Seorang wanita dengan perlahan mendekati ranjang yang di atasnya ada dua putrinya yang tengah tertidur pulas. Saat sudah dekat, ia mengangkat bantal yang dibawanya. Sejenak ia pandangi wajah-wajah lugu kedua anaknya. Meskipun ada rasa tidak tega, namun ia berusaha menepis semua itu, ia pun terlebih dahulu membekap wajah anak pertamanya. Saat anaknya sudah terbekap, mata wanita itu terpejam dan menangis. Ia bergumam dalam hati, “Maafkan Ibu ya Nina.”
Nina pun meronta. Berusaha melepaskan bekapan itu. Tenaganya kecilnya, tak mampu melawan bekapan kuat ibunya. Akhirnya, Nina pun menyerah. Ia kehabisan napas. Dan akhirnya meninggal.
Merasa tak ada rontaan lagi, wanita itu mengangkat bantal yang membekap. Untuk memastikan anaknya sudah tak bernyawa, ia lalu mendekatkan telunjuknya ke hidung. Benar. Sudah tak terasa hembusan napas lagi.
Perempuan itu lalu menangis. Hatinya sakit seperti disayat-sayat. Air matanya yang jatuh kemudian membasahi dahi Nina. Dengan perlahan, ia membelai rambut anaknya. Ada rasa sayang yang tumbuh belakangan ini. Namun, beban hidup yang terus mendera sepertinya sudah membuatnya hilang akal. Dalam sekejap ia hilangkan nyawa putrinya.
“Selamat jalan sayang. Sebentar lagi Ibu juga akan membebaskan Nani dari derita hidup ini. Agar kalian hidup tenang di alam keabadian,” kata wanita itu dengan tatapan kosong.
Seperti yang dikatakannya, dia langsung menghampiri satu lagi anaknya. Sepertinya, anak yang bernama Nani itu tak sadar dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Kabar buruknya, diapun akan merasakan hal yang sama.
Tanpa berlama-lama, ia membekap sekuat tenaga, tak peduli pada Nani yang juga meronta. Baginya tak ada pilihan lain untuk mengakhiri semua masalah hidupnya. Dengan membunuh anak-anaknya, ia anggap sebagai jalan keluar.
Lama juga Nani meronta. Namun pada akhirnya, ia pun menyerah. Rontaannya melemah dan Nani pun menyusul Nina.
Wanita itu pun tahu anaknya sudah mati. Ketika ia telah selesai membunuh satu per satu putrinya. Ia menangis histeris. Terkulai lemah di sudut ranjang.
“Anak-anakku tenanglah kau di alam sana. Sebentar lagi Ibupun akan menyusul kalian.”
Matanya kemudian mengarah pada pisau yang tergeletak di samping buah apel. Dua jam yang lalu, separuh buah tersebut sudah dimakan kedua putrinya. Tak disangka, buah apel merah yang diidamkan bertahun-tahun, menjadi nikmat terakhir bagi mereka.
Pisau itu kini digenggamnya. Air mukanya yang lusuh menggambarkan keputus asaannya. Kemudian ia berbaring di antara kedua putrinya. Memejamkan mata. Lalu, ia menempelkan mata pisau di urat nadinya.
“Anak-anakku, sebentar lagi Ibu akan menyusulmu,” bisik wanita itu. Tanpa ragu, ia mengiris urat nadinya.
Darahnya memancar dari pergelangan tangan. Wanita itu pun tewas. Sprei putih berubah jadi merah karena darah. Dalam sekejap kamar apartemen yang mereka tinggali menjadi tempat pembunuhan dan bunuh diri yang mengerikan.
...*****...
Sepuluh tahun sebelum peristiwa itu terjadi.
Dari dalam garasi, mobil sedan hitam berjalan mundur lalu berhenti di teras. Lalu seorang pria paruh baya keluar, menghampiri gadis berseragam putih abu-abu yang tengah memasukkan satu kakinya ke dalam sepatu.
“Non Mila, mobil sudah siap. Apa mau berangkat sekarang?”
Gadis SMA yang bernama Mila itu mendongak ke arah sopir. Dia mengerakkan bola matanya ke atas dan ke bawah, melihat sopirnya dengan sinis.
“Mana gue tahu. Pak Diman tanya aja sana sama ayah,” jawab Mila dengan ketus.
Sikap Mila memang sering begitu pada seisi rumah. Untungnya Pak Diman dapat memaklumi dan tak mau ambil hati. Sebagai orang yang bekerja puluhan tahun, beliau sudah terbiasa menghadapi sikap judes anak juragannya itu.
“Mila, kamu nggak boleh kayak gitu!” tegur seorang lelaki tua berambut kelimis yang tiba-tiba keluar setelah mendengar ucapan ketus putrinya. “Ayah denger dari dalam kau menjawab begitu ketusnya pertanyaan Pak Kardiman. Cepat minta maaf pada beliau!”
Pria tua yang rambutnya sudah memutih itu dengan tegas menyuruh putrinya. Beliau tak mau kalau orang lain menilai keluarganya sebagai keluarga yang tak punya adab.
Apa boleh buat Mila tak dapat menyangkal perintah ayah. Dengan malas, ia mengulurkan tangannya meminta maaf pada Pak Diman.
“Maafin Mila, Pak Diman.”
Dengan legawa Pak Diman memaafkan anak majikannya itu. Walaupun masih ada sakit hati tapi ia berusaha memaafkan. Apalagi orang tua Mila sudah banyak berbuat baik pada dirinya. Meski kerap kali diperlakukan tidak menyenangkan oleh Mila, sopir tua itu berusaha berlapang dada.
“Pak Diman, ayo berangkat. Tapi kali ini kita ke sekolah Mila dulu ya. Soalnya saya mau ngambil surat kelulusannya.”
“Baik, Pak.”
Mendengar perintah majikannya, Pak Diman langsung membukakan pintu mobil dan mempersilahkan majikan dan putrinya masuk. Mila masuk mobil setelah ayahnya masuk. Dengan wajah yang murung, ia membanting tubuhnya di kursi. Melihat Mila seperti itu, sang ayah hanya berdecak dan menggelengkan kepala. Pandangannya kini dibuang ke luar mobil. Untuk beberapa saat suasana dalam mobil menjadi senyap.
Mata Pak Diman melirik spion tengah. Di belakang antara ayah dan anak terlihat masih bersitegang. Putri majikannya masih kesal. Wajahnya ditekuk, bibir manyun, dan tangan bersidekap. Gadis itu mengerlingkan mata membuang pandangannya juga.
Melihat itu, Pak Diman merasa perlu mencairkan suasana.
“Nggak kerasa, Non Mila sudah lulus SMA aja ya, Pak Satria?” tanya Pak Diman sambil memutar stir untuk membelokkan mobil.
Namun, perkataan Pak Kardiman tak direspon Pak Satria. Sepertinya majikannya itu enggan berkomentar banyak mengenai putrinya. Masih kesal dengan sikap putrinya tadi.
Melihat situasi ini, Pak Diman tak menyerah. Kali ini beliau berusaha mengajak Non Mila bicara.
“Non Mila setelah lulus rencananya mau kuliah dimana?” tanya Pak Diman sambil melihat Mila dari spion.
Kalimat tanya yang diucapkan Pak Diman malah direspon dengan lirikan tajam, setajam pisau.
“Kenapa elu tanya-tanya? Ini bukan urusan elu. Udah elu nyetir-nyetir aja!”
Mendengar nada sumbang putrinya, emosi Pak Satria kembali naik. Pria itu membentak Mila lagi.
“Mila kurang ajar kamu ya. Ditanya malah jawabnya nggak sopan!”
Tangan Pak Satria yang hendak menampar putrinya, langsung dicegah Pak Diman dengan tiba-tiba menginjak rem. Sehingga badan keduanya terhempas. Tangan Pak Satria yang tadinya akan menampar, beliau gunakan untuk menahan agar tidak membentur sandaran kursi di depannnya.
“Sudah berapa kali ayah ngomong. Kamu jangan kurang ajar sama orang yang lebih tua,” omel Pak Satria lagi.
Namun, omelan sang ayah tak dipedulikan Mila sama sekali. Perasaanya ingin cepat-cepat keluar dari mobil.
“Hey Pak Diman, cepat buka pintu mobilnya sekarang. Aku mau keluar dari mobil yang rasanya makin panas ini. Aku muak mendengar ocehan Ayah!” seru Mila sambil berusaha membuka pintu mobil.
“Jangan turun, Non. Sekolah Non Mila 'kan masih jauh,” cegah Pak Diman.
“Udah nggak apa-apa. Peduli apa kalian!”
Tangan Mila memukul punggung kursi mobilnya. Lama-lama ia emosi dengan Pak Diman yang tidak mau membukakan pintu mobilnya.
“Cepat buka, Pak Diman! Lama banget sih!” bentak Mila.
Dan ... Plaakk!
Bentakan Mila itu membuat tangan Pak Satria melayang begitu saja. Mendarat keras ke wajah anak gadisnya. Sayang, Pak Kardiman tak mampu mencegah majikannya agar tak melakukan itu.
“Dasar anak kurang ajar!”
Pak Satria tak dapat menahan emosinya lagi. Suasana dalam mobil jadi makin menegangkan.
“Jadi gini, seorang wakil rakyat suka memperlakukan anaknya dengan kasar?” Mila menyolot. Dengan berani matanya melototi sang ayah. “Aku akan bilang ke semua orang, agar orang semacam ayah tak layak jadi wakil rakyat.”
“Tutup mulutmu!”
Perkataan Mila tadi makin menyulut emosi Pak Satria. Dan sekali menampar putrinya. Plaaakk.
Merasa suasana di dalam mobil tidak terkendali. Pertengkaran antara ayah dan anak yang tak bisa dihentikan. Pak Diman terpaksa membuka pintu mobil.
Begitu terbuka, Mila segera keluar dari Mobil. Berlari sambil menutup bagian wajahnya yang kena tampar. Sembari berlari ia menangis.
Bersambung ....
Di dalam kamar Mila mengurung diri. Tepat jam dua malam, dia pulang bersama dua temannya, yang mengantarkannya hanya sampai depan gerbang. Selama ini, mereka tak berani mengantar Mila sampai depan pintu rumah. Takut kena sasaran juga omelan Pak Satria.
Dikalangan teman-teman Mila, Pak Satria terkenal sangar. Apalagi kalau putrinya pulang larut malam begini, bisa jadi mereka ikut kena juga bulan-bulanan orang tua itu.
Sejam sebelum Mila masuk kamar, ibunya sempat menegur kenapa jam segini baru pulang? Darimana saja kamu? Namun, pertanyaan-pertanyaan itu diabaikan.
Dengan langkah sempoyongan, Mila membuka pintu kamar. Langsung masuk tanpa menghiraukan. Alih-alih menjawab, ia malah membanting daun pintu.
...*****...
Di meja makan, Pak Satria dan istrinya tengah sarapan, Mila keluar dari kamar, menuruni anak tangga. Rambutnya terlihat sangat berantakan. Langkahnya masih terhuyung sisa mabuk semalam.
Melihat kedatangan putrinya, Pak Satria langsung membatalkan suapan ke mulutnya. Mendadak selera makannya hilang. Sendok di genggamannya dijatuhkan ke piring cukup keras. Menimbulkan suara yang mengejutkan.
Akan tetapi, suara dentingan piring yang cukup keras itu tak membuat Mila bergeming. Seenaknya saja ia merebahkan tubuhnya ke sofa. Disambarnya remote TV yang tergeletak di meja. Alih-alih peduli dengan amukan Pak Satria, malah dia menaikan volume TV.
Menurut Pak Satria, tingkah anak itu benar-benar keterlaluan. Membuat beliau naik pitam. Bahkan telah bangkit hendak mendatangi. Rasanya ingin menampar Mila sekali lagi.
Merasa akan terjadi kembali pertengkaran, dengan sigap Ibu Retno menahan tangan suaminya itu.
“Jangan, Pak. Biar Ibu saja yang bicara.”
Syukurlah, bujukan istrinya berhasil meredam emosi Pak Satria. Saat suaminya kembali duduk, Ibu Retno segera mendekati putrinya.
Saat sudah di dekat putrinya, Ibu Retno dengan lembut membisiki, “Nak, kecilin TV-nya. Ibu mau bicara.”
Bisikan itu, membuat Mila mengerlingkan mata. Dengan teramat sungkan, dia menghilangkan volume TV.
Senyap beberapa saat, barulah ibu mulai bicara, “Boleh Ibu bicara?”
“Bicara apa sih, Bu?” Kepalanya mendongak malas. Mila enggan membangkitkan tubuhnya dari punggung sofa.
“Bangun sayang, Ibu ingin duduk di dekatmu.” Tangan lembut Ibu Retno membelai rambut anak gadisnya itu.
Dengan malas, ia mengangkat badannya. Bergeser pelan bak ulat bulu, memberi tempat agar ibunya bisa duduk.
“Sekarang Ibu mau bicara apa?” tanya Mila sembari mengangkat kedua alisnya.
“Nak, maukah kau masuk ke pesantren dan sekalian kuliah?”
“Apa pesantren?” Pertanyaan yang sungguh mengagetkan Mila.
Dari ujung meja makan, Pak Satria menatap tajam. Tatapannya bagai singa mengawasi mangsa.
“Ibu jangan bercanda ya. Aku nggak mau. Pesantren itu sangat membosankan, Bu,” suara Mila meninggi bebarengan dengan bangkitnya ia dari sofa. Berdiri sembari berkacak pinggang, mengintervensi ibunya.
Dari jauh, Pak Satria menegur Mila. Supaya kembali duduk. Sungguh tidak sopan bersikap begitu pada ibunya.
“Hey Mila, jangan begitu. Cepat kembali duduk! Ibu kamu belum selesai bicara.”
Gadis itu mengerlingkan mata. Ia merobohkan tubuhnya ke sofa lagi. Menekuk muka. Baginya pembicaraan ini sangat menjengkelkan.
Tapi, tangan penuh kasih ibu kembali membelai rambut putrinya. Sesekali anak rambut Mila yang keluar, beliau selipkan di sela-sela daun telinga. Kalau dipandang-pandang, sebenarnya Mila itu cantik.
“Dengar Mila. Ayah dan Ibu bukannya tak sayang. Tapi ini demi kebaikanmu. Ayah dan Ibu ingin sekali kamu menjadi gadis yang baik.”
“Oh ... jadi menurut Ibu, Mila selama ini nggak baik gitu?” cegat Mila.
Ibu Mila menggeleng, menolak sangkaan anak gadisnya itu
“Bukannya begitu, Nak. Kamu itu gadis yang baik. Dengan kamu masuk ke pesantren sambil berkuliah itu akan membuatmu jauh lebih baik.”
Perkataan ibunya itu dibalas dengan gelengan. Mila menolak mentah-mentah. Mengganggap itu rayuan ibunya saja. Sebagai anak, ia tahu kalau ibunya sangat pandai dalam mengolah kata. Bicaranya halus namun mampu membuat orang lain menuruti.
Maklum saja, beliau seorang pemimpin salah satu perusahaan komunikasi besar di Jakarta. Siapa yang tak kenal Ibu Retno Wulandari? Di kalangan bisnisman tanah air, beliau adalah pengusaha wanita yang piawai dalam menarik hati investor. Saat bicara, semua kliennya pasti menurut dan mau bekerja sama untuk menanam saham di perusahaannya.
Tetapi, semua itu tak mempan buat putrinya sendiri. Sekarang dia malah ingin segera pergi dari hadapannya. Agar niatnya itu berhasil, ia memungkasinya dengan perkataan yang menohok, “Pokoknya aku nggak mau ke pesantren dan aku nggak mau kuliah, Bu. Aku hanya ingin kerja. Bukannya ini lebih baik?”
Setelah melontarkan perkataan itu, dia pergi begitu saja. Merasa pembicaraan ini belum selesai, Bu Retno menimpali ucapan anak gadisnya dengan sedikit menaikan nada suaranya.
“Kamu mau kerja apa dengan ijazahmu yang hanya lulusan SMA?”
Rupanya, omongan ibunya itu tak dihiraukan lagi oleh Mila. Dari bawah wanita paruh baya itu melihat, anak gadisnya menutup pintu dengan keras sebagai wujud penolakannya. Sedangkan Pak Satria hanya bisa menggelengkan kepala.
...*****...
Suara dering ponsel terdengar samar karena tersaingi hentakan musik disko. Kemudian tangan seorang gadis berjemari lentik mengambil alat komunikasi miliknya itu. Di layar ponsel tertulis, Mila memanggil. Dengan segera ibu jarinya yang nampak terawat itu, menekan tombol terima pada ponselnya.
“Halo, Mil.” sapa wanita itu. Tangan kirinya mengantarkan sebatang rokok menyala ke bibirnya yang merah. Dihisapnya benda berasap itu beberapa detik, kemudian asapnya ia semburkan dari bibir sensualnya.
“Halo Rev, tolongin gue dong,” kata Mila dari balik telepon. Langsung tanpa basa-basi.
“Tolongin apa sob?” tanya wanita itu
“Gue bisa nggak kerja di tempat lu?”
“Bentar-bentar. Gue nggak salah dengar ‘kan?” pekik teman Mila itu. Tidak percaya pada ucapan sahabatnya itu. Mungkin sahabatnya itu sedang bercanda.
Apa dia tidak salah dengar? Masa seorang Mila Maharani bekerja di diskotik. Karena selama ini dia lho, yang menjadi pelanggan setia di diskotiknya. Bahkan, ia seringkali menraktir teman-temannya. Menghamburkan uang dalam semalam.
“Nggak, Rev. Elu nggak salah denger,” terang Mila. “Gue pengen kerja di diskotik elu.”
Mendengar pernyataan itu, sekali lagi Reva masih tak percaya. Untuk meyakinkan dirinya kalau ini bukan mimpi, ia menepuk pipinya sendiri beberapa kali sampai timbul rasa sakit. Ternyata ini bukan mimpi.
Tidak tunggu dulu. Ia masih belum puas. Reva menggelengkan kepala. Mengerjapkan matanya berulang-ulang. Kenyataan ini sungguh aneh dirasakan olehnya.
“Tunggu. Tunggu, Rev. Sebelumnya maaf nih ya. Bukannya gue nggak mau nerima elu. Tapi gue masih nggak ngerti kenapa elu mau kerja ke tempat gue? Elu nggak kuliah?” tanya Reva sembari menautkan alis. Ia beringsut pindah ke tempat yang cocok untuk mengobrol.
Di seberang ponsel, kemudian Mila diam sesaat. Bimbang, apakah dia harus mengatakan sejujurnya atau dia harus berbohong.
“Halo, Mil. Kok elu diem? Halo ... halo.”
Setelah terdiam cukup lama, Mila pun menjawab, “Rev, kayaknya biar jelas gue harus ketemu elu sekarang juga deh. Gue pengen bicara langsung sama elu. Elu tunggu gue sekarang ya. Gue ke diskotik elu.”
“Oke gue tunggu,” jawab Reva dan sambungan telepon pun terputus.
...*****...
Suara sepatu hak tinggi menggema saat Mila berjalan melewati ruang tamu menuju pintu. Saat di depan pintu, bersamaan dengan dia yang hendak memutar kunci, bel depan rumah berbunyi. Mila terkejut, siapa gerangan yang datang? Begitu pintu dibuka, tak terduga ternyata ayah pulang.
“Sial. Aku kok lupa ya kalo jam segini ayah pulang?” batin Mila.
“Mau kemana kamu, Mil?” Begitu berpapasan, Pak Satria langsung menegur. Matanya melotot garang.
“Mila, jawab pertanyaan ayah. Mau kemana kamu?” tanya Pak Satria menaikan suaranya. Betapa tidak emosi, Pak Satria saat putrinya sendiri tak menjawab pertanyaannya. Ditambah lagi dengan koper yang dibawa Mila saat ini. Mau kemana anak itu.
Saat ini Mila malas berdebat dengan sang ayah. Karenanya, ia meninggalkan begitu saja orang tuanya itu.
“Mila, mau kemana kamu?” teriak Pak Saka. Pertanyaan sang ayah tetap tak digubrisnya walaupun sudah membentak. Malah, langkah putrinya makin jauh meninggalkannya.
Mila melangkah cepat, sesekali menoleh ke belakang, barangkali ayahnya mengikuti. Di gerbang, ia perintahkan security untuk membukanya.
Setelah keluar, dia langsung menyetop taksi yang kebetulan lewat depan rumah. Langsung saja ia meminta taksi itu melaju. Malam ini, Mila benar-benar ingin bebas dari keluarganya yang mengekang.
Sejurus kemudian Mila pun sampai ke diskotik milik Reva. Seusai bayar taksi, Mila bergegas memasuki tempat dugem itu. Menaiki satu per satu anak tangga. Hingga sampailah di tempat dimana beberapa orang merasakan surga dunia malam ini. Hingar bingar dunia malam yang selama ini ia gandrungi.
Tanpa diberitahu Reva sebelumnya, ia langsung tahu sahabatnya itu berada. Tempat favoritnya menikmati hentakan musik sembari mengawasi karyawannya bekerja. Segera saja Mila menghampiri.
“Hai Rev," sapa Mila saat sudah di dekatnya.
“Oh hai, Mila.” Reva pun membalas sapaan itu.
Keduanya lantas cium pipi kiri dan kanan seperti yang sering mereka lakukan saat bertemu.
Mila sudah menganggap Reva melebihi saudara sendiri. Sahabat lama dari SD. Tempatnya berbagi suka duka.
“Duduk, Mil.”
Setelah Mila duduk, Reva menawarinya minum.
“Mau minum apa, Mil?”
“Biasa.”
“Kau mau mabuk lagi, Mil?”
Sebenarnya tadi Reva mau memanggil pelayannya, tapi saat Mila hendak mabuk lagi, dia jadi mengurungkan niatnya.
“Ya, biar semua beban di pikiran gue ilang,” jawab Mila sedikit berteriak dan merentangkan tanggannya. Mewakili perasaam dirinya yang ingin bebas. Badannya lalu merebah ke sandaran kursi sembari memijat pelipis sendiri yang terasa pening.
“Beban apa, Mil? Bukannya selama ini elu selalu hidup berfoya-foya?”
“Iya sih itu bener. Tapi sekarang semua beda. Tiap hari bokap gue selalu marahin gue,” gerutu Mila sembari menepikan koper ke sampingnya.
Reva pun melirik koper sahabatnya.
“Elu ngapain bawa koper segala, Mil? Jangan-jangan elu kabur, Mil?” tanya Reva yang langsung dibalas dengan anggukan Mila.
“Wah gawat elu, Mil!” cela Reva. “Kenapa elu kabur dari rumah, Mil? Kalo nyokap elu nyariin gimana?”
“Biarin aja nyariin gue. Abis gue bete. Masa gue mau dikuliahin ke Jawa Timur. Dan yang bikin gue kesel lagi, gue disuruh masuk pesantren. Parah banget ‘kan ortu gue. Gue jadi nggak bebas deh kalo gue ke pesantren.”
Mendengar celoteh sahabatnya itu, Reva tak bisa berkomentar. Sebenarnya di dalam hati, ia setuju pemikiran orang tua Mila. Sayang, Reva tak berani berkomentar apa-apa. Takut Mila kesal juga.
“Gue boleh kerja di sini ‘kan, Rev?” tanya Reva tiba-tiba. Mengulang pertanyaannya saat di telepon.
“Bo ... boleh dong. Elu ‘kan sahabat gue,” jawab Reva sambil menepuk punggung tangan Mila. Bibirnya berusaha mengukir senyum.
“Makasih. Elu emang sahabat gue yang terbaik,” ucap Mila.
Kemudian dibalas dengan anggukan Reva yang penuh ketulusan.
“Nanti elu nginep di rumah gue aja dulu ya, Rev? Karena mess karyawan udah penuh. Lagian mana betah elu tidur barengan sama karyawan-karyawan gue,” kelakar Reva yang berhasil membuat raut tegang sahabatnya menjadi sedikit sumringah.
Bersambung ....
Hentakan musik disko membuat tubuh pengunjung diskotik tak henti-hentinya berjoget. Pria dan wanita, semua tenggelam dalam irama musik yang dimainkan DJ. Ada juga yang mengangkat tangan ke atas dan berlompatan. Bersorak penuh semangat. Menari girang bersama kawan di atas warna-warni lantai disko yang menyala berkerlap-kerlip. Bersenang-senang sepuasnya sampai pagi.
Ada juga beberapa tamu yang duduk santai bersanding minuman. Menghisap rokok lalu dihembuskan asapnya hingga asap-asap itu terlihat menyembul di sana-sini. Ada juga yang duduk ditemani wanita-wanita penghibur. Kepalanya menganguk-angguk mengikuti setiap hentakan musik.
Sedang di dekat bartender, Reva sibuk mengatur para pelayan agar melayani tamunya dengan baik. Beberapa pelayannya terlihat mondar-mandir mengantarkan pesanan minuman dan makanan yang dipesan tamu. Begitu juga dengan Mila, ia tengah mengantar pesanan ke salah satu meja. Di sana telah duduk dua pria berwajah oriental. Saat Mila sampai di meja itu, salah satu dari mereka langsung terpesona pada kecantikan Mila.
“Hai, boleh kenalan?” kata seorang pria berambut keriting yang langsung mengulur tangannya setelah menekan rokok di asbak. Dia tak mau wanita secantik itu dilewatkan begitu saja.
Ajakan pria itu mengejutkan Mila. Dia juga mencuri pandang pada pria itu. Tampan juga. Membuat dirinya tersipu malu.
Meski diliputi canggung, Mila perlahan mengulur tangannya menyambut tangan pria itu. Diam-diam hatinya berbunga-bunga, ada laki-laki setampan itu mengajaknya kenalan.
“Andre.”
“Mila.”
Setelah mengenalkan namanya masing-masing, secara bersamaan mereka melepaskan jabatan tangan. Takut makin salah tingkah, Mila memutuskan pergi dari hadapan pria yang bernama Andre itu. Sedang Andre terus memandangi kepergian Mila. Dia sangat terpesona pada kecantikan Mila.
“Gila, Bro. Sumpah gue nggak pernah liat cewek secantik dia,” puji Andre sambil menggelengkan kepala. Di ujung sana, sebelum Mila lenyap dari penglihatan mata, dia sempat menengok kembali lalu melempar senyum malu pada Andre.
“Ya bener cantik banget,” dukung teman Andre. “Buruan gebet, Bro.”
Andre mengangguk sembari mengacungkan ibu jari.
“Sip. Jangan panggil gue Andre kalo nggak bisa naklukin tuh cewek,” ucap Andre dengan begitu yakin. berlagak sombong, dia mengangkat kerah baju.
...*****...
Deru suara motor sport menyusul Mila berjalan pulang dari diskotik.
“Butuh tumpangan, Nona?” sapa pengendara motor itu pada Mila.
Mila menoleh sembari bertanya-tanya tentang sosok pria yang menyapanya itu.
“Maaf, siapa ya?” Ia tak tahu wajah di balik helm itu.
Pengendara motor itu cekikikan pada Mila yang penasaran. Merasa tak tega membuat gadis itu terus-terusan penasaran, orang itu pun membuka helmnya.
“Gue Andre, Mil.”
“Yaelah, Andre. Gue kira siape.” pekik Mila sembari tersipu.
Gadis sembari mencuri pandang pada penampilan Andre yang selalu terlihat keren itu. Ditambah motor sport yang ditungganginya kelihatan sangat macho. Sebagai perempuan, Mila terpesona pada kegagahan laki-laki yang baru dikenalnya beberapa hari yang lalu.
“Elu kalo pulang jalan kaki ya, Mil?”
Mila menggangguk.
“Pacar elu nggak jemput.”
Terkejut Mila dengan pertanyaan itu. Sebagai gadis yang punya banyak pengalaman asmara, dia tahu sedang dipancing agar memberi tahu kalau dia tidak punya pacar.
“Gue nggak punya pacar,” tandas Mila.
Sontak, hati Andre bersorak mendengar jawaban itu. Dengan begitu dia bisa leluasa mendekati Mila.
Namun, sebagai laki-laki yang berpengalaman dalam hal percintaan, ia tak boleh langsung percaya jawaban wanita. Andre tahu kalau zaman sekarang banyak wanita yang pandai berbohong juga. Ngakunya masih single ternyata udah punya suami. Kiranya masih perlu satu pertanyaan lagi untuk memastikan kalau Mila tak punya pacar.
“Akh masa. Elu nggak punya cowok. Nggak yakin gue. Zaman sekarang mana ada cewek secantik elu jomblo,” selidik Andre.
Ucapan Andre itu malah membuat Mila kesal. Dikiranya dia berbohong. Walaupun memang sering berbohong, tapi urusan hati tak mau berbohong. Kalau tak punya pacar, dia akan bilang tidak punya pacar. Baginya, percuma saja bicara pada laki-laki yang tidak percaya. Diliputi rasa kesal, Mila memilih mengabaikan Andre.
Melihat Mila kesal, Andre langsung panik. Merasa bersalah. Harusnya ia tak menanyakan itu. Alih-alih memancing, malah membuat Mila kesal. Namun dari tingkah gadis itu, pria berwajah oriental itu lantas tahu bahwa gadis itu memang tak punya pacar.
Buru-buru dia tancap gas untuk mengejar Mila.
“Mila maafin gue. Kalo gue tadi sedikit nggak percaya omongan elu. Tapi sekarang gue percaya kok.”
“Percaya apa?” cetus Mila.
“Ya, percaya kalo elu nggak punya pacar,” tandas Andre.
Sebenarnya, Mila senang pada tingkah Andre. Dia hanya berpura-pura saja. Ingin tahu seberapa niat Andre ingin mengenalnya.
“Oya mau nebeng motor gue nggak nih?”
“Nggak. Kontrakan gue udah deket,” tolak Mila. Ia menunjuk ke deretan rumah bercat putih beberapa meter di depannya. Semenjak bekerja di diskotik, dia memilih tinggal di rumah kontrakan.
“Gue boleh mampir?” tanya Andre. Begitu tahu tempat tinggal Mila, dia tidak mau menyiakan kesempatan emas ini.
“Boleh. Silahkan.”
Ucapan itu membuat Andre senang bukan kepalang. Benar-benar hari keberuntungannya. Sebab, ia mendapat jalan untuk lebih kenal dengan Mila.
...*****...
Tiupan angin semilir tepi danau terasa menyejukan. Betapa bahagianya perasaan seorang wanita jika di tempat yang begitu indah ini, ia menikmatinya bersama orang spesial.
Saat sang surya baru menampakkan sinarnya. Angin semilir bertiup begitu menyegarkan. Hidung mancung Mila menghirup dalam-dalam udara bersih ini. Begitu terasa menyejukkan di paru-paru. Sembari bersandar di bamper mobil, ia merentangkan tangan dan membiarkan tubuhnya diterpa angin sehingga rambutnya yang panjang tersibak. Sungguh suasana yang jarang dirasakan di Jakarta.
“Ndre, thanks ya elu udah ngajakin gue ke sini,” ucap Mila sembari menoleh pada Andre di sampingnya. Ia sangat senang diajak jalan di waktu liburnya.
“Sama-sama,” jawab Andre lalu memberi senyum.
Mereka pun kini saling berpandangan. Senyum Andre terlihat sangat menawan ditambah lesung pipitnya yang indah menambah tampan wajahnya. Andre pun terpesona pada kecantikan Mila.
Setelah puas memandangi wajah ayu Mila, kemudian Andre mengalihkan pandangan. Netranya kemudian tertarik pada sebuah bunga perdu merah muda di tepi tebing sana.
Lalu didekatinya bunga itu dan dipetiknya. Bunga itu dibawa ke hadapan Mila. Tangannya menyibak rambut yang menutupi telinga Mila, lalu diselipkannya bunga itu. Bunga yang menawan berpadu dengan wajah cantik Mila.
“Kau nampak sangat cantik,” puji Andre. Tangannya perlahan mendongakan wajah Mila yang menunduk malu. Ditatapnya wanita yang berhasil membuatnya jatuh cinta. “Bagiku kau seperti bidadari. Aku bersyukur bisa sedekat ini denganmu.”
Momen yang pas ini tak disia-siakan. Andre terus menarik hati Mila dengan kata-kata puitisnya. Hati Mila pun meleleh diperlakukan dengan begitu romantis. Tatapan mata Andre bagai anak panah yang meluncur. Menancap tepat di hatinya.
Wajah Andre mendekati wajah Mila. Gadis itu pasrah saja saat bibirnya bersentuhan dengan bibir lelaki yang telah berhasil membuat jantungnya berdebar tak karuan. Kini bibir keduanya saling berpagutan. Sejuknya angin perbukitan begitu mendukung suasana syahdu ini.
...*****...
Musik disko terus menghentak. Kepala Reva manggut-manggut mengikuti irama musik. Sedari tadi ia sedang mengawasi pintu masuk diskotiknya, menunggu kedatangan Mila. Sudah tiga hari ini, sahabatnya itu tak masuk kerja. Tanpa ada kabar sama sekali. Sebagai sahabat, ia bertanya-tanya ada apa dengan Mila.
Tak beberapa lama, Mila datang. Tangannya terlihat mengait siku Andre.
Diliputi rasa kesal, Reva bergegas menghampiri Mila. Ia harus menegur sahabatnya itu. Tangan Mila pun ditariknya dan dibawa menjauhi Andre.
“Mil, elu nggak berangkat kerja tiga hari kemana aja?” tukas Reva kesal. Tangannya menepuk bahu Mila.
“Sorry, Rev. Kemarin gue nggak kerja karena nemenin Andre,” jawab Mila seenaknya.
Mendengar Mila menyebut nama Andre, sontak mata Reva melirik ke arah laki-laki itu. Di sana pacar baru sahabatnya itu menanggapi santai. Mengangkat telapak tangannya menyapa Reva, tersenyum tanpa punya rasa bersalah.
“Elu yakin deket sama dia?” tanya Reva karena firasatnya mengatakan kalau pria bernama Andre itu bukan pria baik-baik. “Ati-ati lho Rev, soalnya perasaan gue nggak enak saat pertama kali liat tampangnya.”
Namun bukannya didengar, Mila malah langsung sewot diingatkan begitu. Bahkan meminta Reva agar tak berburuk sangka pada Andre.
“Jangan suka curigaan jadi orang. Elu belum tahu Andre. Dia itu orangnya baik,” elak Mila.
“Mil, sebagai temen, gue nggak mau elu kenapa-napa. Walaupun gue ini sama kayak elu yang suka dunia malam. Tapi gue lebih selektif milih pasangan. Bukannya elu juga tahu kalo di dunia ini ada cowok yang suka mainin perasaan cewek?” tukas Reva.
Sebagai wanita yang berpengalaman, Reva tentu tahu dengan beragam karakter laki-laki, Andre bukanlah laki-laki baik untuk sahabatnya. Tapi Mila belum bisa menerima nasihatnya. Di matanya, Andre adalah sosok laki-laki yang baik.
“Udahlah elu mulai sekarang nggak boleh ngurusin pribadi gue. Gue akui elu bos gue sekarang. Tapi elu nggak layak nyampurin urusan asmara gue.” tukas Mila, tanpa ragu menunjuk muka Reva.
Menurut Reva sikap sahabatnya itu sungguh keterlaluan. Gadis itu langsung naik pitam. Dengan gemas mendorong Mila hingga hampir terpelanting. Sepatu hak tinggi yang dikenakannya, membuat dia sulit menjaga keseimbangan.
“Kurang ajar elu ya. Berani-beraninya elu nunjuk-nunjuk muka gue. Gue ingetin malah nggak terima,” bentak Reva. Keributan itu seketika menjadi pusat perhatian tamu-tamu.
Melihat Mila didorong, Andre langsung mendekat dan membela Mila.
“Ekh jangan kasar dong sama cewek gue,” tukas Andre sambil memeluk lengan Mila. Menahannya agar tidak jatuh.
“Oke. Sekarang kalian berdua pergi dan nggak boleh nginjekin kaki kalian berdua di diskotik gue lagi,” usir Reva. Mengacungkan telunjuknya ke arah pintu keluar.
“Oke. Gue dan cewek gue nggak akan kembali ke tempat murahan ini,” balas Andre. Matanya melotot sangar pada Reva. Kemudian mereka berlalu dari hadapannya.
Ketika Andre membawa Mila pergi, Reva hanya bisa menggelengkan kepala. Tentunya ia sangat kecewa dengan sikap Mila. Kenapa dia bersikap begitu. Reva tak kuasa menahan tangis. Malu telah dilihat banyak orang, dia pun berlari meninggalkan tamu-tamunya.
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!