pedang Awan biru, Sehingga pedangnya mengeluarkan cahaya kebiruan.

Melihat Hal itu, Fu Kuan pun menjadi waspada. Ia pun mengalirkan sejumlah besar tenaga dalamnya ke Pedang Bintang Merah. Pedang itu pun segera memancarkan cahaya kemerahan.

Lin Kai segera menebaskan pedang ke udara kosong di depannya. Selarik sinar biru melesat dengan cepat ke arah Fu Kuan yang segera melompat setinggi lima meter dan mengayunkan pedang Bintang Merah dari atas ke bawah.

Sinar biru dari Pedang ditangan Lin Kai mengenai bebatuan yang seketika membuat batu-batu itu hancur menjadi berkeping-keping.

Selarik sinar merah melesat dari Pedang Bintang Merah tepat mengarah ke tubuh Lin Kai.

Kakek itu mendengus kesal dan melompat kesamping kanan menghindari serangan energi Pedang Bintang Merah Fu Kuan.

Sinar merah itu menghantam sebuah pohon besar dan membuat batangnya yang besar terbelah menjadi dua dan terlihat hangus.

”Elang Biru Mematuk Mangsa”

Lin Kai kembali melesatkan Energi dari Pedang Awan Biru, namun kini energi yang keluar menyerupai sebuah burung elang raksasa yang berwarna biru dan segera melesat seolah hendak mematuk Fu Kuan.

Fu Kuan yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah sangat terkejut melihat serangan yang datang dengan sangat cepat ke tubuhnya.

Ia pun segera menusukan pedang ke arah kepala elang raksasa itu seraya berteriak dengan keras.

“Petir Bintang Merah”

Dari Pedang Bintang Merah keluar petir berwarna merah yang melesat cepat menghantam burung elang raksasa tersebut.

BLAAAAR

Tanah berguncang hebat akibat pertemuan dua energi besar tersebut. Pepohonan disekitar tempat pertarungan pun tumbang dengan batang dan dahan yang hancur.

Demikian juga dengan bebatuan yang ada disekitar tempat itu, berterbangan dan hancur menjadi debu.

Suasana pun menjadi hening untuk sesaat. Setelah debu-debu menghilang tertiup angin, terlihat dua kakek yang tadi bertarung, tergeletak tak sadarkan diri.

Satu menit kemudian, terlihat seorang pemuda berusia sekitar lima belas tahun mendatangi tempat itu dengan langkah kaki yang perlahan.

Ia mengenakan jubah mewah yang basah dan kotor. Wajahnya terlihat lebam dan beberapa luka di beberapa bagian tubuhnya masih mengeluarkan sedikit darah.

Ia menatap lemah ke arah dua orang Kakek yang terbaring berjauhan itu. Ia tak tahu apakah keduanya masih hidup atau sudah mati.

Pemuda itu menghela nafas panjang, ia pun akhirnya menyadari bahwa suara ledakan yang tadi ia dengar adalah suara dari pertarungan kedua kakek itu.

Siapa Kedua Kakek itu? Siapa dirinya dan mengapa ia berada di tempat asing ini?

Kedua pertanyaan itu adalah hal yang mengisi benak pemuda yang kini terduduk seraya menatap sebuah liontin yang berada di tangannya.

Hal terakhir yang ia ingat adalah, dirinya dihajar habis-habisan oleh tiga orang sebelum tubuhnya dilemparkan dari Jurang.

Ia masih ingat saat mencoba meraih dahan sebuah kayu yang kering, namun dahan tersebut patah dan ikut jatuh dalam waktu cukup lama sebelum ia merasakan sakit saat tubuhnya tercebur kedalam air sungai.

Hal terakhir yang ia ingat sebelum kehilangan kesadaran adalah meraih dahan besar yang mengambang dan memeluknya dengan erat, agar kepalanya tetap di atas air.

*****

002: Takdir Pertemuan

Entah berapa lama ia jatuh pingsan dan seberapa jauh ia sekarang dari jurang dimana dirinya dilemparkan oleh orang-orang yang tak ia kenali itu.

Satu hal yang pasti adalah ia berada di tepi sebuah sungai besar yang sekelilingnya terdapat pepohonan besar dan rimbun.

Ia pun beringsut dari dalam air sungai yang dangkal dan berlumpur, lalu duduk di tepi untuk membersihkan beberapa bagian tubuh dan jubahnya yang terlihat sangat kotor.

Setelah selesai, Ia bangkit dengan sekujur tubuh yang terasa sangat sakit dan perut yang lapar. Lalu ia berjalan menerobos semak-semak untuk mencari sebuah pohon yang buahnya bisa ia makan.

Belum sempat ia menemukan pohon yang memiliki buah, telinganya terlebih dahulu mendengar suara menggelegar sangat keras tak jauh dari tempatnya berada.

Dengan langkah kaki yang perlahan ia pun akhirnya sampai di tempat asal suara itu dan menemukan sosok dua orang kakek yang tergeletak bersimbah darah.

Ia pun lantas duduk karena merasa lemas dan lalu menghela nafas panjang seraya memandangi Liontin di tangannya.

“Siapa Kedua Kakek itu? Siapa dirinya dan mengapa ia berada di tempat asing ini?”

**

“Siapakah mereka berdua ini? Apakah masih hidup atau sudah mati?”

Pemuda itu bertanya kembali pada dirinya sendiri, sambil mengalihkan pandangan dari Liontin ditangannya kearah seorang kakek berjubah biru dan menghampiri sosok itu yang tak lain adalah Lin Kai.

Kondisi Lin Kai sangat mengenaskan, tangan kanannya terlihat buntung sebatas siku dengan lengan jubah yang juga hancur seperti terbakar. Darah pun terlihat masih mengalir tak henti dari bagian itu.

Pemuda tersebut segera membalikan tubuh Lin Kai dan membuat sosok tua itu dalam posisi setengah terduduk.

Ia pun menempelkan jarinya untuk mengetahui apakah kakek tersebut masih bernafas atau tidak.

“Masih hidup, aku harus segera menolongnya.”

Ia pun bergegas menarik tubuh Kakek itu untuk bersandar di sebatang pohon besar tak jauh dari mereka berdua.

Dengan susah payah, ia pun berhasil membawa tubuh Lin Kai dan membuatnya bersandar di pohon yang besarnya tak dapat ia ukur sekalipun dengan memeluk batangnya.

Pandangannya pun beralih pada sosok Kakek lainnya yang masih tergeletak entah mati atau tak sadarkan diri.

Ia pun kembali meletakan jarinya di depan hidung kakek berjubah putih itu, sesaat setelah tiba di dekatnya.

“Kakek ini pun masih hidup, Aku akan membawanya ke tempat yang berbeda agar setelah sadar nanti, keduanya tidak saling menyerang lagi.”

Kakek berjubah putih dengan motif pedang itu adalah Fu Kuan. Dengan langkah yang terseok-seok Pemuda tampan itu, segera membawa Fu Kuan ke sebuah pohon lain dengan cara memegangi kedua ketiak kakek itu.

Pada sebatang pohon besar lain dan terpisah sejauh lima meter dari Lin Kai, tubuh Fu Kuan disandarkan oleh pemuda tampan itu.

Pohon tempat bersandar Lin Kai dan Fu Kuan sekarang adalah dua buah pohon yang selamat dari imbas pertarungan keduanya karena batangnya yang sangat besar sekali.

Pemuda Tampan itu segera mengedarkan pandangannya mencari sesuatu yang dapat ia gunakan untuk membuat wadah minum dari potongan bambu yang banyak tergeletak di sekitar tempat itu.

Ia pun tersenyum saat menemukan sebuah pedang berbilah biru tak jauh dari tempat Lin Kai tergeletak tadi.

Ia segera bergegas mengambil Pedang berbilah biru itu dan membuat sebuah bumbung untuk menampung air.

Setelah selesai membuat empat bumbung air, Pemuda itu segera berjalan ke arah sungai dimana dirinya tadi tersadar dari pingsannya.

Selang lima menit kemudian ia telah kembali dengan empat bumbung yang penuh berisi air.

Saat telah berada di dekat Fu kuan dan Lin Kai, Pemuda berusia lima belas tahun itu tersenyum senang mendapati kedua kakek yang ia tolong telah siuman dan terlihat tengah duduk bermeditasi.

Fu Kuan yang pertama membuka mata dan mengakhiri meditasinya saat merasakan kehadiran orang lain berada diantara mereka berdua.

Selang beberapa detik kemudian, Lin Kai pun membuka matanya dan memandang heran pada sesosok pemuda tampan yang terlihat kumal dan berjubah kotor, berdiri diantara dirinya dan Fu Kuan.

“Bocah sepertinya kau menolong kami berdua untuk duduk, benarkah?”

Fu Kuan terlebih dulu menyapa Pemuda tersebut, Ia pun mengucapkan terimakasih setelah Pemuda tersebut menganggukan kepalanya.

“Terimakasih telah menolong kami, Bocah siapa namamu dan bagaimana bisa kau datang ke tempat yang pendekar saja enggan untuk mendatangi tempat ini!”

Lin Kai menanyakan nama pemuda itu setelah mengucapkan terimakasih.

Dahi kedua Kakek itu mengerut bukan karena menahan nyeri atau menahan pipis, itu karena heran mendapati pemuda itu terlihat kebingungan hanya untuk sekedar menyebut namanya saja.

“Kenapa kau terlihat seperti kebingungan, apa kau tidak ingat siapa namamu? Apakah kepalamu terluka?”

Fu Kuan menyuarakan dugaannya, ia pun lalu mengamati tubuh pemuda itu, dan ia pun akhirnya mengerti apa yang terjadi dengan penolongnya tersebut.

“Mengapa kau mengangguk-anggukan kepala Tua Bangka Keriput? Apa yang kau temukan?”

Lin Kai yang penasaran segera bertanya kepada Fu Kuan yang wajahnya berubah menjadi kesal karena apa yang ia pikirikan seketika buyar oleh teriakan Lin Kai.

“Tua Bangka Peot, apa matamu sudah rabun? lihat di belakang telinga kiri bocah ini, ada luka yang masih mengalirkan sedikit darah, mungkin itu yang menyebabkan ingatannya terganggu.”

Walau kesal dirinya dipanggil Kakek Peot, Lin Kai mengarahkan pandangannya ke arah telinga kiri pemuda tersebut.

Namun karena dirinya berada di samping kanan pemuda itu, ia tidak bisa melihat apa yang disebutkan oleh Fu Kuan.

“Bukan mataku yang rabun, tapi kau yang sudah pikun, Tua Bangka Keriput! Aku berada di sebelah kanannya, tentu saja yang kulihat telinga kanan, masa telinga kirinya, benar-benar sudah pikun kau ini.”

Lin Kai terkekeh setelah berkata demikian, itu karena ia mendapati Fu kuan tertegun mendengar perkataan darinya.

Saat hendak berdalih dan membalas ejekan Lin Kai yang masih terkekeh senang, suara lantang dan terdengar marah dari pemuda belasan tahun itu, membuat Fu Kuan menelan ludahnya dan tawa Lin Kai terhenti seketika.

“Kakek, apa Kakek berdua sudah bosan Hidup? Masih saja bertengkar seperti anak kecil yang memperebutkan permen walau tubuh kakek sudah terluka separah ini. Apa gunanya aku menolong Kakek berdua jika masih saja ingin bertarung lagi, lebih baik Aku pergi dari sini saja.”

Seandainya saja dirinya masih bisa mengerahkan tenaga dalamnya untuk bergerak, mungkin Lin Kai akan menampar mulut pemuda itu karena berani berbicara tajam kepada dirinya seperti tadi.

Namun sesaat kemudian ia menyadari kebenaran kata-kata tegas pemuda yang belum ia ketahui namanya itu.

Kekaguman pun muncul dalam hati Lin Kai, rasa yang jarang ia miliki saat bertemu dengan seseorang. Apalagi yang semuda ini, yang telah memiliki keberanian yang luar biasa untuk mengatakan sebuah kebenaran.

Mengingat Lengan kanannya hancur dan tubuhnya terluka dalam parah Lin Kai menyadari bahwa dirinya hanya mampu bertahan hidup tidak lebih dari setahun lagi.

Ia memandang pemuda tersebut dan dan muncul dalam hatinya niatan untuk menjadikannya seorang murid yang akan mewarisi seluruh ilmu beladirinya beserta Senjata Pusakanya, Pedang Awan Biru.

Berbeda dengan Lin Kai, Fu Kuan justru terlihat senang mendengar perkataan tegas Pemuda Tampan yang belum ia ketahui jatidirinya tersebut.

Dari perkataan pemuda tampan misterius itu, Fu Kuan menyadari bahwa pemuda itu adalah pemuda yang cerdas dan terpelajar serta memiliki Budi Pekerti yang baik.

Walau dalam kemarahannya ia masih bisa mengucapkan kata-kata yang memiliki nilai kesopanan saat lawan bicaranya adalah orang yang pantas menjadi Kakeknya.

Dengan Luka dalam yang parah ditubuhnya, Fu Kuan merasa tidak yakin dirinya bisa hidup lebih dari setahun lagi.

Karena hal itu maka terbersitlah niat dalam hatinya untuk mewariskan seluruh ilmu beladiri yang ia miliki dan senjata pusakanya, Pedang Bintang Merah kepada Pemuda tersebut.

Sementara itu Pemuda yang baru berkata tegas kepada kedua orang Kakek Pendekar itu, juga terlihat tertegun.

Ia pun lalu menyadari bahwa perkataannya tadi telah menyinggung hati kedua kakek yang sedang terluka parah itu.

Awalnya ia tak ingin meminta maaf atas ucapannya itu, karena menurutnya kedua Kakek tersebut benar-benar tak menghargai dirinya yang telah bersusah payah menolong mereka berdua.

Namun karena tidak mengetahui apa alasan keduanya bertarung, ia pun mencoba menetralisir kekesalan di hatinya.

“Kakek ...”

“Bocah ...”

“Anak Muda ...”

Suasana hening diantara mereka bertiga yang sedang asik dengan pikiranya masing-masing, segera saja sirna berganti derai tawa, saat ketiganya berkata nyaris bersamaan.

Bahkan Lin Kai merasakan kehangatan dalam tawa itu, kehangatan sebuah keluarga yang telah lama tidak ia rasakan lagi.

*****

003: Menjadi Murid

“Kakek Siapakah kakek berdua ini? Dan mengapa Kakek harus bertarung hingga terluka separah ini ?”

Pemuda lima belas tahun itu bertanya setelah ia memberi masing-masing satu buah Bumbung Bambu berisi air minum kepada kedua Kakek tersebut.

Lalu ia pun duduk diantara kedua kakek yang sesekali terbatuk karena tersedak air yang mereka minum dengan terburu-buru.

“Tua Bangka Keriput, kau saja yang bercerita, Aku tidak pandai merangkai kata-kata sepertimu.”

Lin Kai berkata kepada Fu Kuan sambil menyeka air yang sedikit menetes di sudut bibirnya.

Fu Kuan menghela nafas panjang sebelum ia ia mulai menjelaskan siapa mereka berdua.

“Anak muda, namaku Fu Kuan, Aku di kenal dalam dunia persilatan Kekaisaran Liu sebagai Pendekar Pedang Bintang. Sedangkan Kakek Tua Peot yang disana itu, bernama Lin Kai. Ia dikenal sebagai Pendekar Pedang Awan Biru.”

Fu Kuan lalu bercerita bahwa mereka berdua bertarung bukan karena memiliki masalah atau pun dendam pribadi.

Mereka berdua sepakat untuk bertarung menentukan siapa yang lebih kuat serta menjadi Jagoan Nomor Satu di dunia persilatan Kekaisaran Liu.

Walau mereka berdua berbeda aliran, namun keduanya tidak ingin saling mencampuri urusan masing-masing.

Hingga sebuah berita didengar oleh Fu Kuan dari muridnya bahwa Lin Kai menantangnya bertarung untuk menentukan siapa yang yang terkuat diantara mereka berdua.

“Bukannya kau yang menantang ku untuk bertarung dan ingin menentukan siapa yang terkuat diantara kita?”

Suara Lin Kai menyela perkataan Fu Kuan, membuat wajah Fu Kuan terlihat kesal.

Mereka berdua telah berdebat tentang hal itu selama beberapa menit, sebelum akhirnya memulai pertarungan dengan benak terisi pertanyaan siapa yang menyebarkan berita itu.

“Benarkah kau tidak menantang ku Tua Bangka peot? Lalu darimana murid ku Chen Hu mendapatkan berita itu?”

Pemuda tampan yang wajahnya lebam itu terlihat kebingungan mendengar perdebatan kedua Kakek disampingnya.

Sementara Dahi Fu Kuan berkerut, ia termenung saat mengingat bahwa ia tidak menanyakan terlebih dahulu, kebenaran isi surat yang ia terima dari seorang pria yang mengenakan seragam Sekte Bintang Merah, yang kini dipimpin oleh Chen Hu Murid pertamanya.

Hal itu karena Ia melihat stempel sekte yang berada di surat itu adalah stempel yang ia buat sendiri saat tiga puluh tahun lalu mendirikan sekte tersebut.

Ia tersentak saat menyadari adanya kemungkinan pihak ketiga yang ingin mengambil keuntungan dari pertarungan mereka berdua.

“Tua Bangka Peot, darimana kau mendapat berita jika aku menantang mu untuk berduel?”

Lin Kai menoleh ke arah Fu Kuan yang bertanya dengan nada suara lebih lembut dari sebelumnya.

“Aku menerima sepucuk surat yang dibawa oleh orang suruhan dari Bangsawan Wu Lei. Surat yang ku terima adalah surat dari murid ku Wu Ming, Ia Mengatakan dalam suratnya bahwa Kau akan datang ke Lembah Iblis untuk menantang ku berduel demi menentukan siapa Jagoan Nomor satu di Dunia Persilatan Liu.”

Lin Kai lalu menceritakan bahwa sebelum mengasingkan diri di Lembah Iblis, sepuluh tahun lalu ia sempat menjadi Guru Wu Ming, Putera pertama Wu Lei.

Wu Lei adalah seorang bangsawan besar dan ternama yang secara tidak resmi memimpin Kota Wuchang. Satu dari tujuh Kota Besar yang ada di Kekaisaran Liu.

Disebut demikian karena di setiap kota yang menjadi bagian dari Kekaisaran Liu itu, sebenarnya dipimpin oleh seorang Gubernur, bukan oleh seorang Bangsawan.

“Jadi begitu rupanya, Kakek Lin Kai juga mendapat surat yang sama dengan Kakek Fu Kuan. Sepertinya ada pihak lain yang ingin mengadu domba Kakek berdua dan mengambil keuntungan dengan kematian salah satu atau salah dua dalam pertarungan itu.”

Kata-kata Pemuda yang menolong mereka itu, membuat Fu Kuan dan Lin Kai memandangnya dengan wajah heran, terutama Fu Kuan yang sebelumnya sempat berpikir hal yang sama.

“Pemuda yang cerdas, Ia kehilangan ingatannya, tetapi bisa menyimpulkan hal yang sama denganku.. Sepertinya ia bukan berasal dari keluarga biasa. Siapa dia sebenarnya.”

Fu Kuan berbicara dalam benaknya sendiri seraya menatap lekat wajah pemuda itu.

Ia pun tersenyum saat terlintas ingatan dalam benaknya, seorang bangsawan yang memiliki kemiripan wajah dan senyum dengan pemuda dihadapannya ini.

Sayangnya ia tidak berhasil mengingat nama bangsawan itu, karena melihatnya pada pesta yang diadakan di Istana yang dihadiri oleh seluruh bangsawan yang ada di Kekaisaran Liu.

Hal itu terjadi setahun sebelum ia memutuskan untuk mengasingkan diri dan menciptakan jurus-jurus baru yang lebih kuat demi membuat sekte yang ia dirikan tiga puluh tahun lalu itu, menjadi sekte yang lebih besar dan lebih kuat lagi.

Keinginan Fu Kuan semakin kuat untuk menjadikan Pemuda yang belum ia ketahui namanya itu sebagai murid ketiganya.

Hal yang sama terjadi dengan Lin Kai yang merasa bahwa perkataan pemuda itu benar, tentang adanya pihak ketiga yang menginginkan kematiannya.

Sebagai Jagoan Nomor Satu Aliran Hitam, tentu saja ia tidak bisa menerima hal ini. Sekalipun perkataan pemuda tersebut belum terbukti kebenarannya, namun ia meyakini bahwa hal itulah yang benar.

Hanya saja siapa mereka dan apa tujuan mereka dengan semua itu, masih menjadi misteri yang harus diselidiki.

Namun dengan kondisinya yang terluka dalam separah ini, tidak mungkin baginya untuk melakukan hal itu.

Melihat Pemuda yang menolongnya itu sangat cerdas, ia berharap bahwa pemuda itu bisa mewarisi seluruh teknik dan jurus yang ia miliki dengan menjadikannya sebagai murid ke dua setelah Wu Ming yang dinilainya telah gagal mewarisi teknik beladiri tingkat tinggi yang ia miliki.

“Bocah, bagaimana jika kau menjadi murid ke dua ku? Aku akan mengajarimu seluruh Teknik dan jurus-jurus ku yang terhebat yang belum ada tandingannya di Kekaisaran Liu ini.”

“Puih! … Jurus terhebat apanya, Anak muda kau jadi murid ku saja, akan ku ajari jurus tertinggi yang kumiliki, bagaimana?”

Fu Kuan yang kesal karena niatnya didahului oleh Lin Kai, segera menawarkan hal yang sama dan tidak memperdulikan Lin kai yang matanya melotot karena marah kepadanya.

Keduanya pun mulai berdebat lagi, dan berhenti seketika saat melihat pemuda itu berdiri. Hati Kedua jagoan terkuat di alirannya masing-masing itu, tiba-tiba berdegup kencang melihatnya.

“Kakek Lin dan Kakek Fu, berhentilah bertengkar. Aku tidak ingin menjadi murid siapapun jika Kakek berdua masih saja seperti itu. Lebih baik aku pergi dari sini, daripada tiap hari harus melihat pertengkaran Kakek berdua yang tidak ada gunanya itu.”

Pemuda tersebut berbicara tanpa melihat Lin Kai maupun Fu Kuan yang membuat keduanya menelan ludah mendengarnya.

Tanpa mereka ketahui bahwa dalam hatinya, pemuda tersebut sedang tertawa melihat mereka berdua terdiam mendengar perkataannya.

Lin Kai dan Fu Kuan meminta maaf kepada pemuda yang masih berdiri di tengah-tengah mereka itu. Mereka pun berjanji tidak akan bertengkar lagi dihadapannya.

Keduanya menarik nafas lega saat pemuda yang tidak bisa mengingat namanya itu, berbalik dan tersenyum kepada mereka.

“Kakek Fu, Kakek Lin jika begitu aku bersedia menjadi murid Kakek berdua. Bagaimana jika Kakek berdua duduk berdampingan untuk menerima sujud ku?”

Kedua Jagoan tua itu segera beringsut menggeser tubuh mereka yang masih terasa sakit dan lemah ke hadapan pemuda tersebut.

Keduanya terlihat berusaha untuk lebih dulu berada dihadapan si pemuda karena rasa gembira akan kesediaan pemuda itu menjadi murid mereka.

“Kakek Fu, sepertinya Kakek lebih Tua dari Kakek Lin, karena itu Aku akan memanggil Kakek Fu Sebagai Guru pertama, dan Kakek Lin sebagai Guru Ke dua, bagaimana?”

Pemuda tersebut bertanya setelah ia duduk di hadapan kedua Jagoan tua yang kini telah duduk berdampingan dengan wajah yang terlihat gembira.

“Tentu saja kami setuju!”

Keduanya berkata nyaris bersamaan dan saling memandang untuk sesaat sebelum akhirnya tersenyum dan kembali menatap Pemuda tersebut.

Pemuda tersebut segera bersujud sebanyak tiga kali kepada Fu Kuan dan Lin Kai. Setelah selesai, keduanya terlihat canggung, saat hendak memanggil nama pemuda tersebut.

“Tua Bangka Peot, karena kau Guru pertamanya, bagaimana jika kau yang memberinya nama?”

“Tidak bisa begitu Kakek Tua Keriput, dia telah menjadi murid kita berdua sekarang, bagaimana jika aku memberinya nama depan dan kau yang memberinya nama belakang?”

Lin Kai menganggukan kepalanya, sebagai tanda bahwa ia menyetujui hal tersebut.

Fu Kuan terlihat sedang mencoba kembali mengingat-ingat siapa nama bangsawan yang wajahnya mirip dengan wajah pemuda yang baru saja resmi menjadi muridnya itu.

“Anak muda, sejak dari detik ini kau adalah murid kami berdua. Karena kau belum meilki nama, sebagai gurumu kami akan memberimu nama, Nama depan mu adalah Zhu dan nama belakangmu adalah ..”

“… San, namamu tidak mengikuti marga Ayah atau ibu mu. Bagaimana, apakah kau suka dengan nama yang kami berikan?”

Lin Kai melanjutkan perkataan Fu Kuan dengan menyebutkan nama ke dua untuk pemuda itu.

“ Terimakasih Guru Pertama, Guru Kedua, tentu saja Murid menyukainya. Dan mulai hari ini, murid akan bernama Zhu San.”

Tangan Kedua Kakek tersebut segera mengusap kepala Zhu San dan sesaat kemudian mereka tersentak lalu terduduk dengan mata melotot lebar.

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!